Anda di halaman 1dari 3

Keabsahan Wakaf

Wakaf menjadi sah dan terbentuk dengan perkataan dan tindakan:


1. Dengan perkataan: terbagi menjadi sharih dan kinayah.
Perkataan sharih (tegas) adalah: aku mewakafkan rumahku, atau aku
mewakafkan mobilku. Begitu juga perkataan: aku menahan tanahku
dan kualirkan manfaatnya. Sedangkan secara kinayah (tidak tegas):
seperti berkata:aku menyedekahkan mobilku dan dia meniatkannya
sebagai wakaf atau ada indikasi yang menunjukkan keinginannya
berwakaf seperti berkata: aku menyedekahkan hartaku, tapi tidak
dijual. Maka perkataannya tidak dijual adalah indikasi yang
menunjukkan pengertian wakaf.
Ketahuilah ada perbedaan antara wakaf dan sedekah. Sedekah
adalah tabarru secara sempurna untuk orang yang menerima
sedekah sehingga dia mungkin bisa memanfaatkan hasil sedekah
sebagaimana dia juga dapat menggunakan barang aslinya dengan
menjualnya atau menghibahkannya. Sedangkan wakaf sebagimana
yang Anda ketahui adalah memanfaatkan hasil saja, sedangkan
barang aslinya dilarang dijual dan dihibahkan dan semacamnya.
2. Adapun tindakan: harus ada indikasi yang menyertainya dan
menunjukkan kepada pewakafan. Jadi jika seseorang membangun masjid,
maka otomatis masjid tersebut menjadi wakaf. Dan jika membangun
tanah untuk kuburan dan berkata kepada semua orang: siapa yang ingin
menguburkan keluarganya yang meninggal disana maka lakukanlah.
Maka tanah tersebut telah menjadi barang wakaf.
Keberlangsungan Wakaf
Mayoritas ulama berkata bahwa wakaf adalah akad lazim dalam artian
pemiliknya berpegang terguh dengan niatnya dalam mewakafkan dan dia
tidak berhak menariknya kembali. Berbeda dengan Abu Hanifah,
menurutnya wakaf bukanlah

[1] Asy-Syarhu al-Mumti` (4/554)


[2] Asy-Syarhu al-Mumti (4/554)

akad lazim, dan pewakaf boleh menarik kembali harta yang diwakafkan
kecuali jika dia mewasiatkannya setelah kematiannya maka
menjadi lazim. Menjadi lazim juga menurut Abu Hanifah jika hakim
menetapkan kelazimannya.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


Barang asalnya tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli, tidak boleh
dihibahkan, tidak boleh diwariskan[1]
Jadi wakaf menghilangkan kepemilikan dari orang yang berwakaf, dan
ditahan menurut ketentuan Allah dengan tujuan manfaatnya untuk para
hambanya.
Catatan Tambahan:
1. Jika wakaf dikaitkan dengan setelah meninggal[2], lalu kapan menjadi
harus?
Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian mengatakan
bahwa wakaf menjadi harus saat dia mewakafkannya. Sebagian lagi
mengatakan wakafnya menjadi harus setelah dia meninggal karena
dia tidak menjadi harus sebab adanya syarat. Maka dari itu
wakafnya tidak berlaku kecuali setelah dia meninggal dan diambil
dari sepertiga atau lebih sedikit kecuali jika ahli waris menyetujui.
Dengan melihat pada pendapat ini, pewakaf boleh mengubah dan
menukar wakaf dalam masa hidupnya- sebagaimana bolehnya
membatalkannya karena wakafnya tidak berlaku kecuali dengan
kematiannya. Berbeda dengan pendapat pertama, dia tidak
mungkin melakukan itu sewaktu pewakafan.
2. Wakaf yang tidak dikaitkan dengan setelah meninggal menjadi
harus dikeluarkan segera setelah pernyataan wakafnya. Apakah
hukum ini umum sampai meskipun barang wakaf tersebut adalah
hutang?
Jika dia di-hajr sebelum wakaf maka wakafnya tidak sah, karena dia
tidak memiliki hak mengelola harta. Akan tetapi jika dia tidak dihajr dan hutangnya mencapai jumlah yang dia wakafkan maka ada
sejumlah pendapat. Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah merajihkan
pendapat yang mengatakan bahwa wakaf bukanlah akad lazim
(harus), dan kita tidak diharuskan mengeluarkannya, karena
melunasi hutang hukumnya wajib sedangkan berwakaf itu adalah
ibadah sunnah.

Anda mungkin juga menyukai