Anda di halaman 1dari 9

Uji Diagnostik pada TB anak

Selama satu dekade terakhir telah didapatkan kemajuan yang siginifikan dalam
pengembangan alat diagnosis untuk tuberkulosis pada anak. Meskipun demikian, masih
ditemukan beberapa pertanyaan yang belum terjawab dan pengujian untuk menemukan
metode diagnosis yang akurat belum berakhir. Ulasan dalam tulisan ini menyediakan
tinjauan tentang kelebihan dan keterbatasn dri tes imunologi dan mikrobiologi, diskusi
mengenai metodi terbaru, dan arah pengembangan penelitian dimasa depan.
Epidemiologi dari Tuberkulosis Anak.
Angka pasti Insiden dan prevalensi dari TB anak masih diragukan. Hal tersebut terjadi
karena konfirmasi TB aktif secara mikrobiologi tidak dilakukan pada sebagian besar anak
dengan berbagai alasan. Pertama, kasus pada anak merupakan penyakit paulibasil, yang
menghambat diteksi dari mikobakterium tuberkulosis. Kedua, sampel yang didapat dari
saluran nafas sulit didapatkan pada anak. Beberapa fasilitas kesehatan dipersiapakan untuk
mengambil sampel dahak pada pemeriksaan rutin yang secara penelitian telah terbukti
meningkatkan kemampuan diteksi. Hal tersebut menyebabkan pengobatan anak dengan TB
dimulai berdasarkan riwayat, gejala, tanda penyakit yang disertai atau tanpa disertak temuan
radiologi. Hingga sekarang, WHO dan agen kesehatan masyarakat hanya membuat sedikit
usaha untuk mendata anak dengan TB aktif yang tidak terdiagnosis menggunakan
pemeriksaan mikorbiologi. Hal ini disebabkan karena penentuan angka insidensi TB anak
hanya didata jika diperoleh bdasarkan hasil kultur dan smear. WHO global tuberculosis report
2012 merupakan publikasi pertama yang memasukan estimasi TB anak. Pada publikasi
terbarunya (2014) disajikan data estimasi untuk kasus TB baru pada anak (estimasi 550.000
kasus) dan angka kematian TB pada anak dengan HIV negatif ( estimasi 80.000 kasus).
Namun, estimasi data kematian TB pada anak dengan HIV positif belum dimasukan.
Bagaimanapun, estimasi WHO tersebut didasarkan oleh tingkat diteksi kasus pada dewasa,
sehingga sangat mungkin data yg disajikan pada kasus anak bersifat underestimate. Oleh
karena itu tidak mengejutkan jika temuan pada penelitian yang lebih baru menggunakan
perhitungan matematika tertentu didapatkan hasil bahwa insiden TB anak secara global
mencapai lebih dari 650.000 kasus.
Tuberkulosis aktif vs Tuberkulosis laten.
Pembagian tuberkulosis telah dikategorikan secara klasik menjadi TB aktif dan TB
laten. Pasien dengan TB aktif memiliki gejala dan tanda ,yang bergantung pada lokasi infeksi,
dapat dipasstikan melalui pemeriksaan yang bersifat konvensional (mikroskopik atau kultur)
atau molekular ( PCR) yang bergantung pada lokasi infeksi, ketercukupan sampel, dan
metode pengambilan yang digunakan. Sebaliknya, dogma klasik menyatakan bahwa pasien
dengan TB laten brsifat asimtomatik dan sistem imun mereka telah mengandung
mikobakterium tuberkulosis. Sehingga, metode pemeriksaan secara mikrobiologi terbaru
tidak dapat menditeksi mikobakteria. Diagnosis dari TB akhirnya didasarkan hanya pada
pemeriksaan imunologi yang menditeksi sel T memori (atau sel imun potensial lainnya),
melaluo pemeriksaan tuberkulin tes atau interferon-gamma release assay (IGRA). Pemisahan
antara tb aktif dan tb laten masih berguna dalam konteks klinis dan perspektif pembuatan

kebijakan karena perbedaan yang jelas jni dapat mennetukan pendekatan pengobatan yang
brbeda ( cth : pada TB laten digunakan 2 jenis obat anti mikobakteri vs 3 jsbatpada TB aktif).
Bagaimanapun, didapatkan peningkatan fakta bahwa TB aktif dan TB paten bukanlah 2 jenis
infeksi yang memiliki sifat berbeda., melainkan lebih berupa akhir berbeda dari sebuah
perjalanan penyakit TB. Data terdahulu sebelum era obat antimikobakterium
mengilustrasikan bahwa beberapa pasien dengan Tb aktif mampu bertahan tanpa pengobatan.
Data yang lebih baru memperlihatkan bahwa pasien tanpa keluhan yang mampu bertahan
membawa sel memori TB hingga berdekade setelahnya. Sehingga, jika dites(tes tuberkulin
atau IGrA), semua pasien yang telah sembuh dari TB akan dAtorikan menjadi TB laten.
Lebih lanjut lagi, penelitian terbaru pada manusia dan bukan manusia menggunakan metode
radiologi terbaru (contoh : positron emission tomography), memperlihatkan bahwa aktifitas
penyakit dapat diditeksi pada proporsi yang signifikan pada individu dengan tes imunitas
positif yang tidak bergejala. Sehingga berdasarkan kriteria yang ada dapat diklasifikasikan
juga kedalam TB laten. Ketidakpastian masih ditemukan mengenai apakah individu akan
menjadi TB aktif jika kondisi tersebut dibiarkan tidak diobati. Pertanyaan tersebut
kemungkinan akan tetap tidak terjawab karna pemberian obat pada kondisi tidak bergejala
akan dianggap tidak sesuai etika. Sebagai tambahan, beberapa publikasi terbaru telah
mendeskripsikan pasien dengan TB subklinis, yang asimtomatik memliki hasil kultur
sputum positif (dengan atau tanpa hasil smear positif). Terlepas dari isu ini, kami akan terus
menggunakan istilah TB aktif dan TB laten untuk tulisan ini.
Immune based test dan keterbatasannya.
Tes tuberkulin telah dilakukan sejak awal abad ke 20. Purified protein derivative
(PPD), yang merupakan peptida heterogen mikobakteria telah digunakan sebagai tes
tuberkulin (dipanggil juga tes Mantoux). Tes tuberkukin sacara umum digunakan untuk
membantu mengasumsikan TB aktif. Pemeriksaan tersebut sempat menjadi satu-satunya tes
untuk menditeksi TB laten, hingga akhirnya IGRA datang secara komersil pada tahun 2002.
Keterbatasan yang utama pada tuberkulin tes terletak pada angka spesifitasnya. Hasil
positif palsu dapat muncul jika telah dIkukan imunisasi BCG sebelumnya atau infeksi
mikobakterium non tuberkulosis. Hasil negatif palsu dapat muncul jika pasien memiliki
kondisi defisit sistem imun, sistem umum yang tersupresi, malnutrisi dan eror pada proses
pembacaan test. Tes dibaca setelah 48 hingga 72 jam, ketentuan ini tidak nyaman untuk
penyedia layanan kesehatan dan juga pasien. Jika pembacaan tidak dilakukan dalam
ketentuan waktu yang ditentukan, validitas tes menjadi dipertanyakan. Terlepas dari
keterbatasan tersebut, rekomendasi terbaru dari American Academy of Pediatrics Committee
on Infectious Diseases menyatakan bahwa skrinimg pasiem TB laten anak kurang dari 5
tahun
dilakukan
meggunakan
tes
tuberkulin
dibandingkan
IGRA.
Bagaimanapun,rekomendasi tersebut menekankan bahwa pengkombinasian tes tuberkulin
dan IGRA memberikan nilai sensitivitas yang lebih tinggi.
Keterbatasan utama yang ditemukan pada tuberkulin tes adalah subjektifitas dalam hal
pembacaan dari indurasi yang muncul. Teknik pembacaan yang standar digunakan
menggunakan teknik ballpoin, teknik ini dilakukan dengan mempalpasi bagian luar dari
indurasi, lalu menandainya menggunakan ballpoint dan menentukan diameter dari indurasi

menggunakan penggaris yang fleksibel. Teknik ini mudah sekali memunculkan hasil yang
tidak akurat antar observer, terutama jika indurasi tidak berbentuk sirkular. Optimisasi dan
standardisasi dari teknik pembacaan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan
konsisten pada pemeriksaan selanjutnya telah diinvestigasi menggunakan beberapa
pendekatan terbaru termasuk pengukuran menggunakan Droppler, spektropotometri dan
USG.
Diseluruh dunia, hanya sedikit menufaktur yang memproduksi tes tuberkulin untuk
penggunaan klinis. Sehingga, masalah suplai pada 1 manufaktur dapat berdampak pada pasar
global. Masalah yang pernah muncul pada Evans Vaccines di tahun 2003 menyebabkan bahan
tes tuberkulin hsrus diumpulkan dari Statens Serum Institut (SSI) di denmark sebagai obst
yang tidak berlisensi. Pada tahun 2013, didapatkan masalah nasional di amerika yang
disebabkan oleh masalah produksi pada Sanoli Pasteur (Tubersol) yang menyebabkan
ditemukan hanya 1 produk yang terlisensi FDA. Setelah periode tersebut, 29 dari 52 juridiksi
amerika melaporkan adanya keterbatasan pada setidaknya 1 dari 2 produk testuberkulin.
Kanada juga mengalami kejadian yang tidak tersorot pada tahun 2012. Lebih lanjut lagi,
kekurangan dari tes tuberkulin dieropa telah ditekankan pada survey TB do 23 negara eropa.
Enam pulu persen dari negara tersebut melaporkan kekurangan tes tuberkulin. Mayoritas dari
kekurangan tersebut menggunakan RT23, tubertest (Sanofi Pasteur), Tuberkulin (4.8 %) dan
Tuberculin (St. Petersburg Institute of Vaccines and Sera; 4.8%). Interferon-gamma Release
Assays Currently, 2 commercial IGRA adalah pilihan yang available. Penggunaan kinis
QuantiFERONTB Gold In-Tube (QFT-GIT; Cellestis/Qiagen, Carnegie, Australia) dan the
T-SPOT.TB assay (Oxford Immunotec, Abingdon, UK). Walaupun IGRA sendiri mampu
mendiagnosis TB laten, dalam praktek klinis pemeriksaan ini secara umum digunakan untuk
diagnosis awal TB aktif. Kedua pemeriksaan bergantung pada deteksi dAri Interferon gamma
yang dikeluarkan oleh sel T mor setelah stimulasi dari antigen mikobakteria. Kedua
pemeriksaan menggabungkan peptida antigen RD1 spesifik, early secretory antigenic target
6 (ESAT-6), dan 10kDA cukture filtrate protein (CFP-10); QFT-GIT incorporates dan
additional antigen, TB7.7.
Berdasarkan prinsip test, IGRAs memiliki kemungkinan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan tes tuberkulin dan tidak terganggu oleh riwayat imunisasi BCG sebelumnya .
Efek dari riwayat infeksi non tuberkulosis mikobkterium pada nilai spesifisitas relatif
terbatas. Hal ini disebabkan karema hanya ditemukan sedikit ekspresi dari ESAT-6 dan CFP10.20. Meskipun begitu, nilai positif palsu pads IGRA telah terjadi berulang dilaporkan pada
individu yang terinfeksi Mycobacterium
kansasii, Mycobacterium marinum
and
Mycobacterium szulgai. Walaupun metode pengujian ini dinyatakan memiliki potensi untuk
merevolusi metode diagnosis TB, publikasi terbaru menekankan keterbatasan dari IGRA.
Pertama, sama seperti tuberkulin test, performa IGRA pada pasien dengan defisit imunologi
atau menerima pengobatan yang menekan sistem imun buruk, dan nilai negatif palsu masih
menjadi masalah sgnifikan pada pasien dengan kondisi tersebut. Masalah ini selanjutnya
bercampur dengan kondisi pasien trsebut menjadi lebih berisiko berkembang menjadi TB
aktif, yang menyebabkan akurasi mengidentikasi infeksi TB laten berkurang. Karena belum
ada standar emas untuk mendeteksi TB latent (dengan tuberkulin test memiliki masalah serius
yang mungkin menyebabkan tidak akan djadikan standar emas), nilai sensitivitas sebenarnya
dari IGRA untuk menditeksi TB laten tidak bisa ditentukan. Terlepas dari itu, beberapa meta

analisis terhadap performa IGRA sebagai alat pembantu untuk mendiagnosis TB aktif
menunjukkan bahwa IGRA tidak lebih baik daripada TST dalam hal ini, pelaporan
sensitivitas dikumpulkan sekitar 60-80% pada individu imunokompeten, dan diperkirakan
lebih rendah pada yang pasien yang terinfeksi HIV.
Sekarang terdapat bukti bahwa kinerja dari IGRA lebih buruk pada anak-anak
dibandingkan dengan dewasa. Meskipun mekanisme yang mendasari belum menentu, ada
kemungkinan bahwa pematangan kekebalan tubuh yang belum lengkap memainkan peran
dengan hasil yang signifikan. Hasil IGRA yang tak tentu (Akibat dari gagal dengan nilai
negatif atau positif pada sampel kontrol), yang menyampaikan bahwa tidak mendapatkan
informasi mengenai status infeksi TB pada pasien, secara signifikan lebih sering pada anakanak daripada di dewasa. Satu penelitian pada anak melaporkan bahwa hasil dari QFTGIT
terjadi sebesar 83 (35%) dari 237 partisipasi subjek. Namun, dalam penelitian itu, sejumlah
besar anak-anak dengan imunodefisiensi atau yang menerima pengobatan imunosupresif.
Mayoritas penenlitian pada anak di negara-negara dengan prevalensi HIV yang rendah
melaporkan nilai yang rendah dari hasil IGRA yang tak tentu, umumnya berkisar antara 5%
dan 20%. Selain usia muda dan immunodeficiency / imunosupresi, faktor lain juga
diperkirakan mempengaruhi terkait dengan hasil IGRA yang tak tentu mencakup malnutrisi,
penyakit ginjal kronis, kondisi autoimun, malaria dan adanya infeksi cacing. Sumber
preanalisis dari uji variabilitas juga dapat menyebabkan hasil tak tentu meliputi
keterlambatan inkubasi dari sampel dan tidak memadainya pada saat pencampuran dari
tabung QFT-GIT tubes.
Keterbatasan lain dari IGRA yaitu mengenai biaya yang relatif tinggi dan kebutuhan
untuk fasilitas laboratorium, menjadi penghalang penggunaannya dalam keadaan sumber
daya yang terbatas, terutama dengan prevalensi TB yang tinggi. Selain itu, beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa reproduktifitas dari IGRA adalah suboptimal ketika
pengujian serial dilakukan (contohnya, perubahan yang tidak dapat dijelaskan dari positif
negatif dan sebaliknya). Selanjutnya, data mengenai sejumlah besar terkait dengan uji
tuberkulin dan nilai prediktif dalam terjadinya perubahan menjadi TB aktif, yang dimana data
tersebut berhubungan dengan IGRA, terutama pada anak-anak, masih tetap relatif terbatas.

Ketidakselarasan Antara Hasil Dari Uji Tuberkulin/TST (Tuberculin skin test) dan
IGRA (Interferon-gamma release assay)
Banyak ahli TB anak menggunakan uji TST dan IGRA secara paralel dengan tujuan
untuk meningkatkan sensitivitas, akan tetapi hal ini dapat menjadi rumit dengan hasil yang
bertentangan. Mekanisme yang mendasari ketidakselarasan ini masih belum pasti. Pada
berbagai penelitian terhadap anak, jumlah anak dengan nilai TST + / IGRA - hasil konstelasi
jauh lebih besar dari pada dengan hasil konstelasi dari TST - / IGRA +. Beberapa peneliti
berpendapat bahwa kejanggalan dari hasil TST + / IGRA merupakan hasil dari imunisasi
BCG sebelumnya atau "terjadi sensitisasi kekebalan" yang disebabkan oleh paparan bakteri
non-TB, dan dengan demikian harus ditafsirkan sebagai hasil TST positif palsu (dengan
asumsi IGRA benar-negatif sebagai hasil spesifisitas yang lebih besar). Namun, bukti yang
mendukung dugaan ini terbatas. Hal ini bisa saja terjadi bahwa BCG imunisasi dapat
menghasilkan ( "false") hasil positif dari TST. Namun, terdapat analisis data pada suatu

penelitian yang melibatkan lebih dari 240.000 subjek yang divaksinasi dengan BCG pada
bayi menemukan bahwa, secara keseluruhan hanya 8,5% yang memiliki hasil TST positif
(didefinisikan sebagai 10 mm indurasi) yang disebabkan oleh vaksin, sementara hanya 1 %
adalah TST-positif saat diuji 10 tahun atau lebih setelah vaksinasi dengan BCG. Oleh karena
itu, imunisasi BCG saja tidak dapat menjelaskan sebagian besar anak-anak dengan nilai TST
+ / kejanggalan IGRA- yang dilaporkan oleh para peneliti, yang biasanya berkisar antara 10%
dan 40% dari populasi penelitian. Terdapat juga pendapat bahwa penyakit yang disebabkan
bakteri non-TB dapat menghasilkan hasil TST positif dalam proporsi yang besar. Namun
demikian, penyakit yang disebabkan oleh bakteri non-TB jarang terjadi dengan sebagian
besar penelitian sebelumnya memperkirakan angka kejadian tersebut menjadi kurang dari 10
per 100.000 anak per tahun. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh bakteri non-TB juga
tidak bisa menjelaskan proporsi besar individu dengan nilai TST + / IGRA-. Konsep bahwa
suatu lingkungan yang terpapar oleh bakteri non-TB dapat menginduksi sel T memori dan
dengan demikian menghasilkan hasil positif palsu TST namun hal ini masih belum terbukti,
dan data lain yang mendukung teori ini masih terbatas. Bakteri non-TB terdapat dimana saja
serta tingkat isolasi untuk bakteri non-TB sama di seluruh dunia. Meskipun demikian,
sebagian besar orang yang tinggal di negara-negara dengan prevalensi TB rendah dengan
nilai TST-negatif, sangat menunjukkan bahwa paparan bakteri non-TB sendiri tidak terlalu
berdampak pada hasil dari uji TST.
Penjelasan alternatif untuk ketidakselarasan dari TST + / IGRA- adalah bahwa hasil
dari TST benar-positif, sedangkan hasil dari uji IGRA adalah negatif palsu (sebagai akibat
dari uji terakhir yang memiliki sensitivitas lebih rendah). Khususnya, data terakhir
memberikan bukti kuat bahwa proporsi yang signifikan dari individu dengan ketidakselarasan
dari TST + / IGRA- sebenarnya terinfeksi secara laten oleh M. TBC. Dengan menggunakan
tes darah keseluruhan dengan menggunakan ESAT-6 dan CFP-10 antigen sebagai stimulasi,
respon sitokin pro-inflamasi (termasuk interferon-gamma, IP-10, TNFalpha, IL-2, IL-12
(p40) dan IL-13) ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok anak-anak dengan
TST + / IGRA- dibandingkan dengan sekelompok anak-anak dengan tidak terinfeksi TB.
Hasil ini tidak dapat dijelaskan disebabkan oleh faktor pembaur karena vaksinasi BCG
sebelumnya, baik ESAT-6 atau CFP-10 yang diungkapkan oleh salah satu strain vaksin BCG
yang saat ini digunakan.
Dalam ketidakpastian tersebut, anak dengan hasil konstelasi TST + / IGRA -,
kemungkinan dari TB laten tidak dapat dikesampingkan. Akibatnya, kami serta ahli TB
lainnya, sangat menyarankan bahwa anak-anak dengan faktor risiko untuk infeksi TB
(termasuk paparan TB dikenal atau lahir di negara prevalensi TB yang tinggi) dengan hasil
konstelasi tidakselaras ini diperlukan pencegahan hingga waktu yang lebih baik untuk tes
immunodiagnostik yang dipercaya dapat menyingkirkan infeksi laten dari M. TBC.
Rekomendasi ini memperhitungkan bahwa anak-anak jauh lebih besar berisiko perubahan
dari infeksi TB laten ke TB aktif selama masa hidup mereka dibandingkan dengan orang
dewasa, serta fakta bahwa efek samping yang serius mengenai pengobatan standar (yaitu,
isoniazid sendiri atau dalam kombinasi dengan rifampisin) sangat jarang terjadi pada anakanak.
Uji Molekuler untuk Tuberkulosis

Saat ini, terdapat sejumlah besar tes polymerase chain reaction komersial (PCR) yang
tersedia untuk mendeteksi M.TBC, beberapa di antaranya menggabungkan pengujian untuk
menilai gen resistensi obat, yaitu COBAS TaqMan MTB (Roche Diagnostics, Basel, Swiss),
the ProbeTec ET Direct TB (Becton Dickinson, Franklin Lake, NJ), the FluoroType MTB
(Hain Lifescience, Nehren, Germany), the m2000 RealTime MTB (Abbott Laboratories,
North Chicago, IL) and the Xpert MTB/RIF assay (Cepheid, Sunny Vale, CA). Setelah
pengesahan resmi oleh WHO pada tahun 2010, hal ini difokuskan pada uji kedua. Pada
September 2014, sebanyak 3553 instrumen Xpert dan hampir 9 juta Xpert MTB / RIF
cartridge telah dibeli oleh negara-negara yang memenuhi syarat (yaitu, Negara-negara yang
dengan penghasilan rendah-sedang; dapat dilihat di http://who.int/tb/laboratory/
GeneXpert_rollout_large.jpg).
UJI Xpert MTB / RIF didasarkan pada nilai kualitatif, dengan waktu nyata dari PCR
yang memungkinkan M. tuberculosis kompleks dapat dideteksi secara langsung dalam
sampel klinis, dan secara bersamaan dapat mendeteksi mutasi pada rpoB gen terkait dengan
resistensi rifampisin. Uji tersebut memiliki sejumlah keunggulan: dapat dioperasikan oleh
personil dengan pelatihan yang mudah, persiapan sampel yang dibutuhkan minimal, dan hasil
tes tersedia dalam 2 jam setelah uji ini dimulai. Namun, kerugian termasuk biaya kartrid (saat
ini $ 9,98), kebutuhan infrastruktur laboratorium dengan pasokan listrik dan AC, dan
kebutuhan untuk pemeliharaan rutin dari instrumen analitis, yang semuanya merupakan
tantangan yang cukup besar dalam keadaan sumber daya rendah. Pada uji ini juga, tidak dapat
membedakan antara M.tuberkulosis hidup dan mati,karena itu tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi keberhasilan atau kegagalan pengobatan, atau untuk identifikasi dari
kekambuhan. Efektivitas biaya dari tes tersebut masih belum jelas, tapi tampaknya jelas
pelaksanaannya di negara-negara dengan pengeluaran kesehatan tahunan sebesar $ 10-20 per
kapita menjadi tantangan yang utama.
