Anda di halaman 1dari 15

Tugas Sosiologi

Tokoh-tokoh sosiologi didunia

Ardiansyah Nugraha
A31113033

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Pendahuluan
Seseorang yang pertama kali mempelajari sosiologi, sesungguhnya secara tidak sadar
telah mengetahui sedikit tentang soiologi. Selama hidupnya, dia telah menjadi anggota
masyarakat dan sudah mempunyai pengalaman-pengalaman dalam hubungan sosial atau
hubungan antar manusia. Sejak lahir didunia, dia sudah berhubungan dengan seseorang yaitu
dengan keluarganya, dan seiring bertambahnya usia, bertambah luas pulalah pergaulannya
dengan antar manusia satu dengan manusia lainnya. Dia juga menyadari bahwa kebudaayaan
dan peradaban inimerupakan hasil perkembangan dari masa-masa silam. Kadang dalam
berbagai hal manusia memiliki kesamaan tetapi juga mempunyai khas tersendiri, sehingga
itulah yang membedakannya dengan yang lainnya.
Dalam tokoh-tokoh dunia yang mengkaji sosiologi untuk pertama kalinya yaitu bahwa
sosiologi ini merupakan ilmu yang murni dan bukan merupakan ilmu terapan, sehingga dari
ilmu murni itulah ilmu sosiologi makin mengalami perkembangan, sehingga ilmu sosiologi
menarik perhatian, awalnya orang-orang yang meninjau masyarakat hanya tertarik pada
masalah-masalah yang menarik perhatian umum, seperti kejahatan, perang, kekuasaan
golongan yang berkuasa, keagamaan, dan lain sebagainya. Dari pemikiran serta penilaian itu,
orang kemudian meningkat pada filsafat kemasyarakatan, dimana orang menguraikan
harapan-harapan tentang susunan serta kehidupan masyarakat yang diinginkan atau
masyarakat yang ideal, sehingga muncullah pola-pola pemikir-pemikir tentang ilmu sosiologi
sehingga melakukan penelitian terhadap masyarakat yang ada.

Tokoh-tokoh sosiologi dunia


Auguste Comte : Sosiologi Positivis
Prancis (1798-1857)

August Comte atau juga Auguste Comte (Nama lengkap : Isidore


Marie Auguste Franois Xavier Comte, lahir di Montpellier, Prancis, 17 Januari 1798 meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun dan dimakamkan di
Cimetire du Pre Lachaise.) adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak
sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam
ilmu sosial. Istilah sosiologi pertama kali digunakan pada tahun 1839 oleh Auguste Comte.
Sebelumnya Comte menggunakan istilah fisika sosial yang sudah digunakan oleh Adolphe
Quetelet, ahli matematika dari Belgia, untuk menunjuk studi statistika tentang gejala moral
(1836), sehingga Comte nengubahnya menjadi sosiologi untuk menandakan ilmu
pengetahuan masyarakat yang baru.
Auguste Comte sangat prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat saat
berlangsungnya Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan
pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial untuk menandingi pemikiran yang
dianggap filsafat negatif dan destruktif. Positivisme mengklaim telah membangun teori-teori
ilmiah tentang masyarakat melalui pengamatan dan percobaan untuk kemudian
mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial. Aliran positivis percaya akan
kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara objektif mengenai struktur sosial.
Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga disebutnya
sebagai sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu alam agar motivasi
manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya fisika atau kimia. Ilmu baru ini
akhirnya

menjadi

ilmu

dominan

dan dinamika sosial (perubahan sosial).

yang

mempelajari statika

sosial (struktur

sosial)

Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan


membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya
tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat berkembang
secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap kekuatan dewa), melalui
tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak), hingga tahap positivistik (percaya terhadap
ilmu sains). Pandangan evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya
organisme, berkembang dari sederhana menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi
diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan
sosial.

