Anda di halaman 1dari 5

Syarat-Syarat Seorang Qadhi (Hakim)

Seorang qadhi disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, sempurna


pendengaran, penglihatan dan pengucapannya.
Syarat-syarat ini telah disetujui oleh para ulama fiqih, namun mereka
berselisih paham mengenai tiga syarat lainnya yakni adil, laki-laki, dan
ijtihad yang akan dijelaskan dalam poin-poin berikut:

1. Adalah (adil).
Maksud adil disini adalah menjauhi dosa-dosa besar dan tidak
melakukan dosa-dosa kecil, baik akidahnya, menjaga kewibawaan,
kurang lebih seperti itu.
Mayoritas ulama mensyaratkan sifat adil, jadi tidak boleh
mengangkat orang fasik untuk mengadili. Hal ini disebabkan
kesaksian orang fasik tidak diterima, apalagi untuk melaksanakan
peradilan. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang memandang
bahwa mengangkat orang fasik itu diperbolehkan, akan tetapi
sebaiknya tidak usah. Dalam artian mereka memandang bahwa
tidak mengangkat mereka itu lebih baik, namun tetap diperbolehkan
jika hendak mengangkatnya. Pengecualian jika dia seorang yang
dikenakan hukuman qadzaf, sebab seseorang yang
melakukan qadzaf tidak diterima kesaksiannya.

2. Laki-laki.

[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (7353), Muslim (1716), Abu Daud (3573), At-Tirmidzi
(1326), An-Nasa`I (8/223), dan Ibnu Majah.

Mayoritas ulama mensyaratkan hakim harus laki-laki, berdasarkan


sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :


Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya
kepada (pemimpin) perempuan. [1]
Sebab suatu peradilan membutuhkan kesempurnaan pemahaman
dan pengalaman atas urusan-urusan kehidupan, yang dalam hal ini
tidak dimiliki oleh seorang wanita. Seorang wanita juga tidak
diperbolehkan menjabat kepemimpinan tertinggi, karena itulah Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mempercayakan peradilan dan
kepemimpinan untuk seorang perempuan, demikian juga para

khalifah dan selainnya. Maka tidak ada jabatan kepemmimpinan


untuk seorang perempuan.
Berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat mengenai
bolehnya mempercayai wanita mengambil keputusan dalam
perkara-perkara sipil, dan tidak boleh dalam perkaraperkara had dan qishash karena kesaksian seorang wanita tidak
diterima dalam dua perkara tersebut, berbeda dengan perkaraperkara sipil yang menerima kesaksian mereka.

3. Ijtihad.
Seorang hakim disyaratkan adalah seorang mujtahid yang
mengetahui hukum-hukum Al-Quran dan as-Sunnah dalam
substansinya, jadi tidak cukup dengan hanya bertaqlid. Allah
Subhanahu wata'ala berfirman:

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka


menurut apa yang diturunkan Allah. [Al-Maidah: 49]
Dan juga dalam ayat berikut:







..Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, [An-Nisa: 105]
Buraidah menuturkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:

[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (4452), (7099), At-Tirmidzi (2262) dan An-Nasa`I (8/227)

Hakim itu ada tiga macam: satu berada di surga dan dua berada di
neraka. Hakim yang berada di surga adalah orang yang mengetahui
kebenaran dan memutuskan perkara dengannya. Orang yang
mengetahui kebenaran dan menyimpang dalam memutuskan
hukuman maka dia di neraka, begitu pula orang yang memutuskan
perkara masyarakat atas dasar ketidaktahuan juga di neraka.
Catatan tambahan:

1.

Dapat disimpulkan bahwa jika tidak dapat memenuhi persyaratanpersyaratan ini seperti adil dan kemampuan ijtihad maka angkatlah yang
ideal serta optimal.

2.

Ulama-ulama fiqih juga mensyaratkan bersamaan dengan syarat-syarat


sebelumnya yaitu penentuan seorang hakim sebagai yang memutuskan
perkara, kecuali jika dua pihak yang berperkara menerima hukum yang
ditetapkan bagi mereka berdua yang diputuskan oleh orang yang tidak
memiliki hak memutuskan perkara. Malik dan Ahmad memperbolehkan
keadaan seperti ini, sementara Abu Hanifah tidak memperbolehkannya
kecuali jika keputusan hukumnya disetujui hakim negara.

3. Mana yang lebih utama, mengangkat seorang hakim atau tidak?


Terdapat banyak hadis yang menganjurkan menyerahkan urusan
peradilan dan peringatan kepada seorang hakim. Hadis-hadis yang
menganjurkannya yaitu:




Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Tidak diperbolehkan
hasad kecuali dalam dua hal; seseorang yang diberi harta oleh
Allah, kemudian dia menggunakannya di jalan yang benar dan
orang yang diberi ilmu lalu dia memutuskan perkara dan mengajari
manusia dengannya[1]
Para nabi salallahu alaihim juga telah dipercaya dalam hal ini.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala mengenai Daud
Alaihissalam













Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Shaad:
26)
Juga firman Allah Swt. berikut:

[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (73)(1409, 7529), Muslim (816), Ibnu Majah (4308),


Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, (an-Nisaa:
105)
Para pembesar dan pemuka sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam juga mengangkat seorang hakim. Al-Hafizh berkata:
Baihaqi telah menuturkan dengan sanad yang shahih bahwa ketika
Abu Bakar menjadi khalifah dia mengangkat Umar menjadi hakim.
Dalam sanad lain yang juga kuat bahwa Umar meminta Abdullah bin
Masud dalam urusan peradilan. Umar menuliskan pada semua
pegawainya: Mintalah yang terbaik dan berkemampuan diantara
kalian untuk memutuskan perkara.[1]
Dan ada hadis-hadis lain yang mencela kekuasaan, diantaranya
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :


Siapa yang mengangkat seorang hakim diantara manusia, maka
dia telah menyembelih tanpa menggunakan pisau.[2]
Dari Abdurahman bin Samrah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam berkata:




Wahai Abdurrahman bin Samrah, janganlah meminta jabatan
kepemimpinan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu bukan
karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam
melaksanakannya. Namun apabila jabatan tersebut diberikan
karena engkau memintanya maka jabatan itu akan dibebankan
sepenuhnya padamu..[3]
Begitupula dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam berkata:

[1] Fathul Bari (13/121)


[2] Abu Daud (3571), At-Tirmidzi (1335), Ibnu Majah (2308), Ahmad (2/230)
[3] Al-Bukhari (6622), Muslim (1652), Abu Daud (2929), At-Tirmidzi (1529), An-Nasa`I
(8/225)

Nanti kalian akan berambisi untuk menjadi penguasa, dan kalian


akan menyesal di hari kiamat. Hal itu sebaik-baik susuan dan
seburuk-buruknya penyapihan[1]
Kata sebaik-baik susuan maksudnya adalah di dunia, dan
seburuk-buruk penyapihan yakni di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai