Kehamilan ektopik
a. Patogenesis
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan
halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Implantasi
secara kolumner yaitu telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur
mati secara dini dan kemudian diresorpsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi
antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari
lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis.
Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah vili korialis menembus
endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti
tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi
trofoblas. Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditas
dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium dapat pula berubah menjadi
desidua. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping-keping atau dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam yang
dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh
pelepasan desidua yang degeneratif.Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi,
sehingga tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu. Terdapat
beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh
apa-apa dan haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi
koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding
tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi
sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan
dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale.
Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan
(Hematosalping) dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba,
berkumpul di kavum douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina.
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan yang lebih
lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale.
Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang
telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang
ruptur terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2
lapisan ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba
kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Nasib janin bergantung
pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat
diresorpsi seluruhnya, dan bila besar dapat diubah menjadi litopedion. Janin yang dikeluarkan
dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektpik lanjut atau
kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan
1. Prawirohardjo, S., Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kebidanan, Jakarta Pusat : Yayasan
Bina Pustaka. 2005.
2. Prawirohardjo, S., , Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Bedah
Kebidanan, Jakarta Pusat : Yayasan Bina Pustaka.2007.
b. Edukasi
Ini di hapus saja
2. Abortus
a. Epidemiologi
Frekuensi Abortus sukar ditentukan karena Abortus buatan banyak tidak dilaporkan,
kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan
tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai
terlambat haid. Diperkirakan frekuensi Abortus spontan berkisar 10-15%. Frekuensi ini dapat
mencapai angka 50% bila diperhitungkan wanita yang hamil sangat dini, terlambat haid
beberapa hari, sehingga seorang wanita tidak mengetahui kehamilannya. Di Indonesia,
diperkirakan ada 5 juta kehamilan per-tahun, dengan demikian setiap tahun 500.000-750.000
abortus spontan.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta Abortus dilakukan setiap
tahun di Asia Tenggara, dengan perincian :
1.
2.
3.
4.
b. Tata laksana
c. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya abortus dimulai dengan proses perdarahan dalam desidua basalis
kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi
terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing di dalam uterus. Keadaan
ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkannya.
3. Sindrom asherman
a. Tata laksana
Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari timbulnya suatu
abortus.
Penatalaksanaan Umum:
1. Istirahat baring.
Tidur berbaring merupakan unsur penting dalam pengobatan, karena cara ini
menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya rangsang
mekanik.
600-1.000 mg.
Anti perdarahan : adona, transamin Vitamin B kompleks
Hormonal
: progesteron
Sedatif: Luminal 230 mg/hari (sampai 2-3 hari bebas perdarahan).
Penguat plasenta
: gestanon, duphaston
Anti kontraksi rahim : duvadilan, papaverin 340 mg/hari (sampai
2.
3.
4.
minggu, evaluasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum
5.
dilakukan
segera,
intramuskuler (diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol 400 mcg
per oral (dapat diulang setelah 4 jam bila perlu).
6.
Jika kehamilan lebih 16 minggu :
a. Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan intravena (garam
fisiologik atau ringer laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai
terjadi ekspulsi hasil konsepsi.
b. Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg).
c. Evaluasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.
d. Abortus Kompletus (Keguguran Lengkap)
Penatalaksanaan:
1. Tidak perlu evaluasi lagi.
2. Observasi untuk melihat adanya perdarahan banyak.
3. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.
4. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferrosus 600 mg per
hari selama 2 minggu. Jika anemia berat lakukan transfuse darah.
5. Konseling asuhan pasca keguguran dan pemantauan lanjut.
e. Missed Abortion
Penatalaksanaan:
Berikan obat agar terjadi his sehingga fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau
tidak berasil dilakukan kuretase. Dapat juga dilakukan histerotomia anterior.
Hendaknnya pada penderita diberikan tonika dan antibiotik.
f. Abortus Septik
Penatalaksannaan:
1. Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup
2. Berikan antibiotik yang cukup dan tepat (pemeriksaan pembiakan dan uji
kepekaan obat)
a. Berikan suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 6 jam
b. Berikan suntikan streptomisi 500 mg setiap 12 jam dll
3. 24 sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotik atau lebih cepat bila
terjadi perdarahan banyak lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan
hasil konsepsi
Penatalaksanaan Umum
Tirah baring, sedasi, dan menghindari stress dan orgasme adalah tindakan yang
direkomendasikan. Pengobatan selanjutnya bergantung kepada respon wanita
insipiens
Komplet
terhadap pengobatan
Terminasi kehamilan segera dilakukan, biasanya dengan kuret atau dilatasi
Mungkin tidak perlu ada intervensi jika kontraksi cukup kuat untuk menahan
perdarahan dan jika tidak ada infeksi.
Missed
Jika evakuasi spontan tidak terjadi dalam satu bulan, kehamilan diterminasi
dengan cara yang sesuai dengan usia kehamilan. Faktor-faktor pembekuan darah
dipantau sampai rahim kosong. Bila terjadi DIC dan gangguan pembekuan darah
disertai perdarahan yang tidak bisa dikendalikan pada kasus kematian janin setelah
Septik
Cunningham, F Gary dkk.. Obstetri Williams Ed. 21, Vol. 2. Jakarta: EGC.2006
4. Vaginitis
a. Faktor risiko
Jenis vaginitis yang dialami pasien umumnya ditentukan berdasarkan penyebabnya yang
sebagian besar dapat berupa:
1. Infeksi jamur atau bakteri. Pada kondisi normal, vagina memang memiliki sebagian
kecil sel-sel jamur atau bakteri tanpa menyebabkan gangguan apa pun. Tetapi infeksi
akan terjadi jika jamur atau bakteri tersebut berkembang biak tanpa terkendali.
2. Penyakit menular seksual, seperti trikomoniasis, chlamydia (klamidia), dan herpes
genital.
3. Iritasi akibat bahan-bahan kimia, misalnya karena kandungan sabun, pewangi
pakaian, atau kondom yang memicu reaksi alergi.
4. Membasuh bagian dalam vagina.
5. Atrofi vagina, yaitu penipisan dinding vagina karena penurunan kadar estrogen
setelah menopause.
Selain penyebabnya yang beragam, terdapat banyak faktor lain yang bisa meningkatkan
risiko Anda untuk mengidap vaginitis. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi:
1. Perubahan hormon, misalnya karena menopause, hamil, atau menggunakan metode
kontrasepsi hormonal.
2. Aktif berhubungan seks, terutama jika Anda memiliki lebih dari satu pasangan.
3. Mengidap penyakit menular seksual.
4. Efek samping obat-obatan, contohnya antibiotik dan kortikosteroid.
5. Penyakit diabetes yang tidak diobati dengan baik.
6. Menggunakan produk pembersih daerah intim, misalnya sabun sirih.
7. Mengenakan pakaian lembap atau ketat.
Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, dan Spong,. Sexually Transmitted Diseases :
Vaginitis, 2010. Dalam : Williams Obstetrics 23rd Edition. United States of America :
McGraw-Hill Companies, 1246.
5. Mengapa paracetamol dapat meringankan nyeri pada kasus ?
Paracetamol bekerja sebagai inhibitor prostaglandin lemah dengan menghalangi
produksi prostaglandin, yang merupakan zat kimia yang terlibat dalam proses pengiriman
pesan rasa sakit ke otak. Dengan mengurangi jumlah prostaglandin, paracetamol membantu
mengurangi rasa sakit. Namun, berbeda dengan aspirin, paracetamol memblokir pesan rasa
sakit di sistem saraf pusat, bukan pada sumber rasa sakit. Paracetamol digunakan untuk
meringankan nyeri ringan sampai sedang, termasuk sakit kepala, migrain, nyeri otot,
neuralgia, sakit punggung, nyeri sendi, nyeri rematik, sakit gigi, nyeri tumbuh gigi, artritis,
dan nyeri menstruasi.