Emile Durkheim : Sosiologi Struktural


Prancis (1859-1917)

Untuk menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917)


berbicara mengenaikesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada
suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society (1893). Durkheim
mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang membuat
masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu berbentuk nilai-nilai, adatistiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat
primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang jalinmenjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik.Sedangkan pada masyarakat yang
kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat oleh
pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki Solidaritas
Organik .
Selanjutnya dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method (1895),
Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial, yaitu fakta-fakta dari luar
individu yang mengontrol individu untuk berpikir dan bertindak dan memiliki daya paksa. Ini
berarti struktur-struktur tertentu dalam masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat mengontrol

tindakan individu dan dapat dipelajari secara objektif, seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial
terbagi menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan
lembaga sosial).
Dua tahun kemudian melalui Suicide (1897), Durkheim berusaha membuktikan
bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab sosial (fakta sosial) dengan pola-pola bunuh diri.
Dalam

karya

itu

diri egoistik (masalah

disimpulkan
pribadi),

ada

macam

tipe

altruistik (untuk

bunuh

diri,

yakni

bunuh

kelompok), anomik (ketiadaan

kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim
berpendapat bahwa faktor derajat keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial)
sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.

Karl Marx: Sosiologi Marxis


Jerman (1818-1883)

Karl Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme


historis percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas. Marx memandang
bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Oleh
karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi (kaum borjuis/kapitalis) senantiasa
terlibat konflik dengan kaum buruh yang dieksploitasi (kaum proletar).
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi komoditas mau tak
mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan merefleksikan pengejaran keuntungan
ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan,
penyedia informasi, rumah sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan.
Tingkat keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan.
Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur
(kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).

Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan sosial yang


telah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut (Osborne, 1996: 50):
semua masyarakat dibangun atas dasar konflik, penggerak dasar semua perubahan sosial
adalah ekonomi, masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah
faktor dominan, perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak, tetapi dapat dilihat dari
hubungan manusia dengan organisasi ekonomi, individu dibentuk oleh masyarakat, tetapi
dapat mengubah masyarakat melalui tindakan rasional yang didasarkan atas premis-premis
ilmiah (materialisme historis), bekerja dalam masyarakat kapitalis mengakibatkan
keterasingan (alienasi), dan dengan berdiri di luar masyarakat, melalui kritik, manusia dapat
memahami dan mengubah posisi sejarah mereka.

Herbert Spencer : Sosiologi Evolusioner


Inggris (1820-1903)

Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk


menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi
dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat
bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap
lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan
cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang
tak layak akhirnya punah. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering
dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu
teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan namaDarwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di
kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissezfaire dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali
fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol
eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta

kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski
pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus
hidup dalam tulisan-tulisan populer.

Max Weber : Sosiologi Weber


Jerman (1864-1920)

Maximilian Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864


meninggal di Mnchen, Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli
ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu
sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi
dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi.
Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat
bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya
Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber
mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan
kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu
politik Barat modern.
Max Weber tidak sependapat dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi
merupakan kekuatan pokok perubahan sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme, Weber menyatakan bahwa kebangkitan pandangan religius tertentu
dalam hal ini Protestanisme yang membawa masyarakat pada perkembangan kapitalisme.
Kaum Protestan dengan tradisi Kalvinis menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial
merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini,
mereka menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan menginvestasikan surplusnya agar
mendapat modal lebih banyak lagi.

Pandangan lain yang disampaikan Weber adalah tentang bagaimana perilaku individu
dapat

mempengaruhi

masyarakat

secara

luas.

Inilah

yang

disebut

sebagai

memahami Tindakan Sosial. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan
memahami niat, ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini
disebut verstehen(pemahaman).
Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi. Menurut Weber, peradaban Barat adalah
semangat Barat yang rasional dalam sikap hidup. Rasional menjelma menjadi operasional
(berpikir sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi adalah proses yang menjadikan
setiap bagian kecil masyarakat terorganisir, profesional, dan birokratif. Meski akhirnya Weber
prihatin betapa intervensi negara terhadap kehidupan warga kian hari kian besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber
mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan
kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu
politik.

