Anda di halaman 1dari 46

BAB I

DEFLEKSI BATANG
1.1
1.1.1

Teori Penunjang
Persamaan diferensial kurva defleksi
Defleksi adalah perubahan yang berupa lendutan yang dihitung dari kondisi awal

tanpa beban

sampai batang melendut akibat pembebanan. Penggambaran defleksi yang

terjadi pada batang yang ditumpu dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1.1 Batang sebelum mendapat beban

Gambar 1.2 batang setelah menerima beban ( Defleksi)


Penurunan titik C setinggi Y dari titik awal inilah yang disebut dengan
defleksi.Besarnya defleksi Y disetiap titik X pada batang dapat dihitung. Hubungan ini dapat
dituliskan dalam bentuk persamaan yang sering dinamakan persamaan defleksi.
Didalam mendesain suatu poros, perhatian biasanya tidak hanya ditujukan kepada
tegangan-tegangan yang timbul akibat aksi beban, tetapi juga defleksi yang ditimbulkan oleh
beban ini. Selanjutnya dibuat ketentuan bahwa defleksi maksimum tidak boleh melampaui
suatu bagian kecil tertentu dari rentang batang.

Gambar 1.3 Kurva defleksi


Misalkan kurva A dan B pada gambar diatas merupakan bentuk sumbu batang setelah
lenturan (pembengkokan terjadi). Lenturan terjadi pada batang simetri oleh karena gaya-gaya
lintang yang bekerja pada batang-batang itu. Kurva ini dinamakan Kurva Defleksi
(Deflektion Curve). Untuk mendapatkan persamaan diferensial kurva ini ditarik sumbusumbu koordinat seperti terlihat pada gambar dan anggap bahwa lengkungan kurva defleksi
pada titik manapun, hanya tergantung pada besarnya momen M di titik itu. Persamaan
tersebut adalah :

EI.

EI.

d2y
mx
dx 2

................................................................................. (1.1 )

dy
EI mdx C1
dx

Mdx.dx C x C
1

EIy.

(Persamaan Kurva Kemiringan)........... (1.2 )

(Persamaan Kurva Elastis)..................... (1.3 )

Dimana :
X dan y = adalah sistem koordinat
E

= modulus elastisitas batang

= momen inersia penampang batang terhadap sumbu netral

Mx

= momen bending pada jarak x, biasanya merupakan fungsi x

C1 dan C2 adalah konstanta integrasi yang harus dievaluasi dari kondisi balok tertentu
dan pembebanannya.

Metode Luas Bidang Momen

Gambar 1.4 Metode Luas bidang momen


Metode ini juga dapat digunakan untuk menentukan defleksi pada suatu titik tertentu.
Pada gambar diatas sebuah batang AB menerima beban tertentu sehingga mengalami
lendutan. Demikian juga akan terjadi momen lentur. Kita tinjau dua buah titik D dan E yang
setelah melendut mempunyai jarak sejauh ds dan perpotongan normal melalui titik tersebut di
O membentuk sudut d dan diagram momennya akan terbentuk seperti pada gambar yang
diarsir. Persamaan yang dihasilkan adalah :

1
M
ds
ds

EI
............................................................................................ (1.4 )

Karena defleksi yang terjadi sangat kecil maka dapt dituliskan ds=dx sehingga :
d

M
dx
EI

....................................................................................................... (1.5 )

Persamaan ini kalau ditafsir dari grafis diatas maka d adalah sama dengan luas
bidang elemen Mdx yang diarsir pada diagram momen lentur dibagi dengan flextural
regidity beam (EI).

Persamaan diatas berlaku untuk elemen-elemen yang kecil sehingga sudut antara
garis singgung dititk A dan B akan didapat dengan menjumlahkan elemen-elemen, sehingga
secara inntegral dapat dituliskan dengan :
B

AB

M
dx
EI

.................................................................................................( 1.6 )

Sehingga dari persamaan diatas lahir teorema I yaitu :


Besarnya sudut antara garis singgung yang melalui sembarang titk pada suatu garis
elastisitas adalah merupakan luas bidang momen antara titik-titk tersebut dibagi dengan EI
beam. Sehingga dapat ditulis dalam bentuk :

AB

(luas ) AB
EI

............................................................................................... (1.7 )

Jarak vertikal antara garis singgunng yang melalui titk D dan E yang berpotongan dengan
garis vertikal yang melalui titik B adalh dt. Setiap segitiga yang terbentuk ini dianggap
sebagai busur lingjaran dengan jari-jari x dengan sudut d.
Dt = x d
Untuk jarak penyiimpangan di titik B adalh merupakan penjumlahan dt dari setiap elemenelemen kecil dari titik A sampai titik B sehingga bisa ditulliskan sebagai berikut :
B

t AB BB ' xd x

M
1
dx
x( Mdx )
EI
EI A

Pembebanan dengan tipe tumpuan Sendi Rol

.................................................. ( 1.8)

Gambar 1.5 Balok dengan tipe tumpuan Sendi Rol


Pembebanan dengan tipe tumpuan rol-rol mengunakan spesimen 6 mm atau 6 x
10 mm :
Rumus umum untuk tipe tumpuan rol-rol :

1.1.2

R A X 3 P ( x a ) 3 R A L3 P( L a ) 3

x
6 EI
6 EI
6 LEI
6 LEI

..........................................( 1.9 )

Pembebanan Dengan Tipe Tumpuan jepit jepit

Gambar 1.6 Balok dengan tipe tumpuan jepit jepit


Pembebanan dengan menggunakan tipe tumpuan jepit-jepit menggunakan spesimen
6 mm atau 6 x 10 mm :
Rumus umum defleksi untuk tipe tumpuan jepit-jepit :

M A 2M C (a b) M B .b


6 A1 a1 6 A2 a 2

6 EI c c
L1
L2
b
a

. (1.10)

Momen inersia

Bentuk rektanguler (spesimen 6 x 10 mm)

I=

bh3
12 ...........................(1.11)

Bentuk circular atau silinder (spesimen 6 mm)

1.1.3

Bagian bagian Alat Uji

(d 4 )
64

.......................(1.12)

Gambar 1.7 Bagian bagian alat uji Defleksi

Nama Bagian :
1

Rangka alat uji lendutan batang

Silinder beserta tumpuan

Tempat penyimpanan spesimen

dudukan Dial indikator

1.1.4

Alat dan Bahan

1. Alat uji lendutan


2. Dial Indikator
3. Mistar ukur
4. Batang uji profil circular adalah spesimen dengan diameter 6 mm
1.2
1.

Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui teori dasar defleksi batang uji, untuk benda uji dengan bentuk
circular

2.

Untuk membandingkan defleksi batang hasil percobaan dengan hasil perhitungan


secara teoritis

3.
1.3

Mengetahui faktor faktor yang berpengaruh terhadap defleksi batang.


Prosedur Praktikum
6

1.

Menyiapkan bahan dan alat praktikum

2.

Pasang dial indikator pada dudukannya

3.

Pasang batang uji profil ( circular, diameter 6mm )

4.

Berikan beban pada batang uji dengan massa beban 230 gram dengan jarak ( a ),
200 mm, kemudian a = 250 mm,dan a = 300 mm,

5.

Melakukan percobaan yang sama sebanyak 4 kali dengan penambahan beban 230
gram pada setiap percobaan berikan jarak ( a ) seperti langkah 4

6.

1.4

Catat hasil ( defleksi ) yang ditunjukan oleh dial indikator

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1.1 Hasil Defleksi Batang Circular
P

(N)

(mm)

(mm)

(N/mm2)

(mm)

(d 4 )
64

percobaan
(mm)

2,3
4,6
6,9
9,2

300
250
200
300
250
200
300
250
200
300
250
200

600
600
600
600
600
600
600
600
600
600
600
600

1,97x10
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106
1,97x106

6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6

Keterangan :
I = Momen Inersia
P = F = m x g = pembebanan yang terjadi
m = massa (kg)
7

(mm )
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62

0.56
0.52
0.44
1.08
0.98
0.84
1.67
1.60
1.51
2.60
2.30
2.05

g = gaya gravitasi (m/s2)


L = jarak tumpuan (mm)
E = Modulus Elastisitas Bahan
= Defleksi batang (mm)
d = diameter

Free Body Diagram

Perhitungan
Untuk P = 2,3 N
Untuk a = 300 mm
P = 2,3 N
I = 63,62 mm4
E = 1,97x106 N/mm2

0
RA.600 - P.300
0 = RA.600 2,3(300)

RA =

690
600

RA = 1,15 N

0 P.300 RB.600
2,3.300 RB .600

0=

RB =

Cek :

690
600

RB = 1,15 N

0 RA F RB
= 1,15 2,3 + 1,15
= 0 (artinya sistem ini reaksinya sudah benar)

Dengan menggunakan persamaan berikut, maka defleksi teoritis dapat dicari (dengan P = 2,3
N dan a = 300 mm) :

R A X 3 P( L a ) 3 R A L3 P( L a ) 3

x
6 EI
6 EI
6 LEI
6 LEI

1,15.300 3
2,3(300 300) 3
1,15.600 3
2,3(600 300) 3

300
6.1,97.10 6.63,62 6.1,97.10 6.63,62 6.600.1,97.10 6.63,62 6.600.1,97.10 6.63,62

= 0,246 mm
Untuk mempercepat perhitungan, maka dengan bantuan Microsoft Excell perhitungan
yang banyak dapat dicari dengan mudah. Berikut ini adalah hasil dari seluruh perhitungan
yang disajikan dalam tabel.
Tabel 1.2 Hasil Defleksi Batang Circular teoritis
P

teoritis

(N)

(mm)

(mm)

(N/mm2)

(mm4)

(mm)

2.3

4.6

6.9
9.2

300
250
200
300
250
200
300
250
200
300
250
200

600
600
600
600
600
600
600
600
600
600
600
600

1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106

63.62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62

0.246
0.27
0.3
0.289
0.296
0.36
0.33
0.402
0.49
0.37
0.467
0.585

Grafik Defleksi

0.6
0.5
0.4
(mm)
teori

0.3

percobaan
0.2
0.1
0
300

a (mm)
250

200

Grafik 1.1 Grafik Hubungan Teoritis dengan Percobaan dengan jarak a,


pembebanan 2,3 N

10

1.2
1
0.8

(mm)
teori

0.6

percobaan
0.4
0.2
0
300

250 a

(mm)

200

Grafik 1.2 Grafik Hubungan Teoritis dengan Percobaan dengan jarak a,


pembebanan 4,6 N

1.8
1.6
1.4
1.2

(mm)
1

teori

0.8

percobaan

0.6
0.4
0.2
0
300

a (mm)

250

200

Grafik 1.3 Grafik Hubungan Teoritis dengan Percobaan dengan jarak a,


pembebanan 6,9 N

11

3
2.5
2
(mm)
teori

1.5

percobaan
1
0.5
0
300

250
a (mm)

200

Grafik 1.4 Grafik Hubungan Teoritis dengan Percobaan dengan jarak a,


pembebanan 9,2 N

Grafik Defleksi

12

2.5
Teoritis P = 2.3 N

Teoritis P = 4.6 N

Teoritis P = 6.9 N

Percobaan P = 2.3 N

Percobaan P = 4.6 N

(mm)
1.5 Teoritis P = 9.2 N
1

0.5

Percobaan P = 6.9 N

a (mm)

200

Percobaan P = 9.2 N

250

300

Grafik 1.5 Grafik Hubungan Teoritis dengan Percobaan dengan jarak a,


Diskusi Grafik :
Dari grafik 1.5 dapat disimpulkan semakin jauh jarak pembebanan dari titik tumpuan
pertama maka semakin besar defleksi yang terjadi hal tersebut ditunjukkan oleh garis data
percobaan berwarna biru, namun hal sebaliknya terjadi pada garis data teoritis, perbedaan
hasil data teoritis dan percobaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang akan
dibahas pada diskusi akhir.