Sebuah penelitian meta-analisis menilai kinerja dari Xpert MTB / RIF yang
melaporkan TB paru, sensitivitas yang didapat pada saat pengujian adalah 90,4% (95%
confidence interval: 89,2-91,4), dengan spesifisita 98,4% (98.0- 98.7). Namun, hasil yang
mengecewakan didapat pada, TB paru dengan nilai smear negatif (yang berlaku untuk
sebagian besar anak-anak) nilai sensitivitas hanya 75,0%. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa penelitian pada anak dengan TB paru umumnya melaporkan
sensitivitas berkisar antara 65% dan 76%, meskipun secara universal spesifisitas diatas 98%.
Sementara hasil ini menunjukan perbaikan 2-3 kali lipat dari nilai sputum BTA dengan
mikroskop, data ini juga menyoroti bahwa seperempat sampai sepertiga dari kasus anak dapat
menghindari konfirmasi mikrobiologi jika Xpert MTB / uji RIF digunakan sebagai pengganti
kultur mikobakteri, yang saat ini tetap menjadi standar emas pada TB aktif.
Ketersediaan dan Penggunaan dari Uji Imunologi dan molekuler
Data yang tersedia dan penggunaan uji imunologi dan molekuler dalam penggunaan
klinis rutin secara sangat terbatas. Sebuah survei terbaru memberikan beberapa wawasan ke
dalam beberapa pandangan di Eropa. Sebagian besar (93,6%) dari peserta ahli TB di Eropa
(di 31 negara yang berbeda) mempunyai akses tes TB berbasis PCR. Sekitar dua pertiga
mempunyai akses duapertiga komersial dan satu pertiga sisanya untuk non-komersial (di
rumah) tes berbasis PCR. Menariknya, hasil survei menemukan bahwa sebagian besar peserta

telah menggunakan Xpert MTB / assay RIF untuk analisis berbagai sampel dari organ bukan
pernafasan (termasuk cairan pleural, cairan aspirasi lambung, cairan serebrospinal, sampel
tinja dan darah / serum) meskipun pengujian tersebut memiliki telah dioptimalkan dan
semata-mata berlisensi untuk analisis dari sampel sputum. Meskipun begitu, meningkatnya
data yang menunjukkan bahwa uji Xpert MTB / RIF memiliki sensitivitas yang relatif tinggi
dengan sampel cairan dan biopsi otak, dan laporan terbaru menyoroti kinerja optimal
pengujian terhadap sampel tinja, dan pleura , peritoneal dan cairan sendi. Selanjutnya, survei
yang dilakukan ahli TB di Eropa menemukan bahwa IGRA juga tersedia banyak di seluruh
Eropa, dan jauh lebih memiliki akses ke QFT-GIT daripada uji T-SPOTTB (84,7% vs 52,2%).
Hal ini mungkin mencerminkan kesulitan dalam mengintegrasikan uji berbasis ELISPOT,
seperti T-SPOTTB., ke laboratorium diagnostik rutin.
Metode Baru untuk Diagnosis Tuberkulosis
Sebuah akum terinci pada saat pengembangan uji diagnostik TB terbaru merupakan
diluar lingkup ulasan ini, tetapi dapat ditemukan dalam laporan UNITAID baru-baru ini.
Table, Tambahan Digital Content 1, http: //link.lww.com/INF/C183 memberikan gambaran
tentang tes yang ada untuk TB, tes yang sedang dalam pengembangan untuk penggunaan
komersial, dan metode diagnostik yang saat ini hanya tersedia dalam setingan penelitian.
Persyaratan untuk alat diagnostik baru untuk TB dan jalur perkembangan dari tahap proofofprinsip untuk di adopsi dalam pengaturan klinis dan dalam program kesehatan masy arakat
yang telahdiuraikan ditempat lain.
