Anda di halaman 1dari 12

Takdir Ali Syahbana BCR

Senin, 23 April 2012


filsafat irfani

Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf - - memiliki dua makna
asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan
tenang.[1] Namun secara harfiyah al-irfa>n adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan
mengkaji secara dalam[2]. Dengan demikian al-irfa>n lebih khusus dari pada al-ilm.[3]
Secara termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh
lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riya>d}ah.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyra>qi> yang
memandang pengetahuan diskursif (al-h}ikmah al-ba>t}iniyyah) harus dipadu secara kreatif
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-h}ikmah al-z\awqiyah). Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai
al-h}ikmah al-h}aqi>qiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu alQur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang
dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan
kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal
bersifat partisipatif.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah
menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan
mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang
lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan
esensi yang kurang lebih sama.
[1] [1]Abu al-Husain Ah{mad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Juz. I (Bairut: Ittihad al-Kitab
al-Arabi, 1423 H./2002 M.), h. 229.

[2]. Dengan demikian

Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan


Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34
[2]

[3][3]Muhammad Abd Rauf al-Manawi, al-Tauqif ala Muhimmat al-Taarif, (Cet. I; Bairut: Dar al-Fikr
al-Muasir, 1410 H.), h. 511.

Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya
dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan
dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung
tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa
setelah qalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai
yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan
pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan
metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan
pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang
lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan,
dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya teks.
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan
berpikir irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik,
sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat
manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas
kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung,
intuisi,al-dzauq atau perasaan.
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia
memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas
intuisi antara lain; z|auqi> (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu hud}u>ri> yaitu
kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan
tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari
evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[4]
[4] [4]Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet. I;
Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan
pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas
oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.[5] Karena
itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara
logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[6]
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan
limpahanpengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyhadah) sebagai objek
yang diketahui.
Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu
yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak
lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihd), yang
dalam kajian Mehdi Yazdi disebut Ilmu Huduri atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).[7]
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam
bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran
adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth,
kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham).
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa
menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran
haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[8]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang
dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam kebangkitan
disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata[5] [5]Al Qusyairi, Al Risalah, Beirut, Dar-al Khair, tt. Hal 89
[6][6]Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994). Hal. 51-53
[7][7]Al Qusyari, hal 75
[8][8]Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997).
Hal.58

kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan
Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk
dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan pengungkapan kepada manusia pribadi yang
disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham
diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[9]
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada
dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh
manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini
dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:

Artinya: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang
Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.[10]
Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna
sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada
juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya
gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada
juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.[11]
Mengenai taksonomi epistemologi pengetahuan irfani adalah dari segi sumber
pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman wujud sang a>rif itu sendiri; dari segi media/alat
pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-kesejatian wujud sang a>rif; dari segi objek
pengetahuan, ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya; dari segi cara memperoleh
pengetahuan, ia diperoleh dengan cara menyelami wujud kedirian melalui metode riya>d}ah.
Para pakar berbeda pendapat tentang asal mula sumber irfani. Pendapat tersebut dapat
diklasifikasi dalam beberapa poin sebagai berikut:
1.

Sebagian golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan Majusi seperti yang
disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya bahwa sejumlah orang-orang besar sufi
berasal dari Khurasan dan kelompok Majusi.

[9][9]Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka,
Bandung:1981)hal. 67

[10][10]QS: Al-Kahfi: 65.


[11]

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net, (1004-2012).


[11]

2.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa irfani bersumber dari Kristen sebagaimana yang
diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson dan yang lain. Alasan mereka
paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua poin, yaitu:

a.

Interaksi yang terjadi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah dan Islam.

b.

Kesamaan kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib dalam masalah ajaran, tata cara
riya>d{ah, ibadah dan tata cara berpakaian.

3.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfani bersumber dari India seperti pendapat Horten
dan Hartman. Alasan yang diajukan adalah:

a.

Kemunculan dan penyebaran irfani pertama dari Khurasan.

b.

Kebanyakan para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab.

c.

Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan barat sebelum Islam yang sedikit
banyak memberi pengaruh mistisisme.

d.

Konsep dan metode irfani seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih merupakan praktikpraktik dari India.

4.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfan berasal dari Yunani, khususnya neo-platonisme
dan Hermes. Alasannya sederhana bahwa theologi Aristoteles merupakan paduan antara
sistem porphiry dan proclus yang sudah dikenal dalam Islam.[12][35]
Namun demikian, penulis cenderung berpendapat bahwa irfani tidak berasal dari luar
Islam sebab kehidupan Rasulullah saw. para sahabat dan tabiin menunjukkan bahwa mereka
dalam suatu waktu akan menggunakan irfani bahkan mempraktikkan irfani, meskipun
penamaannya belum ada.
Salah satu bukti bahwa Rasulullah saw. membenarkan bahkan mengakui akan
keberadaan makna irfani adalah hadisnya yang berbunyi:


[13]

Artinya: Sesungguhnya Allah berfirman: Barangsiapa yang menyakiti seorang wali maka
aku mengumandangkan perang dengannya, hambaku tidaklah mendekatkan diri kepadaku
dengan sesuatu yang paling aku cintai melainkan apa yang aku wajibkan padanya dan
[12][35]

A. Khudori Soleh, Epistemologi Irfani, www.khudorisoleh.blogspot.com., (10-04-

[12]

2012).

