Anda di halaman 1dari 14

BASIC AND ADVANCES IN THE MANAGEMENT OF ACUT RESPIRATORY DISTRESS

SYNDROME (ARDS)

Emmy Hermiyanti Pranggono


Subbagian Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Dr. Hasan Sadikin/FK Unpad Bandung

ARDS adalah suatu keadaan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia berat, komplains paru
yang buruk dan infitrat difus pada pemeriksaan radiology; dimana odem paru karena
dekompensasio

kordis

dapat

disingkirkan

(walaupun

pada

kenyataannya

sangat

sulit

menyingkirkan keadaan ini). ARDS dikenal sebagai manifestasi atau bagian dari suatu inflamasi
sistemik seperti SIRS. Karena definisi ARDS sesungguhnya tidak spesifik. Adanya infiltrate yang
bilateral pada paru dapat pula disebabkan oleh berbagai hal seperti pneumonia, kontusio paru,
trauma dada, aspirasi , kelainan autoimun, inhalasi, perdarahan intrapulmonum, dan kondisi non
pulmonum. Penyebab yang bermacam-macam ini sama seperti terapinya yang juga beraneka
ragam. Kelainan paru yang ada dapat merupakan gambaran klinik yang paling menonjol, tetapi
dapat juga secara klinis lebih jelas disfungsi organ diluar paru. Saat ini disepakati bahwa ARDS
merupakan keadaan akhir yang paling parah dari spektrum Acut Lung Injury sebagai suatu
dampak dari pertukaran gas yang buruk. Dalam hal ini perlu dicari penyakit yang mendasarinya baik
langsung maupun tak langsung.
Secara garis besar pengobatan ditujukan pada 2 hal yaitu targeted treatment (bila memungkinkan)
dan kedua adalah nontargeted treatment (biasanya memungkinkan). Baru-baru ini dikemukakan
bahwa pengobatan yang terbaik bagi penderita ARDS adalah terapi suportif diantaranya meliputi
antikoagulan karena sampai saat ini tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan permiabilitas
membrane kapiler alveolar yang rusak.

Mediator dari proses inflamasi akut

Banyak sekali mediator yang telah dapat diidentifikasi seperti produk bakteri: endotoksin bakteri
gram-negatif, dinding sel bakteri gram-positif, asam lipoteichoic, dan peptidoglikans. Mediator ini
berinteraksi dengan

toll-like receptors (TLR) yang berbeda pada permukaan sel. Endotoksin

menempel pada TLR4, produk bakteri gram-positif pada TLR2. Oksigen reaktif yang akan
mengaktifasi faktor transkripsi dan kinase intraseluler sehinga meningkatkan ekspresi gen sitokin
proinflamatori dan sitokinnya. Termasuk didalamnya grup protein 1 dengan mobilitas tinggi dan
juga sitokin yang beraksi lambat ( muncul sekitar 12 jam kemudian setelah paparan bakteri) yang
akan menyebabkan inflamasi pada paru, aktifasi netrofil, makrofag, epitel, endotel, dan platelet
serta komplemen.

Aktifasi dari nuclear factor-kappa B (NF-kB) dan cyclic adenosine monophosphate merupakan
respon dari salah satu elemen protein pengikat (binding protein) akibat interaksinya dengan TLR. .
Aktifasi dari NF-kB ini merupakan area yang sedang diteliti dan banyak molekul yang sedang
dikembangkan untuk mengurangi translokasi NF-kB kedalam inti sel sehingga dapat mencegah
pelepasan mediator sitokin. . Metode ini diharapkan juga dapat membantu penderita sakit kronis,
seperti rheumatoid arthritis.

Beberapa tahun terakhir ini ada ahli yang membagi ARDS menjadi bentuk pulmonum dan extra
pulmonum ( yang dapat dilihat adanya kejadian diluar paru ). Walaupun kedua bentuk ini berbeda
secara morfologi dan radiologi, serta berbeda dalam hal pengaturan ventilator, tetapi tetap saja
tidak jelas apakah pembagian ini akan dapat memperbaiki hasil akhir dari suatu ARDS.

Etiopatogenesis

Sebagian dari etiologi ARDS tidak diketahui dengan jelas . Walaupun saat ini beberapa teori telah
dikemukakan oleh para ahli tetapi mekanisme yang sesungguhnya masih belum jelas. Secara
umum ada 2 mekanisme yang mendasari kejadian ARDS yaitu stimuli langsung seperti inhalasi zat
beracun, aspirasi dari cairan lambung, dan trauma toraks. tenggelam, dan infeksi paru difus seperti

Pneumonitis Carinii. Mekanisme yang kedua ini lebih sering dijumpai, tetapi meknismenya justru
lebih sedikit diketahui seperti pada adanya kerusakan yang sistemik seperti pada sepsis, trauma,
luka bakar, transfusi beragam, pemakaian cardiopulmonary bypass

yang berkepanjangan,

pankreatitis dan peritonitis. Semua keadaan ini akan menyebabkan pelepasan berbagai mediator
seperti TNF, NO, dan PMN yang akan merusak parenkim paru.