13

2.5

(mm)

jarak 200
mm
teoritis

jarak 250
mm
teoritis
jarak 300
mm
teoritis

1.5

jarak 200
mm
percobaan

F (N)

jarak 250
mm
percobaan

jarak 300
mm
percobaan

0.5

2.2999999999999998

Grafik 1.6 Grafik Hubungan Teoritis dan Percobaan dengan Gaya


Diskusi Grafik :
Dari grafik 1.6 dapat disimpulkan bahwa nilai defleksi teoritis maupun percobaan
semakin besar diakibatkan oleh semakin besarnya gaya yang di berikan terhadap batang,
tetapi pada data defleksi percobaan peningkatan nilai defleksi terlihat signifikan
dibandingkan nilai defleksi dari data perhitungan secara teoritis.
Jika dilihat dari pembahasan diatas baik dari tabel maupun Grafik terlihat bahwa terjadi
perbedaan antara Defleksi secara teoritis dengan defleksi hasil percobaan. Dan hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
14

Alat Ukur yang tidak dikalibrasi atau kurangnya kalibrasi.


Batang penumpu, karena mengalami deformasi (perubahan bentuk) oleh beban yang

diberikan padanya.
Posisi Pengukuran, karena garis pengukuran tidak berimpit atau sejajar dengan garis

dimensi objek ukur.


Lingkungan, karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk melakukan pengukuran

dapat mengakibatkan penyimpangan yang serius.


Manusia, karena bila pengukuran dilakukan oleh orang yang berbeda, belum tentu hasil
pengukurannya akan sama (identik).
BAB II
PERPINDAHAN PANAS

2.1

Teori Penunjang
Bila suatu sistem terdapat gradien suhu, atau bila dua sistem yang

suhunya berbeda disinggungkan maka akan terjadi perpindahan energi.


Proses di mana perpindahan energi itu berlangsung disebut perpindahan
panas. Perpindahan panas merupakan proses perpindahan yang penting
dalam teknik kimia di samping perpindahan momentum dan perpindahan
massa. Perpindahan panas pada dasarnya merupakan akumulasi dari
perpindahan dari panas dan energi dari suatu tempat ketempat lain.
Perpindahan panas sering terjadi dalam kombinasi dengan unit operasi
lain seperti distilasi, evaporasi, pengeringan dan lain-lain.
Penyelesaian

soal-soal

perpindahan

kalor

secara

kuantitatif

biasanya didasarkan pada neraca energi dan perkiraan laju perpindahan


kalor. Perpindahan panas akan terjadi apabila ada perbedaan temperatur
antara 2 bagian benda. Panas akan berpindah dari temperatur tinggi ke
temperatur yang lebih rendah. Berikut ilustrasi perpindahan panas dari
temperatur yang tinggi ke temperatur yang rendah:

15

Gambar 2.1 Ilustrasi Perpindahan Panas dari Temperatur Tinggi ke


Temperatur Rendah
Dimana: T1>T2
Kegunaan mempelajari ilmu perpindahan panas adalah sebagai berikut:
-

Untuk merencanakan alat- alat penukar panas (heat exchanger)

Untuk menghitung kebutuhan media pemanas atau pendingin pada


suatu reboiler atau kondensor dalam kolom destilasi

Untuk perhitungan furnace/dapur radiasi

Untuk perancangan ketel uap / boiler

Untuk perancangan alat alat penguap (evaporator)

Untuk perancangan reaktor kimia;


1. Eksotermis membutuhkan pendingin
2. Endotermis membutuhkan pemanas (Buchori, 2011)
Panas dapat berpindah dengan 3 cara, yaitu konduksi, konveksi, dan

radiasi. Pada peristiwa konduksi, panas akan berpindah tanpa diikuti aliran
medium perpindahan panas.
Panas akan berpindah secara estafet dari satu partikel ke partikel
yang

lainnya

perpindahan

dalam
panas

medium
terjadi

tersebut.

karena

Pada

terbawa

peristiwa

aliran

konveksi,

fluida.

Secara

termodinamika, konveksi dinyatakan sebagai aliran entalpi, bukan aliran


panas. Pada peristiwa radiasi, energi berpindah melalui gelombang
elektromagnetik.

Ada

beberapa

alat

penukar

panas

yang

umum

digunakan pada industri. Alat-alat penukar panas tersebut antara lain:


double pipe, shell and tube, plate-frame, spiral, dan lamella.Penukar
panas jenis plate and frame mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950
N. Banyak penelitian yang telah dilakukan pada penukar panas jenis ini,
namun umumnya fluida operasi yang digunakan adalah air.

Konduksi
Konduksi adalah proses di mana panas atau kalor mengalir dari

daerah yang bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah di


dalam satu medium (padat, cair atau gas) atau antara medium - medium
yang berlainan yan

bersinggungan secara langsung tanpa adanya

perpindahan molekul yang cukup besar menurut teori kinetik. Konduksi


16

juga dapat didefenisikan sebagai perpindahan panas dari suatu bagian


dengan temperatur tinggi menuju bagian dengan temperatur rendah
melalui suatu medium tanpa diikuti dengan adanya aliran material
medium tersebut . Jika salah satu ujung logam memilki temperatur
rendah, maka akan terjadi transfer energi dari bagian dengan temperatur
tinggi menuju bagian dengan temperatur rendah.

