PENDAHULUAN
Ahmad Shahab, Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ Habibie Berbasis Teknologi, Jakarta:
Peace, 2008, hal.xvi.
Bila kita lihat kembali, apabila seorang presiden berhenti dari jabatannya
yang akan dilakukan secara konstitusional, maka wakil presiden lah yang akan
menggantikannya. Ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 8, yang isi
lengkapnya adalah jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis
waktunya.
Dan pada tanggal 21 Mei 1998 secara konstitusional, menurut UUD 45,
pasal 8, BJ Habibie sah diangkat menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Habibie diambil sumpah kewajibannya sebagai Presiden.
Selama BJ Habibie menjabat menjadi Presiden, sebenarnya banyak ide
yang dilahirkan, selain melanjutkan kebijakan mantan Presiden Soeharto
pendahulunya. Salah satunya seperti yang dikatakan oleh Dody Rudianto,
sebenarnya Habibie telah berhasil meletakkan dasar-dasar bangun arsitektural
ekonomi yang menjadi landasan perbaikan ekonomi menuju kesejahteraan sosial,
yaitu sistem ekonomi pasar sosial yang diwacanakan pada waktu itu. Namun
sangat disayangkan waktunya keburu habis. Gagasannya terbengkalai, tidak
dilanjutkan oleh presiden penggantinya. 2
Malam sebelum BJ Habibie diangkat menjadi Presiden, ia juga membuat
beberapa point penting mengenai langkah-langkah awal, dasar ataupun prinsip,
sikap dan kebijakan yang akan diambil, antara lain:
1. Saya harus banyak mendengar dan tidak boleh terbuka menceritakan
kepada siapa saja apa yang akan direncanakan dan dilakukan. Termasuk
kepada istri, anak, adik, keluarga, kawan dekat dan sebagainya saya harus
tertutup. Ini adalah keputusan yang harus diambil dan paling berat untuk
dilaksanakan karena bertentangan dengan prilaku, karakter dan sifat saya
yang sangat bebas, terbuka dan transparan.
2. Saya mewarisi bentuk institusi kepresidenan yang sangat berkuasa dalam
lingkungan dan budaya feodal. Hal ini harus segera saya akhiri, tanpa
memberi kesan yang dapat disimpulkan sebagai penguasa yang lemah
dan takut;
3. Tahanan politik harus segera dilepaskan dan tidak boleh lagi terjadi bahwa
orang yang bertentangan dengan pendapat atau rencana Presiden, harus
dimasukkan ke dalam penjara, kecuali mereka yang terbukti telah
melaksanakan tindakan criminal;
4. Kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers,
dan kebebasan unjuk rasa harus segera dilaksanakan;
5. Saya menyadari dan dapat mengerti, jikalau yang pernah dirugikan dalam
masa Orde Baru menilai negatif, bahkan bersikap anti kepada saya karena
kedudukan dan kedekatan saya dengan kekuasaan selama hampir 25 tahun
lamanya, serta menganggap saya ikut bertanggung jawab atas terjadinya
multikrisis yang dihadapi. Oleh karena itu, sikap saya dalam menghadapi
semua persoalan harus arif dan toleran demi persatuan dan kesatuan dua
ratus juta lebih penduduk Indonesia;
6. DPR dan MPR harus diberi legitimasi yang kuat berdasarkan pemilu yang
demokratis. Dan kesempatan terbuka untuk mendirikan partai politik apa
saja, diperbolehkan asal tidak melanggar UUD 45 dan Ketetapan MPR.
Untuk itu saya harus berkonsultasi dengan MPR;
BJ Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jakarta: THC Mandiri, 2006, Hal. 56-58.
Miftah Toha, Prilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT.Grafindo Persada,
1993, hal.287-288.
Fred E.Fedler, A Theory of Leadership Effectiveness, New York: McGraw Hill Book Company,
1954, hal.132-153.(skripsi Baby Masitho. BB)
belum
terdapat
kesepakatan
bulat
tentang
tipologi
kepemimpinan yang secara luas dikenal dewasa ini, lima tipe kepemimpinan yang
diakui keberadaannya ialah:
1. Tipologi yang Otokratik
Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah
seseorang yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan
mendorongnya memutar-balikkan kenyataan yang sebenar-benarnya
sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai
kenyataan. Dengan egoisme yang sangat besar demikian, seorang
pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala
sesuatu
yang
tidak
baik
dan
dengan
demikian
akan
peranan
bawahan
dalam
proses
pengambilan
memerintah dan
harta yang dimiliki pun nampaknya tidak bisa digunakan sebagai ukuran.
Hanya saja jumlah pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang
kharismatik tidak besar dan mungkin jumlah yang sedikit ini juga yang
menyebabkan, sehingga tidak cukup data empirik yang dapat digunakan
untuk menganalisis secara ilmiah karakteristik pemimpin yang sedemikian
dengan rinci.
4. Tipe yang Laissez Faire
Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire
tentang
peranannya
sebagai
seorang
pemimpin
berkisar
pada
Prof.DR.Sondang P.Siagian MPA, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta, 1998, hal.27-45.
7
Dr.Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT.Grafindo Persada, 2005, hal.31.
kepada
pemimpin
guna
mempengaruhi
dan
Ibid, hal.34-35.
j.
Berjiwa wiraswasta.
k. Sehat jasmaninya, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang berat,
serta berani mengambil resiko.
l.
jelas,
pemimpin
itu
harus
memiliki
beberapa
kelebihan
yang
tepat
tentang
kehidupan
organisasional
yang
bersangkutan.
yang luas dari masyarakat yang secara politik pluralistic. Menurut Nugroho,
untuk alasan pembenaran politik tertentu, kekuasaan personal dalam satu segi
mendukung terciptanya kohesivitas elite massa serta mampu meredam krisis
politik yang akan terjadi. Namun, untuk menghasilkan pemerintahan yang
demokratis, kekuasaan personal merupakan hambatan bagi terbentuknya sistem
politik demokrasi. Untuk menuju sistem politik yang demokratis sistem politik
yang bersangkutan perlu mengembangkan budaya politik yang berorientasi pada
pluralistik politik. 12
Pada sisi lain, apa yang disebut Nugroho sebagai pemimpin personal ini
hampir sama dengan apa yang pernah disebut Max Weber sebagai pemimpin
kharismatik. Tipe pemimpin ini mendasarkan legitimasi kepemimpinannya pada
sifat-sifat ghaib unggul atau paling sedikit pada kekuatan-kekuatan khas dan luar
biasa. Artinya, status kepemimpinan tersebut diperoleh berdasarkan mitos-mitos
tertentu yang melekat pada dirinya. 13
12
Ibid, hal.307.
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx,
Durkheim, dan Max Weber, Jakarta:UI Press, Hal.197.
14
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada university Press,
hal.63.
13
penelitian
non
hipotesis
sehingga
dalam
langkah-langkah
sumber-sumber
informasi
yang
tersedia.
Pemanfaatan
15
Masri Singarimbun dan Sutian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 1995,
hal.33.
: Pendahuluan
Yang menjelaskan berupa latar belakang masalah, perumusan
masalah,
metodologi penelitian
Bab II
: Sosok BJ Habibie
Bab III
Bab IV
: Penutup
Berisi kesimpulan dan Saran