Anda di halaman 1dari 22

Library Manager

Date
Signature

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT
JUNI 2016

MEDICAL ETHICS AND LAW :


REASONING ABOUT ETHICS

RANI CITRA PERTIWI


KRISNAWATI PONGGALUNGGU
RIRIN EARESFIN SARI

C 111 11 179
C 111 11 264
C 111 11 279

Pembimbing :
dr. HERRI DAVID OCTAVIANUS MUNDUNG
Supervisor :
dr. JERNI DASE, S.H., M.Kes., Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

2016
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Rani Citra Pertiwi
Krisnawati Ponggalunggu
Ririn Earesfin Sari

C 111 11 179
C 111 11 264
C 111 11 279

Judul Referat : Medical Ethics and Law : Reasoning about Ethics


Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Juni 2016
Supervisor

Pembimbing

dr. Jerni Dase, S.H., M.Kes., Sp.F

dr. Herri David Octavianus Mundung

Daftar Isi

Lembar Pengesahan i
Daftar Isi

ii

I.

DISCLAIMER

II.

KERANGKA PENULISAN

III.

PENDAHULUAN

IV.

DEFINISI ETIKA DAN KODE ETIK 3

V.

KODE ETIK KEDOKTERAN 5

VI.

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

VII.

PENERAPAN KODE ETIK KEDOKTERAN 10

VIII.

KESIMPULAN 18

Daftar Pustaka19

I.DISCLAIMER
Isi referat ini dikutip dari referat dengan judul Kaidah Dasar Moral dan
Etika Profesi Kedokteran yang disusun oleh Andika Yudhi Putra, Sukriawati,
Novia Yupita Sari (2015).
II.KERANGKA PENULISAN
Etika kedokteran

Kode Etik Kedokteran


Indonesia

Penerapan kode etik


kedokteran

III.PENDAHULUAN
Etika telah menjadi suatu bagian dari dunia kedokteran sejak awal
perkembangannya. Beberapa pernyataan dalam sumpah Hippocrates berhubungan
dengan etika profesi medis. Kekhawatiran mengenai etika di masa lalu tidak
seintensif sekarang. Dulu seorang dokter/tabib akan dianggap sebagai seorang
yang memiliki etika dan moralitas yang tinggi dalam menjalankan profesinya dan
hal ini merupakan suatu hal yang benar-benar nyata karena religiusitas telah
menjadi karakteristik utama dari kehidupan di masa lalu. Pada masa seperempat
abad akhir dari abad ke-20, pertimbangan etika menjadi perhatian utama karena
beberapa alasan. Pertama, fenomena sosial yang menghendaki adanya pengakuan
terhadap HAM (dalam hal ini pasien) yang membawa konsekuensi pada
perubahan pola hubungan dokter dan pasien serta pengambilan keputusan. Kedua,

fenomena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang tidak


dibarengi dengan perkembangan nilai etik dan moral telah memunculkan masalahmasalah yang memiliki dimensi moral, seperti pertolongan hidup, fertilisasi invitro, stem cell, cloning reproduksi/terapi dan masalah-masalah lain. Ketiga,
adanya peningkatan kejahatan moral yang dilakukan oleh praktisi medis, dimana
profesi medis menemukan dirinya berada dalam sebuah dilemma karena nilai-nilai
moral tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum kedokteran sekuler. Keempat,
adanya tuntutan peningkatan profesionalisme dokter dalam melakukan praktek
(Five Stars dokter dan Area Kompetensi dari Konsil Kedokteran Indonesia),
sehingga bioetika diharapkan mampu menjawab tantangan untuk meningkatkan
profesionalisme lulusan pendidikan dokter Indonesia.1
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968,
merumuskan Sumpah Dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesame dan kewajiban terhadap
diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu
kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1, 2
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang
kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan
arahan dalam membuat keputusan dan bertindak. Arahan dalam menilai baik
buruknya atau benar salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari
segi moral, pengetahuan etika ini, dalam perkembangannya kemudian disebut
sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis
dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethic) dan pedoman dalam
melakukan penelitian di bidang medis.2

IV.DEFINISI ETIKA DAN KODE ETIK

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan (1988), etika adalah (1) ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk
tentang hak dan kewajiban moral, (2) kumpulan atau seperangkat asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak, (3) nilai yang benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.2
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai the discipline which
can act as the performance index or reference for our control system. Dengan
demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan
mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya
yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian
diwujudkan dalam bentuk aturan (kode) tertulis yang secara sistematik sengaja
dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan
akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan
yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self
control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok social (profesi) itu sendiri.1, 2
Secara teoretis, etika mempunyai pengertian sebagai berikut :
1. Pertama, secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos
(jamaknya : tatha), yang berarti adat-istiadat atau kebiasaan. Dalam
arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup
yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup
yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang
lain.
2. Kedua, etika dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas
sehingga mempunyai pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengertian
ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus tertentu.
Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara
kritis persoalan yang benar dan salah secara moral, tentang bagaimana
harus bertindak dalam situasi konkrit.1, 2

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang
secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan
tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau
salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan
kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau
nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada : rekan, profesi, badan,
nasabah/pemakai, negara, dan masyarakat.1-3
Kode etik profesi adalah seperangkat kaidah, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang berlaku bagi anggota organisasi profesi yang bersangkutan. Kode
etik profesi disusun sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dan para
anggota organisasi profesi dari penyalahgunaan keahlian profesi. Dengan
berpedoman pada kode etik profesi inilah para profesional melaksanakan tugas
profesinya untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat dan kehormatan
manusia yang bertujuan untuk menciptakan keadilan di masyarakat. Kode etik
profesi tentunya membutuhkan organisasi profesi yang kuat dan berwibawa yang
sekaligus mampu menegakkan etika profesi. Penegakan kode etik profesi sendiri
dimaksudkan sebagai alat kontrol dan pengawasan terhadap pelaksanaan nilainilai yang tertuang dalam kode etik yang merupakan kesepakatan para pelaku
profesi itu sendiri dan sekaligus juga menerapkan sanksi terhadap setiap perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Kode etik profesi merupakan sarana
untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang profesional supaya tidak
dapat merusak etika profesi.1-3

V.KODE ETIK KEDOKTERAN


Kaidah dasar (prinsip) etika/bioetik adalah aksioma yang mempermudah
penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip

dapat dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena
kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan
dengan mengorbankan prinsip yang lain. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik
kedokteran Indonesia mengacu kepada 5 kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika yaitu beneficience, non maleficience, autonomy, justice dan honesty.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi pegangan bagi tenaga medis dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh.1, 4
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai
suatu keputusan etik diperlukan 5 dasar kaidah moral dan beberapa aturan di
bawahnya. Kelima kaidah dasar moral tersebut adalah :
a. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien
untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent. Kriterianya meliputi menghargai hak
menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien, tidak mengintervensi
pasien dalam membuat keputusan, berterus terang, menghargai privasi,
menjaga rahasia pasien, melaksanakan informed consent, membiarkan pasien
dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri.1, 5
b. Prinsip Beneficience
Prinsip Beneficience aqdalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan
yang ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam beneficience tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang manfaatnya
lebih besar dari kerugiannya.1, 5
c. Prinsip Non-maleficience
Prinsip Non-maleficience adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan primum non
nocere, atau above all, do no harm1, 5
d. Prinsip Justice
Prinsip justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya. Perbedaan

kedudukan social, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham


kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta
perbedaan jenis kelamin tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter
terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang
menjadi perhatian utama dokter.1, 5
e. Prinsip Honesty
Saat ini informed consent merupakah suatu hal yang sangat penting dalam
pengambilan keputusan untuk tindakan medis. Informed consent berarti pasien
harus betul-betul diberikan informasi mengenai manfaat dan risiko dari suatu
tindakan. Namun, dalam beberapa kasus, honesty masih menjadi suatu dilema,
misalnya apakah seorang dokter harus memberitahukan kepada pasien
(keluarga pasien) bahwa pasien tersebut menderita penyakit terminal seperti
kanker. Dalam kedokteran Barat, dalam kasus seperti ini, perlu ditanyakan
kepada pasien apakah mereka ingin mengetahui diagnosis penyakitnya atau
tidak. 4, 5
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi
standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seorang dokter yang
diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang
memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan profesi yang memiliki sanksi
disiplin profesi yang bersifat administratif.2
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menghasilkan suatu sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran
Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban
terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan
mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1
Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia dan Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis besar perilaku dan tindakantindakan yang layak atau tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan
profesinya. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki sistem pengawasan dan
penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat,
wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana
9

kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya,
yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit.
Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan
Etik Rumah Sakit (Makersi).1
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar
hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun, suatu
pelanggaran etik profesi dapat dikenal sanksi disiplin profesi, dalam bentuk
peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani
pendidikan/pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan
haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi)
kedokteran.1, 2
VI.

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA6

KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dan atau janji dokter.
Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional
secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang
tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
Pasal 5

10

Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Pasal 6
Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 8
Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa
kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 9
Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani
pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau
yang melakukan penipuan atau penggelapan.
Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan
tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 11
Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup
makhluk insani.
Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan keseluruhan
aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik
fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi sejati masyarakat.

11

Pasal 13
Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang
kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 14
Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan
dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/
keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian
untuk itu.
Pasal 15`
Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa dapat
berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan
atau penyelesaian masalah pribadi lainnya.
Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 18
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 19

12

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 20
Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
Pasal 21
Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/ kesehatan.
VII.PENERAPAN ETIKA DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN
Sulit untuk menemukan aktivitas medik yang tidak memiliki pertimbangan
etik, mulai dari penelitian pada pasien dan kerahasiaan pasien, dari informed
consent sampai kepada hubungan dokter dan pasien. Dapat dikatakan bahwa
semua etika medis memiliki prinsip pasien merupakan pusat dari dunia
kedokteran yang dikelilingi oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh seorang
dokter. Dokter ada untuk pasien, bukan sebaliknya. Dokter tidak boleh
melakukan hal yang tidak memberikan kebaikan kepada pasien. Dari pernyataan
yang sederhana inilah muncul semua aspek dalam perilaku etik termasuk interaksi
antara dokter dengan dokter dan dokter dengan masyarakat atau dengan
pemerintah.3, 7
1. Hubungan dokter dan pasien
Hubungan dokter-pasien merupakan fondasi dalam praktek kedokteran
dan juga etika kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi Jenewa dokter
menyatakan: Kesehatan pasien akan selalu menjadi pertimbangan pertama
saya dan Kode Etik Kedokteran Internasional menyebutkan: Dokter
harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan
yang dimilikinya. Enam topik yang biasa dihadapi dokter terutama masalah
yang menjengkelkan dokter dalam praktek keseharian yaitu penghargaan dan
perawatan yang sama, komunikasi dan persetujuan, pengambilan keputusan

13

untuk pasien yang tidak kompeten, kerahasiaan, masalah di awal kehidupan


dan masalah di akhir kehidupan.3, 7
a. Penghargaan dan perawatan yang sama
Kepercayaan bahwa semua manusia layak mendapatkan perhormatan dan
perlakuan yang sama sebetulnya sesuatu yang masih baru. Profesi
kesehatan mempunyai perbedaan sudut pandang mengenai persamaan dan
hak-hak pasien. Satu sisi dokter paham bahwa tidak boleh membiarkan
pertimbangan usia, penyakit atau kecacatan, keimanan, etnik, jenis
kelamin, nasionalitas, keanggotaan politik, ras, orientasi seksual, atau
posisi sosial mengintervensi tugas saya dan pasien saya (Deklarasi
Jenewa). Pada saat yang sama dokter juga mengklaim bahwa mereka
berhak menolak atau menerima pasien kecuali dalam keadaan gawat.
Walaupun pembenaran penolakan ini berhubungan dengan keseluruhan
praktek atau kurangnya spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika
dokter tidak memberikan alasan penolakan tersebut maka dengan mudah
dikatakan dokter telah melakukan diskriminasi. Dalam hal ini hati nurani
dokter mungkin satu-satunya cara mencegah pelecehan terhadap hak-hak
orang lain, bukan hukum ataupun penegak disiplin. 3, 7
Banyak dokter, terutama yang bekerja di sektor publik, sering tidak
mempunyai kemampuan untuk memilih pasien yang akan mereka rawat.
Beberapa pasien dapat saja berbahaya dan dapat mengancam keselamatan
dokter, yang lainnya tidak menyenangkan karena sifat anti sosialnya serta
perilakunya. Apakah pasien-pasien seperti ini masih berhak mendapatkan
hak untuk dihargai dan diperlakukan sama, ataukah dokter diharuskan
melakukan tindakan lebih atau bahkan heroik untuk menciptakan dan
menjaga hubungan terapi mereka? Jika berhubungan dengan pasien
seperti ini, dokter harus menyeimbangkan tanggung jawab terhadap
keselamatan dan kebaikan diri mereka dan juga staf-stafnya dengan
tugasnya untuk menyembuhkan. Dokter harus berusaha mencari jalan
agar kedua kewajiban tersebut dapat terpenuhi, dan jika tidak mungkin,
harus dicari alternatif perawatan pasien.3, 7

14

b. Komunikasi dan persetujuan


Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu
konsep inti etika kedokteran saat ini. Hak pasien untuk mengambil
keputusan mengenai perawatan kesehatan mereka telah diabadikan dalam
aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Dua hambatan besar dalam
komunikasi dokter-pasien yang baik adalah perbedaan budaya dan bahasa.
Jika dokter dan pasien tidak berbicara dalam bahasa yang sama maka
diperlukan seorang penterjemah. Sayangnya dalam banyak situasi tidak
ada penterjemah yang memadahi dan dokter harus mencari orang yang
tepat untuk pekerjaan ini. Budaya dapat memunculkan masalah dalam
komunikasi karena perbedaan pemahaman budaya tentang penyebab, dan
sifat dari penyakit dapat menyebabkan pasien tidak paham terhadap
diagnosis dan perawatan yang diberikan. Dalam situasi seperti ini dokter
harus membuat segala usaha yang mungkin untuk dapat memahamkan
pasien terhadap kesehatan dan penyembuhan serta mengkomunikasikan
saran-sarannya kepada pasien sebaik mungkin. Jika dokter berhasil
mengkomunikasikan semua informasi yang diperlukan oleh pasien dan
jika pasien tersebut ingin mengetahui diagnosa, prognosis, dan pilihan
terapi yang dijalani, maka kemudian pasien akan berada dalam posisi
dapat membuat keputusan berdasarkan pemahamannya tentang bagaimana
menindaklanjutinya.

3, 7

Ada dua perkecualian syarat untuk mendapatkan

ijin berdasarkan pemahaman oleh pasien yang kompeten:


Keadaan dimana pasien memberikan secara sukarela hak pengambilan
keputusan kepada dokter atau pihak ketiga. Karena kompleksitas
masalah atau karena pasien percaya sepenuhnya kepada penilaian
dokter, maka pasien dapat saja mengatakan Lakukan apa yang

menurut anda yang terbaik.


Keadaan dimana penyampaian informasi kepada pasien dapat
menyakiti pasien. Konsep therapeutic privilege (hak istimewa terapi)
dapat digunakan dalam kasus tersebut dimana dokter diijinkan
menyimpan informasi medis jika ternyata menyampaikannya dapat
membahayakan atau menyakiti pasien secara emosional, psikologi,
15

fisik dirinya atau orang lain; seperti jika pasien dapat melakukan
tindakan bunuh diri jika diagnosa ternyata mengindikasikan adanya
penyakit stadium terminal. Hak istimewa ini sangat mungkin
disalahgunakan, sehingga dokter hanya boleh menggunakannya dalam
keadaan yang ekstrim.3, 5, 7
c. Pengambilan keputusan untuk pasien yang tidak kompeten
Banyak pasien tidak kompeten dalam membuat keputusan untuk mereka
sendiri. Contohnya adalah anak-anak, orang dengan kondisi neurologi atau
psikiatri tertentu, atau pasien yang tidak sadar sementara atau kondisi
koma. Pasien-pasien tersebut membutuhkan pengambil keputusan
pengganti, bisa dokter atau orang lain. Masalah etis muncul dalam
menentukan siapa yang berhak mewakili pasien dalam mengambil
keputusan dan dalam memilih criteria keputusan berdasarkan kepentingan
pasien yang tidak kompeten tersebut. Masalah timbul jika mereka yang
menyatakan bahwa merekalah yang sesuai sebagai wakil pasien seperti
anggota keluarga tidak setuju diantara mereka sendiri, atau jika mereka
setuju, keputusan yang diambil bukanlah keputusan terbaik sesuai
kepentingan pasien di mata dokter. Dalam situasi yang pertama dokter
dapat bertindak sbagai mediator, namun jika tetap tidak terjadi
kesepakatan, dapat dipecahkan dengan jalan lain seperti voting atau
menyerahkan kepada anggota keluarga yang paling tua3, 7
d. Kerahasiaan
Tugas dokter untuk menjaga kerahasiaan informasi pasien merupakan
dasar pokok dalam etika kedokteran sejak jaman Hippocrates. Pembeberan
(keterangan/membuka rahasia) adalah hal yang rutin dalam kerahasiaan,
sering muncul di sebagian besar institusi kesehatan. Banyak orang seperti
dokter, perawat, teknisi lab, mahasiswa, dll memerlukan akses terhadap
rekam medis pasien untuk memberikan perawatan yang baik terhadap
orang tersebut dan bagi mahasiswa untuk mempelajari bagaimana praktek
pengobatan. Alasan lain yang dapat diterima terhadap pembeberan
kerahasiaan adalah untuk memenuhi tuntutan hukum. Contohnya, hakim
mempunyai hukum yang mewajibkan pelaporan pasien- pasien yang

16

menderita penyakit tertentu, yang dianggap tidak layak untuk menyetir


kendaraan, dan yang dicurigai merupakan kasus penyiksaan anak. Dokter
harus sadar terhadap kewajiban pelaporan tersebut.3, 8
e. Masalah di awal kehidupan
Masalah etis yang muncul dalam etika kedokteran sebagian besar
berhubungan dengan masalah di awal kehidupan, seperti kontrasepsi,
reproduksi buatan, prenatal genetic screening, aborsi, neonates dengan
kelainan berat3, 7, 9
f. Masalah di akhir kehidupan
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup
pasien yang sekarat sampai teknologi eksperimental canggih seperti
implantasi organ binatang, percobaan mengakhiri hidup lebih awal melalui
euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara halhal yang ekstrim
tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan
perawatan yang dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan
penyakit stadium terminal serta kelayakan dan penggunaan peralatan
bantuan hidup lanjut.3, 7, 9
2. Hubungan dokter-masyarakat
Saat ini pengobatan lebih merupakan aktivitas sosial dan tidak hanya terbatas
pada individu yang terjadi dalam konteks organisasi pemerintah dan
perusahaan dan juga pendanaan. Dokter mempunyai berbagai hubungan
dengan masyarakat. Karena masyarakat dan lingkungan fisik merupakan
faktor penting dalam kesehatan pasien maka profesi kesehatan secara umum
dan dokter khususnya mempunyai peran penting dalam kesehatan publik,
pendidikan

kesehatan,

perlindungan

lingkungan,

hukum-hukum

yang

mempengaruhi kesehatan, atau kesehatan komunitas, dan persaksian dalam


pengadilan. Dokter mempunyai tanggung jawab dan akan mempertanggung
jawabkan baik kepada pasien dan pihak ketiga, dan jika tanggung jawab serta
akuntabilitas ini tidak saling bersesuaian maka dokter akan berada dalam
loyalitas ganda. Pihak ketiga yang menuntut loyalitas dokter adalah
pemerintah, orang yang mempekerjakan (rumah sakit, dan orang kesehatan),
perusahaan asuransi, angkatan bersenjata, polisi, petugas penjara, dan anggota
keluarga. Bentuk khusus dari loyalitas ganda ini yang dihadapi oleh dokter

17

adalah konflik kepentingan yang aktual maupun potensial yang terjadi antara
organisasi komersial dengan pasien dan/atau masyarakat. Perusahaan obat,
alat kesehatan dan organisasi komersial lain secara teratur menawari dokter
hadiah dan keuntungan lain yang bervariasi dari contoh gratis sampai liburan
dan akomodasi dalam acara-acara pendidikan sebagai imbalan karena
keikutsertaannya dalam penelitian3, 7
3. Hubungan dokter dan kolega
Dengan cepatnya pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan aplikasi kliniknya,
pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli
untuk semua penyakit yang diderita oleh pasien mereka dan perawatan yang
harus diberikan sehingga membutuhkan bantuan dari dokter spesialis lain dan
profesi kesehatan yang memiliki ketrampilan yang diperlukan seperi perawat,
farmasis, fisioterapis, teknisi lab, pekerja sosial, dan lainnya. Kewajiban untuk
melaporkan kolega yang melakukan tindakan yang tidak kompeten,
mencelakakan, perbuatan tidak senonoh, ditekankan dalam Kode Etik
Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA yang menyatakan:
Dokter harus ... berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan
kompetensi dokter atau yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan.
Penerapan prinsip ini tidaklah mudah. Di satu sisi seorang dokter mungkin
menyerang reputasi koleganya karena motif yang tidak benar seperti karena
cemburu dan perasaan terhina oleh koleganya. Dokter juga merasa tidak enak
dan ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang tidak benar karena
simpati atau persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat berakibat
kurang baik bagi yang melapor, termasuk keramahan dari yang tertuduh atau
bahkan juga dari kolega yang lain. Terlepas dari hal tersebut, pelaporan
terhadap tindakan salah yang dilakukan kolega merupakan suatu tugas
profesional. Dokter tidak hanya mempunyai kewajiban menjaga reputasi yang
baik dari profesinya tetapi juga karena mereka sendirilah yang kadang bisa
mengetahui ketidak kompetenan, kelalaian atau kesalahan prosedur. Namun
melaporkan kolega kepada komisi dislipin sebaiknya merupakan langkah
terakhir setelah semua alternative telah dicoba dan tidak memberikan hasil.
Langkah pertama mungkin mendekati kolega tersebut dan mengatakan bahwa
18

menurut pendapat anda tindakannya tidak aman dan tidak etis. Jika
masalahnya dapat diselesaikan pada level tersebut, mungkin tidak diperlukan
langkah

lebih

jauh.

Jika

tidak,

langkah

selanjutnya

mungkin

membicarakannya dengan atasan anda dan/atau atasan kolega anda dan


menyerahkan keputusannya kepada orang tersebut. Jika langkah ini tidak
praktis atau tidak memberikan hasil, mungkin langkah terakhir perlu
memberitahukan komisi disiplin.3, 7
4. Tanggung jawab dan hak istimewa dokter
Seperti juga semua manusia, dokter mempunyai hak dan juga kewajiban, dan
etika kedokteran akan tidak komplit jika tanpa mempertimbangkan bagaimana
dokter harus diperlakukan oleh orang lain, apakah pasien, masyarakat, atau
kolega. Etika kedokteran memuat hak-hak dokter dan juga tanggung
jawabnya. Dokter sering lupa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab
terhadap diri mereka sendiri, dan juga kepada keluarga mereka. Di banyak
bagian di dunia ini, menjadi dokter artinya mengabdikan sepenuhnya dirinya
terhadap praktek pengobatan dengan sedikit mempertimbangkan kesehatan
dan kebaikan dirinya. Perlunya memastikan keselamatan pasien dan juga
untuk membangun hidup sehat bagi dokter telah dilakukan di berbagai negara
dengan pembatasan jumlah jam kerja dan lamanya jaga yang harus dilakukan
oleh dokter dan peserta pelatihan3, 7

19

VIII.KESIMPULAN
Etika merupakan hal yang penting dalam suatu profesi kedokteran. Kode
etik dapat menjadi pedoman bagi para tenaga medis dalam memberikan pelayanan
kesehatan bagi pasien. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak
professional, sehingga dokter yang memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien
akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan bertanggung-jawab sepenuhnya
atas tindakan yang dilakukannya.
Dalam praktik sehari-hari dokter harus mengacu kepada 5 kaidah dasar
etika kedokteran atau bioetika yaitu beneficience, non maleficience, autonomy,
justice dan honesty. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi pegangan bagi tenaga
medis dalam memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi pasien.

20

Daftar Pustaka
1.

Mappaware NA, Purwadianto A, Budiningsih Y. 2010. Pengantar Bioetika,


Hukum Kedokteran, dan Hak Asasi Manusia. Makassar: Umitoha
Ukhuwah Grafika.

2.

Hanafiah MJ, Amir A. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3.

Sagiran. 2005. Panduan Etika Medis. Yogyakarta: PSKI FK UMY.

4.

Lawrence GS. 2010. Surat Keterangan Visum et Repertum Korban Hidup


dan Mati. Makassar: Departemen Kedokteran Forensik-Medikolegal.

5.

Goldenberg, Solomon. Medical ethics. Journal of Continuing Education


Topics & Issues 2009;11(2).

6.

Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S. 2012. Kode Etik Kedokteran


Indonesia. Jakarta: IDI.

7.

Mason-McQuioid, David. 2002. Medical Ethics and Law. Dalam: A


Medico-Legal Guide to Crimes Against Women and Children. USA :
Independent Medico-Legal Unit, University of Natal.

8.

O'Brien J, Chantler C. Confidentiality and the duties of care. Journal of


medical ethics 2003;29:36-40.

9.

Iserson KV, Heine CE. 2014. Bioethics. Dalam : Rosens Emergency


Medicine. USA : Elsevier.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Mappaware NA, Purwadianto A, Budiningsih Y. Pengantar Bioetika, Hukum


Kedokteran, dan Hak Asasi Manusia. Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika;
2010.
Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2009.
Sagiran. Panduan Etika Medis. Yogyakarta: PSKI FK UMY; 2005.
Lawrence GS. Surat Keterangan Visum et Repertum Korban Hidup dan Mati. In.
Makassar: Departemen Kedokteran Forensik-Medikolegal; 2010.
Goldenberg, Solomon. Medical ethics. Journal of Continuing Education Topics &
Issues 2009;11(2).
Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta:
IDI; 2012.
Medical Ethics and Law. In: A Medico-Legal Guide to Crimes Against Women
and Children.
O'Brien J, Chantler C. Confidentiality and the duties of care. Journal of medical
ethics 2003;29:36-40.
Iserson KV, Heine CE. Bioethics.

21

22

Anda mungkin juga menyukai