Laporan Akhir Farmakologi Pengaruh Absro
Laporan Akhir Farmakologi Pengaruh Absro
PERCOBAAN II
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT
Disusun oleh :
Golongan A2 Kelompok 1
Deni Agustin Wulandari
(G1F014037)
Alim Wijaya
(G1F014039)
(G1F014041)
Dendy Arikasandi
(G1F014047)
(G1F014039)
Tanggal
: 15 April 2015
Nama Dosen
: Ika Mustikaningtias
Nama Asisten
: Intan
Yessy Gladiani
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan obat
terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan. Rute pemberian obat
menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh sehingga merupakan
penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Rute
pemberian dapat mempengaruhi onset dan durasi. Oleh karena itu, pengaruh cara
pemberian terhadap absorbsi obat perlu dipelajari dan dipraktekkan.
B. Tujuan
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat
terhadap kecepatan absorpsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.
C. Dasar Teori
Obat adalah senyawa kimia yang dapat mengubah dan mempengaruhi responsivitas
sistem biologi. Aksi obat dimediasi oleh proses yang terjadi secara alami dalam tubuh
(Hollinger, 2003).
Senyawa obat adalah zat kimia (sintetik/alami) selain makanan yang bertujuan
untuk mempengaruhi fungsi tubuh, biokimiawi, psikologis dan khususnya untuk diagnosa,
pengobatan, melunakkan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit pada manusia atau
hewan. Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan ( Ansel,1985 ).
Obat (jadi) adalah senyawa atau padu-paduan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi/menyelidiki
secara
fisiologis
dalam
rangka
penetapan
diagnosa,
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase, yaitu:
1) Fase Farmasetik (Fase Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut. Oleh karena itu, fase farmasetik (fase
disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran pencernaan, obat-obat perlu
dilarutkan agar dapat diabsopsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus
didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan dan proses
ini disebut disolusi (Kee, 1994).
2) Fase Farmakokinetik
Merupakan proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang
termasuk di dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Absorpsi
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui
filtrasi, difusi, atau transport aktif (Tjay, 2007). Absorpsi merupakan proses masuknya
obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya,
tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru,
otot, dan lain-lain (Syarif, 2007).
Absorbsi adalah proses pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari tempattempat tertentu dalam organ dalam ke dalam aliran darah atau sistem pembuluh limfe.
Dari aliran darah atau sistem pembuluh limfe terjadi distribusi obat ke dalam organisme
keseluruhan. Karena obat baru berkhasiat apabila berhasil mencapai konsentrasi yang
sesuai pada tempat kerjanya, maka suatu absorbsi yang cukup merupakan syarat untuk
suatu efek terapeutik, sejauh obat tidak digunakan secara intravasal atau tidak langsung
dipakai pada tempat kerjanya. Dikatakan cukup apabila kadar obat yang telah diabsorpsi
tidak melewati batas KTM, yaitu Kadar Toksik Minimum, tetapi masih berada di dalam
batas KEM, yaitu Kadar Efektif Minimum.
Kadar
obat
dalam
darah
KTM
JENDELA
TERAPEUTI
KEM
Waktu
Mekanisme absorpsi obat dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
1. Difusi pasif
Proses perpindahan molekul obat yang bersifat spontan, mengikuti gradien
konsentrasi, dari konsentrasi tinggi (hipertonis) ke konsentrasi yang rendah
(hipotonis), berbanding lurus dengan luas permukaan absorpsi, koefisien
distribusi senyawa yang bersangkutan, dan koefisien difusi serta berbanding
terbalik dengan tebal membran.
2. Transpor aktif
Molekul ditranspor melawan gradien transportasi. Proses ini memerlukan
adanya energi dan dapat dihambat oleh senyawa analog, secara kompetitif dan
secara tak kompetitif oleh racun metabolisme.
3. Difusi terfasilitasi
Molekul hidrofil sulit untuk menembus membran yang komposisi luarnya
adalah lipid, maka berikatan dengan suatu protein pembawa yang spesifik.
Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat bergerak bebas dalam
membran. Dengan demikian, penetrasi zat yang ditransport melalui membran
sel lipofil kedalam bagian dalam sel akan dipermudah.
Pergerakan partikel-partikel obat dari saluran pencernaan ke dalam tubuh umumnya
melalui difusi pasif. Dengan proses difusi pasif, obat tidak memerlukan energi untuk
menembus membran. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja
permukaan mukosa vili yang luas.
b. Distribusi
Distribusi merupakan proses dimana obat menjadi berada dalam jaringan tubuh dan
cairan tubuh. Setelah obat diabsorpsi ke dalam aliran darah, untuk mencapai tepat pada
letak dari aksi, obat harus melalui membran sel yang kemudian dalam peredaran
kebanyakan obat didistribusikan melalui cairan badan.
Distribusi merupakan transfer obat yang reversibel antara letak jaringan dan
plasma. Pola distribusi menggambarkan permainan dalam tubuh oleh beberapa faktor
yang berhubungan dengan permeabilitas, kelarutan dalam lipid dan ikatan pada
makromolekul.
Adsorpsi kembali molekul obat dan koefisien partisi lemak atau air. Obat
yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diadsorpsi kembali oleh
mebran tubulus. Adsorpsi kembali pada tubular ini sangat tergantung pada pH
urin. Obat yang bersifat elektrolit lemah pada urine normal mempunyai pH =
4,8-7,5. Sebagian besar akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi, mudah
larut dalam lemak, sehingga mudah diadsorpsi kembali oleh tubular.
3. Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal
Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui tubulus ginjal
dengan mekanisme pengangkutan aktif. Sebagai contoh, kombinasi obat antara
probenesid dengan penisilin meningkatkan masa kerja penisilin karena
probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara
kompetitif sehingga ekskesi penisili menurun, kadar penisilin dalam darah
tetap tinggi dan menunjukkan aktifitas lebih lanjut (Siswandono, 1995).
3) Fase Farmakodinamik
Fase farmakodinamik merupakan fase yang mempelajari efek obat terhadap fisiologi
dan biokimia seluler serta mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek
fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang
diinginkan. Sedangkan, efek sekunder merupakan efek yang diinginkan ataupun yang tidak
diinginkan (Kee, 1994).
Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan obat
terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan. Berikut ini ada
beberapa cara pemberian obat beserta karakteristiknya:
1. Per Oral (p.o)
Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian melalui
mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum karena mudah
digunakan, relatif aman, murah dan praktis (dapat dilakukan sendiri tanpa keahlian dan
alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara peroral adalah efeknya lama,
mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat tidak teratur, tidak 100% obat diserap.
Tidak diserapnya obat secara 100% dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
Jumlah makanan dalam lambung
Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim
gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral akan
Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik
Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek sistemik,
yaitu obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah terjadi
absorpsi obat dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran gastrointestinal.
Tetapi ada obat yang memberi efek lokal dalam usus atau lambung karena obat yang
tidak larut, misalnya obat yang digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang
digunakan untuk menetralkan asam lambung.
2. Intra Muskular (i.m)
Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada otot pantat
dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat banyak pembuluh darah dan
saraf sehingga relatif aman untuk digunakan. Obat dengan cara pemberian ini dapat
berupa larutan, suspensi, atau emulsi.
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat
yang sukar larut dalam air akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya
lambat atau terjadi tagositosis dari partikel obat. Sebaliknya, obat yang larut dalam air
akan diabsorpsi dengan cepat. Absorpsi biasanya berlangsung dalam waktu 10-30 menit.
Namun, kecepatan absorpsi juga bergantung pada vaskularitas tempat suntikan dengan
kecepatan peredaran darah antara 0,027-0,07 ml/menit. Molekul yang kecil langsung
diabsorpsi ke dalam kapiler sedangkan molekul yang besar masuk ke sirkulasi melalui
saluran getah bening. Absorpsi obat cara suntikan intra muskular pada pria lebih cepat
daripada wanita karena pada wanita lebih banyak terdapat jaringan adiposa.
Keuntungan pemberian obat dengan cara ini antara lain:
Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindari
Efek obat cepat
Fleksibel dan akurat jika diberikan pada penderita yang mengalami collaps,
shock, dan bagi yang sukar menelan
3. Subkutan (s.c)
Subkutan adalah pemberian obat melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah kulit.
Bentuk sediaan yang mungkin diberikan dengan cara ini antara lain larutan dan suspensi
dalam volume lebih kecil dari 2 ml, misalnya insulin. Obat diabsorpsi secara lambat
sehingga intensitas efek sistemik dapat diatur. Pemberian obat dengan cara ini dilakukan
bila obat tidak diabsorpsi pada saluran pencernaan atau dibutuhkan kerja obat secara
tepat, misalnya pada situasi akut. Pemberian subkutan hanya boleh digunakan untuk
obat-obat yang tidak menyebabkan iritasi pada jaringan.
Keuntungan pemberian obat dengan cara ini antara lain:
4.
Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau hati, karena dapat
menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut, obat diabsorpsi secara cepat karena
pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya
lebih cepat dibandingkan peroral dan intra muskular. Obat yang diberikan secara intra
peritoneal akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam
5.
h. Integritas membran
i. Aliran darah pada tempat absorpsi
Jumlah obat yang diabsorpsi juga dipengaruhi oleh:
a. Luas permukaan absorpsi
Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi semakin
banyak dan semakin sempit permukaan absorpsi maka jumlah obat yang
diabsorpsi semakin sedikit.
b. Banyaknya membran yang dilalui obat
Semakin banyak membran yang dilalui, maka obat yang diabsorpsi semakin
sedikit. Sebaliknya, jika membran yang dilalui sedikit maka obat yang
diabsorpsi semakin banyak.
c. Banyaknya obat yang terdegradasi
Semakin banyak obat yang terdegradasi, maka obat yang diabsorpsi semakin
sedikit, begitu pula sebaliknya.
d. Jumlah ikatan depot
Banyaknya ikatan depot obat dengan molekul tidak aktif (albumin, lemak,
tulang) berpengaruh pada jumlah obat yang diabsorpsi, yaitu semakin banyak
ikatan depot maka semakin sedikit jumlah obat yang diabsorpsi, begitu pula
dengan sebaliknya (Kee, 1994).
Tikus
Ditimbang
Intra peritonial
Disuntikkan ke
Intra muscular
Disuntikkan ke
Intra vena
Disuntikkan ke
subkutan
Disuntikkan di
dengan jarum
rongga perut
vena lateralis
bawah kulit
bagian ekor
tengkuk
sonde
balik badan.
Dihitung onset dan durasi waktu
tidur.
Data
Dosis konversi :
Manusia ( 70 kg ) = 10 mg / 70 kg
Tikus ( 200 gr ) = 0, 018 x 10 mg
= 0,18 mg / 200 gr
a. Intra Muskular
Volume Pemberian
Tikus I
Volume IM
= 0,1 ml
1/2 V maks
= 0,05 ml
Tikus II
Volume Pemberian
Volume IM
= 0,1 ml
1/2 V maks
= 0,05 ml
= V2 M2
V1 x 5 mg/ml = 10 x 1,8
V1
= 3,6 ml
b. Peroral
Dosis konversi
= 0,018 x 10
= 0,18 mg / 200 gr
2 x dosis konversi
V maks
2 x 0,18
5
= 0,072 mg / ml
0,072 x 116, 4 mg
2 mg
= 4, 1904 mg
Volume pemberian
Tikus I =
=
BB tikus
100
150
100
x V maks
x5
= 3,75 ml
Tikus II
BB tikus
100
120
100
x V maks
x5
= 3 ml
c. Intra Peritoneal
dosis konversi
Larutan stok = 2 X 1 Vmaks
2
0,18
= 5 mg/ml
= 0,036 ml
Volume zat yang diambil
V1 M1
= V2 M2
V1 x 5 mg/ml = 25 ml x 0,18
V1 = 0,9 ml
Volume pemberian
Tikus I
=
=
BB tikus
100 x 2
220
200
x ( x 2 x V maks )
x ( x 2 x 5 )
= 5,5 ml
Tikus II
=
=
BB tikus
100 x 2
140
200
x ( x 2 x V maks )
x ( x 2 x 5 )
= 3,5 ml
d. Intra Vena
dosis konversi
1
Larutan stok =
2 X Vmaks
2
0,18
= 5 mg/ml
= 0,036 ml
Volume zat yang diambil
V1 M1 = V2 M2
V1 x 5 mg/ml = 10 x 0,036 mg / ml
V1 = 0,072 ml
Volume pemberian
Tikus I
=
=
BB tikus
100 x 2
140
200
x ( x 2 x V maks )
x ( x 2 x 1 )
= 0,7 ml
Tikus II
=
=
BB tikus
100 x 2
150
200
x ( x 2 x V maks )
x ( x 2 x 5 )
= 0,75 ml
e. Subcutan
Dosis konversi = 0,18 mg / 200 gr
Konsentrasi larutan stok = 0,18 / 5 ml
V1 x M1 = V2 M2
BB tikus
100
152
100
x V maks
x ( x 2 x 5 )
= 3,8 ml
Tikus II
BB tikus
100
200
100
= 5 ml
x V maks
x ( x 2 x 5)
Data Pengamatan
Cara
Pemberi
an
IM
V.