Gambar 2.2 Aliran Panas yang Terjadi Pada Saat Konduksi


Hubungan dasar untuk perpindahan panas dengan cara konduksi
diusulkan oleh ilmuwan Perancis , J.B.J. Fourier, tahun 1882. Hubungan ini
menyatakan bahwa qk, laju aliran panas dengan cara konduksi dalam
suatu bahan, sama dengan hasil kali dari tiga buah besaran berikut:
1. K, yaitu:konduktivitas termal bahan.
2. A, yaitu: luas penampang dimana panas mengalir dengan cara
3.

konduksi yang harus diukur tegak lurus terhadap arah aliran panas.
dT/Dx, yaitu: gradien suhu terhadap penampang tersebut, yaitu
perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas x.

Persamaan dasar untuk konduksi satu dimensi dalam keadaan tunak


ditulis sebagai berikut:

(1 1)
Laju aliran panas qk dinyatakan dalam Btu/h,

luas A dalam ft2 dan

gradien suhu dT/dx dalam F/ft. Konduktivitas termal k adalah sifat bahan

17

dan menunjukkan jumlah panas yang mengalir melintasi satuan luas jika
gradien suhunya satu. Jadi bahan yang mempunyai konduktivitas termal
yang tinggi dinamakan konduktor (conductor), sedangkan bahan yang
konduktivitas termalnya rendah disebut isolator (insulator).
Logam (misalnya: tembaga) biasanya merupakan konduktor panas
yang baik. Hal ini disebabkan adanya logam kimia yang lebih kuat dari
ikatan kovalen dan ikatan ionik serta memiliki elektron bebas dan berasal
dari struktual kristal. Sedangkan fluida (liquid dan gas) merupakan
konduktor yang buruk. Hal ini disebabkan karena jarak antar atom pada
gas sangat jarang sehingga dengan adanya tumbukan beberapa atom
dapat menurunkan konduksi dan densitas fluida menurun jika konduksi
terjadi. Berikut adalah tabel beberapa bahan dengan

konduktivitas

termalnya:

Tabel 2.1 Konduktivitas Termal Beberapa Bahan.

18

2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN


19

2.2.1 Hasil Tabel Brass 30

2.2.2 Hasil Tabel Brass 50

2.2.3 Hasil Tabel Steel 30

2.2.4 Hasil Grafik Brass 30


20

2.2.5 Hasil Grafik Brass 50

21

2.2.6 Hasil Grafik Steel 30

2.2.7 Menghitung Gradien


Untuk menghitung gradient,digunakan persamaan:
T 1T 7
L
a.untuk brass pemanasan 30 watt,gradiennya adalah:
38,628,3
0,12
= 85,83
b.untuk brass pemanasan 50 watt, gradiennya adalah:
59,234,2
0,12
= 209,16
c.untuk steel pemanasan 30 watt,gradiennya adalah:
4929,9
0,12
= 159,16
2.2.8 Menghitung nilai konduktivitas thermal (k) pada brass
pemanas 30 watt
22

Diketahui :

Di Tanya :

q
A
dT
dx
k

=
=
=
=
=

30 watt
7,06 X 10-4 m2
10,5 K
0,12 m
?
dT
q=kA
dx

( qA ) .( dTdx )

k=

0,12
)
( 7,0630x 10 ) .( 10,5

k=
k =485,63

watt
.K
m

2.2.9 Menghitung nilai konduktivitas thermal (k) pada brass


pemanas 50 watt
Diketahui :

Di Tanya :

q
A
dT
dx
k

=
=
=
=
=
q=kA

50 watt
7,06 X 10-4 m2
25,1 K
0,12 m
?
dT
dx

( qA ) .( dTdx )

k=

0,12
)
( 7,0650x 10 ) .( 25,1

k=

k =338,58

watt
.K
m

2.2.10 Menghitung nilai konduktivitas thermal (k) pada steel


pemanas 30 watt
Diketahui :

q
A

= 30 watt
= 7,06 X 10-4 m2
23

Di Tanya :

dT
dx
k

= 19,1 K
= 0,12 m
=?
q=kA

dT
dx

( qA ) .( dTdx )

k=

k=

k =266,97

30
0,12
.
4
19,1
7,06 x 10

)( )

watt
.K
m

2.2.11. Perbandingan nilai k pada brass pemanasan 30 watt dan


brass pemanasan 50 watt
Jadi di lihat dari perhitungan di atas perbandingan antara nilai k
pada brass pemanasan 30 watt dengan brass pemanasan 50 watt adalah

nilai k brass 50 watt = 338,58

30 watt = 485,63

watt
.K
m

lebih kecil dari pada nilai k brass

watt
.K
m

2.2.12. Perbandingan nilai k pada brass pemanasan 30 watt dan


steel pemanasan 30 watt
Jadi di lihat dari perhitungan di atas perbandingan antara nilai k
pada brass pemanas 30 watt dengan steel pemanas 30 watt adalah nilai k
24

steel 30 watt = 266,97

watt = 485,63

watt
.K
m

lebih kecil dari pada nilai k brass 30

watt
.K
m

2.2.13.
Diskusi
Dari praktikum diatas didapat perbandingan hasil konduktivitas
thermal antara hasil perhitungan dengan data percobaan dan data dalam
tabel pada landasan teori, tabel berikut merupakan perbandingan
konduktivitas termal antara percobaan dan konduktivitas seharusnya.
Tabel 2.2.1 tabel perbandingan nilai konduktivitas termal hasil percobaan
dan teoritis
NO

MATERIAL

NILAI KONDUKTIVITAS

NILAI KONDUKTIVITAS
TERMAL PERCOBAAN (

TERMAL TEORI (

watt
.K
m

watt
.K
m

1
2
3

Brass (Daya30 Watt)


109
485.65
Brass (Daya 50 Watt)
109
338.58
Steel (Daya 30 Watt)
50
266.97
Diperoleh nilai konduktivitas termal pada data hasil percobaan jauh

lebih

besar

daripada

data

teoritis

yang

seharsnya,

terjadinya

penyimpangan yang terlalu besar ini dapat disebabkan oleh, antara lain :

Kesalahan prosedur ketika pengukuran.


