Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemik dengan angka
kejadian masih tinggi serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan
kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk. Meskipun penyakit ini tidak terbatas pada
umur tertentu, namun angka kejadian cukup tinggi pada anak umur di atas 5 tahun. Gejala
klinis demam tifoid pada anak umumnya lebih ringan dibandingkan orang dewasa, namun
dapat terjadikomplikasi dan kematian.
Demam tifoid merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia namun merupakan
masalah utama bagi negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia , Malaysia dan
Thailand. Pada tahun 2007, CDC melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia
sekitar 358-810 per 100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun. Di
Jakarta, demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi setelah gastroenteritis dan menyebabkan
angka kematian yang tinggi.(Moehario, 2009)
Menurut laporan data surveilans yang dilakukan oleh sub Direktorat surveilans
Departmen Kesehatan (Indonesia), insiden penyakit menunjukkan peningkatan kasus yang
terus dan berturut-turut pada tahun 1990,1991,1992,1993 dan 1994 yaitu 9,2 ; 13,4 ; 15,8 ;
17,4 per 10000 penduduk. Sementara data penyakit demam tifoid dari Rumah Sakit dan pusat
kesehatan juga meningkat dari 92 kasus (1994) menjadi 125 kasus (1996) per 100,000
penduduk.(Rohman, 2010) Demam tifoid merupakan golongan typhoidal species dari
penyakit Salmonellosis dimana Salmonellosis bisa terbagi kepada dua yakni typhoidal
species dan non typhoidal species. Bakteri Salmonella adalah penyebab bagi Salmonellosis.
Bagi typhoidal species, bakteri Salmonella utama yang ditemukan adalah Salmonella typhi.
(Brooks, 2004)
Infeksi bakteri Salmonella lain pada typhoidal species adalah Salmonella paratyphi.
Bakteri ini menyebabkan demam paratifoid dimana gejalanya sama dengan demam tifoid,
tetapi lebih ringan dan kasus mortalitasnya juga jauh lebih rendah. (Maskalyk, 2003).

BAB II
STATUS PASIEN
I.

IDENTIFIKASI
a. Nama
b. Umur
c. Jenis Kelamin
d. Nama Ayah
e. Nama Ibu
f. Bangsa
g. Alamat

: An I
:11 tahun (lahir 1 Juni 2004)
: LAki-laki
:A
:B
: Indonesia
: Jl. Raya Desa Keman Keman, Pampangan, Kab. Ogan
Komering Ilir
h. Dikirim oleh : RSUD KA
i. MRS Tanggal : 22 April 2015, pukul 13.53 WIB
II.

ANAMNESIS
Tanggal
Diberikan oleh

( Subjektif / S)
: 27 April 2015 pukul 17.00 WIB
: Ayah penderita

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Keluhan Utama
: Demam
2. Keluhan tambahan
: Mual Muntah
3. Riwayat Perjalanan Penyakit:
14 hari SMRSMH pendeita demam tinggi mendadak terus menerus tinggi
terutama pada sore hari dan rendah pada pagi hari, batuk (-) pilek (-) sakit
tenggorokan (+) keluar cairan dari telinga (-)BAB dan BAK seperti biasa (+) nyeri
kepala (+) nyeri sendi (+) anak belom dibawa berobat
10 hari SMRSMH anak masih demam anak dibawa ke mantri diberikan 4
macam obat (tidak tahu) demam turun kemudian naik kembali, BAB 3x cair BAK
biasa, muntah (+) mual (+), nyeri perut (+) mimisan 1sdm (+)
3 hari SMRSMH penderita panas semakin tinggi (+) BAB berwarna hitam
(+) dengan konsistensi lembek (+) BAK biasa (+) dibawa berobat ke puskesmas
dikatakan mengalami demam berdarah dirawat 3 hari, habis 6 kolf, demam turun
(+), anak sesak (+) tidak sering (+) karena tidak ada perubahan penderita dirujuk ke
RSUD Kayu Agung
+1 hari di RSUD Kayu Agung penderita dicek darah, dapatkan hasil Hb 9,3
Tombosit 88.000 Leukosit 6700. Anak tampak pucat, anak juga sesak, BAB berwarna
hitam (+) dengan konsistensi lembek BAK biasa (+) dikatakan ada kelainan darah
anak dirujuk ke RSMH
Selama + 7 hari di RSMH penderita mengalami sulit BAB, sesak (+), mual (+)
muntah (+) nyeri kepala (+)
B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT
1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa Kehamilan : cukup bulan
Partus
: spontan pervaginam
2