SC
IV
IP
PO
Pembahasan
Reflek
Hilang
Waktu tidur
Kembali
Tidur
Bangun
Waktu
15
30
40
40
60
60
60
70
70
85
85
90
120
15
30
40
30
30
60
60
60
90
97
120
14
15
15
11
12
29
29
30
60
90
120
15
30
60
90
120
15
30
31
32
33
42
60
90
120
diberikan tidak over dosis atau tidak mencapai KEM maka dilakukan perhitungan volume
pemberian. Volume pemberian dihitung dengan metode body mass equivalence ( BME ).
Hasil kali dosis dan konversi dosis manusia ke tikus (gram). Pada percobaan didapati
jumlah dosis untuk tikus 200 gr adalah 0,18mg/200gr. Sedangakan pemberian dosis
dalam bentuk larutan stok untuk tikus adalah 0,1 ml tiap 100 gram berat tikus.
Perhitungan larutan stok yaitu dengan mengalikan volume maksimal pemberian.
Apabila volume maksimal pada tikus (100gr) adalah volume maksimal, maka untuk
tikus (200gr) adalah volume maksimal x 2 (kelipatan berat badan tikus). Pada
pemberian larutan digunakan larutan stok 10mg/2 ml atau 5mg/ml diazepam. Apabila
dosis sebesar 0,18 mg/200gr dan larutan stok sebesar 10 mg/2ml atau 5 mg/ml. Maka
Dengan menggunakan larutan stok sebesar 5 mg/ml maka didapati volume pemberian
dosis pada hewan uji adalah 0,18mg/0,1ml atau 1,8mg/ml berdasarkan perhitungan
jumlah dosis yang diberikan dan jumlah larutan stok maksimal yang dapat diberikan pada
tikus dengan berat 200gr. Dari perhitungan tersebut tidak didapati larutan stok dengan
kadar 0,18mg/0,1 ml atau 1,8mg/ml maka dilakukanlah pengenceran dengan larutan
untuk mendapatkan kadar dosis yang diinginkan. Pengenceran dilakukan dengan
mengencerkan larutan stok 5mg/ml ke dalam 1,8mg/ml dalam 10 ml air. Maka didapati
volume air untuk mengencerkan 5mg/ml diazepam adalah 3,6 ml. Setelah itu diambil
sebanyak volume maksimal larutan yang dibutuhkan untuk diberikan ke hewan uji. Dan
disuntikkan ke hewan uji secara intra muscular (0,1 ml untuk berat 200 gr dan 0,05 ml
untuk berat 100 gr).
Pada percobaan digunakan cairan Diazepam. Diazepam termasuk kelompok obat
benzodiazepine yang memengaruhi sistem saraf otak dan memberikan efek penenang.
Obat ini digunakan untuk mengatasi serangan kecemasan, insomnia, kejang-kejang,
gejala putus alkohol akut, serta sebagai obat bius untuk praoperasi. Diazepam tidak
disarankan untuk dikonsumsi jangka panjang, biasanya dokter meresepkan obat ini untuk
jangka pendek. Obat ini bisa menyebabkan kecanduan, ketergantungan, atau bahkan
kebal terhadap efek obat ini. Setelah mengonsumsi diazepam, efek obat ini bisa bertahan
selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari setelah berhenti mengonsumsinya
(Nugroho, 2011).
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on
(C 16 H 13 Cl N 2 O).
Merupakan
senyawa Kristal tidak berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air.
Diazepam masuk dalam golongan long acting benzodiazepine dengan waktu paruh lebih
dari 24 jam (Ferick, - ).
Struktur molekul Diazepam:
Farmakokinetik
Pengertian lain dari farmakokinetik menurut ilmu farmakologi sebenarnya dapat
diartikan sebagai proses yang dilalui obat di dalam tubuh atau tahapan perjalanan obat
tersebut di dalam tubuh. Proses farmakokinetik ini dalam ilmu farmakologi meliputi
beberapa tahapan mulai dari proses absorpsi atau penyerapan obat, distribusi atau
penyaluran obat ke seluruh tubuh, metabolisme obat hingga sampai kepada tahap
ekskresi obat itu sendiri atau proses pengeluaran zat obat tersebut dari dalam tubuh.
Fase-fase tersebut diantaranya adalah :
1. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinalke
dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis.Kebanyakan
obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas.Jika
sebagain dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dariusus halus, maka
absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein,seperti insulin dan
hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan.
Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan darikonsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk
menembus membran. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak
melawan perbedaan konsentrasi.Sebuah enzim atauprotein dapat membawa obat-obat
obat
dipengaruhi
oleh
aliran
darah,
rasa
nyeri,
stres,
sampai hampir seluruh jarum masuk dalam mulut tikus. Setelah jarum benar-benar masuk
esophagus tikus, kemudian cairan dimasukkan sampai larutan dalam jarum suntik habis.
Pada percobaan ini, volume cairan yang digunakan adalah 3,75 ml untuk tikus pertama
dan 3 ml untuk tikus kedua. Jika terasa ada hambatan mungkin melukai saluran nafas.
Maka dari itu jarum suntik harus
hambatan. Jika jarum tetap dipaksa untuk masuk, dikhawatirkan akan menyebabkan luka
pada tikus dan dapat mempengaruhi hasil percobaan.
Berdasarkan percobaan, kondisi tikus sebelum diinjeksi adalah sehat dan bergerak
aktif. Kemudian dilakukan penginjeksian per oral pada tikus. Waktu onset dihitung dari
saat pemberiaan obat hingga timbulnya efek pada tikus. Dari percobaan didapat data
waktu onset adalah 1860 detik untuk tikus pertama dan 1980 detik untuk tikus kedua.
Sedangkan durasinya adalah 300 detik pada tikus I dan 540 detik pada tikus II . Secara
teoritis pemberian peroral memiliki onset paling lama karena obat harus melewati rute
yang panjang dan mengalami berbagai peristiwa sebelum mencapat tempat aksinya, yaitu
sistem saraf pusat. Obat akan mengalami first pass metabolism yaitu perubahan obat
dalam proses absorpsi sebelum memasuki sirkulasi sistemik. First pass effect ini dapat
terjadi di lambung dan usus berupa perusakan oleh enzim-enzim pencernaan. Selain itu
metabolisme obat di hati juga dapat mengubah zat aktif menjadi metabolit yang umumnya
lebih tidak aktif.
Cara pemberian obat peroral merupakan cara yang paling umum digunakan karena
mudah, aman dan murah. Akan tetapi, cara tersebut memiliki beberapa kerugian yaitu
banyanyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, yaitu obat dapat mengiritasi
saluran pencernaan, sehingga tidak dapat dilakukan bila pasien koma. Absorpsi obat
terjadi secara difusi pasif, oleh sebab itu obat harus mudah larut dalam lemak dan dalam
bentuk non-ionik. Absorpsi obat dalam usus halus lebih cepat karena epitel usus halus
permukaannya luas karena berbentuk vili yang berlipat. Sedangkan dalam lambung lebih
lambat karena dindingnya tertutup lapisan mukus yang tebal.
2. Subcutan
Jarum yang digunakan adalah jarum dengan ujung runcing. Penyuntikan dilakukan di
bawah kulit. Volume cairan diazepam yang diberikan pada kedua tikus adalah 5 ml karena
kedua tikus mempunyai bobot yang sama. Berdasarkan percobaan, kondisi tikus sebelum
diinjeksi adalah sehat dan bergerak aktif. Kemudian dilakukan penginjeksian sub cutan
pada tikus. Penyuntikkan harus dilakukan hati-hati, karena dikhawatirkan justru
menembus daging tikus. Waktu onset dihitung dari saat pemberiaan obat hingga timbulnya
efek pada tikus. Dari percobaan didapat data waktu onset adalah 1800 detik pada tikus
kedua dan 3600 detik pada tikus pertama. Durasi pada tikus pertama terjadi selama 600
detik dan didetik yang ke 2400 tikus pertama kehilangan efek obat sampai pada detik ke
3600 hingga efek itu kembali dan durasi efek obat terjadi selama 60 detik sehingga efek
obat kembali hilang pada detik ke 3660. Dan pada detik yang ke 5640 efek obat kembali
pada tikus dan menyebabkan tikus tertidur. Sedangakan tikus kedua durasi efek obat
hanya terjadi selama 60 detik. dan efek obat kembali pada detik ke 5820.
Penginjeksian sub cutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak menyebabkan
iritasi jaringan. Pada umumnya absorpsi terjadi secara lambat dan konstant sehingga
efeknya bertahan lama. Obat bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada larutan.
Pemberian obat yang dicampur dengan obat vasokonstriktor juga dapat memperlambat
absorpsi obat tersebut.
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian
yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit. Larutan tiopental
yang digunakan bersifat isotonis dan isohidris. Apabila larutan sangat menyimpang
isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak
optimal. Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan Adrenaline (cukup
1:100.000-200.000) yang menyebabkan konsentriksi pembuluh darah local, sehingga
difusi obat tertahan atau diperlambat. Sebaliknya, absorpi obat dapat dipercepat dengan
penambahan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan yang menyebabkan penyebaran dipercepat. Bila ada infeksi, maka bahayanya
lebih besar dari pada penyuntikkan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian
subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.
Cara ini termasuk cara pemberian parenteral (diluar saluran pencernaan) sehingga
setelah obat disuntikkan ke bawah kulit, obat akan langsung menuju ke saluran sistemik.
Daerah subkutan memilki suplai darah yang baik dari kapiler kapiler (tersusun dari sel sel
endotelia) dan pembuluh limfa. Dengan demikian obat dapat berdifusi melalui jaringan
melewati dinding kapiler kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah. Kecepatan aliran
darah dalam pembuluh kapiler sangat menentukan kecepatan obat memasuki sirkulasi
sistemik. Pada pemberian obat secara sub kutan, obat tidak mengalami first pass
metabolism karena tidak melalui saluran pencernaan dan vena porta. Barrier yang
menghambat obat memasuki sirkulasi sistemik hanya dinding pembuluh kapiler yang
tersusun atas endotelium. Obat dengan karakter fisika kimia yang tepat akan mudah
berdifusi melalui jaringan dan dinding pembuluh kapiler untuk kemudian masuk ke sistem
sirkulasi sistemik. Oleh karena itu, onset sub kutan kurang dari intraperitonial.
3. Intramuscular
Pemberian secara intra muscular adalah injeksi obat yang dilakukan pada gluteus
maximus (otot paha) dari tikus dengan menggunakan spuit berujung runcing. Sebelum
menginjeksi obat, posisi hewan harus terlentang dan kaki agak ditarik keluar agar paha
bagian luar terlihat, lalu bagian paha tikus terlebih dahulu diraba untuk menemukan otot
paha tikus yang ditunjukkan dengan adanya tonjolan melintang dan terasa sedikit kenyal.
Jika saat diraba terasa keras, berarti itu bukan otot paha melainkan tulang paha, dan jika
injeksi dilakukan pada bagian tulang dapat menyebabkan cacat di tulang paha tikus.
Injeksi dilakukan dengan sudut kira kira 45 derajat dari otot sehingga obat masuk dengan
sempurna ke dalam serabut otot lurik, sebab absorpsi diharapkan akan berlangsung
dengan menembus dinding pembuluh darah kapiler yang terdapat pada dinding bundel
otot dimana tidak banyak mengandung lemak. Oleh karena itu, secara teori pemberian
obat melalui intra muscular memiliki waktu onset tercepat kedua setelah injeksi per oral
sebab obat akan langsung terabsorpsi ke sirkulasi sistemik, tidak melewati First Pass
Elimination di hepar dan hidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Yang berperan sebagai
barrier obat di sini dalah pembuluh darah kapiler.
Pada pemberian secara intra muskular digunakan stock 5 mg/ml dengan dosis 0,9
mg/kgBB, sehingga volume maksimal yang bisa diberikan adalah 0,1 ml pada tikus
dengan berat 200gr dan 0,05 pada tikus dengan berat 100gr. Sebelum diinjeksikan, kondisi
tikus sehat dan bergerak aktif, setelah obat diinjeksikan, perilaku tikus menunjukkan
perubahan. Perubahan tersebut ditandai dengan keadaan tikus yang berjalan miring-miring
dan tidak bergerak aktif lagi. Dari percobaan diperoleh waktu onset intra muscular adalah
2400 detik dan durasi 1200 detik pada tikus pertama dan kedua. Onset kedua terjadi 2100
detik dan durasi 900 detik pada kedua tikus setelah mengalami onset dan durasi pada
periode pertama.
Keuntungan :
a. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan dengan
pemberian per oral.
b. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau
muntah-muntah.
c. Sangat berguna dalam kondisi darurat.
d. Obat dilepas pelan- pelan.
e. Cocok untuk obat yang iritatif bila diberikan secara sub cutan.
Kerugian :
Keuntungan :
a. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan dengan
pemberian peroral
b. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau muntahmuntah
Kerugian :
a. Tidak dapat dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi terlalu besar, bisanya
dilakukan pada hewan
b. kemungkinan infeksi sangat besar
Pada literatur, onset yang paling cepat adalah pada pemberian obat intravena dan
paling lambat pada pemberian obat per oral. Berdasarkan pernyataan menurut
(seetiawati, A. dan F.D. Suyatna 1995) sedangkan rute pemberian yang cukup efektif
adalah intra peritoneal (i.p.) karena memberikan hasil kedua paling cepat setelah
intravena. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi
dan adhesi terlalu besar. Karena pemberian obat melalui rute intravena tidak
mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan dapat disesuaikan
respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun, cara pemberian intravena
biasanya menyebabkan efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik jika terjadi
kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak
boleh diberikan karena mengendapkan konstituen darah, serta bagi intravena
penyuntikan dengan cara perlahan-lahan sambil mengawasi respon. Sedangkan onset
paling lambat adalah pada rute per oral. Meskipun pemberian obat secara oral
merupakan cara pemberian obat yang umum dilakukan karena mudah, aman, dan
murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama.
Mekanisme injeksi yang salah, yakni meliputi tempat penyuntikan yang kurang tepat
disebabkan praktikan yang masih kurang berpengalaman dalam melakukan injeksi
Depkes RI, 2005, Rancangan Kebijakan Obat Nasional 2005, Depkes RI, Jakarta.
Ernest, Mutschler, 1991, DinamikaObat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi
Edisi V, ITB Press, Bandung.
Hollinger, M.A., 2003, Introduction to Pharmacology, 2nd Ed, Taylor & Francis Group,
Philadelphia.
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi Jilid 3, Airlangga University Press, Surabaya.
Katzung BG.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: EGC.
Kee, J.L., dan Evelyn R. Hayes, 1994, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995, Pengantar Farmakologi Dalam Farmakologi
dan Terapi, Edisi IV, Editor: Sulistia G.G, Gaya Baru, Jakarta.
Ferick, Vandreas. - . Diazepam. https://www.academia.edu/8805585/Diazepam
diakses tanggal 7 Mei 2015 di Purwokerto.
Siswandono, MS dan Bambang Soekardjo, SU, 1995, Kimia Medisinal 1, Airlangga
University Press, Surabaya.
Syarif, Amir dkk.2007.Farmakologi dan terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting, Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Mengetahui,
Dosen Pembimbing Praktikum
Ika Mustikaningtias
Dendy Arikasandi
Apakah faktor- faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dari saluran cerna?
Jawab:
a. Kemampuan obat melintasi membrane sel saluran cerna yang tersusun atas lipid
bilayer.
b. Kelarutan obat.
Agar dapat diabsorbsi, obat harus dapat larut dan melepaskan zat aktifnya, kecuali bila
obat sudah dalam bentuk larutan saat diberikan ke dalam tubuh. Obat yang diberikan
dalam bentuk larutan kana lebih cepat diabsorbsi karena tidak perlu melewati fase
pelarutan.
c. Bentuk sediaan obat.
