Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

BCB + SMK + BBLN + OP DEBRIDEMENT ET ULCUS OCCIPITAL + SEPSIS


NEONATORUM
Pembimbing : dr. I Ketut Adi Wirawan Sp.A

Oleh :
Nur Istianah (H1A012042)
Rizka Naniek Natsir (H1A012051)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi neonatal menunjukkan ciri khas yang tidak ditemukan pada usia kehidupan
yang lain. Sepsis neonatorum adalah infeksi sistemik oleh sebab masuknya kuman ke dalam
tubuh disertai manifestasi klinis yang terjadi pada neonatus. Neonatus, terutama bayi kurang
bulan mempunyai pertahanan fisik yang lemah dan fungsi imunitas yang imatur, sehingga
menyebabkan rentan terhadap invasi bakteri (yang secara normal hanya merupakan bakteri
komensal).Sepsis neonatorum merupakan salah satu penyebab tersering pada neonatus untuk
dirawat di rumah sakit dan kematian neonatus baik di negara berkembang maupun negara
maju. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai
13-27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500 gram. Angka kematian 1350%, terutama pada bayi prematur (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan)
danneonatus dengan penyakit berat dini. Diperkirakan lebih dari 20% neonatus menderita
sepsis yang menyokong 30-50% dari total kematian di negara berkembang. Angka kematian
neonatus di Asia Tenggara dilaporkan 39 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis dapat disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri Gram positif maupun negatif, virus,
parasit dan jamur. Sepsis neonatorum dapat dibedakan atas sepsis neonatorum awitan dini
pada neonatus berusia <72 jam, dan awitan lambat pada neonatus berusia >72 jam.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis Neonatorum
Definisi
Sepsis Neonatorum adalah sindrom klinis yang timbul akibat invasi mikroorganisme
ke dalam aliran darah yang timbul pada 1 bulan pertama kehidupan.1
Klasifikasi
Sepsis neonatorum dibedakan menjadi:
1. sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) : Terjadi pada usia 72 jam
2. sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) : Terjadi pada usia > 72 jam
SNAD biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari ibu, baik dalam
masa kehamilan maupun selama proses persalinan.
SNAL Dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat selama proses persalinan
tetapi manisfestasinya lambat ( setelah 3 hari) atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang
dirawat di rumah sakit ( infeksi nosokomial ). Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih
berat, dan cenderung menjadi fulminan yang dapat berakhir dengan kematian.1,2
Epidemiologi
Angka kejadian di Asia Tenggara berkisar 2,4 -16 per 1000 kelahiran hidup, di
Amerika Serikat 1 8 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM (th. 2003) sebesar 56,1 per 1000 kelahiran
hidup.Angka kejadian meningitis neonatorum yang merupakan komplikasi serius dari sepsis
neonatorum, berkisar antara 1 diantara 4 kasus sepsis neonatorum. 2
Etiologi
Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari traktus genitalia maternal. Berbagai
jenis bakteri dapat ditemukan di dalam traktus genitalia maternal, namun hanya beberapa
yang sering menyebabkan infeksi pada neonatus, sedangkan pada ibu tidak menyebabkan
penyakit. Bakteri penyebab SNAL umumnya merupakan bakteri yang berasal dari rumah
sakit

(nosokomial)

seperti

Staphylococcus

coagulase-negatif,

Enterococcus

dan

Staphylococcus aureus. Namun demikian Streptococcus grup B,E.coli

dan Listeria

monocytogenes juga dapat menyebabkan SNAL.1


Patogenesis
Pada dasarnya fetus yang masih terbungkus oleh lapisan amnion cukup terlindung
dari flora bakteri ibu. Cairan amnion mempunyai fungsi menghambat pertumbuhan E.coli
dan bakteri lainnya karena mengandung lisozim, transferin, ataupun imunoglobulin (IgA dan
IgG) yang diduga berfungsi sebagai bakteriostatik. Maka bila terjadi kerusakan lapisan
amnion (baik disengaja atau tidak, misalnya pada prosedur amniosintesis), fetus akan mudah
mendapat infeksi melalui amnionitis. Kesempatan pertama bayi kontak dengan bakteri
kolonisasi adalah pada saat ketuban pecah dilanjutkan saat bayi melalui jalan lahir. Jika oleh
karena sesuatu hal bayi terlalu lama kontak dengan kolonisasi mikroflora pada jalan lahir,
maka bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga kesempatan terjadinya infeksi pada
janin makin besar. Infeksi didaerah vagina merupakan risiko yang penting. Demikian pula
bila ibu mengalami infeksi segera setelah melahirkan dengan suhu > 37,80C, maka sekitar 9,2
38,2% di antara bayi yang dilahirkan akan menderita sepsis neonatorum. Sebagian besar
meningitis neonatorum sebagai akibat dari bakteriemia neonatal, bakteriemia maternal, atau
infeksi transplasental. Pada saat kelahiran, invasi bakteri melalui kulit yang terinfeksi dapat
menjalar melalui jaringan lunak dan sutura kepala, atau melalui trombosis vena akhirnya
terjadi meningitis; akan tetapi jalur terbanyak melalui aliran darah ke pleksus koroideus pada
saat terjadi sepsis.2,3
Bila bakteremia tidak mampu diatasi oleh kekebalan tubuh maka akan terjadi respons
sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/SIRS). SIRS dapat disebabkan oleh
infeksi maupun noninfeksi, dan bila disebabkan oleh infeksi maka SIRS dianggap identik
dengan sepsis. Endotoksin bakteri maupun komponen-komponen dinding sel bakteri yang
dilepaskan ke sirkulasi akan mengaktivasi berbagai sitokin yang berperan sebagai mediator
proinflamasi, sehingga timbul respon fisiologis tubuh yaitu : (1)aktivasi sistem komplemen,
(2)aktivasi sistem koagulasi, (3)sekresi ACTH

dan -endorfin, (4)stimulasi neutrofil

polimorfonuklear dan (5) stimulasi sistem kinin-kalikrein.Akibat aktivasi berbagai sistem


tersebut permeabilitas vaskular akan meningkat, tonus vaskular menurun dan terjadi
ketidakseimbangan perfusi dengan kebutuhan jaringan yang meningkat. 4
Mediator-mediator proinflamasi yang dihasilkan pada keadaan ini akan mencetuskan
lepasnya mediator-mediator antiinflamasi sebagai upaya tubuh untuk menghambat reaksi

inflamasi yang terjadi, sehingga tercapai keseimbangan atau homeostasis (Compensatory


Anti-inflammatory Respons Syndrome/CARS). Bila terdapat dominasi salah satu

reaksi

inflamasi atau antiinflamasi, homeostasis tidak dapat tercapai. Bila reaksi inflamasi lebih
dominan akan terjadi renjatan dan disfungsi organ. Sebaliknya bila reaksi antiinflamasi
berlebihan akan terjadi supresi terhadap sistem imun. Bila keadaan makin berat akan terjadi
renjatan akibat menurunnya perfusi dan transport oksigen ke jaringan dan berakhir dengan
kematian.3,4
Respon Inflamasi terhadap Sepsis
Sepsis

merupakan

respon

inflamasi

sistemik

berat

terhadap

infeksi

yangmengakibatkan suatu spektrum klinis dan penemuan patologis tertentu.Mikroorganisme


