Anda di halaman 1dari 9

Strategi Konservasi di Desa Curahsawo, Kabupaten Probolinggo

Sasanti Sih Subekti


Abstract
Tujuan penelitian ini adalah merumuskan rancangan strategi
pemberdayaan masyarakat hutan mangrove berdasar pada strategi
konservasi. Ditinjau dari kondisi tahapan tingkat keberdayaan masyarakat
yang diketahui berada di level 2 (dua) dengan penilaian tahapan afektif
dan kognitif masih tergolong rendah, tahapan psikomotorik masih
setengah terampil (semiskilled) dan tahapan konatif bersedia ikut serta,
maka upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tingkat
keberdayaan tersebut pada dasarnya meliputi 3 (tiga) strategi utama
yakni pemberdayaan masyarakat (community empowerment), perluasan
kesempatan (promoting opportunity) dan pengembangan perlindungan
social (enhancing social security).. Berdasarkan ranking alternatif strategi
yang didapatkan melalui analisis SWOT, diketahui strategi yang paling
efektif ialah Weakness Opportunities (WO). Berdasarkan kondisi tahapan
tingkat keberdayaan masyarakat beserta model treatment untuk
meningkatkan tingkat keberdayaan tersebut, upaya merumuskan strategi
pemberdayaan masyarakat berbasis konservasi dapat dikembangkan
melalui 3 (tiga) prinsip, yaitu mengamankan (save it), untuk
mengembangkan prinsip ini dapat direncanakan dengan program
penguatan kelembagaan, dan program pengentasan kemiskinan,
mempelajari (study it), dalam mengembangkan prinsip ini, rancangan
strategi pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui program
penyediaan pelayanan sosial dasar terutama pendidikan dan kesehatan,
termasuk ketrampilan teknis dan manajerial usaha, memanfaatkan (use
it), dalam mengembangkan prinsip ini, dapat dilakukan melalui program
peningkatan keswadayaan masyarakat, pengembangan penciptaan
lapangan kerja produktif dan pengembangan sistem advokasi khusus di
bidang supremasi hukum, HAM dan demokratisasi. Peningkatan kualitas
SDM menjadi prioritas utama karena kualitas SDM (termasuk dalam peran
kelembagaan desa) masih menjadi faktor kelemahan (weakness) yang
dominan yang ada dalam merumuskan strategi pemberdayaan
masyarakat, sehingga faktor ini perlu dibenahi dan ditingkatkan melalui
program-program yang telah dicanangkan. Kualitas SDM yang baik
diharapkan dapat meningkatkan kualitas produksi hasil SDA (mangrove)
secara imbang lestari, mengingat adanya faktor-faktor peluang
(opportunities) yang potensial di Desa Curahsawo yakni adanya potensi
sumberdaya alam yang mendukung (kondisi ekosistem mangrove yang
sehat) dengan didukung semakin berkembangnya penelitian tentang
mangrove dan manfaatnya bagi manusia.
Kata Kunci: hutan mangrove, strategi konservasi, strategi pemberdayaan
masyarakat
Refbacks

There

Partisipasi Masyarakat dalam Melestarikan Hutan Mangrove di Kota


Probolinggo
Oleh : Herrukmi Septa Rinawati*) >> Balitbang Jatim
Hutan mangrove adalah hutan tropis yang hidup dan tumbuh di sepanjang
pantai berlumpur atau lempung atau gambut atau berpasir dan selalu
digenangi oleh air laut secara berkala dan mempunyai zona vegetasi yang
sesuai dengan tempat tumbuhnya. Hutan mangrove terdapat di
sepanjang pantai di daerah teluk dangkal, muara sungai, delta, bagian
terlindung dari anjung dan selat. Peranan hutan mangrove sangat penting
karena merupakan suatu ekosistem yang memiliki multifungsi yang
penting bagi kehidupan (Baehaqi, A dan Indrawan, 1993).
Di era pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi
wilayah, pesisir pantai mempunyai posisi yang sangat penting. Pusatpusat industri, lokasi rekreasi, pembangkit tenaga listrik, pemukiman dan
sarana pembangunan banyak dibangun di wilayah pesisir. Dalam
mendayagunaan wilayah pesisir untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, bisa menimbulkan dampak negatif bila dalam
pelaksanaannya tidak dilakukan secara hati-hati dan terkoordinasi.
Kecenderungan makin meningkatnya pemanfaatan kawasan mangrove di
beberapa daerah telah menimbulkan akibat terganggunya ekosistem
hutan mangrove sehingga tidak mampu berperan sesuai dengan
fungsinya.
Perkembangan penduduk di wilayah pesisir berdampak pada
terganggunya kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan data, sejak tahun
1986 ;ndash; 1990 luas hutan mangrove berkurang menjadi tinggal 60
persen (Rusila Noor dalam Rahmawati, 2003). Berarti dalam kurun waktu
tersebut laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia adalah 10 persen
per tahun. Khusus di wilayah Kota Probolinggo, luas hutan mangrove
diperkirakan 585 hektar dengan laju kerusakan sebesar empat persen.
Dalam memanfaatkan hutan mangrove di Kota Probolinggo, telah terjadi
benturan kepentingan antara Pemerintah Kota Probolinggo dengan petani,
petambak ikan dan udang tradisional dan pengusaha (industri kayu dan
petambak besar). Karena pihak-pihak tesebut memiliki kepentingan yang
berbeda terhadap hutan mangrove.
Penyebab Kerusakan
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem
hutan mangrove di Indonesia antara lain perkembangan penduduk yang
menyebabkan meningkatnya pemanfaatan hutan mangrove menjadi
lahan untuk pemukiman, pertanian, pertambakan dan industri. Menurut
Rahmawati (2003), berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa dalam
dua dekade terakhir ini, konversi hutan mangrove di Indonesia paling
banyak untuk tambak udang.
Pada umumnya kerusakan hutan mangrove di Kota Probolinggo tidak
berbeda jauh dengan kerusakan hutan mangrove di daerah lainnya di
Indonesia. Adapun kerusakan hutan mangrove di pesisir Kota Probolinggo
disebabkan antara lain karena adanya penebangan liar oleh masyarakat
sekitar baik untuk kayu bakar, arang maupun dengan tujuan
komersial/diperdagangkan sebagai bahan bangunan; perubahan lahan

dari hutan mangrove menjadi tambak atau lahan pertanian/sawah, juga


untuk proyek pembangunan antara lain normalisasi sungai di Sukabaru,
kelurahan Sukabumi dan pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
di kelurahan Mayangan.
Kebiasaan dan adat istiadat masyarakat sekitar juga turut andil dalam
kerusakan hutan mangrove, di antaranya yaitu menjala ikan yang
menyebabkan bibit/benih mangrove tersangkut dan tercabut sewaktu jala
diangkat dari air. Selain itu orang yang menjala ikan secara tidak sengaja
dapat menginjak tanaman mangrove yang masih kecil. Kebiasaan lain
yaitu menyundu udang dengan alat sundu yang dapat mencabut/merusak
tanaman mangrove yang masih kecil. Kegiatan mencari kepiting pada
siang hari dengan membangun lubang kepiting juga tidak jarang dapat
merusak tanaman mangrove.
Ini makin diperparah oleh pencarian cacing laut untuk makanan ikan hias.
Biasanya masyarakat pencari cacing terlebih dahulu menebang/merusak
pohon mangrove. Kebiasaan para nelayan mendaratkan perahu-perahu di
sekitar tanaman mangrove serta jalan masuk atau keluar yang dibuat
untuk jalan perahu dapat merusak tanaman,
Selain itu dampak kerusakan juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain
yaitu hama yang sering menyerang tanaman mangrove dan dikenal
sebagai scale insect atau kutu loncat (mealy bug). Ciri-ciri serangan
hama ini daun menjadi kuning dan kemudian menjadi rontok dan mati.
Selain itu tanaman mangrove yang masih muda di daerah pertambakan
atau bekas tambak biasanya sering dirusak ketam/kepiting dengan cara
menggigit batang mangrove yang masih muda secara melingkar sehingga
suplai makanan terputus, akibatnya lama kelamaan mati.
Akibat Rusaknya Hutan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove dapat mengakibatkan terganggunya fungsifungsi hutan mangrove, baik fungsi bioekologis maupun terganggunya
fungsi bioekologis menyebabkan hutan mangrove tidak mampu lagi
menyediakan jazat renik yang merupakan sumber makanan bagi ikan dan
binatang laut lainnya. Hutan mangrove yang rusak juga menyebabkan
berbagai jenis burung dan binatang laut lainnya tidak dapat lagi membuat
sarang untuk bertelur dan berkembangbiak.
Rusaknya hutan mangrove juga menyebabkan terganggunya fungsi
konservasi, diantaranya yaitu sebagai pelindung pantai dari terjangan
gelombang, badai, banjir dan abrasi, juga tidak dapat lagi dijadikan
penghambat terhadap intrusi air laut, serta tidak lagi berfungsi sebagai
perangkap dan pelokalisir sedimen.
Degradasi hutan mangrove yang berkelanjutan akan mengganggu
ekosistem yang ada di sekitarnya dan secara perlahan akan
menghilangkan fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai penghambat
intrusi air laut, perlindungan pantai dari bahaya abrasi, nursery ground ,
perlindungan dan pertumbuhan biota di air maupun biota bukan di air.
Hilangnya fungsi hutan mangrove ini berarti lenyapnya mata rantai
berbagai kehidupan yang tidak ternilai harganya, baik untuk kepentingan
pemerintah maupun masyarakat pantai khususnya (Arifin, S dan
Manyurdin, 2000).
Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat adalah upaya yang dilakukan masyarakat terutama


di kawasan sekitar hutan mangrove untuk ikut mengelola sekaligus
mempertahankan ekosistem hutan mangrove secara terus menerus
dengan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan hidup.
Partisipasi masyarakat tidak hanya menyumbang tenaga, tetapi harus
diartikan lebih luas, yaitu harus menyangkut dari taraf perencanaan,
pelaksanaan dan pemanfaatan (Mubyarto dan Sartono,1988).
Dalam pengelolaan hutan mangrove di Kota Probolinggo, masyarakat
telah berperan serta dalam menyusun proses perencanaan dan
pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Dengan pola pengelolaan
berbasis masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul
dari masyarakat (bottom up). Dalam pengelolaan ini dikembangkan
metode-metode sosial budaya masyarakat setempat yang bersahabat
dengan lingkungan ekosistem hutan mangrove dalam bentuk pertemuan
secara berkala oleh, dari dan untuk masyarakat yang diisi dengan
penyuluhan, penerangan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat
dalam berperan serta mengelola hutan mangrove.
Pola pendekatan dilakukan dengan dua cara yaitu Program Perencanaan
Partisipasi Pembangunan masyarakat sebagai salah satu upaya
perencanaan berdasarkan rumusan yang dikembangkan dengan
melibatkan masyarakat dan pendekatan PRA (Participatory Rural
Appraisal). Pola pendekatan PRA ditujukan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan khususnya yang terkait
dengan ekosistem hutan mangrove. Dalam kaitan ini, penggalian akar
budaya/aturan setempat menjadi salah satu fokus utama kegiatan yang
perlu diprioritaskan.
Metode PRA diterapkan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat desa
memiliki kemampuan (potensi) dalam mendeskripsikan kehidupan mereka
sendiri. Metode ini memungkinkan masyarakat setempat menganalisis
pengetahuan mereka tentang kehidupan mereka sendiri untuk membuat
suatu rencana atau implikasinya (Chamber di dalam Laksono, dkk. 2001).
Keterlibatan Kelompok Peduli Hutan Mangrove dan beberapa LSM
(Lembaga Sosial Masyarakat) peduli lingkungan hidup (LSM Wahana, Bumi
Songgo Langit, dll) pada dasarnya merupakan babak baru dari peran serta
masyarakat yang sebelumnya hanya diwarnai oleh pelaku utama yaitu
Pemerintah Daerah. Namun seiring dengan era demokratisasi dan
keinginan menuju masyarakat madani, maka peran Pemerintah Daerah
lebih sebagai fasilitator, regulator dan stimulator. Banyak kegiatan yang
pada masa lalu dilakukan oleh Pemdah telah diambil alih oleh LSM,
masyarakat dan kalangan swasta. Bahkan masyarakat swasta yang
tergabung dalam IMF (Informal Meeting Forum) yang anggotanya terdiri
dari 12 perusahaan besar yang ada di Kota Probolinggo telah berkembang
dengan ikut sertanya tokoh masyarakat yang peduli linkungan hidup.
Peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dapat terlihat
dari tingkat keterlibatannya, misalnya di sekolah di wilayah pantai.
Masyarakat sekolah yang terdiri dari guru dan murid dalam kegiatan
pelestarian hutan mangrove sangat membantu keberhasilan program
yang akan dilaksanakan. Dimulai dengan diadakannya pertemuan antara
guru-guru dengan Pemda, dengan tujuan untuk memberikan dan

meningkatkan pemahaman dan wawasan guru terhadap lingkungan


hidup. Melalui pertemuan ini diharapkan adanya masukan dari para guru
untuk membuat program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah yang
nantinya diharapkan timbul adanya pemahaman dini bagi anak-anak
sekolah terhadap lingkungan pada umumnya dan hutan mangrove pada
khususnya.
Peran masyarakat sangat penting mengingat keberhasilan
program/kegiatan ini akan sangat bergantung pada kerjasama yang
diberikan masyarakat. Untuk itu diadakan pertemuan dan diskusi antar
anggota masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove. Dalam
pertemuan, masyarakat sendirilah yang membahas dan
memusyawarahkan tentang kondisi hutan mangrove. Melalui pertemuan
dan diskusi ini masyarakat mengidentifikasi dan menginventarisir semua
masalah lingkungan pantai yang terjadi dan akibat yang telah
ditimbulkan.
Disamping itu juga muncul ide-ide dan alternatif pemecahan masalah
yang datang dari masyarakat sendiri. Pemerintah dapat berlaku sebagai
fasilitator untuk memberikan arahan damn membantu program dan ideide yang telah disepakati oleh masyarakat dan nantinya diharapkan akan
timbul kesadaran masyarakat tentang arti penting hutan mangrove bagi
manusia dan kehidupan makhluk kainnya.
Kebijakan Pemkot Probolinggo
Menurut Rahmawati, dkk (2003), selama ini pemanfaatan hutan mangrove
mengarah ke eksplotasi yang berlebihan, bahkan tak terkendali. Di
beberapa kawasan di Indonesia, keseimbangan hutan mangrove dan
linkungan sekitarnya mulai terganggu. Padahal berbagai peraturan
pemerintah telah dikeluarkan, diantaranya yaitu : UU No.5 tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No.5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan, UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No.23
tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.9 tahun 1985
tentang Perikanan, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No.51 tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dan PP No. 28 tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan.
Upaya-upaya melestarikan hutan mangrove juga telah dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota Probolinggo, yaitu dengan penyusunan dan penegakan
hukum melalui Peraturan Daerah No. 19 tahun 1992 tentang Penetapan
Kawasan Lindung. Untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove yang
rusak, Pemkot Probolinggo melakukan langkah-langkah pembinaan dan
penyuluhan. Kegiatan ini merupakan upaya peningkatan kesadaran
kepada masyarakat sekitar kawasan pantai akan pentingnya pelestarian
kawasan hutan mangrove. Ini sangat penting, mengingat kerusakan hutan
mangrove paling parah disebabkan oleh perilaku manusia. Unsur
masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pembinaan dan penyuluhan
terdiri atas petani tambak, nelayan, pencari kayu bakar, petani sawah,
tokoh masyarakat dan unsure-unsur lainnya.
Untuk mengintensifkan hasil pembinaan termasuk tindak lanjutnya pada
aspek penanaman, pemeliharaan, pengawasan dan pengamanan hutan
mangrove, pada tiap kelurahan dibentuk kelompok-kelompok yang

disebut Kelompok Peduli Hutan Mangrove . Selain itu juga diadakan


rehabilitasi/penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak dan
sekaligus mengantisipasi kerusakan di masa mendatang dngan jarak
tanam yang sebelumnya 1 x 1 m menjadi 2 x 2 m guna memberi ruang
untuk menjala ikan, menyundu udang, mencari kepiting dan menambat
perahu.
Upaya pelestarian hutan mangrove yang telah dilakukan baik oleh
pemerintah, LSM, ataupun pihak lain selama ini kurang behasil sesuai
dengan yang diharapkan. Hal ini karena kurangnya melibatkan
masyarakat pantai dalam pengelolaan mangrove. Untuk itu agar
pengelolaan mangrove dapat berhasil, strategi yang harus dikembangkan
adalah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Community Based
Management) yaitu keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola
sumber daya alam. Masyarakat ikut memikir, memformulasi, merencana,
mengimplementasi, memonitor, dan mengevaluasi kegiatan yarg telah
dilaksanakan. Melalui pendekatan ini masyarakat merasa lebih
diberdayakan dan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove akan meningkat.
Kegiatan yang mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara
lingkungan sendiri dilakukan sebagai pendukung dari pengembangan
program yang dilaksanakan. Hal ini diperlukan karena kegiatan ini
menyangkut jaminan akses ke sumberdaya, hak untuk berperanserta
dalam pengambilan keputusan dan hak atas pendidikan dan pelatihan
yang memungkinkan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan mereka
secara berkelanjutan disamping memelihara kelestarian lingkungan.
Berbagai kegiatan telah dilaksanakan untuk mendukung kreativitas
masyarakat dalam memelihara lingkungan, diantaranya adalah
menyediakan akses yang terjamin ke sumberdaya bagi kelompok dan
perorangan serta pembagian yang adil dalam pengelolaannya. Untuk itu
diperlukan hak yang sah atas kegiatan yang mereka lakukan, seperti
misalnya petani memiliki hak atas lahan yang digarapnya dalam jangka
waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengelola sumberdaya
lahan tersebut dalam jangka waktu yang lama. Sumberdaya yang dipakai
bersama perlu dikelola berdasarkan kesepakatan di antara semua pihak
yang berkepentingan.
Kreativitas masyarakat juga dapat ditingkatkan melalui pertukaran
informasi, keahlian dan teknologi. Informasi diperlukan masyarakat untuk
mengembangkan wawasan lingkungan yang berguna dalam pengelolaan
sumberdaya yang mereka miliki. Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam konservasi dan pembangunan juga dapat meningkatkan kreativitas.
Pemerintah setempat, masyarakat, kalangan dunia usaha dan kelompokkelompok lain yang berkepentingan harus membantu menyusun rencana
pembangunan yang akan dijalankan. Mereka menjadi mitra dalam
penentuan kebijakan, program dan proyek yang berkaitan dengan mereka
sendiri. Pemerintah harus menjamin bahwa semua kelompok dapat
mengekspresikan dan mempertahankan kepentingan masing-masing.
Penyediaan dana dapat dilakukan oleh LSM, perusahaan yang berada di
lingkungan tempat tinggal melalui program CSR (Coorporate Social
Responsibility), dan lembaga pelestarian lingungan hidup. Perangkat

ekonomi dan pajak, subsidi dan jasa produksi dapat merangsang


perbaikan lingkungan, insentif ekonomi dapat memberikan motivasi
kepada masyarakat untuk menggunakan sumber daya alam secara
berkelanjutan dan menjamin bahwa mereka memperoleh imbalan yang
layak.
Penyebarluasan model pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis
masyarakat dikembangkan agar masyarakat secara mandiri dapat
mengelola lingkungan hidup, sehingga sumberdaya yang ada dapat
terjaga keseimbangannya. Pengelolaan lingkungan yang berbasis
masyarakat akan menciptakan suatu sistem masyarakat yang secara
mandiri dapat memanfaatkan sumberdaya alam tanpa mengabaikan
kepentingan kesinambungan sumberdaya alam itu sendiri. Dengan
demikian dapat membentuk suatu pola interaksi antara masyarakat
dengan lingkungan hidupnya secara simbiosis mutualis dalam jangka
waktu panjang.

PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
manusia,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara ekologis berfungsi
sebagai
lindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun sebagai
habitat berbagai
fauna, diantaranya sebagai pelindung abrasi/erosi; gelombang; angin
kencang,
sebagai tempat mencari makan; memijah; berkembang biak berbagai
jenis ikan dan
udang, pengendali intrusi laut, sebagai pengontrol penyakit malaria,
menjaga kualtas
air (mereduksi poutan pencemar air), serta sebagai penyerap CO2 dan
penghasil O2
yang relatif tinggi dibanding tipe hutan yang lain.
Hutan mangrove juga memberikan manfaat ekonomis antara lain sebagai
penyedia berbagai hasil hutan kayu dan non kayu, serta jasa ekowisata.
Manfaat manfaat ekologis hutan mangrove yang seringkali tidak disadari oleh
manusia karena
tidak dapat dirasakan langsung, pada kenyataannya menjadi
dikesampingkan dan
manusia hanya fokus pada manfaat ekonomisnya. Hutan mangrove
dieksploitasi
secara berlebihan untuk memperoleh hasil hutan kayu dan non kayu serta
dialihfungsikan/dikonversi untuk berbagai kepentingan seperti
perkebunan,
pemukiman, pertambangan, dan lain - lain.

kendala

Adanya perubahan sosial pada masyarakat nelayan yang sebagian besar


bersentuhan langsung dengan Ekosistem Mangrove dalam teknologi modern
yang tidak ramah lingkungan mulai mengikis nilai nilai dan norma yang sudah
lama berkembang di masyarakat sehingga lambat laun kearifan lokal masyarakat
akan hilang karena penggunaan teknologi modern dalam pengelolaan sumber
daya pesisir dan laut memberikan keuntungan secara ekonomis dalam jangka
waktu yang relative cepat tetapi menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu
yang sangat lama. Dengan kekhawatiran itu, perlu menjaga tradisi atau budaya
budaya yang ada pad masyarakat, maupun kelompok kelompok kecil dan
penguatan kelembagaan dirasa perlu untuk pengawasan Sumberdaya pesisir
dan laut yang ada. Penguatan kelembagaan yang dimaksud adalah dengan
transfer pengetahuan akan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ada,
sehingga akan jauh dari kepunahan.

Kathiresan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hutan mangrove mempunyai sifat fisik dan
kimia khusus baik salinitas, arus pasang surut, angin, temperatur tinggi dan tanah berlumpur.

Menurut Bengen (2000) secara umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan
sebagai berikut
Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau
berpasir, Daerahnya tergenangi air laut secara berkala baik setiap hari maupun hanya
tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensei genangan menentukan komposisi vegetasi
hutan mangrove Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, Terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air bersalinitas payau (2 22 ) hingga
asin (38 ).

Menurut English, et. al (1993) beberapa faktor lingkungan mempengaruhi diversitas dan
produktifitas ekosistem hutan mangrove, yaitu iklim, geomorfologi, besarnya pasang surut,
input air tawar dan karakteristik tanah.
Menurut Aksornkoae (1993), baik struktur maupun fungsi dari ekosistem hutan mangrove
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebagai berikut : (a) Fisiografi pantai, (b)
Curah hujan, (c) Pasang Surut, (d) Ombak dan gelombang (e) Salinitas, (f) Oksigen terlarut,
(g) tanah, (h) Nutrien.

Input penting dalam produktivitas hutan mangrove adalah air (terutama keseim-bangan antara
air tawar dan air asin), substrat dan nutrien (baik yang ada di substrat maupun di dalam air.
Salah satu sumber nutrien di ekosistem hutan mangrove berasal dari sedimen yang
terperangkap oleh vegetasi mangrove tersebut. Sedimen yang berasal dari darat dan
mengandung banyak nutrien dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh arus pasang surut
sedimen tersebut dibawa kembali ke pantai dan ditangkap kemudian diendapkan di dasar
vegetasi mangrove (Kamaruzzaman et al., 2001).

Anda mungkin juga menyukai