Baru-baru ini suatu penelitian menggaris bawahi bahwa penderita yang sering kontak dengan
tembakau dan alcohol mendapat kemudahan menderita

ARDS. Penyakit dasar kelainan paru

seperti emfisema, asma, bronchitis kronis dapat bertingak baik sebagai penyebab maupun sebagai
prediktor negatif terhadap morbiditas dan mortalitas ARDS. Terdapat beberapa perbedaan antara
Acute Lung Injury da n ARDS seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

Acute Lung Injury

Onset

ARDS

akut

idem

PaO2/Fl O2

< 300

< 200

Radiologi

infitrat bilateral

idem

PAWP

< 19

idem

Faktor Predisposisi ARDS

Hipertensi endokranial, produk hematology, sepsis akibat kateter vena/arteri dan obat, pneumonia,
kontusio paru, pankreatitis, translokasi endotoksis, urosepsis, emboli dari cairan amnion atau
fraktur tulang panjang merupakan faktor predidposisi untuk terjadinya ARDS.

Patofisiologi

Seperti telah banyak diketahui, secara patologi anatomi kejadian ARDS dibagi dalam 3 tahap yang
berlansung dalam beberapa minggu sampai bulan.

Tahap Exudatif : ditandai dengan pembentukan cairan yang berlebihan, protein serta sel
inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk kedalam alveoli

Tahap Fibroproliferatif : pada tahap ini akibat dari respon terhadap stimuli yang merugikan
maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa perubahan struktur paru sehingga secara
mikroskopik jaringan paru tampak seperti jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas pada
alveolar akan sangat berkurang sehingga tampilan penderita secara klinis seperti pneumoni.

Tahap Resolusi dan pemulihan : Pada beberapa penderita yang dapat melampaui fase
akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Udem paru ditanggulangi dengan transport aktif
Na, transport pasif Cl dan transport H2O melalui aquaporins pada sel tipe I , sementara protein
yang tidak larut dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel
makrofag. Akhirnya re epitelialisasi terjadi pada sel tipe II dari pneumosit.yang berproliferasi pada
dasar membarana basalis. Proses ini distimulasi oleh growth factors seperti KGF. Neutrofil dibuang
melalui proses apoptosis.

Sedangkan beberapa penderita yang lain tetap dalam tahap fibrosis ( hal ini terjadi secara dini
yaitu pada hari ke 5-6 setelah diagnosa ARDS). Ruang alveolar akan dipenuhi oleh sel mesenkim
dengan produk2nya serta pembentukan pembuluh darah baru . Pembentukan jaringan fibrosis

berkaitan dengan prognosa yang lebih buruk, apalagi bila muncul prokolagen III secara dini pada
cairan broncho alveolar lavage ( BAL) ; maka mortalitas akan meningkat.

Gambar dibawah ini memperlihatkan gambaran alveolus yang normal dan alveolus yang mengalami
kerusakan akibat ARDS.

Gambar .1: Pathogenesis of alveolar damage in ARDS

Gambaran klinik

Udem paru adalah gambaran karakteristik ALI pada tahap awal, sebagai akibat dari adanya proses
inflamasi yang terjadi pada mikrosirkulasi paru yang menyebabkan peningkatan permiabilitas
alveolar-capillary barrier. Dampak dari masuknya cairan kedalam alveolus adalah atelektasis,
komplain paru yang buruk, abnormalitas pertukaran gas dan hipertensi pulmonal. Proses inflamasi
ini akan diikuti dengan perbaikan berupa pembentukan jaringan fibrosis yang akan merusak
arsitektur paru2 yang normal sehingga menjadi emfisematous, juga terjadi obliterasi mikravaskular
dan peningkatan jumlah dead space.

Derajat dari kerusakan epitel alveolar merupakan prediktor yang sangat penting untuk menentukan
hasil akhir serta mempunyai banyak konsekuens yaitu derajat odem, berkurangnya surfaktans.
Keadaan ini merupakan predisposis untuk terjadinya infeksi bakteri sehingga timbul pneumonia
yang dapat mengarah pada syok sepsis dan timbulnya jaringan fibrosis. Yang banyak berperan
pada tahap

awal ini adalah Neutrofil- PMN yang dijumpai pada alveoli maupun cairan BAL.

Walaupun demikian keadaan ini dapat juga terjadi pada penderita yang netropenik dimana
pemberian GM-CSF tidak memperbaiki keadaaan. Pada ARDS reaksi inflamasi diawali dengan
adanya kerjasama yang kompleks dari jaringan dan sitokin diantaranya IL-8, IL-, IL-10 dan MIF
serta beberapa mediator lokal yang dihasilkan oleh berbagai macam sel. Reaksi lain melibatkan
sistem koagulasi dan surfaktan. Keadaan merupakan celah bagi upaya penangulangan ARDS,
dengan cara memberikan antikoagulan dan surfaktan.

Gambar dibawah ini memperlihatkan proses selajutnya dari ARDS.

Gamb.2 : ARDS fase exudatif, ditandai dengan hilangnnya eptel alveolus , pembentukan hialin
Dan meregangnya membrana basalis.

Gambar

dibawah

ini

menujukan

pembentukan jaringan ikat

gambaran

PA

saat

fase

resolusi,

dengan

Gambaran Foto Toraks pada penderita ARDS dengan infiltrat bilateral

Strategi Penanganan dan Terapi


Penatalaksanaan
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi, penanganan ARDS
difokuskan
a)

pada
mencegah

b)

3
lesi

mengurangi

hal
paru
cairan

penting
secara
didalam

yaitu:
iatrogenik
paru

c) mempertahankan oksigenasi jaringan

Terapi Umum

Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara misalnya drainase pus, antibiotika, fiksasi
bila ada fraktur tulang panjang

Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, oleh karena penderita akan memerlukan
bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis minimal yang masih memberikan
efek sedasi yang adekuat.

Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan memberikan cairan, obat2


vasodilator/konstriktor, inotropik, atau diuretikum. Keadaan ini dapat dicapai dengan cara
meningkatkan curah jantung

bila saturasi darah vena rendah, atau dengan dengan

menurunkan curah jantung pada keadaan high out put state, sehingga pulmonary transit time
akan memanjang. Strategi harus dilaksanakan dengan hati2 sehingga tidak mengganggu
sirkulasi secara keseluruhan.

Terapi

Ventilasi

Respirasi

Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakheal merupakan terapi yang mendasar pada
penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/min atau terjadi peningkatan kebutuhan

FiO2 > 60% (dengan menggunakan masker wajah) untuk mempertahankan PO2 sekitar
70 mmHg atau lebih dalam beberapa jam

Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai dengan PEEP
untuk membantu mengembalikan cairan yang membanjiri alveolus dan memperbaiki
atelektasis sehingga memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q).

Tergantung tingkat keparahannya, maka penderita dapat diberi non invasive ventilation
seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Walaupun demikian metode ini
tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan kesadaran

atau dijumpai

adanya peningkatan kerja otot pernafasan disertai peningkatan laju nafas dan PCO2 darah
arteri.

Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 to 15 ml/kg dapat mengakibatkan
kerusakan bagian paru yang masih normal sehinga terjadi robekan alveolaus, deplesi
surfaktan dan

lesi alveolar-capillary interface. Untuk menghindari hal ini maka

dipergunakan volume tidal 6-7ml/kg dengan tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O, plateu
inspiratory pressure yaitu < 30cmH2O dan pemberian positive end expiratory pressure
(PEEP) antara 8 sampai 14 cm H2O untuk mencegah atelektase dan kolaps dari alveolus.

Secara luas dianut batasan pemakaian volume tidal yang rendah yaitu 6-7 ml/kgBB.
Sedangkan untuk penggunaan PEEPdan FiO2 tidak ada ketentuan mengenai batas
maksimal. Secara umum dapat diterima bahwa PEEP yang lebih tinggi boleh dipakai supaya
tercapai SaO2 yang diinginkan yaitu

(> 90-95%) dengan FiO2 < 0.60. Akan tetapi

penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa PEEP yang tinggi tidak memberikan hasil
akhir yang menguntungkan.

Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure Controlle

Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai


panduan terapi. Walaupun demikian hasillnya tidak

parameter keberhasilan dan


harus mencapai nilai normal.

Contohnya adalah kadar CO2 diperboleh kan sedilit melebihi 50 cmH20 atau disebut
sebagai permissive hypercapnia; dan ternyata masih dapat memberikan hasil akhir yang
lebih baik. Demikian juga saturasi O2 cukup bila mencapai 92%.

Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan hidrostatik


didalam kapiler paru maupun cairan paru (lung water). Akan tetapi harus diingat bahwa
dehidrasi yang berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal
ginjal.

Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah sehingga
tidak terjadi atelektasis. Walaupun demikian tehnik ini tidak mempengaruhi angka
mortalitas. Walaupun demikian pada subgrup pasien yang diseleksi berdasarkan tingkat
keparahan penyakit menunjukkan bahwa mortalitas dalam sepuluh hari pertama pada
kelompok dengan prone position lebih rendah dibandingkankan dengan kelompok yang
berbaring seperti biasa .

