Anda di halaman 1dari 8

TB LATEN

A. EPIDEMILOGI
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi
droplet yang mengandung M. tuberculosis yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis paru dapat muncul dengan gejala yang bervariasi. Tuberkulosis adalah
penyakit infeksius dengan angka kematian tinggi di dunia. Tuberculosis menempati
peringkat 5 besar penyakit dengan angka kematian tinggi pada wanita dengan umur
15-44 tahun. Pada tahun 2014, 9.6 juta juta orang terjangkit penyakit tuberkulosis dan
1.5 juta orang meninggal karenanya. Sebanyak 95% kasus TB ditemukan di negara
miskin hingga negara berkembang (WHO, 2015).
Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional tahun 2001, TB menempati ranking
nomor 3 sebagai penyebab kematian tertingi di Indonesia. Prevalensi TBC secara
pasti belum diketahui, asumsi prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 130/100000
penduduk. Rendahnya angka kesembuhan dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor
penderita, petugas, ketersediaan obat, lingkungan, PMO, serta virulensi dan jumlah
kuman (Widoyono,2011).
Asia Tenggara dan Pasifik Barat menyumbang lebih dari setengah masalah TB
di dunia dan setiap tahun jutaan orang terinfeksi kuman TB dan ribuan orang
meninggal. Penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) selama dua dekade
terakhir dan munculnya TB dengan resistensi ganda obat telah menambah tantangan
dalam pengendalian TB secara efektif. Pada tahun 2003 prevalensi kasus TB di Asia
Tenggara dan Pasifik Barat diperkirakan 9,7 juta (291 per 100.000 orang) dimana 5
juta orang adalah kasus baru (149 per 100.000 orang). Diperkirakan angka kematian
akibat TB adalah 8000 orang setiap hari dan 2-3 juta orang setiap tahun. Jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Di Indonesia masih menempati
urutan ketiga di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina (WHO, 2005).
Menurut WHO pada tahun 2014 terdapat 2 3 milyar orang yang terinfeksi oleh
bakteri Mycrobacterium tuberkulosis, ini berarti bakteri M. tuberkulosis sudah ada di
dalam tubuh manusia namun belum menimbulkan gejala dan pada hampir 5-10%
akan berkembang menjadi penyakit yang menimbulkan gejala. Penyakit ini
memerlukan perhatian khusus karena penyebarannya yang mudah dan menyerang
sistem pernapasan . Sekitar 9-10 juta orang menderita TB dan sekitar 2,6 juta
penderita meninggal oleh penyakit TB ini (WHO, 2014).
Dengan jumlah 2-3 milyar orang terinfeksi penyakit TB, WHO memberikan
perhatian khusus agar permasalahan ini dapat di tangani dengan baik sehingga infeksi
TB laten ini tidak berkembang menjadi TB aktif yang di kuatirkan bila tidak di
tangani dengan baik akan membuat penyebaran TB menjadi sangat pesat. Target
WHO pada tahun 2050 adalah tingkat kematian, penderitaan dan penyebaran TB
berubah menjadi nol atau penurunan yang signifikan yaitu 1 kasus per 1 juta
penduduk pertahun (WHO, 2015).
Infeksi TB laten atau yang sering di sebut dengan fase tidur ini tidak dapat
ditularkan kepada individu yang lain namun pada saat daya tahan tubuh menjadi

lemah bakteri yang sedang dalam fase tidur ini akan menjadi fase bangun atau
aktif dan dapat menyebarkan bakteri M. tuberculosis 13. WHO memberikan strategi
untuk profilaksis TB latent diantara nya adalah isoniazid dan rifampisin, di Indonesia
sendiri isoniazid yang di konsumsi selama 6 bulan menjadi lini pertama dalam
pencegahan yang dikarenakan beberapa faktor (NCBI, 2010).
B. PATOFISIOLOGI PATOGENESIS AJA YA
C. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Uji Tuberkulin
Uji tuberculin merupakan pengukuran umunitas seluler delayed type
hypersensitivity (DTH) terhadap purified protein derivate (PPD) tuberculin yang
merupakan antigen berbagai mikrobakteria termasuk M tb, BCG tb, BCG M bovis
dan berbagai mikobakteria di lingkungan. Hal ini menyebabkan uji tuberculin rendah
spesifisitasnya di daerah yang vaksinasi BCG nya tinggi dan infeksi mikobakterium
selain M. tuberculosis . Pengukuran reaksi tuberculin pada manusia dilakukan dengan
mengukur diameter indurasi yang terjadi pada kulit 48-72 jam setelah penyuntikan
antigen. Uji tuberculin dilakukan dengan menyuntukkan intradermal 0,1 ml PPD 5
TU dengan teknik Mantoux. Selanjutnya pembacaan hasil uji tuberculin dilakukan
dalam 48-72 jam (WHO, 2015).
Hasil tes tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak
terinfeksi dengan basil TB. Selain itu dapat juga karena terjadi pada saat kurang dari
10 minggu sebelum imunologi seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi
hasil yang negatif maka tes tuberkulin dapat diulang 3 bulan setelah suntikan pertama.
Hasil tes tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai orang tersebut sedang
terinfeksi basil TB. Menurut guideline ACHA (The American College Helath
Association) menyebutkan jika hasil tes tuberkulin positif maka harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan foto thoraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto thoraks
normal dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika hasil foto thoraks terjadi
kelainan dan menunjukkan ke arah TB makan dimasukkan ke dalam TB paru aktif
(Kenyorini et al, 2006).
Reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap tuberkulin PPD juga
mengindikasikan adanya infeksi berbagai nontuberculosis mycobacteria atau
vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) hal ini merupakan penyebab positif palsu
pada tes kulit tuberkulin. Reaksi positif yang ditimbulkan oleh vaksinasi BCG dapat
beberapa tahun tetapi biasanya reaksi lebih lemah dan sering berdiameter kurang dari
10 mm (Kenyorini et al, 2006).
Hasil uji tuberkulin positif
Indurasi >5mm

Kelompok pasien
Pasien HIV
Kontak dengan

TB

aktif

yang

infeksius (BTA positif) dalam waktu

dekat
Pasien dengan gambaran foto toraks
fibrosis

disertai

riwayat

TB

Indurasi > 10 mm

Indurasi > 15 mm

sebelumnya
Pasien yang menjalani transplantasi

organ dan imunokompromais


Pasien dari negara endemik TB

dalam 5 tahun terakhir


Pengguna narkoba suntik
Individu atau pekerja di tempat

dengan kepadatan tinggi


Pekerja lab mikrobiologi
Pasien dengan resiko tinggi menjadi

TB aktf (DM, malnutrisi)


Anak < 5 tahun
Anak yang kontak dengan individu

beresiko TB
Individu dengan risiko rendah terinfeksi TB

Tabel 1. Interpretasi Uji Tuberkulin (NCBI, 2010).


Interferon Gamma Release Assays (IGRAs)
Pemeriksaan IGRA digunakan untuk menentukan ITBL dengan mengukur
respons imun terhadap protein TB dalam darah. Specimen dicampur dengan peptide
untuk menstimulasi antigen dati M.tuberculosis dibandingkan dengan control. Pada
orang yang terinfeksi TB sel darah putih akan mengenali antigen yang terstimulasi
sehingga mengeluarkan IFN gamma. Hasil IFGRA adalah bersasarkan jumlah IFN
gamma yang dikeluarkan (Suhail, 2011).
Interpretasi pada pemeriksaan IGRA menggunakan purified antigens
M.tuberculosis untuk menstimulasi limfosit darah perifer memproduksi IFN gamma.
Interpretasi hasil pemerisaan IGRA Quantiferon (QFT) berdasarkan jumlah IFN
gamma yang dikeluarkan menggunakan ELISA. Pada T-SPOT TB menghitung jumlah
sel yang mengeluarkan IFN gamma menggunakan ELISPOT (Suhail, 2011).
Keuntungan
Alat diagnosis ITLB

Keterbatasan
Darah harus diproses dalam 8-30 jam setelah

diambil
Uji spesifik terhadap M.tuberculosis reactive Belum banyak data tentang IGRA pada anak
t-cells

dibawah 5 tahun, pasien bekas TB, orang


yang pernah dilakukan pemeriksaan IGRA

Tidak dipengaruhi vaksin BCG


Lebih jarang dipengaruhi oleh infeksi non
tuberculosis mycobacterium (ntm)
Hanya membutuhkan 1x kunjungan
Tidak menyebabkan fenomena booster
Hasil interpretasi tidak dipengaruhi persepsi
petugas kesehatan
Hasil didapatkan dalam 24 jam

Tabel 2. Keuntungan dan Keterbatasan Pemeriksaan IGRAs (WHO, 2011).

Gambar 1. Alur Diagonisis ITBL


Dalam diagnosis ITBL beberapa hal khusus perlu diperhatikan untuk menentukan jenis
pemeriksaan, interpretasi hasil pemeriksaan dan pengobatan ITBL, meliputi (CDCP,
2013) :

1. Vaksinasi BCG pada Negara endemik TB


BCG akan menimbulkan reaksi silang terhadap uji tuberculin tetapi seiring jarak
reaksi ini akan hilang. Uji tuberculin yang diulang akan memperlama reaktivasi uji
tuberculin pada orang yang mendapat vaksinasi BCG sehingga interpretasi uji
tuberculin pada orang yang mendapat vaksinasi BCG harus mempertimbangkan
factor resiko infeksi TB. Pemeriksaan IGRA menggunakan antigen M.tuberculosis
spesifik sehingga tidak menimbulkan reaksi silang dengan BCG dan tidak
menimbulkan reaksi positif palsu pada pasien yang mendapat vaksinasi BCG.
2. Infeksi HIV

Setiap penderita HIV harus segera diperiksa ITBL baik dengan uji tuberculin
maupun IGRA. Hasil negatif tidak selalu ada resiko ITBL karena tergantung
kondisi imunitas pasien saat pemeriksaan dilakukan sehingga pemeriksaan uji
tuberculin maupun IGRA perlu dilakukan rutin setiap tahun bila hasil awal
negative. Pemeriksaan ulang juga perlu dilakukan setelah pasien mendapat ARV
bila hasil sebelumnya negative, karena kondisi imunitas pasien HIV akan membaik
setelah pemberian ARV sehingga respons imun terhadap TB juga membaik.
3. Fenomena Booster
Hasil pemeriksaan uji tuberculin dapat negatif pada individu yang terinfeksi karena
waktu infeksi sudah sangat lama, tetapi pemeriksaan uji tuberculin akan
menstimulasi reaksi terhadap uji tuberculin sehungga hasil pemeriksaan uji
tuberculin berikutnya akan positif yang disebut sebagai fenomena booster. Kondisi
seperti ini perlu digunakan metode 2 tahap, yaitu bila hasil uji tuberculin pertama
negatif, uji tuberculin harus diulang setelah 1-3 minggu. Jika hasil uji tuberculin
kedua positif maka interpretasi hasil uji tuberculin adalah positif atau ITBL dan
dilakukan tata laksana yang sesuai. Bila kedua hasil negative maka interpretasi uji
tuberculin adalah negative.
4. Kontak dengan pasien TB
Individu yang kontak dnegan pasien TB aktif yang menular (BTA positif) dengan
hasil pemeriksaan awal negative harus diulang pemeriksaan 8-10 minggu setelah
kontak terakhir. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi infeksi karena saat uji
sebelumnya belum terdeteksi. Pada anak <5 tahun dan individu imunokompromais
yang kontak dengan penderita TB yang menular, dengan hasil pemeriksaan IGRA
atau uji tuberculin negative harus dilakukan pemeriksaan foto toraks. Bila hasil
foto toraks normal maka beriksan obat untuk ITBL dan lakukan pemeriksaan ITBL
8-10 minggu setelah kontak. Jika hasil pemeriksaan kedua adalah positif maka
pengobatan ITBL dilanjutkan. Bila hasil pemeriksaan negative pengibatan dapat
dihentikan.
5. Kehamilan
Uji tubrkulin aman dan dapat digunakan untuk perempuan hamil, tetapi lakukan
hanya bila pasien memiliki resiko menderita ITBL atau ada kemungkinan ITBL
menjadi TB aktif. Bila hasil positif pasien harus menjalani pemeriksaan foto toraks
dengan pengaman (apron) dan pemeriksaan mikrobiologi lain untuk membuktikan
bukan TB aktif.

D. TERAPI
Beberapa pilihan pengobatan yang direkomendasikan untuk pengobatan ITBL yaitu
(Suhail, 2011) :
Isoniazid selama 6 bulan
Isoniazid selama 9 bulan
Isoniazid dan Rifapentine (RPT) sekali semingge selama 3 bulan
3-4 bulan Isoniazid dan Rifampisin
3-4 bulan Rifampisin
Evaluasi WHO , menunjukkan hasil pengobatan ITBL yang tidak berbeda antara INH
6 bulan atau 9 bulan, dibandingkan dnegan regimen RPT dan INH selama 3 bulan.
WHO tidak menetapkan regimen yang digunakan karena terdapat persamaan hasil
pengobatan INH-R selama 3-4 bulan dan R selama 3-4 bulan sebagai pilihan
alternative terhadap INH 6 bulan.
Obat

Lama
9 bulan

Dosis
Dewasa : 5 mg/kg

Frekuensi
Tiap hari

Dosis total
270

2x/minggu

76

Tiap hari

180

Anak 10-20 mg/kg


Dosis maks : 300 mg
Dewasa: 15 mg/kg
Anak: 20-40 mg/kg
Isoniazid

6 bulan

(INH)

Dosis maks: 900 mg


Dewasa : 5 mg/kg
Anak: tidak direkomendasikan
Dosis maks: 900 mg
Dewasa : 15 mg/kg

3 bulan

2x/minggu

Anak: tidak direkomendasikan


Dewasa dan anak usia 12
tahun:

INH: dapat dibulatkan


sampai dengan hamper
50 mg atau 100 mg,

Isoniazid
(INH)

dan

Rifapentine
(RPT)

maks 900 mg: 15 mg/kg


RPT:
-10.0-14.0 kg: 300 mg
-14.1-25.0 kg: 450 mg
-25.1-32.0 kg: 750 mg
- 50.0 kg: maks 900

Rifampisin

mg
Dewasa: 10 mg/kg

(R)

Dosis maksimal: 600 mg

Tabel 3. Dosis obat Penatalaksanaan ITBL

Tiap hari

120

Evaluasi selama pemberian obat profilaksis


Setiap pasien yang memulai pengobatan pencegahan harus mendapat edukasi yang cukup
meliputi (CDCP, 2013) :
1. Dosis obat
2. Tanda dan gejala efek samping dari masing-masing obat yang paling sering terjadi
dan paling mengancam jiwa serta kapan pengobatan harus dihentikan atau bila
evaluasi klinis diperlukan
3. Hentikan pengobatan sesegera mungkin dan datang ke dokter jika tanda atau gejala
berikut muncul:
a. Hilangnya nafsu makan tanpa sebab yang jelas (anoreksia)
b. Nausea atau muntah
c. Urin berwarna gelap dan atau ikterik
d. Ruam kulit yang luas
e. Parestesi yang persisten di tangan atau kaki
f. Lelah yang persisten, kelemahan atau demam yang berlangsung selama 3 hari
atau lebih
g. Nyeri abdomen (terutama di kuadran kanan atas)
h. Mudah lebam atau perdarahan
i. Arthralgia atau gejala seperti flu yang terkait dengan pengobatan
4. Menghubungi dokter dan segera menghentikan pengobatan jika dokter tidak dapat
dihubungi kerika mengalami efek samoing atau kesakitan yang tidak dapat dijelaskan
5. Rencana pengawasan pengobatan yang meliputi penilaian bulanan ntuk kepatuhan,
efek samping, dan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Center for Disease Control and Prevention. 2013. Latent Tuberculosis Infection: Guide for
Primary Health Care Providers.
Kenyorini, Suradi, Surjanto. 2006. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 3(2) : 1-5
NCBI. 2010.

Pathogenesis, Immunology, and Diagnosis of Latent Mycobacterium

tuberculosis Infection.

Available

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3017943/figure/fig1/
Suhail A.

2011. Pathogenesis, Immunology and diagnosis of latent mycobacterium

tuberculosis

infection

Clinical

Developmental

immunology..

Available

http://dx.doi.or/10.1155/2011/814943
WHO. 2005. Tubberculosis Control In South-East Asia Region and Western Pacific Region.
WHO. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. 20th ed. Geneva.
WHO. 2015. Tuberculosis. Diunduh di http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
pada tanggal 02 Oktober 2016.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, dan Pemberantasannya. Jakarta:
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai