Anda di halaman 1dari 19

Diskriminasi dan Kesehatan

1.1 Diskriminasi
Manusia adalah mahluk sosial yang saling bergantung satu sama lain dalam memenuhi
kebutuhan hidup dan bagi kelangsungan hidup. Kelangsung hidup sebagai mahluk sosial akan
mendapat jaminan manakala lingkungan sosial atau warga masyarakat memberikan
dukungan. Salah satu dukungan tersebut adalah adanya norma sosial yang menjadi acuan
berperilaku bagi anggotanya.
Diskriminasi dalam kehidupan sosial--hubungan antar individu kelompok maupun
individu dengan kelompok--sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi pada
masyarakat di belahan dunia manapun. Namun fenomena tersebut dapat menjadi sesuatu
yang serius ketika memasuki ranah yang tidak bisa di toleransi dan melanggar hak asasi
manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan
diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya (Effendi, 2008).

Berbagai jenis diskriminasi berpengaruh, baik itu usia, jenis kelamin, ras, dan berbagai hal lainnya (Sumber:
Pixabay.com)

Diskriminasi sering kali terjadi diawali dengan prasangka. Dengan prasangka, kita
membuat perbedaan antara kita dengan orang lain. Pembedaan ini terjadi karena kita adalah
makhluk social yang secara alami ingin berkumpul dengan orang yang memiliki kemiripan
dengan kita. Prasangka seringkali didasari pada ketidakpahaman, ketidakpedulian pada
kelompok di luar kelompoknya atau ketakutan atas perbedaan.
Dalam dunia kesehatan, diskriminasi bisa terjadi dalam berbagai hal. Misalnya praktik-
praktik diskriminasi di institusi kesehatan mulai dari rumah sakit sampai puskesmas masih
sering terjadi dan dirasakan masyarakat miskin. Akses kesehatan bagi masyarakat miskin kita
masih sangat terbatas. Dan persoalan klasik yang dihadapi oleh masyarkat miskin adalah
masalah uang. Persoalan uang ini sering kali menjadi “pembeda” dalam pelayanan kesehatan
antara orang miskin dengan orang kaya.
Diskriminasi memberikan kerugian materi dan fisik tetapi juga dapat mengganggu
kesehatan mental seseorang. Banyak juga diantara masyarakat yang meninggal bunuh diri
akibat stres menjadi korban diskriminasi. World Health Organization (WHO) atau Badan
Kesehatan Dunia tahun 2015 bunuh diri di sejumlah negara merupakan penyebab kematian
nomor dua pada penduduk usia 15-29 tahun. Data WHO tahun 2015 mencatat, setiap
tahunnya terdapat 800.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri.

1.2 Prasangka
Prasangka dapat diartikan sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok atau anggota
kelompok tertentu tanpa dasar alasan yang benar. Prasangka yang dianggap sebagai sikap
memiliki dua implikasi, pertama sikap seringkali merupakan fungsi dari skema yaitu
kerangka kerja kognitif untuk mengorganisir, menginterpretasi dan memanggil kembali suatu
informasi. Maksudnya ketika ada individu yang berperasangka, individu tersebut
mempuanyai kecenderungan memproses informasi bahwa individu ataupun kelompok lain
berbeda.
Kedua, prasangka sebagai suatu jenis sikap, ini melibatkan emosi dan perasaan negatif.
Bahkan seringkali melibatkan ekspektasi atau harapan dan juga kepercayaan tertentu. Inilah
yang kemudian memunculkan stereotip.
Berdasarkan pada banyaknya perbedaan yang ada antar berbagai kelompok masyarakat,
maka prasangka juga mempunyai berbagai bentuk dan jenis diantaranya adalah sebagai
berikut;
a. Seksisme (Sexime)
Seksisme disini berarti adanya prasangka terhadap gender. Seksisme seringkali ditujukan
pada wanita, sehingga yang dimaksud disini adalah adanya penilaian negatif pada seseorang
yang disebabkan seseorang tersebut adalah wanita. Wanita seringkali menjadi korban dalam
banyak kasus prasangka yang ditemukan di masyarakat. Hal ini tak lain karena wanita
dipandang sebagai seorang yang lemah, butuh dilindungi, tidak punya ambisi, dan lain-lain.
b. Prasangka Sosial
Prasangka Sosial adalah prasangka yang didasarkan atas anggapan bahwa suatu individu
atau kelompok menjadi bagian dari ras, suku, bangsa tertentu. Prasangka sosial sama halnya
dengan adanya sikap seseorang yang tidak menyukai kelompok kelompok tertentu
berdasarkan pandangan orang tersebut maupun adat budaya yang dianutnya.
c. Agisme
Prasangka ini timbul berdasar sikap prasangka terhadap orang lanjut usia (tua). Orang tua
sering kali dinilai lemah, tidak bermanfaat, menjadi beban, pertahanan diri rendah, pikun dan
sakit sakitan. Prasangka ini memang muncul belakangan setelah berbagai prasangka
sebelumnya seperti rasisme, prasangka agama mulai berkurang seiring perkembangan dan
peningkatan pemahaman akan adanya perbedaan.