Inhalasi

nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di paru

sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonum dan oksigenasi arteri. Tidak
terdapat pengaruh terhadap tekanan darah sistemik, akan tetapi efek samping subproduk
dari NO berupa peroksinitrit dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan paru.Oleh
karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana terjadi
hipoksemia akut, gagal jantung kanan serta refrakter terhadap tindakan suportif yang
biasa.

Targeted

Drug

Treatment

Terapi ini difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi jumlah cairan dalam paru.
Sayangnya tidak ada bukti objetif akan keberhasilan metode ini.

Surfactan sintetik secara aerosol (Exosurf) ternyata bermanfaat untuk ARDS pada neonatus,
tetapi tidak pada ARDS . Pada suatu penelitian dengan cara pemberian langsung pada
traktus trakeobronkial ternyata efektif.

Kortikosteroid dosis tinggi dimaksudkan unutk mengurangi reaksi inflamasi pada jaringan
paru , tapi sayangnya hasilnya tidak memuaskan, sehingga tidak direkomendasikan pada
ARDS terutama pada fase awal. Beberapa sumber menyarankan pemberian metil
prednisolon secara pulsed untuk mencegah fase fibrosis yang destruktif.

Oleh karena metabolit oksigen mempunyai peran yang penting pada patogenesis ARDS
melalui aktifasi neutrofil, maka pemberian antioksidan mungkin akan banyak banyak
manfaatnya sebagai terapi yang spesifikk pada ARDS

Pemberian N-acetylcysteine banyak memberikan harapan dan masih terus dilakukan


penelitian2

Ketoconazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh makrofag, tetapi masih
diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar

Diuretikum lebih ditujukan untuk meminimalkan atau mencegah kelebihan cairan, dan
hanya diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal terganggu, oleh karena itu cara paling baik
untuk mencegah kelebihan cairan adalah dengan mempertahankan pengeluaran cairan
yang adekuat.Dengan demikian penggunaan diuretikum tidak rutin, karena tidak sesuai
dengan patogenesis ARDS.

Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10gr%, tetapi mengingat
kemungkinan terjadinya TRALI maka tranfusi hanya diberikan bila ada oksigenasi jaringan
yang inadekuat.

Extracorporeal
Extracorporeal

membrane

Oxygenation
oxygenation

(ECMO) adalah

suatu sistem

prolonged

cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi baru lahir yang mengalami
gagal nafas akibat aspirasi mekonium, hernia diapragmatika dan infeksi virus yang berat.
Penggunaan EMCO untuk ARDS hasilnya masih controversial. Hasil yang baik diperoleh
pada penderita ARDS karena trauma pada stadium dini yaitu kurang dari 5 hari.

Proses penyapihan

Saat yang tepat untuk mulai menyapih adalah bila sudah didapatkan perbaikan yang menetap dari
fungsi respirasi ( berkurangnya kebutuhan O2 dan PEEP) , laju nafas, disertai dengan perbaikan
gambaran Foto toraks. Secara umum proses penyapihan dapat berlangsung dengan mudah pada
penderit tanpa kelainan paru primer. Kesulitan penyapihan terjadi bila infeksi belum teratasi, atau
ada infeksi baru, hiperhidrasi, bronkospasme, anemia, elektrolit imbalans, gagal jantung, serta
status nutrisi yang buruk. Dalam keadaan seperti ini maka penyapihan dilakukan secara bergantian
bergantian antara pemakaian dengan ventelator dengan mode yang paling minimal (CPAP,PS) dan
bernafas sendiri dengan T-valve yang dihubungkan ke tube endotrakeal, sehingga otot pernafasan
terlatih dan ppada akkhirnya penderita benar-benar terlepas dari bantuan ventilator. PEEP yang
rendah tetap dipertahankan selama proses penyapihan.

Prognosis

Prognosis tergantung dari penyebab, adanya disfungsi organ lain, usia dan penyakit kronik
penderita. Mortalitas ARDS mencapai 30%-40%, bila ditambah dengan MODS dari organ lain maka
angka kematian mencapai > 60%, Keadaan ini belum banyak perbaikan dalam 20 tahun terakhir ini.
Pada penderita yang sembuh, walaupun asimtomatik tetapi kelainan test fungsi paru masih dapat
ditemukan. Dalam penelitian lain selama 1 tahun pada penderita yang sembuh dari ARDS ternyata
beberapa penderita bahkan masih mempunyai gejala sisa fisik dan psikis secara bermakna akibat
fibrosis dan dapat berkembang menjadi menjadi penyakit paru obstruktif, sedangkan sebagian
lainnya fungsi parunya kembali normal dalam 6-12 bulan..

Anda mungkin juga menyukai