Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Richard G. Wilkinson dalam bukunya Unhealthy Societies: The Afflications of
Inequality (1996) berpendapat bahwa faktor kesehatan sangat kuat dipengaruhi oleh
posisi sosial dan perbedaan skala sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dalam
masyarakat dunia berkembang, bukanlah negara yang paling kaya yang memiliki
kesehatan yang terbaik, melainkan negara yang lebih bersifat egaliter yang memiliki
kesehatan yang terbaik. Menurut penelitian pada sejumlah negara-negara yang dianggap
egaliter, menunjukkan bahwa karakteristik utama dari negara-negara itu adalah adanya
kepaduan sosial (social cohesion) yang berpengaruh pada tingkat kesehatan
masyarakatnya. Kesehatan dalam hal ini adalah kesehatan jiwa dan fisik sekaligus.
Merujuk kepada sejarah umat manusia di berbagai belahan dunia, salah satu pembentuk
kepaduan masyarakat (social cohesion) dapat ditemukan melalui budaya untuk saling
bertukar pemberian.
Dalam kejadian, sebagian besar masyarakat kita dapat menemukan tradisi pertukaran
dalam bentuk yang berbeda-beda. Berbagi makanan dan bertukar hadiah adalah bentuk
distrubusi yang paling dominan yang dapat kita temukan dalam awal sejarah masyarakat.
Pertukaran barang atau makanan itu terkadang dilakukan terkait dengan suatu tradisi
ritual dalam masyarakat, meski dalam beberapa masyarakat pemberian atau pertukara itu
berguna secara ekonomis, yaitu untuk memenuhi sesuatu yang tidak mudah didapatkan
oleh komunitas lainnya. Marshal Sahlins (1974) juga mengatakan bahwa keunggulan
tradisi pertukaran dan pemberian barang pada masyarakat primitive adalah untuk
menjaga kedamaian.
Berbagai sumber penyebab terjadinya gangguan psikososial kebanyakan terkait
dengan rendahnya pendapatan yang tidak pasti dan terjadi dalam masyarakat yang
mempunyai kohesi sosial yang lemah. Dan sesuatu yang terkait langsung dengan kohesi
sosial adalah kesehatan yang berpengaruh pada jaringan dan partisipasi sosial (Richard

G. Wilkinson, 1996). Selain itu, faktor kekuatan politik juga mempunyai peranan yang
dominan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan dalam suatu
masyarakat. Pada masa peralihan (dari kolonialisme ke kemerdekaan) pelayan kesehatan
tidak hanya digunakan sebagai media untuk mengurangi penderitaan masyarakat dari
suatu penyakit, tapi juga digunakan sebagai alat politik untuk menciptakan suatu
ketergantung yang digunakan sebagai eksploitasi kelas atas kelas yang lainnya dalam
suatu masyarakat atau digunakan untuk mempromosikan kepentingan suatu pasar. Ketika
dunia telah mengetahui bahwa problem kesehatan masyarakat dapat menyebabkan
timbulnya suatu produksi industrial dan keuntungann, muncul suatu kekuatan teknologi
yang menggerakkan revolusi industri yang mengembangkan sistem pengobatan Barat
yang modern. Tren ini banyak didukung oleh negara-negara industri yang makmur.
Selanjutnya sistem pelayanan kesehatan mulai masuk dalam dunia bisnis modern yang
mulai memajukan pelayanan sosial berbasis industri dengan potensi yang tiada henti
dalam meningkatkan kesejahteraan nasional. Akhirnya sistem pelayanan kesehatan
semakin maju dan pada tingkat tertentu bukannya mendatangkan kesejahteraan tapi
malah menjadi sumber penderitaan bagi masyarakat itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dengan social cohesion?


Apa saja dimensi tentang social cohesion?
Studi kasus terkait social cohesion pada pemanfaatan ruang terbuka dalam kesehatan

jiwa?
1.3 Tujuan Masalah
Memahami pengertian social cohesion
Memahami dimensi tentang social chesion
Memahami kondisi social cohesion pada pemanfaatan ruang terbuka dalam kesehatan
jiwa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Social Coohesion


Kohesi sosial (social cohesion) merupakan perekatan yang dibangun oleh suatu grup
atau kelompok atau komunitas berdasarkan ikatan kefamilian, klan dan genealogi dalam
bingkai keetnikan. Secara tipologis, kohesi sosial dapat dikategorikan dalam dua tipe,
yaitu:
1. Kohesi sosial intramasyarakat
Merupakan kohesi sosial dimana secara historis terentuk melalui suatu
mekanisme perbentukan sosio-kulltur dalam suatu masyarakat tunggal (single
society). Sehingga, masyarakat yang terbentuk nilai budaya masyarakat
berdasarkan dari jenis mata pencaharian masyarakat.
2. Kohesi sosial antamasyarakat
Merupakan kohesi sosial dimana terbentuk dari pertemuan sosial secara lintas
masyarakat. Jadi, kohesi sosial terbentuk dari adanya saling keterbutuhan didalam
masyarakat

menimbulkan

mekanisme

saling

membantu.

Kohesi

sosial

antamasyarakat memiliki karaktersitik tingginya teologis-kultural, hidup saling


memantu dan bertetanggaan, hingga sumber tata nilai etika berkoeksistensi dan
persamaan makhluk ciptaan Tuhan.

2.2 Dimensi Social Coohesion


Dimensi social cohesion memiliki pendapat yang beragam menurut pendapat para ahli
dan penelitian dari para peneliti. Berikut dimensi social cohesion menurut pendapat dari
para ahli, yaitu Kearns dan Forrest (2000, 2001). Dimensi kohesi sosial antara lain.
1. Masyarakat kohesif adalah satu dimana ada nilai-nilai umum dan budaya sipil hidup.
2. Kohesi sosial juga mengacu pada masyarakat dimana gangguan sosial mekanisme
kontrol absen dan sosial ditetapkan.
3. Solidaritas dan strategi untuk mengurangi kekayaan, kesenjangan sosial harus hadir di
masyarakat yang kohesif secara sosial.
3

4. Masyarakat yang kohesif ditandai dengan modal sosial, yang meliputi jaringan sosial
dan partisipasi masyarakat. Sehingga muncul identitas bersama di antara anggota
masyarakat, membuat bahwa masyarakat lebih kohesif.
Jadi, dimensi menurut Keans dan Forrest bahwa kohesi sosial memiliki keterkaitan
dari nili-nliai budaya dimasyarakat, gangguan sosial yang ada dimasyarakat hingga
penyelesaian masalah yang ada dimasyarakat, sehingga menimbulkan kohesif secara
sosial.
Konsep dimensi kohesi sosial menurut O' Connor (1998), yaitu
1. ikatan yang mengikat, seperti nilai-nilai, identitas, budaya
2. perbedaan dan perpecahan: ketidaksetaraan dan ketidakadilan, keragaman budaya,
divisi geografis
3. perekat sosial yang mengacu pada asosiasi dan jaringan, infrastruktur, nilai-nilai dan
identitas
Konsep dimensi kohesi sosial menurut O Connor bahwa kohesi sosial mengndung
unsur nilai-nilai yang ada dimasyarakat, permasalahan yang ada di masyarakat hingga
perekatan untuk membentuk kelompok baru dengan nilai-nilai yang dibentuk tersebut.
Selain itu, mirip dengan tiga kategori yang tercantum di atas, Woolley membedakan
tiga cara untuk menentukan kohesi sosial (Woolley, 1998) yaitu,
1. Sebagai tidak adanya pengucilan sosial,
2. Interaksi dan koneksi berdasarkan modal sosial
3. Sebagai nilai-nilai bersama dan masyarakat interpretasi berdasarkan identitas
kelompok.
Dimensi kohesi sosial menurut Wolley, bahwa kohesi sosial timbul karena keselarasan
sosial bermasyarakat, interaksi yang berkesinambungan sehingga menimbulkan
terbentuknya nilai bersama dimasyarakat.
Selanjutnya, Dimensi kohesi sosial menurut Mc. Cracken menekankan bahwa modal
sosial masyarakat adalah landasan penting dari kohesi sosial (McCracken 1998; Maxwell
1996). Gagasan tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep kohesi sosial menggabungkan
dua dimensi tujuan sosial yang dapat analitis, yaitu:

1. Dimensi pertama menyangkut pengurangan kesenjangan, ketidakadilan, dan


pengucilan sosial.
2. Dimensi kedua menyangkut penguatan hubungan sosial, interaksi dan hubungan.
Dimensi ini mencakup semua aspek yang umumnya juga dianggap sebagai modal
sosial dari masyarakat.
Jadi, konsep dimensi sosial menurut Mc. Cracken bahwa kohesi sosial mencakup
dimensi pertama dari adanya kesenjangan, ketidakadilan sosial menimbulkan konsep
dimensi kedua dimana masyarakat yang merasa dari dimensi pertama mementuk
penguatan hubungan hingga membentuk komunitas sesuai nilai yang dibentuk sendiri.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus


Studi kasus diambil dari jurnal hasil penelitian Afifatun Nisa (2012) yang berjudul
Peran Mediasi Persepsi Kohesi Sosial dalam Hubungan Prediktif Persepsi Pemanfaatan
Ruang Terbuka Publik Terhadap Kesehatan Jiwa
1. Permasalahan
Berbagai fenomena di kalangan mahasiswa seperti bunuh diri dan tawuran
menunjukkan bahwa kondisi kesehatan jiwa mahasiswa sebagai warga kota semakin
mengkhawatirkan. Menurut berbagai penelitian, fenomena tersebut merupakan indikasi
masalah kesehatan jiwa (American Psychological Association, 2008; Eitle, Gunkel, &
Van Gundy, 2004; Scott & Resnick, 2006). Echeverriaa, Diez-Rouxc, Shead, Borrell, dan
Jackson (2008) memaparkan hasil penelitiannya bahwa kehidupan bertetangga yang
kurang kohesif secara sosial berhubungan dengan peningkatan depresi. Hal ini sangat
disayangkan karena mahasiswa sangat diharapkan perannya dalam membangun bangsa
ini, baik sebagai generasi produktif dan inovatif, sebagai kekuatan moral, maupun
sebagai agen perubahan.
Dalam harian Kompas melalui rubrik opini akhir tahun 2011 Adi, Sudarsono,
Yudistira, dan Nusrat, menulis: "Para pelaku dari golongan menengah ke atas memilih
cara yang nyaris seragam, melompat dari mal, apartemen, atau bangunan tinggi lainnya.
Meski relatif bebas dari tekanan ekonomi, mereka menghadapi persoalan eksistensi diri,
seperti merasa teralienasi atau merasa hidup sia-sia karena kehadirannya tidak lagi
dianggap berarti bagi orang lain. Ada berbagai sebab yang membuat manusia mengalami
perasaan seperti itu. Meski demikian, semuanya bermuara pada melemahnya kohesi
sosial. Kohesi sosial melemah, antara lain, karena kian mengecilnya ruang untuk saling
menyapa, saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama.
Terdapat bukti-bukti bahwa persepsi kohesi sosial dikontribusikan oleh utilisasi atau
pemanfaatan ruang terbuka publik (public open space). Pasaogullari dan Doratli (2004)
dalam salah satu studi deskriptifnya menemukan 60% dari 116 respondennya
menyatakan bahwa penggunaan ruang publik mempengaruhi interaksi sosial.
2. Definisi Ruang Terbuka Publik.
6

Ruang terbuka publik (public open space) menurut Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.40/PRT/M/2007 didefinisikan sebagai: Ruang terbuka yang terdapat pada
lahan milik publik, baik berupa taman, lapangan olahraga, maupun ruang terbuka
lainnya. Area tersebut dapat diakses dan dimanfaatkan oleh publik tanpa batasan ruang,
waktu, dan biaya.
3. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap 375 mahasiswa (182 laki-laki, 193 perempuan) dari
berbagai universitas dan program studi di Jakarta. Berikut ini adalah tabel yang
menunjukkan frekuensi dan presentase tingkat kesehatan jiwa, tingkat persepsi kohesi
sosial dan tingkat pemanfaatan ruang publik.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemanfaatan ruang terbuka publik mampu


meramalkan kesehatan jiwa melalui persepsi kohesi sosial pada mahasiswa Jakarta.
kontribusi pemanfaatan ruang terbuka publik terhadap persepsi kohesi sosial adalah
8,6%, sedangkan kontribusi persepsi kohesi sosial terhadap kesehatan jiwa mahasiswa
sebagai masyarakat Jakarta adalah 6,2%.
4. Diskusi
Berdasarkan studi kasus di atas dapat diketahui bahwa adanya persepsi kohesi sosial
mempengarui persepsi pemanfaatan ruang terbuka publik yang nantinya juga
berpengaruh terhadap kesehatan jiwa seseorang. Bila seseorang memiliki persepsi kohesi
sosial yang baik mengenai diri dan lingkungan sosialnya maka tentunya akan
berpengaruh pada bagaimana dia bisa memanfaatkan ruang terbuka publik untuk
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, karena dengan memiliki persepsi kohesi sosial
yang