Georg Simmel : Filsafat Uang


Jerman (1858-1919)

Georg Simmel (1858-1919) sangat terkenal karena karyanya yang


spesifik tentang tindakan dan interaksi individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe
orang berinteraksi, kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil lainnya.
Karya-karya Simmel ini nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi di Amerika.
Karya yang terkenal dari Simmel adalah tentang Filsafat Uang. Simmel sebagai
sosiolog cenderung bersikap menentang terhadap modernisasi dan sering disebut bervisi
pesimistik. Pandangannya sering disebut Pesimisme Budaya. Menurut Simmel, modernisasi
telah menciptakan manusia tanpa kualitas karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya
sendiri. Sebagai contoh, begitu teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan
dan kemampuan tenaga kerja secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin

modern teknologi, maka kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung
malas.
Di sisi lain, gejala monetisasi di berbagai faktor kehidupan telah membelenggu
masyarakat terutama dalam hal pembekuan kreativitas orang, bahkan mampu mengubah
kesadaran. Mengapa? Uang secara ideal memang alat pembayaraan, tetapi karena
kekuatannya, uang menjadi sarana pembebasan manusia atas manusia. Artinya uang sudah
tidak dipahami sebagai fungsi alat, tetapi sebagai tujuan. Kekuatan kuantitatifnya telah
mampu mengukur berbagai jarak sosial yang membentang antar individu, seperti cinta,
tanggung jawab, dan bahkan mampu membebaskan atas kewajiban dan hukuman sosial.
Barang siapa memiliki uang dialah yang memiliki kekuatan.

Ferdinand Tonnies : Klasifikasi Sosial


Jerman (1855-1936)

Ferdinand Tonnies (1855-1936) mengkaji bentuk-bentuk dan polapola ikatan sosial dan organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial. Menurut Tonnies,
masyarakat

itu

bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban)

atau gesselschaft (asosiasi/

patembayan).
Masyarakat gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial
tertutup, pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas hubungan
kekeluargaan dan kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan tipikal masyarakat praindustri atau masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat gesselschaft, hubungan
kekeluargaan telah memudar, hubungan sosial cenderung impersonal dengan pembagian kerja
yang rumit. Bentuk seperti ini terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat perkotaan.
Tema dasar Tonnies adalah hilangnya komunitas dan bangkitnya impersonalitas. Ini menjadi
penting dalam kajian tentang masyarakat perkotaan.

Herbert Marcuse : One Dimensional Man


Jerman (1898-1979)

Herbert Marcuse (1898-1979) merupakan anggota Mazhab


Frankfurt yang setengah hati. Menjadi terkenal selama tahun 1960-an karena dukungannya
terhadap gerakan radikal dan anti-kemapanan. Dia pernah dijuluki kakek terorisme,
merujuk pada kritiknya tentang masyarakat kapitalis, One Dimensional Man (1964) yang
berargumen bahwa kapitalisme menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu, kesadaran palsu,
dan budaya massa yang memperbudak kelas pekerja.

Jurgen Habermas : Komunikasi Rasional


Jerman, 1929

Setelah tahun 1960-an, sosiologi makin menyadari pentingnya


faktor kebudayaan dan komunikasi dalam menganalisis masyarakat. Jurgen Habermas (1929)
menggabungkan kesadaran baru dengan Mazhab Frankfurt. Habermas membicarakan
komunikasi rasional dan kemungkinan keberadaannya dalam masyarakat kapitalis. Dalam
karyanya The Theory of Communicative Action (1981), Habermas mengemukakan analisis
kompleks tentang masyarakat kapitalis dan cara-cara yang mungkin untuk melawan melalui
emansipasi komunikatif dan moral.

Antonio Gramsci: Hegemoni


Italia (1891-1937)

Antonio Gramsci (1891-1937), seorang sosiolog Italia adalah


seorang pemikir kunci dalam pendefinisian ulang perdebatan mengenai kelas dan kekuasaan.
Konsepnya tentang Hegemoni menjadi diskusi tentang kompleksitas masyarakat modern.
Gramsci menyatakan bahwa kaum Borjuis berkuasa bukan karena paksaan, melainkan juga
dengan persetujuan, membentuk aliansi politik dengan kelompok-kelompok lain dan bekerja
secara ideologis untuk mendominasi masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat berada dalam
keadaan tegang terus-menerus.
Ide mengenai hegemoni (memenangkan kekuasaan berdasarkan persetujuan
masyarakat) sangat menarik karena pada kenyataannya individu selalu bereaksi terhadap dan
mendefinisi ulang masyarakat dan kebudayaan tempat mereka berada. Ide-ide Gramsci
selanjutnya banyak berpengaruh pada studi kebudayaan dan budaya populer.