Tempat
: di luar
Ditolong oleh : bidan
Tanggal
: 1 Juni 2004
BBL
: 4000 gram
PBL
: ayah tidak tahu
Lingkar kepala : ayah tidak tahu
2. Riwayat Makanan:
ASI
: lahir-1,5 tahun
Susu botol
:6 bulan- 1 tahun
Bubur Nasi
: 4-6 bulan
Nasi Tim/lembek: 9-13 bulan
Nasi Biasa
:13 bulan keatas
Daging :
jarang dalam 1 bulan

Tempe : 1 potong
Tahu : 2 potong
Sayuran: jarang
Buah : jarang
Lain-lain:
Kesan : riwayat makanan kurang
Kualitas: buruk

3. RIWAYAT IMUNISASI
IMUNISASI DASAR
Umur

ULANGAN

Umur

Umur

Umur

BCG

0 bulan

(-)

DPT 1

2 bulan

DPT 2

3 bulan

DPT 3

4 bulan

(-)

HEPATITIS B
1

2 bulan

HEPATITIS B
2

3 bulan

HEPATITIS B
3

4 bulan

(-)

Hib 1

(-)

Hib 2

(-)

Hib 3

(-)

(-)

POLIO 1

2 bulan

POLIO 2

3 bulan

POLIO 3

4 bulan

(-)

CAMPAK

9 bulan

POLIO 4

(-)

(-)

KESAN : imunisasi dasar tidak lengkap


4. RIWAYAT KELUARGA
Perkawinan
: tidak sedarah
Umur
: 27 tahun (ayah) 25 (ibu)
Pendidikan
: tamatan SMP
Penyakit yang pernah diderita: tidak ada

5. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Berdiri
Berbalik
Tengkurap
Merangkak
Duduk

:11 bulan
: 3 bulan
:4 bulan
:6 bulan
:8 bulan
3

Berjalan
Berbicara
Kesan

:12 bulan
:12 bulan
: sesuai masa
perkembangan

6. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Batuk pilek tetapi jarang
III. PEMERIKSAAN FISIK ( Objektif / O)
A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum
: tampak sakit ringan
Kesadaran
: kompos mentis
BB
: 31 Kg
PB atau TB
:140 Cm
Status gizi
: Gizi baik
BB/U
:94,59 %
TB (PB)/U
: 96,5 %
BB/TB (PB)
: 88,6 %
Lingkar kepala
:
Cm (
SD)
Edema ( + / - ), sianosis ( + / - ), dispnue ( + / - ), anemia ( + / - ), ikterus ( + / - ),
dismorfik ( + / - )
Suhu
: 36,2 OC
Respirasi
:
38
x/menit,
Tipe Pernapasan
: torakoabdominal
Tekanan Darah
:
100/70 mmHg
Nadi
:
80
x/ menit,
Isi/kualitas
: cukup
Regularitas
: reguler
Kulit

: tampak anemis

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA :
MATA : Konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-) muka sembab minimal (+)
MULUT :circum oris sianosis (-) anemis (+)
GIGI
:tidak ada kelainan
LIDAH : atrofi papil (+) vasikulasi (-)
FARING/TONSIL
HIPEREMIS : tidak ada

T1
LEHER
INSPEKSI

/ T1

: tortikolis (-)
4

PALPASI

: Pembesaran KGB (-)

THORAX
INSPEKSI

: Simetris, retraksi dada (-)

PALPASI

:ictus cordis tidak teraba

A. PARU
PERKUSI
AUSKULTASI
Vesikuler
Ronkhi
Wheezing
B. JANTUNG
PERKUSI

: sornor pada kedua lapang paru


: (+) normal
: (-/-)
(- / -)
: dalam batas normal

AUSKULTASI :
Bunyi jantung I
Mitral
: normal
Trikuspid
:normal
Bunyi jantung II
Pulmonal
:normal
Aorta
:normal
Bising jantung

: Murmur (-) gallop (-)

ABDOMEN
INSPEKSI
PALPASI
PERKUSI
AUSKULTASI
HEPAR
LIEN
GINJAL

EKSTREMITAS
INSPEKSI
Bentuk
Deformitas

:tampak datar
:Lemas
:timpani
:bising usus normal (+)
: tidak teraba
: tidak teraba
: tidak ada kelainan

: Normal
:Tidak ada
5

Edema
Trofi
Pergerakan
Tremor
Pergerakan
Tremor
Chorea
Akral
Lain-lain

: Tidak ada
: Tidak ada
: Luas
: Tidak ada
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada
: Tidak ada
:Hangat
: CRT < 3

INGUINAL
Kelenjar Getah Bening
Lain-lain

: Tidak teraba
:

GENITALIA
LAKI-LAKI :
Phimosis
Testis
Scrotum

:Tidak diperiksa
: Tidak diperiksa
: Tidak diperiksa

STATUS NEUROLOGIS
Lengan
Kanan

kiri

Kanan

Tungkai
Kiri

Gerakan

Luas

Luas

Luas

Luas

Kekuatan

Tonus

Normal

Normal

Normal

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Fungsi motorik

Klonus
Reflex fisiologis

Normal

Normal

Normal

Normal

Reflex patologis

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Gejala rangsang meningeal

Tidak ada
6

Fungsi sensorik

Tidak ada kelainan

Nervi craniales

Tidak ada kelaianan

Reflex primitif
Tidak ada

V. RESUME
1. Keluhan Utama
: Demam
2. Keluhan tambahan
: Mual Muntah
3. Riwayat Perjalanan Penyakit:
14 hari SMRSMH pendeita demam tinggi mendadak terus menerus tinggi
terutama pada sore hari dan turun pada pagi hari, batuk (-) pilek (-) sakit tenggorokan (+)
keluar cairan dari telinga (-)BAB dan BAK seperti biasa (+) nyeri kepala (+) nyeri sendi (+)
anak belom dibawa berobat
10 hari SMRSMH anak masih demam anak dibawa ke mantri diberikan 4
macam obat (tidak tahu) demam turun kemudian naik kembali, BAB 3x cair BAK biasa,
muntah (+) mual (+), nyeri perut (+) mimisan 1sdm (+)
3 hari SMRSMH penderita panas semakin tinggi (+) BAB berwarna hitam (+)
dengan konsistensi lembek (+) BAK biasa (+) dibawa berobat ke puskesmas dikatakan
mengalami demam berdarah dirawat 3 hari, habis 6 kolf, demam turun (+), anak sesak (+)
tidak sering (+) karena tidak ada perubahan penderita dirujuk ke RSUD Kayu Agung
+1 hari di RSUD Kayu Agung penderita dicek darah, dapatkan hasil Hb 9,3
Tombosit 88.000 Leukosit 6700. Anak tampak pucat, anak juga sesak, BAB berwarna hitam
(+) dengan konsistensi lembek BAK biasa (+) dikatakan ada kelainan darah anak dirujuk
ke RSMH
Selama + 7 hari di RSMH penderita mengalami sulit BAB, sesak (+), mual (+)
muntah (+) nyeri kepala (+)
VI. DAFTAR MASALAH
1. Takipnea
2. Mual muntah
3. Konstipasi
4. Anemis
VII. DIAGNOSIS BANDING
Demam tifoid dd/ infeksi dengue + Anemia dd/ defisiensi Fe
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
IX. TATALAKSANA (Planning / P)
a. PEMERIKSAAN ANJURAN
Periksa ferritin, TIBC, Fe

b. TERAPI ( SUPORTIF SIMPTOMATIS-CAUSATIF)