Kecepatan absorbsi obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan
pembwa bentuk obat dan juga kelaruan dalam cairan tubuh. Kecepatan peleppasan
obat dari bentuk sediaan obat per oral dapat diurutkan dari yang paling cepat: larutan
dalam air> suspensi> kapsul> tablet> tablet salut gula> tablet salut enterik.
d. Sirkulasi darah pada tempat absorbsi
e. Luas permukaan kontak obat.
f. Rute penggunaan obat.
g. pKa obat atau pKb obat.
2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi obat!
Jawab:
Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi obat. Cara pemberian obat
dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya dengan kecepatan dan
kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan absorbsi obat di sini berpengaruh terhadap
onsetnya sedangkan kelengkapan absorbs obat berpengaruh terhadap durasinya misalnya
lengkap atau tidaknya obat yang berikatan dengan reseptor dan apakah ada factor
penghambatnya.
Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang berpengaruh
juga terhadap onset dan durasi. Pada literature dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah
intraperitonial dan paling lambat adalah peroral. Hal ini terjadi karena :
Intramuscular mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga obat akan
terhalang oleh lemak sebelum terabasorbsi.
Peroral, obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena
melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat seperti protein plasma.
Pada literature dijelaskan bahwa durasi paling cepat adalah intraperitonial dan paling
lambat adalah peroral.
Keuntungan
mudah
Kerugian
diberikan
dan
oleh pasien
tidak
memerlukan
kooperatif
tidak
memerlukan
komplikasi
yang
berkaitan dengan jarum
mengalami
relatif aman
praktis
tidak
memerlukan
metabolisme
lintas
aktifnya berkurang
lebih ekonomis
kerja
obat
terus
menerus,
time
sterilitas tinggi
Sub kutan
long
release
vasokonstriktor
seragam
Intra muscular
darah
tidak boleh digunakan untuk obat
darurat
kecepatan absorbsi obat
seragam
kecepatan
onset
pendek
dan
teratur
absorbsi
tergantung
perlu
keahlian
khusus
dalam
pemakaian obat
obat
dilepas
pelan-
pelan
diabsorpsi
darurat
pada
pH
sangat
fisiologik
lambat
misalnya
cepat
absorbsi
paling
jika
dibandingkan
muntah-
lain-lain
VIII. Kesimpulan
1. Berdasarkan perhitungan statistik, cara pemberin obat berpengaruh terhadap onset dan
tidak berpengaruh pada durasi.
2. Berdasarkan hasil percobaan, onset yang diperoleh yang paling cepat adalah pemberian
obat intravena , sedangkan yang paling lambat adalah pemberian obat per oral. Hal ini
tidak sesuai dengan teori karena teori onset yang paling cepat adalah pemberian obat
intravena, sedangkan yang paling lambat sesuai dengan teori yakni pemberian obat per
oral.
3. Berdasarkan hasil percobaan, durasi yang diperoleh yang paling cepat adalah pemberian
obat intraperitonial , sedangkan yang paling lambat adalah pemberian obat sub cutan . Hal
ini sesuai dengan teori karena teori durasi yang paling cepat adalah pemberian obat
intraperitonial, sedangkan yang paling lambat adalah pemberian obat per oral, sehingga
tidak sesuai teori.
4. Hasil dari percobaan ada yang tidak sesuai dengan teori karena mekanisme injeksi yang
salah, pengamatan onset dan durasi yang keliru, dan aktor individu dari hewan uji (tikus),
contohnya faktor toleransi.
5. Durasi dan onset dipengaruhi oleh kelarutan obat, luas permukaan absorbs, pengosongan
lambung, dan rute pemberian
6. Diazepammerupakan obat golongan barbiturat yang dapat memberikan efek sedatif dan
hipnotik.
Obat,
http://marermurer.blogspot.com/2011/04/pengaruh-cara-pemberian-terhadap.html,
diakses tanggal 23 April 2013, Pukul 23.00 WIB
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi Jilid 3, Airlangga University Press, Surabaya
Lullmann Heinz et al,2000,Color Atlas of Pharmacology,2nd edition,Thieme,StuttgartNew York
Mutschler,Ernest,1991,Dinamika Obat edisi V,Penerbit ITB,Bandung