BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana. Salah
satu dari kekerasan tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada umumnya,
KDRT terjadi dikarenakan permasalahan dalam rumah tangga yang seharusnya bisa
diselesaikan dengan baik menjadi tidak bisa atau tidak mau diselesaikan dengan cara yang
baik dikarenakan faktor tertentu.
Ketidakpedulian masyarakat dan Negara terhadap masalah KDRT ini karena adanya
ideology gender dan budaya patriarki dimana laki-laki ditempatkan sebagai yang utama atau
superior dibandingkan dengan perempuan. Dalam kenyataannya, kekerasan dalam rumah
tangga ini terus meningkat begitu juga korbannya. Hal ini merujuk kepada hukum di
pengadilan dimana korban dibantu oleh penyidik. Untuk itu penyidik memererlukan data
medis dari dokter khususnya di rumah sakit kepolisiann sebagai alat bukti yang sah mengenai
bentuk kekerasan tersebut. Sehingga dokter bukan lagi memeriksa pasien tetapi memeriksa
saksi/korban tindak pidana. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara rinci dan diuraikan
kemudian dituang kedalam tulisan dalam bentuk visum et repertum.
Visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat berdasarkan
permintaan penyidik memuat hasil visum (segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan) dalam
pemeriksaan sesuai dengan keilmuannya sebaik-baiknya untuk kepentingan peradilan sebagai
salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis di pasal 184 KUHAP ayat (1).
Dengan demikian visum et repertum telah menjadi penghubung antara ilmu kedokteran dan
ilmu hukum, sehingga dengan membaca visum et repertum bisa dipertimbangkan dan
diterapkan sesuai dengan norma hukum menyangkut tubuh atau jiwa seseorang.
Dalam hal ini seorang dokter, khususnya mahasiswa kedokteran harus mampu
melakukan visum dan membuat laporan hasil visum (Visum et Repertum) sehingga diperlukan
pendalaman pengetahuan mengenai visum dan membuat laporan hasil visum (Visum et
Repertum). Oleh karena itu, kami mahasiswa kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang ingin melaksanakan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi dalam blok II ini dengan
tema Observasi Visum KDRT di Rumah Sakit Bhayangkara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Visum
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara
baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada
tahap persidangan perkara tersebut. (Syamsuddin, 2011)
Visum adalah tanda pernyataan atau keterangan telah mengetahui atau menyetujui
suatu perkara. Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta
oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum
et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi
standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam
sistem peradilan. (Affandi, 2010)
Visum et repertum berasal dari kata visual yaitu melihat dan repertum yaitu
melaporkan. Jadi visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat berdasarkan
permintaan penyidik memuat segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan dalam pemeriksaan
sesuai dengan keilmuannya sebaik-baiknya untuk kepentingan peradilan dengan mengingat
sumpah ketika menerima jabatan.
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup
maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di
bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.Sebuah VeR yang baik harus mampu
membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan buktibukti forensik
yang cukup.
Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan medikolegal
sangat berbeda dibandingkandengan pemeriksaan klinis untuk kepentinganpengobatan.
Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang korban adalah untuk menegakkan hukum pada
peristiwa pidana yang dialami korban melalui penyusunan VeR yang baik.
2.1.1 Peranan dan Fungsi Visum et Repertum
Kedudukan visum et repertum dalam suatu proses peradilan adalah sebagai salah satu
alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis di pasal 184 KUHAP ayat (1). Visum et
repertum turut berperan dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
manusia artinya dokter bukan lagi memeriksa pasien tetapi memeriksa saksi/korban tindak
pidana. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara rinci dan diuraikan kemudian dituang kedalam
tulisan dalam bentuk visum et repertum. (Nuraga, 2012)
Keterangan dan pendapat dokter setelah melakukan pemeriksaan di tulis di bagian
Kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum telah menjadi penghubung antara ilmu
kedokteran dan ilmu hukum,sehingga dengan membaca visum et repertum bisa
dipertimbangkan dan diterapkan sesuai dengan norma hukum menyangkut tubuh atau jiwa
seseorang.