NON FARMAKOLOGIS
Tirah baring
8

FARMAKOLOGIS
Kloramfenikol 75mg/kgBB/hari 2250 mg/hari dosis maks 2 gram dibagi 4 dosis
selama 10-14 hari 4 x 2 tab sehari
Paracetamol 10mg/kgBB/kali 300mg jika T > 38,5C
c. DIET
Diet bubur saring (50kkal/BBideal/hari) 1750 kkal/hari
d. MONITORING
Balance cairan
Gejala gastrointestinal konstpasi
Kurva suhu
e. EDUKASI
Jaga pola makan yang benar
Utamakan cuci tangan sebelum makan
Tetap mengonsumsi antibiotic kloramfenikol sampai 5 hari bebas demam secara rutin
dan teratur
X. PROGNOSIS
a. Qua ad vitam

: bonam

b.Qua ad functionam

: bonam

c. Qua ad sanationam

: bonam

ANALISA KASUS
9

Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, (3) gangguan
kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus
berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:

Pasien demam 7 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan demam turun
pagi harinya
Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan konstipasi

Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :

Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum yang baik, tanpa
gangguan kesadaran
Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya dan hiperemis pada
pinggirnya, tremor (-)
Nyeri tekan pada daerah hipogastrik (+)

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid dibagi dalam 3


kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam typhoid melalui biakan kuman dari
spesimen penderita seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot, (2) uji serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen, (3) pemeriksaan melacak
DNA kuman S. Tyhpi
Diagnosis demam typhoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik, namun
identifikasi kuman memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah positif pada 40-60% kasus
yang diperiksa pada minggu pertama sakit, sedangkan biakan feses atau urin akan positif
setelah minggu pertama. Biakan dari sumsum tulang akan positif pada penyakit stadium
lanjut, dan merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan
demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typhoid. Hal ini
disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain (1)
jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, (3) waktu
pengambilan darah.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah karena membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk mengetahui hasilnya dan pemeriksaan melacak DNA tidak
dilakukan karena biaya yang mahal dan fasilitas rumah sakit yang terbatas.

10

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis Ig G salmonella dan didapatkan


positif (+) 6 dengan intepretasi positif kuat mengalami demam tifoid.
Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini dengan
perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna dengan kalori dan
protein yang cukup dan tinggi serat diakibatkan pada pasien terdapat konstipaso.
Pemberiaan obat-obatan diberikan antibiotik kloramfenikol sebesar 500 mg perkali
pemberian 4 x sehari sebagai pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik
(paracetamol) 300mg/ kali sebagai pengobatan simptomatis.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak ada
keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk istirahat dan
mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik sampai 5 hari bebas
demam.

11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit
infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7
hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.1
EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara
maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid
merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. 2
Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
berumur di atas lima tahun.5
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari
10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan
adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang. Di negara maju
perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7
kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai
14,5 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau
kurang lebih sekitar 600.000 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang
tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah
gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 1996 tercatat 550
kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 5,13%.6
12

Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering
merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.7
ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella.
Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela,
berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C (150C-410C), bersifat fakultatif
anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada
pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada
pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap
glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka
terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat bertahan
hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan
disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu,
daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satusatunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier
Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini.
Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri
yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang
positif dan bermakna.10
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
-

Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

13

- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat


termolabil.
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi O antigen terhadap fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1
juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi ini kurang infeksius
dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya
Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian
melekat pada sel mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang
melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk
invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke
dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel
retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif,
proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan
kelenjar limfe mesenterica.6
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit
mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah
bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari
habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase
bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
14

empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang.
Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini <
1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.1
PATOLOGI
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini
akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :
Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan
submukosa
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan
Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan
terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian
traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending.
Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum.
Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.11
PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid
berdasarkan penelitian terbaru ialah :
a. bacterial type III protein secretion system (TTSS)
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode
Sips (Salmonella Invasion Proteins).
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang
berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag
d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam

15

e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka
mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya
suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang
menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman
yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang
tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat
multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat.
Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan
mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah
melewati pertahanan tubuh.8
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan
menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di
lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus,
kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan
mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg
asimptomatis.9
Kemudian kuman akan masuk kedalam organorgan system retikuloendotelial (RES)
terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada
perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi
bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang
ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu
16

kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus.
Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang
berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya
sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu
proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen
yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang
mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus.5
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi
klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang
disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan
merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag
yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai
sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam
usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang
terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun
tifoid kongenital.2