Statens Serum Institut (SSI) di Denmark saat ini sedang mengembangkan tes kulit
baru, tes C-Tb , yang didasarkan pada rekombinan ESAT-6 dan CFP-10 dan karena itu
mungkin untuk mencapai spesifisitas lebih besar dari TST. Sebuah fase I percobaan (TESEC01) menunjukkan bahwa tes ini ditoleransi dengan data efek samping yang jarang. Pada
temuan percobaan tahap I dosis (orang dewasa dengan dikonfirmasi dan kemungkinan TB
aktif; n = 38) dan uji coba fase II (sehat, dewasa yang divaksinasi BCG; n = 151)
menyarankan bahwa tes C-Tb memiliki Spesifisitas yang lebih besar (> 95%) daripada TST,
tetapi sensitivitas terbatas pada TB aktif (17/24 individu diuji dengan dosis 0,1 mg C-Tb
positif pada 5 mm indurasi cut-off;. 71%). Hasil penelitian dari (TESEC- 04), termasuk 251
peserta dari 100 peserta yang HIV dengan koinfeksi, akan segera tersedia kedepannya
(komunikasi pribadi; Dr Sren Tetens Hoff, SSI). Penelitian lebih lanjut (TESEC- 05 / -06 /
-07) pada lebih dari 3000 peserta (termasuk 722 anak-anak) dapat menyimpulkan baru-baru
ini (komunikasi pribadi; STH). Hasil awal menunjukkan bahwa tes C-Tb akan memiliki
spesifisitas lebih besar dari TST, tetapi akan memiliki masalah yang sama dalam kaitannya
dengan subjektivitas hasil tes dari membaca dan interpretasi. Namun demikian, keuntungan
utama dari tes C-Tb adalah bahwa hal itu dapat dilakukan di tingkat perawatan / komunitas
primer tanpa perlu infrastruktur laboratorium, bahwa kesehatan profesional yang akrab
dengan metode uji ini (karena identik dengan TST), dan bahwa biaya diantisipasi lebih
rendah daripada pengujian berbasis IGRA.
Para produsen dari QFT-GIT assay (Cellestis / Qiagen) baru-baru ini telah merilis tes
generasi keempat, yang disebut Quantiferon-TB Emas Plus, di beberapa negara Eropa, akan
dirilis di negara-negara lain yang direncanakan pada pertengahan tahun 2015. Pada Maret
2015, persetujuan tes tersebut oleh FDA masih tertunda. Pengujian terdiri dari 4 tabung (2
tabung antigen-stimulasi, 1 positif dan 1 tabung kontrol negatif). Berdasarkan paket yang

dimasukan, tabung antigen-stimulasi hanya berisi ESAT-6 dan CFP-10, sedangkan TB 7.7yang merupakan bagian dari versi uji saat ini telah dihapus. Produsen mengklaim bahwa
kinerja dari tabung antigen-stimulasi pertama akan mirip dengan alat tes yang ada, sedangkan
tabung kedua akan menentukan "respon sel CD8 + T," dengan tujuan meningkatkan
sensitivitas uji pada pasien dengan TB aktif. Saat ini, tidak ada publikasi penelitian yang
sama pada tes baru ini. Data yang termasuk dalam paket menunjukkan bahwa peningkatan
sensitivitas uji yang dihasilkan dari tabung antigen-stimulasi kedua akan beda tipis; dalam
studi evaluasi, termasuk 174 orang dengan hasil kultur TB dikonfirmasi, peningkatan secara
keseluruhan dari uji sensitivitas (dibandingkan dengan penggunaan tabung pertama saja)
yang dihasilkan dari masuknya tabung kedua hanya 1,7%. Paket tabung yang dimasukan dan
presentasi produk menunjukkan bahwa uji tersebut belum tervalidasi pada anak-anak. Sebuah
tantangan tambahan dalam penggunaan tes tersebut dalam penggunaannya pada anak bahwa
uji tersebut membutuhkan volume darah yang lebih besar (4 mL, sebagai ganti dari 3 mL
untuk QFT-GIT).
Secara komersial saat ini tersedia untuk uji antibodi-TB (serologi) memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi, oleh karena itu WHO menyarankan membatasi
penggunaanya use. Khususnya, WHO telah mendorong pengembangan tes antibody yang
lebih kuat, dan menjanjikan uji multiplexing baru yang sedang dalam pengembangan.
Penelitian terbaru menggunakan berbagai metode aliran cytometric untuk deteksi M.
TBCSel T specific juga telah menunjukkan hasil yang cukup. Data dari 1 penelitian pada
orang dewasa menunjukkan bahwa analisis sel T yang multifungsi (yaitu, sel T memproduksi
lebih dari 1 sitokin) memungkinkan adanya perbedaan antara infeksi TB laten dan TB aktif
berdasarkan tes darah itu sendiri. Sebuah studi yang lebih baru pada anak-anak yang
menyoroti diagnostik pada potensi analisis T aktivasi sel sebagai marker (berdasarkan CD27).