Prasangka sebenarnya hampir sama dengan diskriminasi, namun perbedaannya terletak


pada jenis hal yang dilakukan. Prasangka itu adalah sikap (attitude) sedangkan Diskriminasi
adalah tindakan (action). Namun kedua nya bersama sama memunculkan arti sebagai
perilaku negatif terhadap individu dan atau kelompok tertentu.

Macam – macam bentuk diskriminasi (Sumber: www.shutterstock.com)

1.3 Jenis – jenis Diskriminasi


Menurut Fulthoni (2009), memaparkan jenis-jenis diskriminasi yang sering terjadi. Yaitu
sebagai berikut:
a. Diskriminasi berdasarkan suku, etnis, ras dan agama.
Diskriminasi Ras dan Etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian,
pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan
pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya (Perpres, 2010).
Berkaca pada sejarah dengan kasus yang terjadi pada negara-negara maju, yang
dahulunya sebagai pendatang yang memiliki kepentingan, misalnya di Myanmar dengan
Rhohingnya yang terdapat pengusiran bermotif ekonomi dan SARA. Tak terkecuali
Indonesia, diskriminasi terjadi oleh pemerintah pada hak-hak masyarakat suku terpencil
memperoleh pendidikan yang layak dan diambilnya hak adat setempat akibat dari
pengerukan sumber daya alam, serta setengah hatinya program pembauran masyarakat
tionghoa, karena masih timbulnya kecurigaan akan mudahnya akses birokrasi etnis
keturunan sehingga mengakibatkan lolosnya warga negara asing keturunan memperoleh
kartu identitas.
b. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender
Diskriminasi gender adalah kondisi dimana terjadi ketidaksetaraan atau ketidakadikan
gender yang menjadikan perempuan maupun laki-laki sebagai korban (Murnalungito,
2016). Hal ini biasanya terjadi karena masyarakat atau pun suatu kelompok memiliki
paham untuk membela maupun menindas kelompok masyarakat berdasarkan gender
mereka yang dikarenakan ketidaksepahaman maksud dan tujuan. Dalam diskriminasi ini
biasanya ada perbedaan pendapat yang didasari pada kedudukan dan posisi laki-laki
maupun perempuan. Perempuan yang notabene lebih lemah dari pada laki-laki dalam hal
kekuatan, biasanya sering menerima tekanan dan diskriminasi dalam bentuk oral maupun
perlakuan.
Di dalam rumah tangga, mulai dari perkara sederhana sederhana sampai keadaan yang
rumit seringkali didapati ketidakadilan gender. Misalnya dalam pembagian tugas
mengurus anak. Sebagai contoh, masalah kesehatan dan perkembangan seorang anak
biasanya terlimpah semuanya kepada perempuan. Sering kali terdapat keluarga yang
kedapatan menggunakan persepsi bahwa urusan anak dan dapur adalah urusan perempuan,
sedangkan seorang suami (laki-laki) hanya berurusan pada finansial.
Dalam pencapaian kesetaraan gender, sebenarnya diperlukan distribusi manfaat dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang didasari bahwa perempuan dan laki-
laki memiliki pemahaman dan kebutuhan yang berbeda. Hal ini selaras dengan pengertian
menurut WHO, yaitu tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam
peluang; alokasi sumber daya; manfaat; dan akses terhadap pelayanan kesehatan.
c. Diskriminasi terhadap penyandang cacat
Diskriminasi terhadap penyandang cacat lebih didasarkan pada kondisi fisik atau
kecacatan yang disandang. Masyarakat selama ini memperlakukan para penyandang cacat
secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi
penyandang cacat yang dimiliki, karena dianggap tidak mampu melakukan aktifitas
sebagaimana orang lain pada umumnya.
Dalam pandangan secara medis, cacat merupakan kondisi biologis (patologis), yang
berarti bahwa kondisi ini merupakan bawaan seseorang dari lahir (bukan disebabkan oleh
lingkungan). Dalam hal ini penyandang cacat di nilai sebagai “sakit” dan bergantung pada
pelayanan medis. Penyandang cacat dilihat dari segi moral, penyandang cacat dikaitkan
sebagai orang dengan dosa dan kejahatan. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat
dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan
kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Mereka
berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan
seefektif seperti karyawan lain yang bukan penyandang cacat. Sehingga bagi para
penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para penyandang cacat sama artinya dengan
memberikan peluang kepada perusahaan untuk rugi karena harus menyediakan beberapa
alat bantu bagi kemudahan para penyandang cacat dalam melakukan aktifitasnya.
d. Diskriminasi terhadap penderita HIV/ AIDS
Stigma yang sering kali muncul kepada penderita HIV/AIDS sering kali menyebabkan
timbulnya diskriminasi yang akhirnya dapat mendorong munculnya pelanggaran HAM
terhadap para penderita dan keluarganya. Beberapa contohnya yaitu Para staf rumah sakit
atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang hidup
dengan HIV serta Adanya pemutusan hubungan kerja maupun penolakan terhadap
karyawan dan orang yang terasumsikan mengidap penyakit ini.
Stigma dan diskriminasi ini juga yang dapat menghambat pencegahan dengan
memberikan rasa takut kepada orang untuk melakukan pemeriksaan terhadap pennyakit
ini. Bisa pula bagi yang sudah terinfeksi akan terus melakukan praktik seksual tidak aman
karena merasa takut jika ketahuan sebagai pengidap penyakit. Menurut Gaghenggang
(2013), kemauan para resiko tinggi menderita HIV dan orang yang dicurigai menderita
HIV untuk dilakukan pemeriksaan dapat terhambat oleh rasa takut tidak diterima
masyarakat dan ditolak dimana-mana.
Ditinjau dari undang-undang dan tatanan hukum yang berlaku tidak seharusnya
penderita HIV mendapatkan tindakan diskriminatif maupun dikucilkan oleh pihak
manapun. Karena yang seharunya di jauhi adalah penyakit nya, bukan para penderitanya.
e. Diskriminasi karena kasta sosial
Bentuk diskriminasi karena kasta sosial (dalam hal ini adalah stratifikasi sosial) ini
adalah bentuk diskriminasi yang saat ini sedang banyak terjadi pada lapisan masyarakat.
Mereka yang merasa memiliki tidak mau berbagi kepada yang membutuhkan dikarenakan
perasaan tidak adanya kesamaan kedudukan antara kedua belah pihak maupun lebih.
Bentuk diskriminasi ini biasanya terjadi karena perspektif kebanyakan orang yang
memandang rendah status masyarakat antara golongan satu dengan yang lain.
Sebenarnya jika menilik permasalahan dan kehidupan msyarakat saat ini, terdapat 3
kelas yang terbagi dalam kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kelas menengah
rata-rata akan memilih produk yang memang mencitrakan kelas, yang banyak menjadi
rujukan di kalangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat mungkin melirik produk-
produk masyarakat kelas atas, tapi akhirnya tetap membeli yang sesuai dengan daya beli
mereka. Sementara kelas atas sendiri mayoritas memilih produk dengan sangat selektif
dan biasanya bermerek global, mencitrakan kelas mereka. Itu yang umum terjadi, tapi
tidak jarang juga masyarakat kelas menengah irasional saat berbelanja, atau kelas atas
membeli barang buatan lokal yang banyak dijual bebas dan murah. Hal inilah yang disebut
sebagai batas lunak, tak ada patokan yang pasti.
Realitanya, kelas sosial jadi patokan orang bersikap. Yang kaya yang punya segalanya,
sedangkan yang miskin makin dipersulit dengan birokrasi maupun bonus sikap sinis dari
banyak pihak. Kelas sosial pun jadi tolok ukur bagaimana seseorang diperlakukan. Timbul
kesenjangan di tiap kelas yang akhirnya menumbuhkan stereotipe tertentu, seperti orang
miskin akan selamanya ada di bawah, atau orang kaya seumur hidup berhak hidup
makmur dalam kemewahan (diskriminatif).

Selama ini diskriminasi merupakan aksi nyata yang biasanya dilakukan oleh kelompok
orang maupun perorangan yang mempunyaki sikap prasangka yang kuat akibat tekanan yang
diperoleh baik dari tekanan budaya, adat-istiadat maupun kepercayaan. Hal ini biasanya
terjadi secara langsung maupun tak langsung, seperti tipe diskriminasi yang dikemukakan
oleh Pettigrew (liliweri, 2005).
Diskriminasi langsung adalah diskriminasi tindakan membatasi suatu wilayah tertentu,
seperti pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum dan semacamnya dan juga terjadi
manakala pengambil keputusan diarahkan oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok
tertentu.
Sedangkan diskriminasi tak langsung, merupakan tidakan yang dilaksanakan melalui
penciptaan kebijakan- kebijakan yang menghalangi ras / etnik tertentu untuk berhubungan
secara bebas dengan kelompok ras / etnik lainnya yang mana aturan dan prosedur yang
mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan mengakibatkan kerugian
sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu.
1.4 Penyebab Diskriminasi
Diskriminasi sendiri disebabkan oleh banyak hal. Ada yang terjadi karena kepercayaan
akan suatu hal maupun karena ketidak setaraan kedudukan. Berikut adalah beberapa
penyebab terjadinya diskriminasi, antara lain :

1. Mekanisme pertahanan psikologi, yang berarti seseorang akan melimpahkan kepada


orang lain ciri-ciri yang tidak disukai tentang dirinya.
2. Kekecewaan. Orang yang kecewa akan meletakkan kekecewaan mereka kepada
’kambing hitam’.
3. Mereka yang merasa terancam dan rendah diri untuk menenangkan diri maka mereka
mencoba dengan merendahkan orang atau kumpulan lain.
4. Adanya sejarah buruk masa lalu yang dilampiaskan sekarang kepada orang lain
sebagai bentuk diskriminasi.
5. Persaingan dan eksploitasi Masyarakat kini adalah lebih materialistik dan hidup dalam
persaingan. Individu atau kumpulan bersaing diantara mereka untuk mendapatkan
kekayaan, kemewahan dan kekuasaan.
6. Corak sosialisasi Diskriminasi juga adalah fenomena yang dipelajari dan diturunkan
dari satu generasi kepada generasi yang lain melalui proses sosialisasi. Seterusnya
terbentuk suatu pandangan stereotip tentang peranan sebuah bangsa dengan yang lain
dalam masyarakat, yaitu berkenaan dengan kelakuan, cara kehidupan dan sebagainya.
Melalui pandangan stereotip ini, anak-anak belajar menghakimi seseorang atau
sesuatu ide. Sikap prejudis juga dipelajari melalui proses yang sama.

1.5 Bullying
Bullying merupakan kata serapan dari bahasa Inggris (bully) yang berarti menggertak atau
mengganggu orang (pihak) yang lemah. Bullying sendiri merupakan salah satu bentuk
diskriminasi. Bullying sebenarnya bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan/sekolah, tetapi
juga di tempat kerja, masyrakat, bahkan komunitas virtual. Luasnya cakupan bullying juga
menyebabkan munculnya berbagai definisi.
Untuk bullying di sekolah, Salmivalli dkk (2011) menjelaskan, bullying di sekolah
merupakan proses dinamika kelompok yang di dalamnya terjadi pembagian peran, yakni
bully, asisten bully, reinfocer, defender, dan outsider. Bully yaitu siswa yang dikategorikan
sebagai pemimpin, berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying. Asisten bully, juga
terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun yang besangkutan cenderung begantung atau
mengikuti perintah bully. Rinfocer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi,
ikut menyaksikan, mentertawakan korban, memprofokasi bully, mengajak siswa lain untuk
menonton dan sebagainya. Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan
membantukorban, sering kali akhirnya mereka menjadi korban juga. Sedangkan outsider
adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melaukan apapun, seolah-
olah tidak peduli.
Ada beberapa tipe bullying, yakni:
1. Physical bullying (Kontak fisik langsung): memukul, mendorong, mencubit,
mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimliki orang lain.
2. Verbal bullying (kontak verbal langsung): mengancam, mempermalukan,
mengganggu, memberi panggilan nama (name–calling), sarkasme, merendahkan (put-
down), mencela/mengejek, mengintimidsi, mengejek, menyebarkan gosip).
3. Non Verbal bullying (Perlaku non-verbal langsung): melihat dengan sinis,
menjulurkan lidah, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau
verbal).
4. Indirect non verbal (Perilaku non verbal tidak langsung): mendiamkan
seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau
mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
5. Social Alienation (Alienasi sosial): mengecualikan seseorang dari kelompok,
seperti dengan menyebarkan rumor, dan mengolok-olok
6. Cyber bullying (Bullying elektronik): merupakan bentuk perilaku bullying
yang dilakukan pelakunya dengan menggunakan sarana elektronik seperti komputer,
handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Tujuannya,
meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau
film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini
biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik
terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Gambaran Kasus Bullying Verbal (Sumber: www.liputan6.com)

Bullying sendiri mempunyai 3 komponen utama, yaitu The Bully (Pelaku bully itu sendiri),
The Victim (korban dari perilaku Bully), dan The Brystander (sering kali disebut sebagai
observer atau watcher yang tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan Bullying atau
menjadi aktif terlibat dalam mendukung bullying).
Faktor utama penyebab bullying ada 4 hal, yaitu faktor keluarga. Faktor keluarga yang
menyangkut faktor kualitas hubungan orang tua dengan anak, dengan adanya penggunaan
hukuman fisik ketika anak ataupun anggota keluarga yang lain melakukan kesalahan. Hal ini
dapat memicu terjadinya perilaku bullying. Anak yang sering terkena bully, mempunyai
kecenderungan hubungan yang tidak harmonis pada lingkungan keluarganya. Anak tersebut
biasanya bermasalah dalam menjalin komunikasi yang baik. Padahal, hal ini dapat membantu
anak untuk mengembangkan pikiran yang positif tentang dirinya dan mempunyai
kemampuan berinteraksi dengan sesamanya.
Faktor kedua yaitu kehidupan sosial ataupun lingkungan, kondisi kehidupan sosial
(terutama di kota-kota besar) yang mengidap penyakit frustasi sosial, menyebabkan
terjadinya adult oriental di masyarakat, sehingga dapat mendorng terjadinya bullying. Fakor
ini memberikan nilai yang besar terhadap perilaku bullying.
Tradisi senioritas seringkali diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat
laten, bagi mereka keinginan untuk melanjutkan masalah senioritas ada untuk hiburan,
penyaluran dendam, iri hati, atau mencari populatritas, melanjutkan tradisi, atau untuk
melanjutkan kekuasaan.
Usia anak maupun remaja adalah usia yang rentan dimana ia akan sering bereksperimen
dengan segala tindakan dan ekspresi yang membuat mereka penasaran tanpa memikirkan
sebab dan akibat. Di usia ini lingkungan sosial tempat mereka tinggal dapat sangat
mempengaruhi perilaku Bullying mereka, baik yang mereka dapatkan maupun yang mereka
lakukan.
Faktor selanjutnya yaitu teman sebaya, Pencarian identitas diri remaja dapat melalui
penggabungan diri dalam kelompok teman sebaya atau kelompok yang diidolakannya. Bagi
remaja, penerimaan kelompok penting karena mereka bisa berbagi rasa dan pengalaman
dengan teman sebaya dan kelompoknya. Untuk dapat diterima dan merasa aman sepanjang
saat-saat menjelang remaja dan sepanjang masa remaja mereka, anak- anak tidak hanya
bergabung dengan kelompok-kelompok, mereka juga membentuk kelompok yang disebut
klik. Klik memiliki kesamaan minat, nilai, kecakapan, dan selera. Hal ini memang baik
namun ada pengecualian budaya sekolah yang menyuburkan dan menaikan sejumlah
kelompok diatas kelompok lainnya, hal itu menyuburkan diskriminasi dan penindasan atau
perilaku bullying (Coloroso, 2007).
Faktor terakhir yaitu pengaruh media, faktor ini juga bisa menjadi faktor penyebab
terjadinya bullying. Efeknya juga akan terlihat berupa bentuk perilaku bullying mulai dari
yang sifatnya ringan sampai dengan yang dapat menelan korban jiwa.
Di Indonesia terdapat kasus bullying yang disebabkan oleh tayangan sinetron ditelevisi
yang mengangkat kisah tentang kebrutalan, kekerasan (perkelahian) yang secara tidak
langsung memberikan dampak yang negatif bagi masyarakat terutama remaja yang masih
duduk dibangku sekolah. Tontonan televisi tampaknya menjadi alat paling ideologis yang
dapat mempengaruhi karakter serta paradigma berfikir para siswa untuk meniru adegan-
adegan kekerasan yang ada dalam televisi tersebut.
Dari beberapa faktor diatas, ada faktor lain-lain yang sebenarnya dapat menyebabkan
perilaku Bullying. Seperti faktor masalah gender sebagai laki-laki dengan kecenderungan
untuk berkelahi. Orang tua menekankan agar anak laki-lakinya itu harus kuat, tidak boleh
kalah dalam persaingan. Sayangnya, orang tua tidak memberi contoh dari hal-hal yang
diajarkan itu, sehingga anak salah dalam memahami makna “kuat” itu bagaimana, menang
dari persaingan itu seperti apa.
Faktor psikologis dari orang tua juga dapat berpengaruh, dimana orang tua yang memiliki
kesehatan mental dan jiwa yang kurang baik berpotensi besar memiliki anak yang melakukan
tindakan bullying. Anak memiliki riwayat korban kekerasan. Biasanya, anak yang pernah
mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung ‘balas dendam’ pada
temannya di luar rumah.
Faktor ingin mendapat pujian dari orang lain, seperti kadang-kadang “berkelahi”. Dia
beranggapan, hal itu untuk membuktikan, bahwa kekuatan bisa menjadikan seseorang
ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi, siswa berkelai karena mereka senang
memperoleh “pujian” banyak orang.

Kontrol Sosial Bullying


Pelajar Sekolah
1. Sekolah (Peran Guru) 1. Frustasi
2. Teman Bermain 2. Depresi
3. Orang Tua 3. Agresi

Memengaruhi Psikologis
dan Proses Belajar
Siklus bullying yang biasa terjadi pada tindakan bullying di Sekolah

Alasan bullying disekolah semakin meluas salah satunya adalah karena sebagian besar
korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak yang mempunyai kekuatan
untuk mengubah cara berfikir mereka dan menghentikan siklus bullying, yaitu pihak sekolah
dan orangtua. Korban merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan
semakin mengintensifkan bullying mereka. Akibatnya korban bisa semakin menyerap
”falsafah” bullying yang didapat dari seniornya dalam penelitian yang dilakukan oleh
Riauskina dkk (Sugiharto, 2009) korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan
bullying karena:
1. Tradisi;
2. balas dendam karena dia dulu pernah diperlakukan sama;
3. ingin menunjukkan kekuasaan;
4. marah karena korban tidak berperilaku sesuai yang diharapkan;
5. mendapat kepuasan;
6. irihati.
Adapun korban mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena :
1. penampilan mencolok;
2. berperilaku dengan tidak sesuai;
3. perilaku dianggap tidak sopan;
4. tradisi.
Bullying dilembaga pendidikan dapat terjadi karena adanya superioritas dalam diri siswa
hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Coloroso (2007) bullying adalah arogansi
yang terwujud dalam tindakan. Remaja yang melakukan bullying memiliki hawa superioritas
yang sering dijadikan topeng untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Pelaku bullying
berdalih bahwa superioritas dianggap memperbolehkan remaja melukai seseorang yang
mereka anggap lebih lemah padahal semuanya adalah dalih untuk merendahkan seseorang
sehinngga mereka merasa lebih unggul.
Di Indonesia, kasus bullying masih tinggi angka kejadiannya. Data dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa 26 ribu kasus bully pada anak
dalam kurun 2011 hingga September 2017.
Sedangkan ata riset yang dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center
for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta
mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni
70% .
Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan
Indonesia (di Indonesia sendiri riset ini diambil Jakarta dan Serang, Banten). Survei diambil
pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun,
guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan LSM.
Selain itu, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak
perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini
menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan.
Berikut adalah beberapa kasus bully yang pernah terjadi di Indonesia.
1. Kasus bullying di Thamrin City
Pada 14 Juli lalu, beredar sebuah video bullying yang melibatkan sejumlah anak SMP
yang diduga berlokasi di Thamrin City. Dalam video tersebut terlihat jelas aksi kekerasan
yang brutal dilakukan oleh sekelompok remaja tediri dari perempuan dan laki-laki.
Mereka tampak menganiaya seorang remaja perempuan hingga mengalami luka parah.
Setelah ditelusuri, pelaku disinyalir terdiri dari sembilan orang dari sekolah berbeda yakni,
dua SMP dan empat SD yang ada di sekitar Tanah Abang. Semuanya merupakan teman
sepermainan dan telah membentuk sebuah geng bernama Brother of Santay (BOS).
2. Kasus Bullying Universitas Gunadarma
Dalam sebuah video yang beredar pada 16 Juli 2017 lalu, terlihat jelas seorang pemuda
yang diduga berkebutuhan khusus tengah menjadi korban bullying. Tas korban tampak
ditarik oleh seorang mahasiswa hingga terhuyung. Ia pun kemudian sempat melemparkan
tong sampah kepada si pelaku.
Alih-alih menolong sang korban, mahasiswa yang melihat kejadian tersebut malah ikut
menonton sambil bertepuk tangan. Setelah melakukan penyidikan, kabarnya pihak
universitas telah memberikan tindakan tegas kepada para pelaku.

Aktivis Solidaritas untuk Disabilitas Indonesia melakukan aksi di Gedung Rektorat Universitas Gunadarma, Depok, 20
Juli 2017 (Sumber: https://metro.tempo.co)

3. Kasus Bullying SMPN 18 Tangerang


Seorang siswa SMPN 18 berinisial MS (14 tahun) menjadi korban bullying oleh
sekelompok siswa dari kelas yang berbeda. Akibatnya, MS mengalami luka parah di sekujur
tubuhnya dan terpaksa tidak bisa mengikuti kegiatan sekolah, padahal Ujian Tengah
Semester (UTS) sedang berlangsung.
Menurut pengakuan korban, kejadian ini terjadi pada Senin 5 Maret 2018, sekitar pukul
09.30 WIB. Saat jam istirahat, 3 orang pelaku tiba-tiba mendatangi kelas MS dan
memaksanya agar ikut mendaftar pertandingan futsal.
Karena menolak ajakan terebut, ketiga siswa itu kemudian terlibat cekcok hingga
berujung pada tindakan penganiayaan. Salah satu pelaku bahkan nekat menggunakan batu
untuk memukul wajah MS. Akibatnya, korban mengalami luka sobek pada bagian kepala,
luka lebam di bagian wajah dan mata.

Dari kejadian – kejadian diatas, kita dapat mengetahui bahwa kegiatan bullying di
Indonesia merupakan masalah yang tidak bisa dikesampingkan. Kegiatan ini masih belum
hilang dari kegiatan yang tergambar dilingkungan anak, terutama lingkungan sekolah. Seperti
yang kita ketahui sebagian besar kasus bullying terjadi di sekolah. Hal ini menjadi perhatian
orang tua, guru dan pekerja yang ada di lingkungan sekolah untuk selalu menjaga anak –
anaknya dari perilaku bullying.
Kasus school bullying seringkali muncul akibat adanya paham senioritas yang masih ada
di dalam diri siswa itu sendiri. Biasanya paham ini timbul karena adanya perasaan iri hati,
dendam, dan kesenanangan tersendiri melihat orang yang lebih lemah tertindas.
1.6 Dampak Diskriminasi dan Hubungannya dengan Kesehatan
Ada sejumlah dampak yang ditimbulkan oleh aksi diskriminasi. Bagi korban, dampak
yang dialaminya bukan hanya dampak fisik tapi juga psikis. Dalam kasus-kasus yang ekstrim,
dampak fisik bahkan bisa mengakibatkan kematian. Banyak bukti yang menunjukkan
mengenai efek-efek negatif jangka panjang baik terhadap para korban maupun pelakunya.
Diskriminasi tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku, individu
yang menyaksikan dan iklim sosial yang pada akhirnya akan berdampak terha dap reputasi
suatu komunitas.
Dalam jurnal Social Psychological and Personality Science, Asisten profesor di Michigan
State University, Amerika Serikat, William Chopik, mengungkapkan “bahwa ketika
seseorang mengalami diskriminasi, kesehatan ia lebih buruk dan mengalami depresi. Namun
tak hanya itu, stres yang dialami juga memengaruhi kesehatan pasangannya” (Nainggolan,
2017). Studi yang dipublikasikan dalam jurnal tersebut menyimpulkan bahwa diskriminasi
memberi banyak efek buruk pada kesehatan secara keseluruhan karena merusak hubungan.
Dampak lain dari diskriminasi yang paling jelas terlihat adalah terganggunya kesehatan
fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan adalah sakit kepala, sakit
tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bahkan dalam kasus-kasus yang
ekstrim, seperti pemukulan dan penyikdaan yang terjadi di STPDN (IPDN), dampak fisik
ekstrim ini dapat mengakibatkan kematian.
Dampak lain yang kurang terlihat, namun berefek jangka panjang adalah menurunnya
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk.
Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri
bahwa dirinya tidak berharga.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban.
Mereka kemudian ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun
mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau
sering sengaja tidak masuk sekolah.
Aksi diskriminasi seperti bullying di sekolah dapat berdampak yang cukup serius,
terutama kepada anak yang menjadi korban aksi bullying, di antaranya:
a) Anak depresi
b) Depresi
c) Rendahnya kepercayaan diri / minder
d) Pemalu dan penyendiri
e) Prestasi akademik merosot.
f) Merasa terisolasi dalam pergaulan
g) Ingin mencoba untuk bunuh diri
Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya
gangguan psikologis pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi,
ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress
disorder).
Stres dibiarkan karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk
gangguan psikosomatis. Psikosomatis atau penyakit "fungsional" merupakan kondisi yang
menyebabkan rasa sakit dan masalah pada fungsi tubuh, walaupun tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang seperti Rontgen atau tes darah.

Bagaimana Pikiran Memengaruhi Penyakit?


Seperti diketahui, pikiran dapat menyebabkan munculnya gejala atau perubahan pada fisik
seseorang. Contohnya, ketika merasa takut atau cemas, bisa memunculkan tanda-tanda
seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar (palpitasi), mual atau ingin
muntah, gemetaran (tremor), berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut,
napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung. Gejala fisik tersebut disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas listrik atau impuls saraf dari otak ke berbagai bagian tubuh. Selain
itu, pelepasan zat adrenalin (epinefrin) ke dalam aliran darah juga bisa menyebabkan gejala
fisik di atas.
Hingga kini, bagaimana persisnya pikiran bisa menyebabkan gejala tertentu dan
memengaruhi penyakit fisik, seperti ruam kulit atau darah tinggi, belum diketahui dengan
jelas. Impuls saraf yang arahnya menuju bagian-bagian tubuh atau otak, diduga dapat
memengaruhi sel-sel tertentu dalam sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan
timbulnya gejala penyakit. Tapi keseluruhan hal ini masih belum dipahami benar.
Penyakit karena Psikosomatis
Ketika faktor mental memunculkan gejala penyakit, tetapi penyakit itu sendiri tidak bisa
ditemukan atau dideteksi secara fisik, atau mengeluh sakit yang tidak sesuai gejalanya,
berbagai kondisi ini dikelompokkan dalam gangguan psikosomatis. Keluhan psikosomatis
terkadang sulit untuk dikenali, baik oleh penderitanya sendiri ataupun oleh dokter, karena
tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik. Namun satu hal yang pasti, gangguan ini
dapat menyebabkan permasalahan nyata bagi penderita dan orang di sekitarnya.
Beberapa penyakit tertentu memang terbukti dapat diperberat oleh kondisi mental
seseorang. Misalnya pada penyakit psoriasis, tekanan darah tinggi, diabetes, dan eksim.
Kondisi penyakit tersebut tak jarang akan kambuh atau semakin berat ketika penderitanya
mengalami stres atau cemas. Namun secara fisik kondisi tersebut terlihat nyata dan dalam
pemeriksaan fisik akan terdeteksi oleh dokter.
Berbeda dengan gangguan psikosomatis, gejala-gejala yang muncul dan tanda kelainan
fisik yang terdapat pada penderitanya tidak selalu jelas, dan tidak terdeteksi oleh dokter.
Namun, keluhan dan dampak dari gangguan tersebut dirasakan nyata oleh pasien. Hal inilah
yang menyebabkan gangguan psikosomatis terkadang sulit untuk dideteksi.

1.7 Pengelolaan Keragaman


Diskriminasi dapat timbul salah satunya dikarenakan oleh adanya keragaman dalam
kehidupan. Keragaman muncul ketika terdapat perbedaan antara satu anggota organisasi
dengan anggota lainnya, antara satu tenaga kerja dengan tenaga kerja lainnya (Yunati, 2014).
Keragaman tersebut dapat berupa keragaman dari segi usia, suku bangsa, gender, status, dan
lain-lain. Salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasi nya adalah dengan
pengelolaan keragaman. Pengelolaan keragaan adalah salah satu upaya untuk menjaga,
menggunakan, memperbaiki, dan memahami semua keberagaman yang ada di kehidupan.

1) Dampak Keragaman ( The Impact of Diversity )


Keragaman di antara tenaga kerja sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
positif sebagai keunggulan kompetitif yang akan memperkuat organisasi atau perusahaan.
Dan sisi negatif, yaitu sebagai sumber konflik yang justru akan melemahkan organisasi
atau perusahaan.
 Keragaman Sebagai Keunggulan Kompetitif
Keragaman di antara tenaga kerja sesungguhnya dapat dilihat sebagai sebuah
keunggulan kompetitif jika perusahaan memiliki sistem yang jelas dan transparan bagi
seluruh tenaga kerja.
 Keragaman Sebagai Sumber Konflik
Konflik dapat terjadi dikarenakan faktor etnik, kelompok informal dalam organisasi,
maupun faktor-faktor lain yang terkait dengan berbagai keragaman dalam lingkungan
pekerjaan dan terutama antartenaga kerja yang dimiliki perusahaan.
2) Mengelola Keragaman Dalam Organisasi
Ada dua hal yang bisa dilakukan agar keragaman dapat membawa organisasi atau
perusahaan ke arah pencapaian tujuan, yaitu upaya yang dilakukan secara individual atau
strategi individual, dan upaya yang dilakukan oleh organisasi atau pendekatan organisasi.
 Strategi Individual
Perlu adanya toleransi dan pengertian dari setiap individu. Agar pengertian dan
toleransi dapat terwujud, maka keterbukaan dalam berkomunikasi memegang peranan
penting tercapainya pengertian dan toleransi atas keragaman yang ada.
 Peran Organisasi
Di antara upaya yang dapat dilakukan adalah dengan adanya regulasi yang adil dan
tidak bias gender. Regulasi yang adil akan memelihara hak-hak asasi dari setiap
tenaga kerja sehingga mereka merasa aman dalam lingkungan pekerjaannya. Selain
itu pula perusahaan dapat melakukan sosialisasi terus-menerus mengenai pentingnya
kesadaran, pengertian, dan toleransi melalui berbagai jenis pelatihan atau kegiatan
yang akan mempertemukan keragaman-keragaman yang ada dalam format kerjasama
yang produktif, dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Alhamda, S. 2015.Buku Ajar Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish.
Coloroso, B. 2007. Stop Bullying (Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga
SMU). Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi.
Effendi, W. (Tjoa Jiu Tie), dan Prasetyadji. 2008. Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI.
Jakarta: Transmedia Pustaka.
Fulthoni, et. al. 2009. Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama. Jakarta:
ILRC.
Gaghenggang, A. 2013. Diskriminasi terhadap Penderita HIV/AIDS menurut Hak Asasi
Manusia. Lex et Societatis, Vol. I, 5, 83-95.
LIliweri, A. 2005. Prasangka&Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural.
Yogyakarta: PT LKiS.
Murnalungito, D. N. 2016. Diskriminasi Gender terhadap Peserta Didik Perempuan yang
Hamil Peserta di Jenjang Sekolah Menengah Atas. Jurnal Hukum, 1-11.
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Presiden No. 56 tahun 2010 tentang Tata Cara
Pengawasan Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Salmivalli, dkk. 2011. Bystanders Matter: Associations Between Reinforcing, Defending, and
the Frequency of Bullying Behavior in Classrooms. Journal of Clinical Child &
Adolescent Psychology, 40:5, 668-676.
Sugiharto, I. 2009. Layanan Responsif Bimbingan Dan Konseling Berbasis Model Transteori
Untuk Menanggulangi Perilaku Bullying Siswa. Skripsi di jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan UPI Bandung : tidak diterbitkan.
Yunati, D. A., Kumaladewi, M. A., Husnia, F. N. 2014. Peluang yang Sama dalam Hukum.
Makalah Manajemen SDM, jurusan Administrasi Perpajakan Universitas Brawijaya.
Liputan 6. 2015. Survei ICRW: 84% Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah, (online),
(http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-indonesia-alami-
kekerasan-di-sekolah), diakses 7 Juni 2018.
Nainggolan, S.Y. 2017. Diskriminasi Memberi Dampak Buruk dalam Hubungan Sosial,
(online), (http://rona.metrotvnews.com/keluarga/4KZOPopN-diskriminasi-memberi-
dampak-buruk-dalam-hubungan-sosial), diakses 10 Juli 2018.
Kevin, A. dr. Gangguan Psikosomatis, Ketika Pikiran Menyebabkan Penyakit Fisik, (online),
(https://www.alodokter.com/gangguan-psikosomatis-ketika-pikiran-menyebabkan-
penyakit-fisik), diakses 10 Juli 2018.
Sodik, M. A. (2015, April). The “Kimcil” Phenomenon: Sexual Knowledge and Safe Sex Behaviour
among Adolescents in Kediri. In The 1st Joint International Conference.
Sodik, M. A., & Aprina, T. S. (2018). Effect of Smoking For Teens Against Behavior and Social
Interaction. Open Science Framework. June, 1.
Sodik, M. A., & Nzilibili, S. M. M. (2017). The Role Of Health Promotion And Family Support With
Attitude Of Couples Childbearing Age In Following Family Planning Program In
Health. Journal of Global Research in Public Health, 2(2), 82-89.
Karina, Z., & Sodik, M. A. (2018). Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kesehatan.
Sodik, M. A., Kesehatan, D. P., & STRADA, I. P. P. I. S. (2016). Leprosy Patients in public perception:
A qualitative study of patient confidence (dis) in the Community. Journal of Global Research
in Public Health, 2(1), 82-89.
Sodik, M. A., & Aprina, T. S. (2018). Effect of Smoking For Teens Against Behavior and Social
Interaction. Open Science Framework. June, 1.

Anda mungkin juga menyukai