akad lazim, dan pewakaf boleh menarik kembali harta yang diwakafkan
kecuali jika dia mewasiatkannya setelah kematiannya maka
menjadi lazim. Menjadi lazim juga menurut Abu Hanifah jika hakim
menetapkan kelazimannya.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Barang asalnya tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli, tidak boleh
dihibahkan, tidak boleh diwariskan[1]
Jadi wakaf menghilangkan kepemilikan dari orang yang berwakaf, dan
ditahan menurut ketentuan Allah dengan tujuan manfaatnya untuk para
hambanya.
Catatan Tambahan:
1. Jika wakaf dikaitkan dengan setelah meninggal[2], lalu kapan menjadi
harus?
Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian mengatakan
bahwa wakaf menjadi harus saat dia mewakafkannya. Sebagian lagi
mengatakan wakafnya menjadi harus setelah dia meninggal karena
dia tidak menjadi harus sebab adanya syarat. Maka dari itu
wakafnya tidak berlaku kecuali setelah dia meninggal dan diambil
dari sepertiga atau lebih sedikit kecuali jika ahli waris menyetujui.
Dengan melihat pada pendapat ini, pewakaf boleh mengubah dan
menukar wakaf dalam masa hidupnya- sebagaimana bolehnya
membatalkannya karena wakafnya tidak berlaku kecuali dengan
kematiannya. Berbeda dengan pendapat pertama, dia tidak
mungkin melakukan itu sewaktu pewakafan.
2. Wakaf yang tidak dikaitkan dengan setelah meninggal menjadi
harus dikeluarkan segera setelah pernyataan wakafnya. Apakah
hukum ini umum sampai meskipun barang wakaf tersebut adalah
hutang?
Jika dia di-hajr sebelum wakaf maka wakafnya tidak sah, karena dia
tidak memiliki hak mengelola harta. Akan tetapi jika dia tidak dihajr dan hutangnya mencapai jumlah yang dia wakafkan maka ada
sejumlah pendapat. Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah merajihkan
pendapat yang mengatakan bahwa wakaf bukanlah akad lazim
(harus), dan kita tidak diharuskan mengeluarkannya, karena
melunasi hutang hukumnya wajib sedangkan berwakaf itu adalah
ibadah sunnah.