Charles Horton Cooley (1846-1929)

C. H Cooley (lahir 17 Agustus 1864 meninggal 8 Mei 1929 pada


umur 64 tahun) lahir di Michigan, Amerika Serikat, dia adalah anak seorang ahli hukum
terkenal yaitu Thomas M. Cooley. Pada mulanya dia belajar teknik mesin elektro, kemudian
dia juga belajar ekonomi. Setelah lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di
departemen komisi pengawas, kemudian juga di kantor sensus. Pada tahun 1892 dia menjadi

dosen ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di universitas Michigan. Pemikiran Cooley
banyak dipengaruhi oleh George Herbert Mead dan Sigmund Frued. Cooley tergolong dalam
sosiolog interaksionisme simbolik klasik.
Cooley mempelajari tentang aspek psikologi sosial dari kehidupan sosial. Cooley
menekuni tentang kesadaran. Yang terkenal adalah konsep cermin diri (the looking glass
self), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kesadaran itu terbentuk
dalam interaksi sosial yang berlanjut.
Charles Horton Cooley memandang bahwa hidup manusia secara sosial ditentukan
oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis manusia tiada beda, tapi secara sosial
tentu sangat berbeda. Perkembangan historislah yang menyebabkan demikian. Dalam
analisisnya mengenai perkembangan individu, Cooley mengemukakan teori yang dikenal
dengan Looking Glass-Self atau Teori Cermin Diri. Menurutnya di dalam individu terdapat
tiga unsur: 1) bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat kita; 2) bayangan mengenai
pendapat orang lain mengenai diri kita; dan 3) rasa diri yang bersifat positif maupun negatif.

George Herbert Mead (1863-1931)

George Herbert Mead (1863-1931), salah satu tokoh sentra


interaksionisme simbolik menggambarkan pembentukan diri atau tahap sosialisasi dalam
ilustrasi pertumbuhan anak, dimana terdapat tiga tahap pertumbuhan anak, yakni 1) tahap
bermain (play stage); 2) tahap permainan (game stage); dan 3) tahap mengambil peran orang
lain (taking role the other).
Manusia tidak bereaksi terhadap dunia sekitar secara langsung, mereka bereaksi
terhadap makna yang mereka hubungkan dengan benda-benda dan kejadian-kejadian sekitar
mereka, lampu lalu lintas, antrian pada loket karcis, peluit seorang polisi dan isyarat
tangan. W.I. Thomas (1863-1947), mengungkapkan tentang definisi suatu situasi, yang
mengutarakan bahwa kita hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat
situasinya. Bila seorang laki-laki mendekat dan mengulurkan tangan kanannya, kita

mengartikannya sebagai salam persahabatan, bila mendekat dengan tangan mengepal


situasinya akan berlainan. Kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dan bereaksi
dengan tepat, dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan.
Ibnu Kholdun : Bapak Sosiologi Islam.

Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M Kairo 25 Ramadan 808 H./19 Maret
1406 M

Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332
M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia
dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena
pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah
dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823)
mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisantulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun
terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang
dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka
dalam pengembaraannya yang luas pula.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Tariif bi
Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah
(pendahuluan atas kitabu al-ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab alMuhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat
teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa alMutaakh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam
artikelnya The Islamic Review & Arabic Affairs di tahun 1970-an mengomentari tentang
karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu

Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat,
terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam
bahasa Inggris). Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah
(pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji
hingga saat ini.
Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun
menganalisis apa yang disebut dengan gejala-gejala sosial dengan metoda-metodanya yang
masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala
sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang
membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem
pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri
bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk
mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan
kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga
yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit
demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat
kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu
mengawasi kelemahannya.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai
peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan
oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain
ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan
kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran
termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu
pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran
Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.

Daftar Pustaka

Buku Sosiologi Suatu Pengantar (Prof. Dr. Soerjono Soekanto)


http://datatokoh-tokoh.blogspot.com/2013/04/tokoh-tokoh-sosiolog-

dunia.html
http://lutvisucimardianti.blogspot.com/2013/04/biografi-tokohsosiologi.html

Anda mungkin juga menyukai