Visum et repertum berbeda dengan catatan medik dan surat keterangan medik lainnya
karena visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang yang berlaku,maka dokter
tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322
KUHP,meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien dan selama visum et repertum dibuat
untuk dipergunakan dalam proses peradilan.
2.1.2 Bentuk Visum
1. Visum et Repertum Korban Hidup
a) Visum et Repertum segera / seketika
Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa didapatkan lukanya
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau
aktivitasnya.
b) Visum et Repertum Sementara
Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di
rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.
c) Visum et Repertum Lanjutan
Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et Repertum
Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya
tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah sakit atau dokter lain ataupun
meninggal dunia.
2. Visum et Repertum pada mayat
Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata lain
berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada mayat.
3. Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
4. Visum et Repertum Penggalian Mayat
5. Visum et Repertum Mengenai Umur
6. Visum et Repertum Psikiatrik
7. Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti
Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan sebagainya.
(Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana,2008)
2.1.3 Dasar Hukum Visum
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan
tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup
maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di
bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran
Forensik,1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah Pasal 133 KUHAP sebagaimana
disebutkan berikut:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada seorang
korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan
penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam Pasal 120 ayat 1 KUHAP yaitu:
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.
Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat
dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang
terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli
dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul
dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan
keadaan
pelaku
perbuatan
(tersangka)
sebagai
alat
bukti
surat
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini
adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara
RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan
dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli
mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai
negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
(Pasal 7(2) KUHAP).
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana
sebagaimana disebutkan pada Pasal 216 KUHP berikut:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut
atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan
ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
2.2 Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan menurut Johan Galtung (sosiolog Norwegia (1930), Windhu, 92: 11)
menyebutkan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas
aktual seseorang ada di bawah realitas potensialnya. Artinya ada sebuah situasi dimana
menyebabkan segi kemampuannya atau potensi individu tersebut menjadi tidak muncul.
Dengan demikian, kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal
maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang
lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap
orang yang menjadi sasarannya. Windhu, Marsana, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
2.2.1 Bentuk Kekerasan
Menurut Galtung, kekerasan dibagi menjadi dua tipe, yaitu: kekerasan struktural dan
kekerasan kultural. Jenis kekerasan tersebut dibedakan menurut penyebab yang mendukung
daripada langgengnya kekerasan. Bentuk kekerasan struktural sering dilihat sebagai kekerasan
psikologis dan termasuk dalam kategori kekerasan tidak langsung. Sedangkan bentuk
kekerasan kultural termasuk kekerasan langsung.
Dua tipe kekerasan tersebut di atas dapat dikontekstualkan dalam wacana kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga. Dengan kerangka kekerasan struktural, kekerasan yang
dilakukan suami terhadap pasangannya pada dasarnya bersumber dari ketidakadilan
struktural. Ketidakadilan yang menciptakan ketidaksamaan dan ketidakseimbangan relasi
antara suami dengan istri. Struktural sosial yang tidak egaliter dan pembagian kekuasaan yang
menempatkan istri pada kondisi yang lemah,tergantung dan tidak berdaya akan menghalangi
pihak istri untuk merealisasikan segenap potensinya.
menjustifikasi kekerasan struktural dalam rumah tangga. Sering kali suami bersikap dan
bertindak keras pada istri karena merasa dibenarkan oleh unsur-unsur kultural seperti agama,
ideologi, bahasa, adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Aspek-aspek budaya ini memperkuat
dan bahkan melanggengkan struktural kekerasan dalam bangunan rumah tangga.
(Galtung, Johan, Kekerasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian, Peny: Mochtar
Lubis, Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998)
Struktur sosial di masyarakat kita memang menempatkan laki-laki pada posisi yang
dominasi terhadap perempuan (istri). Struktur semacam ini telah berlangsung dalam kurun
waktu yang lama. Masyarakat menganggap bahwa secara kodrati perempuan-perempuan
memang harus terlibat dalam kegiatan yang bersifat rendah, kiri dan alam. Struktur
sosial ini kemudian memunculkan dominasi laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri).
Banyak dilihat bahwa kekerasan terhadap istri hanya terjadi pada pasangan-pasangan
tradisional yang diwarnai oleh sikap patuh dan taat terhadap suami ataupun ketergantungan
istri yang berlebihan secara sosial- ekonomi kepada suaminya. Tetapi, ternyata realitas yang
tidak menyenangkan tersebut juga dapat terjadi pada pasangan modern, berpendidikan tinggi,
pada golongan sosial ekonomi yang baik dan istri yang sebenarnya tidak tergantung secara
sosial-ekonomi. Memang seorang perempuan (istri) yang tidak mempunyai kemandirian
secara ekonomiakan sangat tergantung pada suaminya. Ketergantungan ekonomi ini
mengakibatkan suaami merasa berkuasa dan melakukan kesewenangan-wenangan, misalnya
dalam bentuk kekerasan. Adapun ragam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami
istri adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kekerasan fisik
Adalah setiap tindakan seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja yang
menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat pada tubuh orang lain, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Dengan kata lain tindakan tersebut dilakukan untuk
menyakiti seseorang dan bertujuan agar si korban benar-benar menderita sakit bahkan
sampai menemui ajalnya. Kekerasan bentuk ini biasanya meninggalkan bekas yang
tampak nyata, seperti luka atau memar pada tubuh korban.
10
Dalam tahap ini suami sering kali menyesali tindakannya.Bentuknya bisa rayuan dan
berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Bahkan tidak jarang suami memperlihatkan
sikap mesra yang berlebihan seperti memberi hadiah istimewa. Kalau sudah demikian,
biasanya istri akan luluh dan memaafkan tindakan kekerasan yang dilakukan sang
suami. Tentu disertai harapan bahwa badai telah berlalu dan babak kehidupan baru
segera dimulai. Itulah sebabnya mengapa istri tetap memilih bertahan di dalam rumah
tangganya. Korban sering kali tidak menganggap tindak kekerasan yang dialaminya
dan menganggap seolah- olah tidak pernah terjadi.
(Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Belajar
dari Kehidupan Rasulullah SAW. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender)
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab adanya KDRT
Faktor-faktor yang dapat berpeluang menimbulkan tindakan kekerasaan terhadap
perempuan (istri) yang dilakuakan oleh suami adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Masyarakat terhadap kekerasan
Tindakan kekerasan secara umum masih dianggap sebagai penyimpangan budaya,
walaupun tindakan kekerasan sampai dengan pembunuhan pada sub kultur tertentu
masih dapat ditolerir. Meskipun kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan
yang besar, tetapi oleh sebagian masyarakat masih dianggap sesuatu yang wajar
terjadi.
2. Kurangnya Komunikasi
Komunikasi dalam kelompok keluarga, kesetaraan dalam komunikasi tampaknya
dipengaruhi pula oleh penguasaan sumber-sumber ekonomi, sosial dan budaya yang
melingkupi keluarga.Berbeda dengan masyarakat tradisional, masyarakat modern
cenderung berada di luar rumah. Adanya komunikasi hanya terjadi beberapa saat. Jadi,
aspek ini sangat rentan memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3. Penyelewengan
Hal ini terjadi apabila terdapat orang kedua selain istri resmi. Suami yang merasa
mempunyai kemampuan dalam hal ekonomi secara lebih dapat memicu terjadinya
penyelewengan. Dan adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut.
TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK II
11
Kecenderungan pemukulan pada istri sangat berkaitan erat pula dengan adanya
perubahan-perubahan
yang
terjadi
dalam
kehidupannya,
dimana
suami
12
13
memenuhi kebutuhan keluarga sehari- hari. Korban tidak tahu harus pergi dan
mengadu kepada siapa sedang orang yang terdekat (suami) sendiri melakukan hal
yang seharusnya tidak dilakukan.
3. Takut dicerca Masyarakat
Banyak perempuan (istri) takut dicap sebagai perempuan tidak baik, karena diketahui
sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga akibat didera suami sendiri. Sebagian
tidak siap dengan status sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah status
tersebut.
4. Rasa percaya diri yang rendah
Akibat dari penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri merasa
tidak berarti dan tidak percaya diri jika dirinya mempunyai kemampuan untuk
mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
5. Untuk kepentingan anak
Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yanglebih buruk apabila
berpisah dari ayah mereka. Selain itu, korban memikirkan bagaimana masa depan
anak-anaknya setelah berpisah dengan suami. Bagaimana hak asuh anak seandainya
cerai, bagaimana hak waris anak-anaknya kelak dan bagaimana wali nikah anaknya
kelak. Berbagaipertanyaan menyerang diri seorang istri sebelum banar-benar
memutuskan untuk bercerai dengan suami.
6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka
Seorang istri mendambakan berhentinya tindak kekerasan, bukan putusnya ikatan
perkawinan. Merekapun berharap terus menerus agar suaminya berubah menjadi baik
kembali. Dan berharap suami akan kembali mencintai istri seperti halnya pada saat
awal membina keluarga.
(Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan ddalam Rumah Tangga, Belajar
dari Kehidupan Rasulullah SAW. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender)
7. Mempertahankan Perkawinan
Banyak istri yang percaya perkawinan itu suatu yang luhur dan perceraian adalah
suatu yang buruk, sehingga harus dihindari. Merekapun beranggapan bahwa lebih baik
tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena hal itu suatu yang tabu
atau dilarang agama.
Tindak kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam keluarga adalah tindakan suami
baik di sengaja maupun tidak di sengaja, bersifat menyakiti dan merendahkan jati diri
istri, sehingga mengakibatkan kerugian berupa perasaan tidak berharga serta kesakitan
baik fisik maupun non fisik.
14
Semakin meningkatnya frekuensi serta keragaman bentuk dan jenis tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam kehidupan keluarga tersebut merupakan bukti semakin
rapuhnya fungsi keluarga sebagai tempat berlindung bagi segenap anggotanya.
Pemberdayaan keluarga adalah suatu bentuk kegiatan pemberian kesempatan dan
otoritas ke arah penguatan melalui fungsi suatu keluarga, yang dilaksanakan secara
terencana, terarah, sistematis, berkesinambunganmelalui penyuluhan dan bimbingan
sosial, advokasi, serta konsultasi yang ditujukan untuk menyadarkan, menumbuhkan
dan meningkatkan pemahaman, pengamalan serta pemenuhan prinsip dasar kesetaraan
gender menuju pola hidup sadar gender.
Pencegahan adalah suatu bentuk upaya atau kegiatan yang bertujuan menahan,
menjaga, menghambat, menghalangi, menghindari dan atau mengurangi kemungkinan
terjadinya suatu bentuk permasalahan tertentu, yang dalaam hal ini adalah tindak
kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga.
[Sosial R.I., 2003. Departemen, Pengkajian Profil Tindak Kekerasan terhadap
Perempuan dalam Keluarga, dalam Endro Winarno. Yogyakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS)]
2.2.4 Upaya Penanganan KDRT
Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.
1. Pendekatan kuratif:
a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik
dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya KDRT.
d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari KDRT.
e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku
KDRT.
f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi, dan potensinya.
15
h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT,
tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan
responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
2. Pendekatan preventif:
a. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan
tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya
berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat
lainnya.
b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi,
mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti,
sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban
KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya
memiliki efektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan
penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai
serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan
keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa
dendam bagi pelakunya.
f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri
kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi
kehidupan masyarakat.
Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi riil
KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk
KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak
praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
(Zastrow, Charles & Bowker, Lee. 1984. Social Problems: Issues and Solutions,
Chicago: Nelson-Hall)
16
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Lokasi Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi blok II akan dilaksanakan di RS Bhayangkara yang
berlokasi di Jalan Jendral Sudirman Km 4,5 Balayudha, Palembang, Sumatera Selatan.
3.2 Waktu Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi blok II akan dilaksanakan pada:
Tanggal
: Selasa, 10 Nopember 2013
Pukul
: 10.00 WIB s/d selesai
3.3 Subjek Tugas Mandiri
Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi blok II adalah
dokter yang melakukan visum, laporan hasil visum (Visum et Repertum), dan beberapa
keluarga korban KDRT yang terdata di Rumah Sakit Bhayangkara.
3.4 Langkah-langkah Kerja
Untuk melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi blok II dengan baik, diperlukan
langkah kerja yang sistematis dan teratur. Langkah kerja yang dilakukan adalah:
1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.
2. Berkonsultasi kepada pembimbing kelompok Tugas Pengenalan Profesi.
3. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi ke
4.
5.
6.
7.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Kegiatan berdasarkan Wawancara
Pengumpulan data dengan metode wawancara diterapkan oleh penulis dengan
mewawancarai seorang dokter spesialis forensik yang melakukan visum di Rumah Sakit
Bhayangkara yang bernama dr. Beny Kurniawan. Hasil wawancara dirangkum dan
dipaparkan dibawah ini:
1) Prosedur permintaan visum
1. Penyidik membuat surat permintaan visum.
2. Penydik memberikan surat permintaan visum kepada dokter yang akan
melakukan visum. Tanpa surat permintaan visum, bukanlah visum namun
hanyalah berobat semata untuk rekam medik.
3. Korban divisum oleh dokter didampingi perawat atu keluarga pasien.
2) Tidak semua keluarga korban langsung menyetujui dilakukannya tindakan visum.
Cara dokter dalam menghadapi keluarga korban yang tidak setuju akan dilakukannya
tindakan visum akan dipaparkan berikut ini:
a. Jika, korban dibawah umur 18 tahun, Dokter sebaiknya mengingatkan kepada
keluarga
18
di kolom tambahan pada hasil visum terpisah dari pemeriksaan fisik. Jika ada
bagian fisik yang terkena kekerasan dan tidak mau diperlihatkan oleh korban
(pada umumnya bersifat intim), maka ingatkan lagi korban. Ingatkan bahwa:
Visum dilakukan bertujuan untuk membantu penyelesaian permasalahan,
bukan bertujuan melihat aib ataupun bagian-bagian tubuh korban yang
Jujur.
Menghormati korban dengan cara tidak melihat bagian-bagian tertentu tanpa
persetujuan korban.
Tunjukkan empati saat visum, menghormati kerahasiaannya, dll.
19
Rumah Sakit Bhayangkara. Dokter yang melakukan visum adalah dokter beny kurniawan.
Laporan hasil visum ( visum et repertum) yang di observasi adalah mengeni luka lebam.
Berikut adalah paparan hasil observasi kami mengenai laporan hasil visum.
1. Ditujukan kepada lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia , yaitu khusus
kepada kepolisian daerah yang menangani kasus yang terjadi.
2. Ada keterangan PRO JUSTITIA, yaitu demi hukum dengan kata lain dimaksudkan
demi undang-undang untuk menegakkan keadilan.
3. Ada judul laporan hasil visum yaitu VISUM ET REPERTUM disertai dengan
dengan nomor surat.
4. Beri pembuka
Pembuka berisi kronologis korban secara garis besar, keterangan pemeriksaan
visum pada korban, dan dokter yang melakukan visum pada korban.
5. Ada hasil pemeriksaan
Didalam hasil pemeriksan ada tiga komponen, yaitu identitas pasien, pemeriksaan
pertama kali, dan pemeriksaan terakhir.baik dalam pemeriksaan pertama maupun
terakhir kali masing-masing memeriksa dua hal: yang pertama yaitu pemeriksaaan
pasien secara umum seperti denyut nadi, tekanan darah dll. Pemeriksaan kedua
yaitu memeriksa keadaaan fisik.Dalam pemeriksaan fisik, semua yang ditulis
adalah semua hal yang dilihat dan semua yang diukur.
20
6. Adanya kesimpulan
Dalam kesimpulan, disebutkan identitas pasien secara garis besar beserta segala
kelainan yang ditemui dalam pemeriksaan fisik tanpa disertai ukurannya.
7. Ada penutup
8. Ada tanggal pemeriksaan dan tanda tangan dokter yang memeriksa.
9. Disertai kartu poliklinik rumah sakit kepolisian setempat
Berisi data pasien dan hasil pemeriksaan pasien, baik berupa pemeriksaan fisik dan
keluhan umum yang dijabarkan perpoin.
10. Disertai dengan surat permintaan visum oleh penyidik
21
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik oleh penulis dari hasil kegiatan ini adalah:
1. Langkah-langkah dokter dalam melakukan visum.
a) Menanyakan kronologis kejadian pada korban.
b) Segala tindakan harus diberikan penjelasan terlebih dahulu.
c) Periksa bagian fisik yang terkena kekerasan untuk dituliskan di Visum et
Repertum. Semua yang ditulis adalah semua yang dilihat.
d) Laporan hasil visum (Visum et Repertum) hanya boleh dibuat oleh dokter yang
melakukan visum pada korban, baik dokter jaga ataupun dokter yang lebih ahli di
bidang tertentu (dokter spesialis).
2. Etika dokter saat melakukan visum.
Etika dokter saat melakukan visum sama saja dengan etika dokter saat memeriksa
pasien.
Jujur.
Menghormati korban dengan cara tidak melihat bagian-bagian tertentu tanpa
persetujuan korban.
Tunjukkan empati saat visum, menghormati kerahasiaannya, dll.
22
5. Kekerasan yang paling dominan dari hasil pemeriksaan yaitu kekerasan dengan
sentuhan fisik berupa luka lebam.
5.2 Saran
Hasil kegiatan ini perlu diteliti lebih dalam lagi untuk mendapat hasil yang lebih
kongkrit dan detail mengenai bagaimana langkah-langkah dokter melakukan visum
danmembuat laporan hasil visum (Visum et Repertum).
Jika akan dilakukan kegiatan sejenis kedepan oleh pembaca, disarankan untuk
mengatur waktu yang tersedia secara efektif melihat dari situasi dan kondisi yang
memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk persiapan sarana dan prasarana. Penulis juga
menyarankan agar pelaksanan yang ingin melakukan kegiatan sejenis kedepan harus bisa
berkomunikasi dengan baik kepada pihak-pihak dan instansi yang terlibat melihat jumlah
pihak dan instansi yang terlibat dalam kegiatan ini tidak sedikit.
23
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Dedi 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka. Riau.
Baquandi, dkk. 2009. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT). Malang.
Syamsuddin, Rahman. 2011. Peranan Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara.
Makassar.
Wahab, Rochmat. 2010. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. Yogyakarta.
Zastrow, Charles dan Lee Browker. 1984. Social Problems: Issues and Solutions. Chicago.
(http://eprints.undip.ac.id/22097/1/KDRT_Referat_Forensik.pdf)
Diakses 10 Nopember 2013.
(http://eprints.undip.ac.id/37771/1/Rizqi_Amelia_N_G2A008168_Lap.KTI.pdf)
Diakses 10 Nopember 2013.
24
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Bagaimana prosedur permintaan visum?
2. Bagaimana cara dokter dalam menghadapi keluarga pasien yang tidak setuju akan
dilakukannya tindakan visum?
3. Bagaimana langkah-langkah dokter dalam melakukan visum?
4. Bagaimana etika dokter saat melakukan visum?
5. Siapa mayoritas korban KDRT yang diperiksa di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang?
6. Apa bentuk KDRT yang dominan dialami korban pada hasil pemeriksaan di Rumah
Sakit Bhayangkara Palembang?
25
FOTO-FOTO
26
27