Etika administrasi dalam praktik birokrasi menyangkut asas umum birokrasi yang baik, karena etika administrasi yang baik mencerminkan birokrasi yang baik begitu sebaliknya. Kasus pungutan liar dalam pemerintahan di Indonesia sudah menjadi rahasia publik, segala pelayanan yang ingin ditangani dengan cepat harus memberikan biaya tambahan untuk pegawai negeri yang melayani masyarakat tersebut. Pelayanan publik yang seharusnya dilakukan dengan menggunakan biaya yang tidak membebani masyarakat ataupun tidak ada pungutan. Hal tersebut menandakan etika birokrasi belum dilaksanakan oleh pegawai negeri, seperti pada kasus penangkapan enam pegawai Kementrian Perhubungan oleh Satuan Gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya yang terbukti melakukan pungutan liar dengan total pungutan liar 95 juta. Kasus pungutan liar pada pegawai Kemenhub tersebut tidak sesuai dengan aspek birokrasi kepemrintahan yang baik yakni prinsip demokrasi, keadilan sosial dan pemerataan, serta mengusahakan kesejahteraan umum. Prinsip demokrasi yang menunjukkan kedaulatan tertinggi pada rakyat namun kasus pungutan liar yang dilakukan pegawai Kemenhub bukan menjadikan rakyat berkedaulatan tinggi namun membebani rakyat dengan melakukan pungutan liar. Aspek keadilan sosial dan pemerataan, tidak dijalankan dengan baik, terbukti dengan adanya perbedaan pelayanan oleh pegawai Kemenhub yang melakukan biaya tambahan untuk memberikan layanan yang cepat. Usaha mensejahterakan masyarakat tidak ditunjukkan dalam kasus pungutan liar pegawai negeri Kemenhub karena membebani masyarakat untuk biaya tambahan yang dilakukan. Kasus pungutan liar pegawai negeri Kemenhub bertentangan dengan etos kerja yang seharusnya diemban oleh pegawai dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara. Pada dasarnya etos kerja menghasilkan sikapsikap produktif seperti kerja keras, jujur yang sering tidak dapat diatasi oleh pegawai, hal ini perlunya kendali diri dari pegawai. Adanya kode etik sebagai pedoman men