baik

seorang

individu

akan

senantiasa

ingin

menjalin

interaksi

dan

mempertahankan hubungan sosialnya. Kohesi sosial terbentuk melalui mekanisme


7

interaksi sosial yang didorong oleh kesadaran kekerabatan. Melalui ruang publik
seseorang bisa membangun interaksi sosialnya, meskipun. kebanyakan kontak manusia
di ruang terbuka publik adalah kontak dengan intensitas rendah seperti melihat dan
menonton orang lain, memberikan atau menerima informasi, atau memberikan komentar
sambil lalu. Namun demikian, kontak inilah yang merupakan langkah pertama dan
fundamental untuk memicu variasi hubungan interpersonal dan sosial. Interaksi dan
relasi sosial ini selanjutnya membawa pada kohesi sosial.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kohesi sosial (social cohesion) merupakan perekatan yang dibangun oleh suatu grup
atau kelompok atau komunitas berdasarkan ikatan kefamilian, klan dan genealogi dalam
bingkai keetnikan. Dalam kohesi sosial terbentuk secara dua kategoris, yaitu kohesi
sosail intramasyarakat dan kohesi antamasyarakat.
Kohesi sosial mencakup dua dimensi, yaitu dimensi pertama terbentuk dari akibat
pengurangan kesenjangan, ketidakadilan, dan pengucilan sosial dan dimensi kedua
menyangkut penguatan hubungan sosial, interaksi dan hubungan.
Dalam studi kasus kohesi sosial Peran Mediasi Persepsi Kohesi Sosial dalam
Hubungan Prediktif Persepsi Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Terhadap Kesehatan
Jiwa bahwa ruang publik seseorang bisa membangun interaksi sosialnya dengan
masyarakat, sehngga kohesi sosial terbentuk dari tempat ruang terbuka. Terbentuk
langkah pertama dan fundamental untuk memicu variasi hubungan interpersonal dan
sosial. Interaksi dan relasi sosial ini selanjutnya membawa pada kohesi sosial.

Daftar Pustaka

Adi, W., Sudarsono, R.P., Yudistira, C., & Nusrat, M. (2011, 15 Desember). Rasa
terasing dan cari jalan pintas. Kompas. Diakses pada 5 Februari 2012, dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/12/15/02121361/.Rasa.Terasing.dan.C
ari.Jalan.Pintas.
American Psychological Association. (2008, August 19). Suicidal Thoughts Among
College Students More Common Than Expected. ScienceDaily. Diakses pada 17
September

2012,

dari

http://www.sciencedaily.com/

releases/2008/08/080817223436.htm.
Ardhan.2008. Kohesi Sosial, Perekat yang Harus Selalu Dikelola.[online] available at :
https://id.scribd.com/doc/4568418/KOHESI-SOSIAL. [Accessed 24 September 2016].
Echeverriaa, S., Diez-Rouxc, A.V., Shea, S. , Borrell, L.N,, & Jackson, S. (2008).
Associations of neighborhood problems and neighborhood social cohesion with
mental health and health behaviors: The Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis.
Health & Place, 14, 853865.
Eitle, D., Gunkel, S., & Van, G.K. (2004). Cumulative exposure to stressful life
events and male gang membership. Journal of Criminal Justice, 32, 95111.
Nisa, Afifatun.2012. Peran Mediasi Persepsi Kohesi Sosial dalam Hubungan Prediktif
Persepsi Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Terhadap Kesehatan Jiwa.

[online].

Available at: hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/view/1463.

[Accessed

24 September 2016].
Pasaogullari, N., & Doratli, N. (2004). Measuring accessibility and utilization of
public spaces in Famagusta. Cities, 21(3), 225232.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.40/PRT/M/2007

Tentang

Pedoman

Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.


Berger, Regina and Schmitt. 2000. Social Cohesion as an Aspect of the Quality of
Societies: Concept and Measurement. EuReporting working Paper No. 14. Centre for
Survey Research and Methodology (ZUMA) : Mannheim.
World Health Organization. The Urban Health Crisis: Strategies for Health for All in the
Face of Rapid Urbanization. Geneva: World Health Organization, 1993

10

Anda mungkin juga menyukai