Anda di halaman 1dari 27

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana. Salah
satu dari kekerasan tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada umumnya,
KDRT terjadi dikarenakan permasalahan dalam rumah tangga yang seharusnya bisa
diselesaikan dengan baik menjadi tidak bisa atau tidak mau diselesaikan dengan cara yang
baik dikarenakan faktor tertentu.
Ketidakpedulian masyarakat dan Negara terhadap masalah KDRT ini karena adanya
ideology gender dan budaya patriarki dimana laki-laki ditempatkan sebagai yang utama atau
superior dibandingkan dengan perempuan. Dalam kenyataannya, kekerasan dalam rumah
tangga ini terus meningkat begitu juga korbannya. Hal ini merujuk kepada hukum di
pengadilan dimana korban dibantu oleh penyidik. Untuk itu penyidik memererlukan data
medis dari dokter khususnya di rumah sakit kepolisiann sebagai alat bukti yang sah mengenai
bentuk kekerasan tersebut. Sehingga dokter bukan lagi memeriksa pasien tetapi memeriksa
saksi/korban tindak pidana. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara rinci dan diuraikan
kemudian dituang kedalam tulisan dalam bentuk visum et repertum.
Visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat berdasarkan
permintaan penyidik memuat hasil visum (segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan) dalam
pemeriksaan sesuai dengan keilmuannya sebaik-baiknya untuk kepentingan peradilan sebagai
salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis di pasal 184 KUHAP ayat (1).
Dengan demikian visum et repertum telah menjadi penghubung antara ilmu kedokteran dan
ilmu hukum, sehingga dengan membaca visum et repertum bisa dipertimbangkan dan
diterapkan sesuai dengan norma hukum menyangkut tubuh atau jiwa seseorang.
Dalam hal ini seorang dokter, khususnya mahasiswa kedokteran harus mampu
melakukan visum dan membuat laporan hasil visum (Visum et Repertum) sehingga diperlukan
pendalaman pengetahuan mengenai visum dan membuat laporan hasil visum (Visum et
Repertum). Oleh karena itu, kami mahasiswa kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang ingin melaksanakan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi dalam blok II ini dengan
tema Observasi Visum KDRT di Rumah Sakit Bhayangkara.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dirumuskan pada
kegiatan Tugas Pengenalan Profesi blok II ini adalah:
1. Bagaimana langkah-langkah dokter dalam melakukan visum?
2. Bagaimana etika dokter saat melakukan visum?
3. Bagaimana susunan laporan visum (Visum et Repertum)?
4. Siapa mayoritas korban KDRT yang diperiksa di RS Bhayangkara Palembang?
5. Apa bentuk KDRT yang dominan dialami korban pada hasil pemeriksaan di RS
Bhayangkara Palembang?
1.3 Tujuan Kegiatan
Tujuan pelaksananaan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi blok II ini adalah untuk
menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan diatas, yakni untuk mengetahui:
1. Langkah-langkah dokter dalam melakukan visum.
2. Etika dokter saat melakukan visum.
3. Susunan laporan visum (Visum et Repertum).
4. Mayoritas korban KDRT yang diperiksa di RS Bhayangkara Palembang.
5. Bentuk KDRT yang dominan dialami korban pada hasil pemeriksaan di RS
Bhayangkara Palembang.
1.4 Manfaat Kegiatan
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan ini adalah:
1. Mahasiswa kedokteran dapat melakukan visum sesuai dengan etika yang berlaku serta
mampu membuat laporan visum (Visum et Repertum).
2. Hasil penelitian dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk usaha preventif dalam
mengurangi kekerasan dalam rumah tangga.
3. Hasil kegiatan Tugas Pengenalan Profesi blok II ini juga diharapkan dapat dijadikan
dasar untuk penulisan hasil kegiatan sejenis kedepan.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Visum
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara
baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada
tahap persidangan perkara tersebut. (Syamsuddin, 2011)
Visum adalah tanda pernyataan atau keterangan telah mengetahui atau menyetujui
suatu perkara. Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta
oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum
et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi
standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam
sistem peradilan. (Affandi, 2010)
Visum et repertum berasal dari kata visual yaitu melihat dan repertum yaitu
melaporkan. Jadi visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat berdasarkan
permintaan penyidik memuat segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan dalam pemeriksaan
sesuai dengan keilmuannya sebaik-baiknya untuk kepentingan peradilan dengan mengingat
sumpah ketika menerima jabatan.
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup
maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di
bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.Sebuah VeR yang baik harus mampu
membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan buktibukti forensik
yang cukup.
Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan medikolegal
sangat berbeda dibandingkandengan pemeriksaan klinis untuk kepentinganpengobatan.
Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang korban adalah untuk menegakkan hukum pada
peristiwa pidana yang dialami korban melalui penyusunan VeR yang baik.
2.1.1 Peranan dan Fungsi Visum et Repertum
Kedudukan visum et repertum dalam suatu proses peradilan adalah sebagai salah satu
alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis di pasal 184 KUHAP ayat (1). Visum et
repertum turut berperan dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

manusia artinya dokter bukan lagi memeriksa pasien tetapi memeriksa saksi/korban tindak
pidana. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara rinci dan diuraikan kemudian dituang kedalam
tulisan dalam bentuk visum et repertum. (Nuraga, 2012)
Keterangan dan pendapat dokter setelah melakukan pemeriksaan di tulis di bagian
Kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum telah menjadi penghubung antara ilmu
kedokteran dan ilmu hukum,sehingga dengan membaca visum et repertum bisa
dipertimbangkan dan diterapkan sesuai dengan norma hukum menyangkut tubuh atau jiwa
seseorang.
Visum et repertum berbeda dengan catatan medik dan surat keterangan medik lainnya
karena visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang yang berlaku,maka dokter
tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322
KUHP,meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien dan selama visum et repertum dibuat
untuk dipergunakan dalam proses peradilan.
2.1.2 Bentuk Visum
1. Visum et Repertum Korban Hidup
a) Visum et Repertum segera / seketika
Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa didapatkan lukanya
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau
aktivitasnya.
b) Visum et Repertum Sementara
Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di
rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.
c) Visum et Repertum Lanjutan
Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et Repertum
Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya
tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah sakit atau dokter lain ataupun
meninggal dunia.
2. Visum et Repertum pada mayat
Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata lain
berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada mayat.
3. Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
4. Visum et Repertum Penggalian Mayat
5. Visum et Repertum Mengenai Umur
6. Visum et Repertum Psikiatrik
7. Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti
Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan sebagainya.
(Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana,2008)
2.1.3 Dasar Hukum Visum
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup
maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di
bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran
Forensik,1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah Pasal 133 KUHAP sebagaimana
disebutkan berikut:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada seorang
korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan
penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam Pasal 120 ayat 1 KUHAP yaitu:
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.
Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat
dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang
terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli
dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul
dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

keadaan

pelaku

perbuatan

(tersangka)

sebagai

alat

bukti

surat

yang

dapat

dipertanggungjawabkan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini
adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara
RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan
dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli
mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai
negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
(Pasal 7(2) KUHAP).

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana
sebagaimana disebutkan pada Pasal 216 KUHP berikut:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut
atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan
ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
2.2 Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan menurut Johan Galtung (sosiolog Norwegia (1930), Windhu, 92: 11)
menyebutkan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas
aktual seseorang ada di bawah realitas potensialnya. Artinya ada sebuah situasi dimana
menyebabkan segi kemampuannya atau potensi individu tersebut menjadi tidak muncul.
Dengan demikian, kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal
maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang
lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap
orang yang menjadi sasarannya. Windhu, Marsana, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
2.2.1 Bentuk Kekerasan
Menurut Galtung, kekerasan dibagi menjadi dua tipe, yaitu: kekerasan struktural dan
kekerasan kultural. Jenis kekerasan tersebut dibedakan menurut penyebab yang mendukung
daripada langgengnya kekerasan. Bentuk kekerasan struktural sering dilihat sebagai kekerasan
psikologis dan termasuk dalam kategori kekerasan tidak langsung. Sedangkan bentuk
kekerasan kultural termasuk kekerasan langsung.
Dua tipe kekerasan tersebut di atas dapat dikontekstualkan dalam wacana kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga. Dengan kerangka kekerasan struktural, kekerasan yang
dilakukan suami terhadap pasangannya pada dasarnya bersumber dari ketidakadilan
struktural. Ketidakadilan yang menciptakan ketidaksamaan dan ketidakseimbangan relasi
antara suami dengan istri. Struktural sosial yang tidak egaliter dan pembagian kekuasaan yang
menempatkan istri pada kondisi yang lemah,tergantung dan tidak berdaya akan menghalangi
pihak istri untuk merealisasikan segenap potensinya.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Kekerasan kultural juga mempunyai

andil besar dalam melegitimasi dan

menjustifikasi kekerasan struktural dalam rumah tangga. Sering kali suami bersikap dan
bertindak keras pada istri karena merasa dibenarkan oleh unsur-unsur kultural seperti agama,
ideologi, bahasa, adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Aspek-aspek budaya ini memperkuat
dan bahkan melanggengkan struktural kekerasan dalam bangunan rumah tangga.
(Galtung, Johan, Kekerasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian, Peny: Mochtar
Lubis, Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998)
Struktur sosial di masyarakat kita memang menempatkan laki-laki pada posisi yang
dominasi terhadap perempuan (istri). Struktur semacam ini telah berlangsung dalam kurun
waktu yang lama. Masyarakat menganggap bahwa secara kodrati perempuan-perempuan
memang harus terlibat dalam kegiatan yang bersifat rendah, kiri dan alam. Struktur
sosial ini kemudian memunculkan dominasi laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri).
Banyak dilihat bahwa kekerasan terhadap istri hanya terjadi pada pasangan-pasangan
tradisional yang diwarnai oleh sikap patuh dan taat terhadap suami ataupun ketergantungan
istri yang berlebihan secara sosial- ekonomi kepada suaminya. Tetapi, ternyata realitas yang
tidak menyenangkan tersebut juga dapat terjadi pada pasangan modern, berpendidikan tinggi,
pada golongan sosial ekonomi yang baik dan istri yang sebenarnya tidak tergantung secara
sosial-ekonomi. Memang seorang perempuan (istri) yang tidak mempunyai kemandirian
secara ekonomiakan sangat tergantung pada suaminya. Ketergantungan ekonomi ini
mengakibatkan suaami merasa berkuasa dan melakukan kesewenangan-wenangan, misalnya
dalam bentuk kekerasan. Adapun ragam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami
istri adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kekerasan fisik
Adalah setiap tindakan seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja yang
menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat pada tubuh orang lain, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Dengan kata lain tindakan tersebut dilakukan untuk
menyakiti seseorang dan bertujuan agar si korban benar-benar menderita sakit bahkan
sampai menemui ajalnya. Kekerasan bentuk ini biasanya meninggalkan bekas yang
tampak nyata, seperti luka atau memar pada tubuh korban.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Kekerasan bentuk ini bisa berupa:


a. Menampar atau memukul
b. Menendang
c. Membenturkan kepala ke tembok
d. Menyulut istri dengan rokok
[Ilmi Idrus, Nurul. 1999. Marital Rape (Kekerasan Seksual dalam Perkawinan).
Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan
UGM]
2. Bentuk kekerasan psikis
Adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkanketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak serta rasa tidak berdaya pada diri
seseorang. Bentuk kekerasanini tidak menimbulkan bekas seperti halnya kekerasan
fisik. Namun bentuk kekerasn ini jauh lebih meninggalkan bekas di dalam hati korban
dan untuk penyembuhannyapun sangatlah sulit. Adanya bentuk kekerasan psikis ini
didukung oleh ketidakseimbangan kedudukan antara suami dan istri. Banyak sekali
suami yang menolak permohonan istrinya untuk bekerja tanpa mau mendengarkan
keinginan istrinya untuk mengembangkan diri dan mengamalkan ilmunya. Jarang
suami yang mau tahu betapa istrinya menderita akibat larangan tersebut. Adapun
tindak kekerasan bentuk ini adalah :
a. Mencela, memaki, menghina
b. Mengancam, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak
c. Mengisolasi istri dari dunia luar
d. Memberikan pernyataan tuduhan selingkuh terhadap istri.
(Djannah, Fathul, dkk. 2003. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: Lkis)
3. Bentuk kekerasan ekonomi
Adalah setiap perbuatan yang bersifat membatasi seseorang dalam bekerja, baik di
dalam maupun di luar rumah yang menghasilkan uang atau barang. Namun bisa juga
berupa membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi. Bentuk dari kekerasan
ekonomi ini adalah:
a. Tidak memberikan uang belanja yang mencukupi
b. Memakai atau menghabiskan uang istri
c. Tidak memberi uang belanja sama sekali
d. Menuntut istri memperoleh penghasilan yang lebih banyak
e. Tidak membenarkan istri meningkatkan karirnya.
(Ilmi Idrus, Nurul. 1999. Marital Rape (Kekerasan Seksual dalam Perkawinan).
Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan
UGM)
Dikatakan dalam Undang-undang bahwa suami wajib memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga, namun kenyataannya tidak hanya suami yang

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

berperan menanggung kebutuhan keluarga, istripun berperan bahkan kadang hanya


istri yang menunjang keluarga. Seperti pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan
sehari-hari tidak hanya ditanggung oleh suami, tetapi juga ditanggung oleh istri.
Ketergantungan ekonomi seorang istri sering menjadi faktor adanya kekerasan dalam
rumah tangga. Istri dihadapkan pada keadaan yang dilematis dalam mengambil
keputusan. Pelabelan-pelabelan sosial justru dilekatkan pada seorang istri yang
kemudian dianggap tidak mampu menata kehidupan keluarga.
4. Bentuk kekerasan seksual
Adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecahan seksual sampai dengan pemaksaan
terhadap seseorang untuk melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual
dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan menjauhkannya dari
kebutuhan seksual.
2.2.2 Tahap-tahap Kekerasan dalam Rumah Tangga
Karena alur dari tindak kekerasan adalah semu. Untuk mengetahui alur tindakan
kekerasan tersebut kita ketahui tahap-tahap daripada tindak kekerasan:
1. Tahap Awal : Munculnya ketegangan
Ketegangan muncul disebabkan percekcokan terus menerus terkadang dibarengi
kekerasan kecil. Namun hal tersebut biasa dianggap bumbu perkawinan, sehingga
ketegangan demi ketegangan berlalu begitu saja. Dan tanpa disadari oleh korban
bahwa dirinya telah mengalami kekerasan dari ucapan dan tindakan yang dilakukan
suami.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

10

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

2. Tahap Kedua : Pemukulan Akut


Tahap inilah yang sering muncul sebagai berita di Koran. Ketegangan meningkat
menjadi penganiayaan, bentuknya bias bermacam- macam. Bisa berupa tamparan,
tendangan, cekikan, bantingan dan sering kali bahkan penyerangan dengan senjata
tajam atau senjata api. Kekerasan bias berhenti jika perempuan pergi dari rumah, mati
atau suami sadar akan kesalahannya.
3. Tahap Ketiga : Bulan Madu yang Semu

Dalam tahap ini suami sering kali menyesali tindakannya.Bentuknya bisa rayuan dan
berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Bahkan tidak jarang suami memperlihatkan
sikap mesra yang berlebihan seperti memberi hadiah istimewa. Kalau sudah demikian,
biasanya istri akan luluh dan memaafkan tindakan kekerasan yang dilakukan sang
suami. Tentu disertai harapan bahwa badai telah berlalu dan babak kehidupan baru
segera dimulai. Itulah sebabnya mengapa istri tetap memilih bertahan di dalam rumah
tangganya. Korban sering kali tidak menganggap tindak kekerasan yang dialaminya
dan menganggap seolah- olah tidak pernah terjadi.
(Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Belajar
dari Kehidupan Rasulullah SAW. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender)
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab adanya KDRT
Faktor-faktor yang dapat berpeluang menimbulkan tindakan kekerasaan terhadap
perempuan (istri) yang dilakuakan oleh suami adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Masyarakat terhadap kekerasan
Tindakan kekerasan secara umum masih dianggap sebagai penyimpangan budaya,
walaupun tindakan kekerasan sampai dengan pembunuhan pada sub kultur tertentu
masih dapat ditolerir. Meskipun kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan
yang besar, tetapi oleh sebagian masyarakat masih dianggap sesuatu yang wajar
terjadi.
2. Kurangnya Komunikasi
Komunikasi dalam kelompok keluarga, kesetaraan dalam komunikasi tampaknya
dipengaruhi pula oleh penguasaan sumber-sumber ekonomi, sosial dan budaya yang
melingkupi keluarga.Berbeda dengan masyarakat tradisional, masyarakat modern
cenderung berada di luar rumah. Adanya komunikasi hanya terjadi beberapa saat. Jadi,
aspek ini sangat rentan memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3. Penyelewengan

Hal ini terjadi apabila terdapat orang kedua selain istri resmi. Suami yang merasa
mempunyai kemampuan dalam hal ekonomi secara lebih dapat memicu terjadinya
penyelewengan. Dan adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

11

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

4. Citra Diri yang Rendah dan Frustasi

Pernikahan yang di dalamnya tidak menghasilkan anak, sehingga seringkali suami


mencari kesempatan atau alasan untuk memojokkan sang istri dengan mengatakan
bahwa istrinya adalah wanita yang tidak beres. Namun, sang istri menerima saja apa
yang dikatakan sang ssuaami dantelah memahami persoalan yang dihadapi oleh
suaminya.
5. Perubahan

Kecenderungan pemukulan pada istri sangat berkaitan erat pula dengan adanya
perubahan-perubahan

yang

terjadi

dalam

kehidupannya,

dimana

suami

menganggapnya sebagai ancaman. Perubahan-perubahan tersebut antara lain adalah


kurangnya sumber pendapatan. Semakin bertambahnya tuntutan suami terhadap istri
demi karir suami dan perubahan susunan keluarga.
6. Kekerasan sebagai sumber daya menyelesaikan masalah
Setiap persoalan yang diungkapkan oleh istri yang tidak berkenan di hati suami, secara
umum tamparan tangan yang lebih berbicara dan bahkan seringkali bahan-bahan
atau barang-barang di sekitar suami berdiri digunakan sebagai alat pemukulan
terhadap istri. Persoalan kecil yang diimbangi dengan omelan yang tidak proporsional
terhadap kesalahan istri. Istri yang berusaha menjelaskan ataupun berusaha membela
diri akan diperlakukan lebih dari omelan- omelan saja. Sehingga banyak dari korban
yang berusaha mentolerir adanya kekerasan yang dialaminya. Sejatinya mereka telah
mengesampingkan hak-hak dan otonomi mereka sebagai individu demi keutuhan
keluarga dan masa depan anak-anak. Ketergantungan ekonomi seringkali membuat
perempuan dihadapkan pada keadaan yang sangat dilematis dalam mengambil
keputusan. Pelabelan-pelabelan sosial justru dilekatkan pada perempuan yang tidak
mampu menata kehidupan keluarga.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

12

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

7. Adanya Budaya Patriarki


Adalah sebuah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai warga kelas I, dominant,
superior, lebih tinggi dari perempuan. Sementara perempuan menjadi warga kelas II,
inferior atau lebih rendah. Legitimasi kepada laki-laki untuk lebih berkuasa daripada
perempuan dalam kehidupan dan peremuan menjadi korban. Kaum perempuan
sebagai kelas kelas nomor II (The Second Class) yang menempati posisi dibawah
suami. Hal ini menimbulkan adanya relasi yang tidak seimbang dalam rumah tangga.
8. Role Modeling (perilaku meniru)

Seorang anak laki-laki yang sering melihat bapaknya melakukankekerasan terhadap


ibunya atau melihat kekerasan melalui telavisi dan media cetak lainnya mempunyai
kecenderungan akan meniru atau melakukan hal yang serupa.
(Ihromi, T.O., 1995. dalam Sri Sanituti Hariadi, Kajian Wanita dalam Pembangunan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)
9. Penafsiran yang keliru atas ajaran agama
Penafsiran terhadap ayat yang membolehkan suami untuk memukul istrinya apabila
nusyuz seringkali dipahami sebagai pembenaran pemukulan terhadap istri. Seperti
halnya telah dibahas diatas bahwa ayat tersebut menggambarkan bahwa seorang suami
harus membimbing istrinya dengan bentuk nasehat jika istrinya tidak berperilaku baik.
Bimbingan yang dapat dilakukan seorang suami melalui tahapan sebagai berikut:
a. Dengan memberikan nasehat yang berupa lisan atau omongan
b. Pisah ranjang
c. Tindakan terakhir jika istri tetap berperilaku menyimpang maka suami dapat
memukul istrinya.
(Al Shabbagh, Mahmud. 1993. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Penerj:
Bahruddin Fannani, Cet: II. Bandung: Rosda Karya)
Alasan-alasan istri dalam usahanya mencoba bertahan adalah sebagai berikut:
1. Takut Pembalasan Suami
Banyak istri yang diancam dengan penganiayaan yang lebihkejam dari sebelumnya,
bahkan pembunuhan jika mereka berupaya meninggalkan rumah tangga. Bagi korban
yang ingin meninggalkan suami dan beserta tindak kekerasannya sering memperoleh
ancaman sebelum hal itu benar-benar terjadi. Apabila korban dianggap melakukan hal
yang bisa membuka aib keluarga (suami), maka suami sudah terlebih dahulu
melakukan tindakan yang bisa mengancam korban.
2. Tidak ada tempat berlindung
Banyak istri yang bergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga tidak ada
pilihan lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan. Korban
merasa pasrah menerima tindak kekerasan dari suami begitu saja, karena untuk
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

13

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

memenuhi kebutuhan keluarga sehari- hari. Korban tidak tahu harus pergi dan
mengadu kepada siapa sedang orang yang terdekat (suami) sendiri melakukan hal
yang seharusnya tidak dilakukan.
3. Takut dicerca Masyarakat
Banyak perempuan (istri) takut dicap sebagai perempuan tidak baik, karena diketahui
sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga akibat didera suami sendiri. Sebagian
tidak siap dengan status sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah status
tersebut.
4. Rasa percaya diri yang rendah
Akibat dari penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri merasa
tidak berarti dan tidak percaya diri jika dirinya mempunyai kemampuan untuk
mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
5. Untuk kepentingan anak
Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yanglebih buruk apabila
berpisah dari ayah mereka. Selain itu, korban memikirkan bagaimana masa depan
anak-anaknya setelah berpisah dengan suami. Bagaimana hak asuh anak seandainya
cerai, bagaimana hak waris anak-anaknya kelak dan bagaimana wali nikah anaknya
kelak. Berbagaipertanyaan menyerang diri seorang istri sebelum banar-benar
memutuskan untuk bercerai dengan suami.
6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka
Seorang istri mendambakan berhentinya tindak kekerasan, bukan putusnya ikatan
perkawinan. Merekapun berharap terus menerus agar suaminya berubah menjadi baik
kembali. Dan berharap suami akan kembali mencintai istri seperti halnya pada saat
awal membina keluarga.
(Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan ddalam Rumah Tangga, Belajar
dari Kehidupan Rasulullah SAW. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender)
7. Mempertahankan Perkawinan
Banyak istri yang percaya perkawinan itu suatu yang luhur dan perceraian adalah
suatu yang buruk, sehingga harus dihindari. Merekapun beranggapan bahwa lebih baik
tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena hal itu suatu yang tabu
atau dilarang agama.
Tindak kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam keluarga adalah tindakan suami
baik di sengaja maupun tidak di sengaja, bersifat menyakiti dan merendahkan jati diri
istri, sehingga mengakibatkan kerugian berupa perasaan tidak berharga serta kesakitan
baik fisik maupun non fisik.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

14

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Semakin meningkatnya frekuensi serta keragaman bentuk dan jenis tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam kehidupan keluarga tersebut merupakan bukti semakin
rapuhnya fungsi keluarga sebagai tempat berlindung bagi segenap anggotanya.
Pemberdayaan keluarga adalah suatu bentuk kegiatan pemberian kesempatan dan
otoritas ke arah penguatan melalui fungsi suatu keluarga, yang dilaksanakan secara
terencana, terarah, sistematis, berkesinambunganmelalui penyuluhan dan bimbingan
sosial, advokasi, serta konsultasi yang ditujukan untuk menyadarkan, menumbuhkan
dan meningkatkan pemahaman, pengamalan serta pemenuhan prinsip dasar kesetaraan
gender menuju pola hidup sadar gender.
Pencegahan adalah suatu bentuk upaya atau kegiatan yang bertujuan menahan,
menjaga, menghambat, menghalangi, menghindari dan atau mengurangi kemungkinan
terjadinya suatu bentuk permasalahan tertentu, yang dalaam hal ini adalah tindak
kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga.
[Sosial R.I., 2003. Departemen, Pengkajian Profil Tindak Kekerasan terhadap
Perempuan dalam Keluarga, dalam Endro Winarno. Yogyakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS)]
2.2.4 Upaya Penanganan KDRT
Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.
1. Pendekatan kuratif:
a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik
dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya KDRT.
d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari KDRT.
e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku
KDRT.
f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi, dan potensinya.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

15

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT,
tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan
responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
2. Pendekatan preventif:
a. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan
tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya
berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat
lainnya.
b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi,
mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti,
sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban
KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya
memiliki efektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan
penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai
serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan
keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa
dendam bagi pelakunya.
f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri
kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi
kehidupan masyarakat.
Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi riil
KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk
KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak
praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
(Zastrow, Charles & Bowker, Lee. 1984. Social Problems: Issues and Solutions,
Chicago: Nelson-Hall)

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

16

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Lokasi Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi blok II akan dilaksanakan di RS Bhayangkara yang
berlokasi di Jalan Jendral Sudirman Km 4,5 Balayudha, Palembang, Sumatera Selatan.
3.2 Waktu Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi blok II akan dilaksanakan pada:
Tanggal
: Selasa, 10 Nopember 2013
Pukul
: 10.00 WIB s/d selesai
3.3 Subjek Tugas Mandiri
Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi blok II adalah
dokter yang melakukan visum, laporan hasil visum (Visum et Repertum), dan beberapa
keluarga korban KDRT yang terdata di Rumah Sakit Bhayangkara.
3.4 Langkah-langkah Kerja
Untuk melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi blok II dengan baik, diperlukan
langkah kerja yang sistematis dan teratur. Langkah kerja yang dilakukan adalah:
1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.
2. Berkonsultasi kepada pembimbing kelompok Tugas Pengenalan Profesi.
3. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi ke
4.
5.
6.
7.

Rumah Sakit Bhayangkara.


Membuat janji dengan pihak Rumah Sakit Bhayangkara.
Pergi menuju lokasi pelaksanaan yaitu di Rumah Sakit Bhayangkara.
Melaksanakan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi di Rumah Sakit Bhayangkara
Mengobservasi dokter melakukan visum, mengobservasi laporan hasil visum (Visum

et Repertum), mewawancarai narasumber yang relevan di Rumah Sakit Bhayangkara.


8. Membuat laporan hasil kegiatan Tugas Pengenalan Profesi.
9. Membuat kesimpulan hasil kegiatan Tugas Pengenalan Profesi.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

17

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Kegiatan berdasarkan Wawancara
Pengumpulan data dengan metode wawancara diterapkan oleh penulis dengan
mewawancarai seorang dokter spesialis forensik yang melakukan visum di Rumah Sakit
Bhayangkara yang bernama dr. Beny Kurniawan. Hasil wawancara dirangkum dan
dipaparkan dibawah ini:
1) Prosedur permintaan visum
1. Penyidik membuat surat permintaan visum.
2. Penydik memberikan surat permintaan visum kepada dokter yang akan
melakukan visum. Tanpa surat permintaan visum, bukanlah visum namun
hanyalah berobat semata untuk rekam medik.
3. Korban divisum oleh dokter didampingi perawat atu keluarga pasien.
2) Tidak semua keluarga korban langsung menyetujui dilakukannya tindakan visum.
Cara dokter dalam menghadapi keluarga korban yang tidak setuju akan dilakukannya
tindakan visum akan dipaparkan berikut ini:
a. Jika, korban dibawah umur 18 tahun, Dokter sebaiknya mengingatkan kepada
keluarga

korban bahwa visum dilakukan

bertujuan untuk membantu

penyelesaian permasalahan, bukan bertujuan melihat aib ataupun bagian-bagian


tubuh korban yang mungkin bisa bersifat pribadi.
b. Jika korban diatas umur 18 tahun (sudah dianggap bisa mengambil keputusan),
tidak diperlukan izin dari keluarga pasien. Hanya diperlukan izin dari korban,
maka dari itu dokter juga dirasa perlu mengingatkan kembali kepada korban
bahwa visum dilakukan bertujuan untuk membantu penyelesaian permasalahan.
3) Langkah-langkah dokter dalam melakukan visum
1. Menanyakan kronologis kejadian pada korban. Untuk itu, dokter perlu
kemampuan untuk menggali riwayat informasi dari pasien dikarenakan tidak
semua pasien langsung menceritakan kronologisnya; ada yang malu, ada yang
masih trauma, dsb.
2. Segala tindakan harus diberikan penjelasan terlebih dahulu.
3. Periksa bagian fisik yang terkena kekerasan untuk dituliskan di Visum et
Repertum. Semua yang ditulis adalah semua yang dilihat. Jika tidak dilihat
ataupun tidak diperlihatkan, maka tidak boleh ditulis (Visum bersifat objektif).
Jika korban mengungkapkan keluhan, tanggapi bahwa keluhan akan dimasukkan

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

18

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

di kolom tambahan pada hasil visum terpisah dari pemeriksaan fisik. Jika ada
bagian fisik yang terkena kekerasan dan tidak mau diperlihatkan oleh korban
(pada umumnya bersifat intim), maka ingatkan lagi korban. Ingatkan bahwa:
Visum dilakukan bertujuan untuk membantu penyelesaian permasalahan,
bukan bertujuan melihat aib ataupun bagian-bagian tubuh korban yang

mungkin bisa bersifat pribadi.


Semua yang ditulis adalah semua yang dilihat. Jika tidak dilihat ataupun

tidak diperlihatkan, maka tidak boleh ditulis (Visum bersifat objektif).


4. Laporan hasil visum (Visum et Repertum) hanya boleh dibuat oleh dokter yang
melakukan visum pada korban, baik dokter jaga ataupun dokter yang lebih ahli
di bidang tertentu (dokter spesialis).
4) Etika dokter saat melakukan visum
Etika dokter saat melakukan visum sama saja dengan etika dokter saat memeriksa
pasien.

Jujur.
Menghormati korban dengan cara tidak melihat bagian-bagian tertentu tanpa

persetujuan korban.
Tunjukkan empati saat visum, menghormati kerahasiaannya, dll.

5) Mayoritas korban KDRT yang diperiksa di RS Bhayangkara Palembang


Ada banyak korban KDRT yang ditemukan pada hasil pemeriksaan di Rumah Sakit
Bhayangkara baik suami, istri maupun anak. Mayoritas korban KDRT berdasarkan
hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Bhayangkara adalah perempuan yang berposisi
sebagai istri.
6) Bentuk KDRT yang dominan dialami korban pada hasil pemeriksaan di RS
Bhayangkara Palembang
Bentuk KDRT yang ditemukan pada hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Bhayangkara
banyak bentuknya. Ada tiga bentuk KDRT yang paling banyak yaitu kekerasan dengan
sentuhan fisik (luka lebam), luka berupa sayatan dan setruman pada tubuh. Kekerasan
yang paling dominan dari hasil pemeriksaan yaitu kekerasan dengan sentuhan fisik
berupa luka lebam.
4.2 Hasil Kegiatan berdasarkan Observasi
Pengumpulan data dengan cara observasi diterapkan oleh penulis dengan melakukan
observasi kegiatan dokter melakukan visum dan laporan hasil visum (Visum et Repertum) di

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

19

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Rumah Sakit Bhayangkara. Dokter yang melakukan visum adalah dokter beny kurniawan.
Laporan hasil visum ( visum et repertum) yang di observasi adalah mengeni luka lebam.
Berikut adalah paparan hasil observasi kami mengenai laporan hasil visum.
1. Ditujukan kepada lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia , yaitu khusus
kepada kepolisian daerah yang menangani kasus yang terjadi.
2. Ada keterangan PRO JUSTITIA, yaitu demi hukum dengan kata lain dimaksudkan
demi undang-undang untuk menegakkan keadilan.
3. Ada judul laporan hasil visum yaitu VISUM ET REPERTUM disertai dengan
dengan nomor surat.
4. Beri pembuka
Pembuka berisi kronologis korban secara garis besar, keterangan pemeriksaan
visum pada korban, dan dokter yang melakukan visum pada korban.
5. Ada hasil pemeriksaan
Didalam hasil pemeriksan ada tiga komponen, yaitu identitas pasien, pemeriksaan
pertama kali, dan pemeriksaan terakhir.baik dalam pemeriksaan pertama maupun
terakhir kali masing-masing memeriksa dua hal: yang pertama yaitu pemeriksaaan
pasien secara umum seperti denyut nadi, tekanan darah dll. Pemeriksaan kedua
yaitu memeriksa keadaaan fisik.Dalam pemeriksaan fisik, semua yang ditulis
adalah semua hal yang dilihat dan semua yang diukur.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

20

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

6. Adanya kesimpulan
Dalam kesimpulan, disebutkan identitas pasien secara garis besar beserta segala
kelainan yang ditemui dalam pemeriksaan fisik tanpa disertai ukurannya.
7. Ada penutup
8. Ada tanggal pemeriksaan dan tanda tangan dokter yang memeriksa.
9. Disertai kartu poliklinik rumah sakit kepolisian setempat
Berisi data pasien dan hasil pemeriksaan pasien, baik berupa pemeriksaan fisik dan
keluhan umum yang dijabarkan perpoin.
10. Disertai dengan surat permintaan visum oleh penyidik

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

21

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik oleh penulis dari hasil kegiatan ini adalah:
1. Langkah-langkah dokter dalam melakukan visum.
a) Menanyakan kronologis kejadian pada korban.
b) Segala tindakan harus diberikan penjelasan terlebih dahulu.
c) Periksa bagian fisik yang terkena kekerasan untuk dituliskan di Visum et
Repertum. Semua yang ditulis adalah semua yang dilihat.
d) Laporan hasil visum (Visum et Repertum) hanya boleh dibuat oleh dokter yang
melakukan visum pada korban, baik dokter jaga ataupun dokter yang lebih ahli di
bidang tertentu (dokter spesialis).
2. Etika dokter saat melakukan visum.
Etika dokter saat melakukan visum sama saja dengan etika dokter saat memeriksa
pasien.

Jujur.
Menghormati korban dengan cara tidak melihat bagian-bagian tertentu tanpa

persetujuan korban.
Tunjukkan empati saat visum, menghormati kerahasiaannya, dll.

3. Susunan laporan visum (Visum et Repertum).

Tuliskan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kepolisian daerah yang

menangani kasus yang terjadi.


Beri keterangan PRO JUSTITIA
Beri judul yaitu VISUM ET REPERTUM disertai dengan dengan nomor surat.
Beri pembuka
Tuliskan hasil pemeriksaan
Tuliskan kesimpulan dari hasil pemeriksaan
Beri penutup
Tuliskan tanggal pemeriksaan dan tanda tangan dokter yang memeriksa.
Disertai kartu poliklinik rumah sakit kepolisian setempat

Disertai dengan surat permintaan visum oleh penyidik

4. Mayoritas korban KDRT berdasarkan hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Bhayangkara


adalah perempuan yang berposisi sebagai istri.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

22

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

5. Kekerasan yang paling dominan dari hasil pemeriksaan yaitu kekerasan dengan
sentuhan fisik berupa luka lebam.
5.2 Saran
Hasil kegiatan ini perlu diteliti lebih dalam lagi untuk mendapat hasil yang lebih
kongkrit dan detail mengenai bagaimana langkah-langkah dokter melakukan visum
danmembuat laporan hasil visum (Visum et Repertum).
Jika akan dilakukan kegiatan sejenis kedepan oleh pembaca, disarankan untuk
mengatur waktu yang tersedia secara efektif melihat dari situasi dan kondisi yang
memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk persiapan sarana dan prasarana. Penulis juga
menyarankan agar pelaksanan yang ingin melakukan kegiatan sejenis kedepan harus bisa
berkomunikasi dengan baik kepada pihak-pihak dan instansi yang terlibat melihat jumlah
pihak dan instansi yang terlibat dalam kegiatan ini tidak sedikit.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

23

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Dedi 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka. Riau.
Baquandi, dkk. 2009. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT). Malang.
Syamsuddin, Rahman. 2011. Peranan Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara.
Makassar.
Wahab, Rochmat. 2010. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. Yogyakarta.
Zastrow, Charles dan Lee Browker. 1984. Social Problems: Issues and Solutions. Chicago.
(http://eprints.undip.ac.id/22097/1/KDRT_Referat_Forensik.pdf)
Diakses 10 Nopember 2013.
(http://eprints.undip.ac.id/37771/1/Rizqi_Amelia_N_G2A008168_Lap.KTI.pdf)
Diakses 10 Nopember 2013.

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

24

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Bagaimana prosedur permintaan visum?
2. Bagaimana cara dokter dalam menghadapi keluarga pasien yang tidak setuju akan
dilakukannya tindakan visum?
3. Bagaimana langkah-langkah dokter dalam melakukan visum?
4. Bagaimana etika dokter saat melakukan visum?
5. Siapa mayoritas korban KDRT yang diperiksa di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang?
6. Apa bentuk KDRT yang dominan dialami korban pada hasil pemeriksaan di Rumah
Sakit Bhayangkara Palembang?

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

25

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

FOTO-FOTO

Seluruh tim penulis dan narasumber

Wawancara dengan narasumber

Observasi dokter yang melakukan visum

Observasi rekam medis

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

26

OBSERVASI VISUM KDRT DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

Observasi Visum et Repertum (Cover)

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II

Observasi Visum et Repertum (Isi)

27

Anda mungkin juga menyukai