[13][13]Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. V (Cet. III; Bairut: Dar
Ibnu Kasir, 1407 H./1987 M.), h. 2384.

hambaku senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan hal-hal yang sunnah hingga aku
mencintainya. Jika aku sudah mencintainya maka akulah pendengaran yang digunakan
mendengar, penglihatan yang digunakan melihat, tangan yang digunakan memukul dan kaki
yang digunakan berjalan, Jika dia meminta padaku aku akan memberikannya dan jika dia
berlindung kepadaku maka aku akan melindunginya.
Sedangkan riya>d{ah dalam irfani sering kali dilakukan oleh Rasulullah saw. dan
sahabat-sahabatnya seperti khulwah (penyepian), tinggal di mesjid Nabawi dan prilaku
individu sahabat.
Pada perkembangan berikutnya istilah yang dapat mewakili makna irfani mulai
beragam. Dalam filsafat misalnya dikenal istilah intuisi sedangkan dalam tafsir dikenal istilah
isya>ri>.
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari
intuisi-intuisi, musya>hadah, dan muka>syafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada
ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi
menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah
lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara
langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui
dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia
telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantunganketergantungan lahiriah.[14]
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat
dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi.
Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman
individu manusia.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal,
seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling
rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang
telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir
Hermeticism. Apa yang mereka alami mungkin benar atau barangkali kebenaran karena
kebetulan , akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.[15]
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada
logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab
[14][14]Mohammad Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfan, www.teosophy.wordpress.com (904.2012).

yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak
pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia[16].
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh
tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a.

Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan
yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.

b.

Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statunya . apakah sesuatu
tersebut halal atau haram (subht),

c.
d.

Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,


Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun
kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.

e.

Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti
diam.

f.

Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.

g.

Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan
suka cita).
Pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan
atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan
kehadiran diri dalam Tuhan, [17]sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan.[18]Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya
dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata
hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata
[15][15]Hujair AH Sanaky, Dinamika Pemikiran dalam Islam, www.sanaky.staff.uii.ac.id,
(10.04.2012)

[16]
[17][17]Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002) hal.
41

[18][18] Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994). Hal.245

hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak
dikenal secara sepakat.[19]
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibr atau qiyas irfani.
Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam
teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathaht, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdn)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan.
Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar
saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering
tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula
ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian,
secara umum, syathaht sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan
sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat
bahwa syathahttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu
dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara
liar dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di
Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam
analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi
karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau
kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh.
Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat
tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani
yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal
yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi
mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat.
Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian
ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati,
sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.
C. HAKIKAT TASAWUF IRFANI
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis.
Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban
[19][19] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka,
Bandung:1981)hal. 64.

manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai
etika. Bagian praktis ini disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan
bagaimana seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujan puncak
kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan
(maqam) perjalanannya secara berurutan, dankeadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya
sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi),
mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini
menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti
halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun, jika
filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, irfan mendasarkan
diri pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk
menjelaskannya.[20]
1. Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani
1. Rabiatul Adawiyah (95-185 H)
1. Biografi Singkat
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah binti Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al
Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 805 M. Ia
dilahirkan sebagai putri keempat, orang tuanya menamakan Rabiah. Kedua orang tuanya
meninggal ketika dia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia
dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia
dikenal dengan Al-Qaisyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras
tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala
Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupan
sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia jalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan
[20][20] Murtadha Muthahari, Mengenal Irfan, terj. C. Ramli Bihar Anwar, (Jakarta;: hikmah, 2002),
Hlm. 3

menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi
yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang
bersifat materi dari Tuhannya[21]
1. Ajaran Tasawuf : Mahabbah (Cinta)
Dalam perkembangan mistisme Islam, Rabiah Al Adawiyah tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya
merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabiah , yaitu hub al hawa
dan hub anta al lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al Makiy
dalam Qut Al Qulub, sebagai mana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna
hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat adalah nimat material, tidak
spriritual, karena hubb di sini bersifat indrawi. Walaupun demikian hubb al-hawa yang
diajukan Rabiah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah
dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabiah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu
yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong
kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak
mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban yang dijalankan Rabiah timbul karena perasaan
cinta kepada dzat yang dicintai.
Dikatakan bahwa waktu Robiah menghadapi maut ,ia meminta teman-temannya
meninggalkannya dan ia mempersilahkan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu temantemannya berjalan keluar, mereka mendengar robiah mengucapkan Syahadat, dan ada suara
yang menjawab,
sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu legakan hatimu kepadaNya, ini akan
memberi kepuasan kepadaNya[22]

[21][21] Murtadha Muthahari, Mengenal Irfan, Hlm. 146-147.


[22][22] A. musthofa, , akhlaq tasawuf, (Bandung : pustaka setia, 2008) hlm. 250

Cinta Rabiah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung
hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini terungkap dalam Syairnya:
ku jadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.
Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah yang tidak tulus ikhlas,
Rabiahselalu mengatakan:
Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka
Tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta
Sungguh aneh gejala ini
Andaikan cinta-Mumemang tulus dan sejati tentu yang
Ia perintahkan kau taati
Sebab pecinta selalu patuh dan bakti kepada yang dicintai.
Dalam kesempatan bermunajat. Robiah kerap menyampaikan:
Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintaiMu,
sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain dariMu,
ya Tuhan, bintang dilangit telah germelapan, mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci
dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai,
dan inilah aku berada di kehadiratMu[23].

[23][23] A. musthofa, , akhlaq tasawuf, Hlm. 150.

Anda mungkin juga menyukai