Adanya pengaruh lingkungan ketika melakukan percobaan, misalnya
hidupnya AC di dalam ruangan pada saat praktikum.

25

BAB III
FLASH POINT & FIRE POINT
3.1 Teori Penunjang
Secara umum bahan bakar dibedakan menjadi :
1. Bahan bakar padat, antara lain : batu bara, kayu, dan ampas.
2. Bahan bakar cair antara lain : bensin, solar, minyak tanah.
3. Bahan bakar gas antara lain : natural gas, petroleum gas, biogas.
Bahan bakar cair merupakan hydrocarbon komponen yang didapat dari sumber alam
maupun secara buatan. Beberapa keunggulan bahan bakar cair dibandingkan bahan bakar
padat antara lain :

Menggunakan alat bakar yang lebih kompak

Keberhasilan dari hasil pembakarannya

Handlingnya yang mudah


Salah satu kekurangannya adalah harus melalui proses permunian yang cukup
kompleks. Dalam suatu bahan bakar cair, karakteristik yang perlu diperhatikan adalah
besarnya flash point dan fire point. Flash Point adalah temperatur pada keadaan dimana uap
diatas bahan bakar akan terbakar dengan cepat ( meledak ) apabila nyala api didekatkan
padanya, sedangkan Fire point adalah temperatur pada keadaan dimana uap di atas
permukaan bahan bakar terbakar secara kontinyu apabila nyala api didekatkan padanya.
Flash point dan Fire point penting untuk mengetahui karateristik kestabilan bahan
bakar terhadap kemungkinan menyala atau terbakar, juga untuk pertimbangan cara
penanganan atau penyimpangan serta delivery yang aman.
3.2 Tujuan Praktikum
1. Mengetahui titik nyala (Flast Point) dan titik bakar ( Fire Point ) dari bahan bakar.
2. Mengetahui pengaruh aditif atau campuran lain terhadap titk nyala dan titik bakar.

26

3.3 Prosedur Praktikum


3.3.1.3
1.

Alat-Alat Praktikum :
Flash point tester, dengan asesoris : 1 test inset with cover and cup,1

thermometer, 1 stirrer coupling, 1 dripping vessel, 1 holder.


2.

Bahan bakar solar.

3.

Aditif, menggunakan Diesel Fuel Testment dan Injector Cleaner with antigel
atau cold flow improver, FL. oz ( 236 ml ) ; atau aditif lainnya.

4.

Gas LPG

Gambar 3.1 Alat Uji Flash and Fire Point

TERMOMETER
PENGADUK

GAS ELPIJI

SHUTTER
PEMATIK
KATUP

CAWAN
SUMBER
TEGANGAN

KONDUKTOR

3.3.2 Gambar Skematik

27

Gambar 3.2 Skematik praktikum

3.3.2.3 Langkah Kerja :


1. Sebelum melakukan percobaan, semua komponen peralatan ada dalam keadaan bersih
( cawan, stirrer ).
2. Bahan Bakar yang akan diuji dimasukan kedalam cawan atau cup sesuai dengan yang ada
pada ukuran cawan atau cup. Tutup dari cup atau cawan tidak boleh basah.
3. Cawan diletakan pada alat, kemudian dipasang tutupnya. Stirrer dihubungkan ke motor
pengaduk, thermometer harus terpasang dengan baik.
4. Setelah alat alat terpasang dengan baik lalu scalar stirrer di pasang.
5. Nyala api pemandu ( pilot flame ) dinyalakan dari aliran bahan bakar gas dengan panjang
nyala kurang lebih 4 mm dan disiapkan di mulut penutup celah( shutter ).
6. Nyalakan pemanas penutup sehingga suhu bahan bakar naik tidak lebih dari 5 0 C / menit (
prediksi dulu karateristik bahan bakar ).
7. Operasikan alat penutup celah sehingga api api pemandu turun atau masuk ke dalam
cawan. Dan biarkan kurang lebih 1 detik, setelah itu kembalikan shutter pada posisi
semula. Cara mengoperasikan shutter adalah dengan memuntir knop hitam searah jarum
jam kurang lebih 150.
8. Apabila saat api pemandu masuk kedalam uap bahan bakar tersulut maka suhu yang
terbaca pada thermometer adalah flash point bahan bakar uji.
9. Prosedur no 7 di atas dilakukan lagi untuk setiap kenaikan suhu 4 0 C/ menit hingga titik
nyala tercapai.
10. Apabila flash point yang tercapai pada prosedur nomor 7 diatas dilanjutkan hingga fire
point( suhu pada mana uap bahan bakar akar terbakar atau nyala secara tetap ).
11.Hentikan pemanasan ( heater dimatikan ) dan prosedur no 7 di lakukan lagi untuk
penambahan aditif, hingga tercatat kembali fire and flash point.
12. Pengujian dilakukan berkali - kali minimal 3 kali untuk satu bahan bakar.
13. Pengujian selesai padamkan nyala api pemandu, bersihkan semua alat hingga benar
benar kering.

28

29

3.4 Hasil dan Pembahasan


3.4.1 Hasil Praktikum
Dari pengujian diatas didapatkan hasil sebagai berikut :
Campuran Bahan Bakar
Temperatur 0 C
Solar (ml)
Aditif (ml)
Flash Point
Fire Point
66
63.5
77
66
4
60
75
66
12
58
71
Tabel 3.1 Hasil percobaan Flash dan Fire point
Tugas :
1. Buat grafik hubungan jumlah zat aditif dan temperatur untuk Flash Point dan Fire Point.
2. Berikan penjelasan / analisis hasil dari pengujian.
3.4.2 Pembahasan
Dari data diatas dapat diplotkan suatu grafik hubungan antara temperatur tercapainya
flash dan fire point, yakni:

90
80
70
60

T (C)
temperatur

50

flash point

40

fire point

30
20
10
0
0

Aditif (ml)
4

12

Gambar 3.3 Grafik hubungan Zat Aditif dengan Flash dan Fire Point

Secara teoritis penambahan Zat aditif dapat mempercepat temperatur Flash & Fire
Point bahan bakar (solar), hal ini di karenakan pada zat aditif mempunyai susunan rantai
30

carbon yang panjang, sehingga dengan penambahan zat aditif pada bahan bakar, maka bahan
bakar tersebut akan lebih mudah untuk terbakar.
Dari grafik dapat dilihat hubungan antara temperatur dengan zat aditif dimana dengan
penambahan zat aditif maka temperatur untuk Flash Point dan Fire Point akan menurun , dari
grafik juga dapat dilihat bahwa temperatur untuk terjadinya Fire Point lebih tinggi
dibandingkan dengan temperatur untuk terjadinya Flash Point untuk penambahan zat aditif
dan bahan bakar yang sama. Sehingga dapat disimpulkan penambahan zat aditif dapat
mempercepat terjadinya flash dan fire point.

31

BAB IV
IMPACT JET
4.1 Teori Penunjang
Impact jet merupakan suatu percobaan untuk menentukan gaya-gaya yang
dihasilkan oleh sebuah jet air diatas permukaan suatu plat. Jet cairan menumbuk sebuah
plat atau pembelok maka akan mengalami perubahan kecepatan yang sebanding dengan
perubahan momentum dimana merupakan penerapan dari Hukum Newton II mengenai
gerakan.
Pada percobaan ini dapat digunakan bentuk bidang tumbuk yaitu plat. Gaya yang
bekerja pada sebuah mesin impact jet dapat berupa gaya normal dan gaya reaksi.
Penentuan besar gaya tersebut dan perhitungan lainnya dapat dicari melalui persamaan
berikut :

b. Kecepatan dari Jet

Luasan Jet :
A1 dengan diameter 5 mm adalah :

d2
4

.( 4.1 )
2

(0,005)

= 1,9634 10-5 m2
A2 dengan diameter 8 mm adalah :

d2
4

( 4.2 )

(0,008)

= 5,0265 10-5 m2

32

Kecepatan dari Jet untuk A1 adalah :


V1 = Q/A1 ..................................................................................... (4.3 )

Kecepatan dari Jet Untuk A2 adalah :


V2 = Q/A2....................................................................................( 4.4 )
c. Gaya (Newton)
Bidang tumbukan datar :
Dengan perhitungan, F = 2AV2

( Newton )

Untuk Nozel dengan diameter 5 mm, maka :


F = 2AV12( Newton )
= k V12..................................................................................................( 4.5 )

Untuk Nozel dengan diameter 8 mm, maka :


F = 2AV22( Newton )
= k V22................................................................................................( 4.6 )

dimana :
A = luas penampang melintang dari Jet (m2)
F = gaya normal (Newton)
V = kecepatan Jet (m/s)
= kerapatan massa Jet Air (kg/m3)
4.2 Tujuan Praktikum
1.

Mengetahui gaya yang dihasilkan oleh sebuah jet air yang menumbuk permukaan
sebuah plat atau pembelok yang merupakan laju perubahan momentum.

2.

Menambah pengetahuan cara kerja alat dan pengoperasian alat uji.


4.3 Prosedur Praktikum
4.3.1

Alat-Alat Praktikum :
1. Impact of Jet dengan ukuran :
Panjang

= 225 mm

Massa = 3 kg

Lebar

= 160 mm

Tinggi = 450 mm
33

2. Nozel dengan ukuran 5 mm dan 8 mm


Vane type :

Plat

Skema Percobaan :

Gambar 4.1 Skematik Alat Percobaan Impect Jet

Keterangan :
1. Beban pembalans berupa butiran-butiran timah
2. Bidang tumbukan yang dapat diganti-ganti (dalam hal ini datar)
3. Nozzel diameter 5 mm
4. Bak penampung air yang jatuh dari nozzle
5. Tabung kaca yang berisi sekala untuk membaca jumlah air yang keluar dari
nozzle yang ditampung di bak penampung ( liter )
6. Bak sumber air
7. Tekanan inlet ( bar )
8. Pompa
9. Tekanan Outlet ( bar )
10. Tabung kaca
11. Tiang penyeimbang antara semperotan air dengan beban pembalans
12. Katup berupa keran

34

Gambar 4.2 Bidang tumbukan datar

Gambar 4.3 Nozzel dengan diameter 5 8 mm


4.3.2 Langkah Kerja :
1. Susunlah peralatan dengan nozel jet 5 mm dan plat datar yang telah
dilengkapi talam yang beisi massa yang telah ditentukan. Jarak antara
nozel dengan permukaan bidang tumbuk diatur sedemikian rupa pada
posisi pengambilan data.
2. Hidupkan pompa.
3. Bukalah

katup

pengontrol

aliran

sehingga

diperoleh

kondisi

kesetimbangan antara gaya aksi jet air dengan gaya reaksi massa
pemberat diatas talam.

29

4. Perhatikan bentuk dari jet air yang dibelokkan diatas permukaan bidang
tumbuk
5. Catat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai volume 10 liter.
6. Kurangi massa diatas talam, atur kembali katup pengontrol aliran,
lakukan kembali kegiatan No.4 sampai No.5.
7. Ulangi kegiatan No.6 sebanyak 4 kali percobaan.
8. Tutuplah katup pengontrol, matikan pompa.
4.4 Hasil dan Pembahasan
4.4.1 Hasil Praktikum

Untuk nozel dengan diameter 5 mm pada plat datar, data-data yang diperoleh
dari hasil percobaan di laboratorium dapat dilihat dari tabel berikut

Tabel 4.1 Data percobaan nozzle diameter 5 mm datar


No.

1
2
3
4
5

Massa Pembalance (gram)

Waktu untuk 10 liter (s)

20,29

65
61
60
58
55

30,19
35,59
50,48
55,88

Tekanan (Bar)
Inlet
Outlet
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

4.4.2 Pembahasan
a. Menentukan kecepatan dari jet (m/s)
Untuk menentukan kecepatan jet yaitu dengan cara mengalikan besar aliran air
tiap menit dengan nilai tertentu.

Untuk Luasan Jet :


A1 dengan diameter 5 mm adalah :

A1

.d 2
4
3,14 x(0,005) 2
4

= 1,963 10-5 m2

Kapasitas Aliran dan Kecepatan Dari Jet


Untuk Nozzle 5 mm - Datar
30

Kapasitas Aliran
Q1

= 10 lt / t1

= 10 / 65
= 0,153 lt/s
5

m3

= 15,3 x10
Q2

= 10 lt / t2
= 10 /61
= 0,163 lt/s
5

m3

= 16,3 x10

Q3
= 10 lt / t3
= 10 / 60
= 0,167 lt/s
5

m3

= 16,7x10

Q4 = 10 lt / t4
= 10 / 58
= 0,172 lt/s
5

m3

= 17,2 x10

Q5 = 10 lt / t5
= 10 / 55
= 0,182 lt/s
5

18,2x10

m3

31

Kecepatan dari Jet untuk A1 adalah :

v1

Q1
A1
5

15,3 x 10
5
1,963 x 10

m
= 7,79

Q2
A1

v2

16,3 x 105

1,963 x 105

m
= 8,30

Q3
A1

v3

16,7 x 10

5
1,963 x 10

m
= 8,50

Q4
v4 = A 1
5

17,2 x 10
5
1,963 x 10

m
= 8,76

s
32

Q5

V5 = A 1
5

18,2 x 10
5
1,963 x 10

m
= 9,27

b. Menentukan Gaya (Newton)


Sedangkan untuk menghitung gaya yang dihasilkan oleh jet air dapat dihitung
dengan perumusan berikut ini : Dengan perhitungan, F = 2 AV2 ( Newton )

Untuk Nozel dengan diameter 5 mm - Datar, maka :


F = 2AV2

( Newton )

k = 2A
Asumsi : = 1000 kg/m3

k 2 1000 kg

m3

1.963 10 5 m 2

Maka akan didapat k = 0,04


Jadi, F1 = k V12
= 0,04V12 = 0,04x (7,79)2 = 2,42 N
F2 = k V22
= 0,04V22 = 0,04x (8,30)2 = 2,75 N
F3 = k V32
= 0,04V32 = 0,04x (8,50)2 = 2,89 N
F4 = k V42
= 0,04V42 = 0,04x (8,76)2 = 3,06 N
F5 = k V52
= 0,04V52 = 0,04x (9,27)2 = 3,43 N
Dengan menggunakan persamaan-persamaan diatas, maka nilai kecepatan jet dan
besar gaya yang ditimbulkan dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 4.2 Hasil perhitungan Diameter Nozel 5 mm - Datar


Kapasitas

Velocity
33

Force

aliran (Q)
No

m

s

m3

sekon

(Newton)

7.79

2.42

8.30

2.75

8.50

2.89

8.76

3.06

9.27

3.43

15,3x10

16,3 x10

16,7 x10

17,2 x10

18,2 x10

Grafik & Analisis

GRAFIK
F (N)

PERBANDINGAN GAYA DENGAN KECEPATAN

4
3.43

3.5
3

2.75

2.89

3.06

2.42
2.5
2
1.5
1
0.5
0
7.79

8.3000000000000007

8.5

8.76

V9.27
(m/s)

Grafik 4.1 Grafik Hubungan Velocity -Force Untuk diameter 5mm Datar

Analisis Grafik :
Dari gambar 4.1 diatas dapat dianalisis hubungan kecepatan jet dengan gaya jet
adalah berbanding lurus dengan semakin tinggi kecepatan maka akan menghasilkan
gaya yang makin besar begitu pula dengan gaya yang besar akan menghasilkan
kecepatan yang besar.

34

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Untuk praktikum defleksi batang :
Tabel 5.1 data hasil praktikum defleksi batang.
P

teoritis

percobaan

(N)

(mm)

(mm)

(N/mm2)

(mm4)

(mm)

(mm)

63.62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62
63,62

0.246
0.27
0.3
0.289
0.296
0.36
0.33
0.402
0.49
0.37
0.467
0.585

0.56
0.52
0.44
1.08
0.98
0.84
1.67
1.60
1.51
2.60
2.30
2.05

2.3

4.6

6.9
9.2

300
250
200
300
250
200
300
250
200
300
250
200

600
600
600
600
600
600
600
600
600
600
600
600

1.97x10
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106
1.97x106

Jika dilihat dari pembahasan diatas terlihat bahwa terjadi perbedaan antara Defleksi
secara teoritis dengan defleksi hasil percobaan.Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :

Alat Ukur yang tidak dikalibrasi atau kurangnya kalibrasi.

35

Batang penumpu, karena mengalami deformasi (perubahan bentuk) oleh beban yang

diberikan padanya.
Posisi Pengukuran, karena garis pengukuran tidak berimpit atau sejajar dengan garis

dimensi objek ukur.


Lingkungan, karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk melakukan

pengukuran dapat mengakibatkan penyimpangan yang serius.


Manusia, karena bila pengukuran dilakukan oleh orang yang berbeda, belum tentu
hasil pengukurannya akan sama (identik).

Lalu dari praktikum perpindahan panas konduksi linier didapat data sebagai
berikut:
Dari praktikum diatas didapat perbandingan hasil konduktivitas
thermal antara hasil perhitungan dengan data percobaan dan data
dalam

tabel

perbandingan

pada

landasan

konduktivitas

teori,
termal

tabel

berikut

antara

merupakan

percobaan

dan

konduktivitas seharusnya.
Tabel

5.2

tabel

perbandingan

nilai

konduktivitas

termal

hasil

percobaan dan teoritis


NO

MATERIAL

NILAI KONDUKTIVITAS

NILAI KONDUKTIVITAS
TERMAL PERCOBAAN (

TERMAL TEORI (

watt
.K
m

watt
.K
m

1
2
3

Brass (Daya30 Watt)


109
485.65
Brass (Daya 50 Watt)
109
338.58
Steel (Daya 30 Watt)
50
266.97
Diperoleh nilai konduktivitas termal pada data hasil percobaan

jauh lebih besar daripada data teoritis yang seharsnya, terjadinya


penyimpangan yang terlalu besar ini dapat disebabkan oleh, antara
lain :

Kesalahan prosedur ketika pengukuran.


Adanya pengaruh lingkungan ketika melakukan percobaan,
misalnya hidupnya AC di dalam ruangan pada saat praktikum.

Praktikum flash point dan fire point didapat data dan kesimpulan sebagai berikut:
Dari pengujian diatas didapatkan hasil sebagai berikut :
Temperatur 0 C
Flash Point
Fire Point
63.5
77

Campuran Bahan Bakar


Solar (ml)
Aditif (ml)
66
36

66
66

4
60
12
58
Tabel 5.3 Hasil percobaan Flash dan Fire point

75
71

90
80
70
60
50

T (C)

temperatur

flash point

40

fire point

30
20
10
0
0

Aditif (ml)
4

12

Grafik 5.1 Grafik hubungan Zat Aditif dengan Flash dan Fire Point
Kesimpulan penambahan Zat aditif dapat mempercepat temperatur Flash & Fire
Point bahan bakar (solar), hal ini di karenakan pada zat aditif mempunyai susunan rantai
karbon yang panjang, sehingga dengan penambahan zat aditif pada bahan bakar, maka
bahan bakar tersebut akan lebih mudah untuk terbakar. Dimana dengan penambahan zat
aditif maka temperatur untuk Flash Point dan Fire Point akan menurun seiring dengan
penambahan zat aditif
Untuk praktikum impact jet didapat data dan kesimpulan sebagai berikut:

Tabel 5.4 Hasil perhitungan Diameter Nozel 5 mm - Datar


Flow (Q)

Velocity
Force

No

m3

sekon

m

s

37

(Newton)

7.79

2.42

8.30

2.75

8.50

2.89

8.76

3.06

9.27

3.43

15,3x10

16,3 x10

16,7 x10

17,2 x10

18,2 x10

Grafik & Analisis

GRAFIK
F (N)

PERBANDINGAN GAYA DENGAN KECEPATAN

4
3.43

3.5
3

2.75

2.89

3.06

2.42
2.5
2
1.5
1
0.5
0
7.79

8.3000000000000007

8.5

8.76

V9.27
(m/s)

Gambar 5.2 Grafik Hubungan Velocity -Force Untuk diameter 5mm Datar
Kesimpulannya hubungan kecepatan jet dengan gaya jet adalah berbanding lurus
dengan semakin tinggi kecepatan maka akan menghasilkan gaya yang makin besar
begitu pula dengan gaya yang besar akan menghasilkan kecepatan yang besar.
5.2 Saran
Dalam praktikum fenomena dasar, sebaiknya dilakukan dengan prosedur yang
lebih baik lagi, dengan perawatan dan kalibrasi alat-alat uji maupun alat ukur akan
mengakuratkan data-data yang didapat dalam praktikum ini.dan juga alat yang di
gunakan dalam keadaan layak pakai tidak kotor ataupun banyak debunya.
38

Selain itu dalam pelaksanaan praktikum fenomena dasar ini, Alat perpindahan
panas yang baru harus di betulkan kembali agar normal untuk di gunakan buat
praktikum.karena dengan kondisi alat yang error bisa menghambat jalannya praktikum
fenomena dasar tersebut.

39

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Petunjuk Praktikum Mesin-mesin Fluida. Teknik Mesin UNUD.


Anonim. Teknik Pembentukan. Jurusan Teknik Mesin ITS.
Diester, George E. 1981. Mechanical Metallurgy Second Edition. Mc Graw Hill
Internationa Book Company, Tokyo.
Djaprie, Sriatie. 1985. Teknologi Mekanik. Erlangga, Jakarta.
Djaprie, Sriatie. 1991. Teknologi Mekanik. Erlangga, Jakarta.
Ghurri, Ainul. 200. Kegiatan Laboratorium Lab. Motor Bakar. Teknik Mesin UNUD.
Soemono. 1985. Ilmu Gaya Bangunan-bangunan Statis Tak Tentu. Djambatan,
Bandung.
W.F. , Hosfard dan Caddel R.M. . 1983. Metal Forming Mechanics dan Metallurgy.
Prentice Hall-International, Inc.

40

Anda mungkin juga menyukai