Bagan Patofisiologi Demam Typhoid


KUMAN S. TYPHI
17

Makanan +
Minuman
Lambun
g

mati

Usus
halus
Folikel getah bening
intestinum

Multiplikasi Sel PMN

Aliran getah bening


Mesenterika

Hidup dan
Berkembang
Biak

Airan Darah

Aliran Darah

(Bakteremia
Primer)

( Bakteremia
Sekunder)

Multiplika
si Lokal

Usus

RES
Hati dan
Limpa

GEJALA KLINIK
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid
18

dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau
penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan
gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non
produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam
dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. 1 Pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak
makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen,
ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua,
ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung
lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal
kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak
pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh
obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi
invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. 5 Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare
lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak.
Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual
42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan
delirium pada 2,63% anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1
Anak usia sekolah dan remaja
19

Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut
berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal
perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah
adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak.
Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu,
sering mencapai 40 0C.8
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya
demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada
minggu ke-2 penyakit.8
Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)
Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan malaise,
salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti
secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang
dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang lain dapat datang dengan tandatanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah.
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam
enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai
dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat
setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan
kehilangan berat badan mungkin nyata.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau
(delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi,
20

muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor
dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
-

Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau
perdarahan usus.

Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul

Limfositosis relatif

Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.

# Pemeriksaan serologi
-

Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut

ke fase konvalesens.
-

Kadar IgM dan IgG (Typhidot)

# Pemeriksaan biakan Salmonella


-

Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.

Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.

# Pemeriksaan radiologik
-

Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.

Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata,
tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada
abdomen.1
21

DIAGNOSIS BANDING
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan antara lain :2
# Bronkitis
# Influensa
# Bronkopneumonia
Pada stadium selanjutnya :
# Demam paratifoid
# Malaria
# TBC milier
# Pielitis
# Meningitis
# Endokarditis bakterial
# Rickettsia
Pada stadium toksik :
# Leukemia
# Limfoma
# Penyakit Hodgkin
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1.

Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan
malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu III.

2.

Gangguan saluran cerna


Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden),
lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya
kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar
dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga
konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal
bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
22

3.

Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.

Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan
gejala-gejala lain:
-

Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest
dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4
mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang
bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit.
Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang


biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik
notch (dicrotic notch).5,13

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila
hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
bakteriologis dan serologis.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.


a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada
permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan
darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi
berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5
Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan
limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul.
23

Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya
leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita
demam tifoid sering dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia normositik
normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20%
penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak termasuk
pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif
RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis, dan
trombopoesis berkurang.5
2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa
a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum
tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media ( kultur).
Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu
pengambilan spesimen yang optimal.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu
pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu
pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi
Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya
dapat ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30%
penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan
antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan
tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu
pengambilan.2
Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3 sampai
minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari
tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5.
Kultur tinja positif setelah bulan ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada
penderita karier Salmonella typhi dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25%
penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3.
24

Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu
berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah
kuman atau spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah
mendapat pengobatan dengan antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah
pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti.
Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.
Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah
penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk
waktu yang lama.5
b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam
tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal
memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai
untuk membuat diagnosis demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita
dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer
zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat)
mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan
penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat
tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd
antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman.5
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada
hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu
pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai
puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang
dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan
menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur
darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih
25

banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah
minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi,
anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat
menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan
titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan
titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer
antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi
perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu
dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau
antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi
buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti
kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer
antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji
Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab
tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
-

semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O


yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12
dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A
dan paratyphi B).

semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan

titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien

tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai
antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga
26

keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain
uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi
dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar
(15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh
terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype
Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang
dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen,
untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10
hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam
tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen
diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon
antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini
tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen
sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat
penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit
dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut
off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penderita.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
-

Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli
patogen dlm usus.

Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.

Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).

Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada keadaan
infeksi.5

Pemeriksaan Penunjang Lain


27

Pemeriksaan antibodi
Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul pada
awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul
lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8
sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset penyakit.10
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka pemeriksaan
serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju pelacakan
antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih spesifik seperti:
# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi
protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP
dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA
mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan
Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal.
Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot
dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan ikatan
kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai Typhidot
M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi antibodi IgM spesifik sedangkan
Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi.
Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam.18
# Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem hibridisasi ini,
sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA
(kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup
sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15
Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat
diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA
dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara ini dapat melacak
DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi pada LPS
antigen Salmonella typhi.
28

Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil
positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat
menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella
serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab
itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.10,18
KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a.

Perdarahan (haemorrhage) usus.


Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih
jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau
awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat

b.

Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada
ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa.
Angka kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas

29

(free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen
abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.
c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan,
penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut
kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan,
tekanan darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati
berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan
lekosit dalam waktu singkat.

2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi
hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga
terjadi pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada
daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah
sekali dan ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah,
hypotensi, dan EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana
merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis.
Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.5,13
Karier kronik

30

Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Mengingat karier sangat
penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta
pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka kematian.
Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang dewasa.
Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling sedikit
diperlukan 3-6 kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan karier
merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-obatan antimikroba
gagal karena Salmonella typhosa bersarang dalam saluran empedu intrahepatik sehingga
diperlukan pengobatan kombinasi antara operasi dan obat-obatan.2

TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan
dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat

Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran
yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi
demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat
perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan
tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi
selama penyakitnya berjalan.
31

Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak
penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan
ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan
keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein,
elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose,
menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka
pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti
dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit
diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi
kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
Obat-obatan
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom
subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi
kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap
digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat
ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat
menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita.
Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system
hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak
bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat
keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa
dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3
32

Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya
hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam
turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial.
Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan
pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada
penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral,
selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan adanya Salmonella
yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%).
Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi
penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya
kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dianjurkan:
33

Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari


Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan
keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol.
Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM,
sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan
usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna
menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3
Antipiretik
Diberikan apabila demam > 38,5C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Bedah
Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.
Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah
menegakkan diagnosis.
34

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.3

PENCEGAHAN
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan,
seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan
limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,3
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57C beberapa menit atau
dengan proses iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata
juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau
suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.3
Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa
vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin demam
tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1
Vaksin Demam Tifoid Oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen
yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan
dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti
vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum
efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan
pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid
oral dikenal dengan nama Ty-21a. Penyimpanannya pada suhu 2C-8C. Kemasan
dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul
35

vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan dengan minuman yang
tidak lebih dari 37C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan terutama bagi turis.
Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam
lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau
anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan
respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya
ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi
ulangan diberikan setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan
infeksi Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya
proteksi vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan
untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Vaksin Polisakarida Parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada
suhu 2C-8C, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3
tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.
Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini
berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat
timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut
tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit,
dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap
bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif.
Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman.15
PROGNOSIS
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya
>10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,
perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu
pemulihan.19
36

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam
tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,
sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang
berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat
seperti:
-

Hiperpireksia atau febris kontinua

Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.

Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.

Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5

DAFTAR PUSTAKA

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan
penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
NN. Mengenal demam typhoid. Available from :
http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html (updated 2008
November 1st, cited : 2009 July 28th).
Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.
NN. Demam typhoid. Available from : http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demamtyphoid.html (updated 2008 November 13th, cited : 2009 July 28th).
NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :
http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated 2008, cited
: 2009 July 28th).
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics,
18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
37

10 Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap berbagai


antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri. September
2006;8(2):118-121.
11 Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid Fever in
Children. February 2002: p.157-159.
12 NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009 August
5th).
13 Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis &
treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.
14 Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam
Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
15 Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi di
Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005: h.173-4.
16 Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
17 World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).
18 Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian
ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000: h.3-5.
19 Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from :
http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2008 December 3rd, cited :
2009 July 28th).

38

Anda mungkin juga menyukai