Namun, data yang ada untuk kedua tes saat ini terbatas, dan penjelasam dari metode ini
dalam segi diagnostik rutin dalam waktu dekat muncul memberikan permasalahan baru
mengingat biaya dan kompleksitasnya. Sebaliknya, tes berdasarkan pada deteksi respon
sitokin dalam supernatan setelah stimulasi dengan M. Tuberkulosis antigen spesifik (yaitu,
berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti IGRA) lebih mungkin untuk dijelaskan ke
dalam segi diagnostik rutin, karena hal ini dapat dicapai dengan metode yang lebih sederhana
dan lebih kuat. Sejumlah penelitian kecil menyediakan data yang menjanjikan menunjukkan
bahwa tes ini juga dapat memungkinkan menilai perbedaan antara infeksi laten TB dan TB
aktif.
Sebuah publikasi tingkat tinggi baru-baru ini menyoroti potensi penggunaan ekspresi
RNA untuk diagnosis TB. Peneliti mengidentifikasi tanda 51-transkrip dapat mencapai
sensitivitas 83% dan spesifisitas 84%. Namun, pendekatan ini saat ini membutuhkan
teknologi yang kompleks dan keadaan tidak pasti apakah metode ini dapat dibuat mudah
untuk digunakan dalam pengaturan diagnostik rutin.
Tes berdasarkan pada deteksi lipoarabinomannan (LAM) dalam sputum atau urin
telah dievaluasi secara ekstensif dalam beberapa penelitian. Baru-baru ini uji komersial,
dalam menentukan TB menggunakan antigen LAM (Alere, Waltham, MA), telah tersedia. Tes
urine LAM pada umumnya memiliki sensitivitas yang cukup (50-60%) untuk digunakan
sebagai tes dan tidak dapat digunakan, tapi sedikit lebih baik pada pasien yang terinfeksi HIV
dengan sel DS4 yang rendah. Sebuah uji berbasis adenosine deaminase hanya dapat

digunakan untuk diagnosis dari bentuk-bentuk tertentu dari TB ekstra paru (meningitis TB,
pleuritis, perikarditis dan ascites), dan telah terbukti memiliki sensitivitas yang terbatas
(biasanya 50-70%).
Deteksi terbaru dari karakteristik senyawa organik yang mudah menguap pada setiap
napas pasien dengan TB paru telah membuka kemungkinan yang menjanjikan terbaru.
Merode ini tidak invasif yang membuat uji ini menarik, tetapi kemungkinan mengenai
metode ini akan membutuhkan instrumen yang relatif mahal dan berdampak buruk pada
individu dengan penyakit paucibacillary (termasuk sebagian besar anak-anak). Kemudian, Uji
Senyawa organik yang mudah menguap tidak akan memiliki kemampuan untuk mendeteksi
TB ekstra paru.

Panduan untuk Penelitian Masa Depan


Ulasan ini menyoroti bahwa meskipun kemajuan yang cukup besar dalam beberapa
tahun terakhir, pencarian untuk uji diagnostik TB dengan dengan karakteristik kinerja yang
lebih baik harus dilakukan terus menerus. Adapun tes diagnostik memiliki sensitivitas
suboptimal, dan umumnya tidak baik dilakukan pada anak-anak dibandingkan dengan orang
dewasa. Uji baru harus bertujuan untuk mencapai sensitivitas yang tinggi, dan idealnya
sampel seperti, darah atau urine, sampel ini dapat diperoleh secara mudah pada anak-anak.
Untuk bisa digunakan dalam uji diagnostik di mana TB anak masih meningkat, uji tersebut
idealnya harus uji yang mudah serta ringkas, tanpa perlu untuk infrastructure laboratorium.
Selanjutnya, uji tersebut diinginkan dapat membedakan antara infeksi TB laten dan TB aktif,
karena hal ini akan membantu untuk memandu dalam penangannya. Uji diagnostik di masa
depan untuk infeksi TB laten juga harus memiliki nilai prediktif yang lebih baik dalam
perubahan menjadi TB aktif, mengingat bahwa nilai-nilai prediksi dari kedua TST dan IGRA
relatif rendah. Sebagai uji baru yang dikembangkan, sangat penting bahwa karakteristik
kinerja dari uji tersebut ditentukan dalam penelitian yang cukup besar pada anak-anak,
mengingat fakta bahwa setiap uji hampir secara umum berdampak buruk pada anak. Pada
khirnya, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan mengenai pendekatan
diagnostik, khususnya penggunaan Xpert MTB / RIF assay dalam pengaturan klinis rutin,
serta dampaknya pada perawatan pasien dan hasil akhirnya.

Anda mungkin juga menyukai