penyebab infeksi akan melepaskan toksin mikrobial yang dapatmerangsang suatu complex
cascade untuk menimbulkan respon inflamasi sistemik. Respon inflamasi terhadap bakteri
gram negatif dimulai dengan pelepasanlipopolisakarida (LPS), yaitu suatu endotoksin dari
dinding sel yang dilepas padasaat lisis. Organisme gram positif, jamur, dan virus memulai
respon inflamasidengan melepaskan eksotoksin, super antigen, dan komponen antigen sel.
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yangmeliputi monosit,
makrofag dan netrofil, serta melalui sistem imunitas humoraldengan membentuk antibodi dan
mengaktifkan jalur komplemen. Pengenalanpatogen oleh CD14 (reseptor pada membran
makrofag) dan toll-like receptor (TLR-2 serta TLR-4) di membran monosit dan makrofag
akan memicu pelepasansitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini
menyebabkansel T akan berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2
(Th2). Sel Th1 mensekresi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF),interferon
(IFN-), interleukin 1- (IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12. Sel Th2mensekresi sitokin
antiinflamasi seperti IL-4, IL-10, dan IL-13. Sitokinproinflamasi terutama berperan
menghasilkan sistem imun untuk melawan kumanpenyebab. Sitokin antiinflamasi berperan
penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan
keseimbangan agar fungsi organvital dapat berjalan dengan baik.Sitokin proinflamasi juga
dapat mempengaruhi fungsi organ secaralangsung atau tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide,tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin
dankomplemen). Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel
danselanjutnya menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombisehingga
menyebabkan kerusakan organ. Inflamasi pada sel endotel juga dapat
menyebabkan vasodilatasi otot polos pembuluh darah.4,5

Pengaruh Sepsis terhadap Sistem Hematologi


Akibat respon inflamasi terhadap sepsis, maka perubahan pada sistem hematologi
dapat terjadi, yaitu terdapatnya perubahan baik morfologi maupunjumlah dari eritrosit,
leukosit, maupun trombosit. Perubahan sistem hematologi yang terkait dengan sistem skoring
hematologiadalah perubahan jumlah leukosit, morfologi leukosit, serta jumlah trombosit.3
a. Perubahan jumlah leukosit
Perubahan jumlah seperti peningkatan jumlah atau justru penurunanjumlah leukosit
dapat terjadi pada keadaan infeksi. Jumlah leukosit dapatmeningkat sampai puluhan ribu dan
menyebabkan terjadinya reaksi leukemoidyaitu bila leukosit lebih dari 50.000/mm3.
Peningkatan cepat ini dipacu olehadanya infeksi yang menyebabkan pelepasan leukosit
khususnya neutrofil darisumsum tulang dan juga karena kontrol granulosit-macrophage
colonystimulating factor (GCSF) yang dikeluarkan oleh limfosit dan monosit pada saat
terjadi infeksi.5
Jumlah leukosit akan meningkat melebihi nilai normal terutama selneutrofil pada infeksi
bakteri. Peningkatan jumlah neutrofil ini disebut jugasebagai neutrofilia. Neutrofilia juga
dapat disebabkan oleh inflammatory boweldisease, rheumatoid arthritis, vaskulitis
(Kawasaki disease), keganasan,pemberian kortikosteroid, dan splenektomi.6
Pelepasan sel neutrofil muda ke dalam sirkulasi juga terjadi pada keadaaninfeksi,
sehingga terjadi peningkatan jumlah neutrofil muda dalam sirkulasi yangmenyebabkan rasio
sel muda dan total neutrofil meningkat, bahkan dapat terjadipeningkatan sel muda neutrofil
secara absolut. Peningkatan jumlah sel muda iniadalah juga akibat adanya penghentian
sementara pematangan sel neutrofil olehmediator TNF sehingga sel muda neutrofil menjadi
banyak.5,,6
Penurunan jumlah leukosit khususnya sel polymorphonuclear (PMN) inidisebabkan
karena peningkatan destruksi sel PMN setelah fagositosis bakteri sertaadanya agregasi PMN
akibat pengaruh komplemen yang menyebabkanperedarannya dalam sirkulasi berkurang.
Cadangan neutrofil neonatus dalamsumsum tulang lebih kecil dibandingkan dewasa sehingga
pada keadaan sepsisakan cepat habis. Sel stem pada neonatus juga tidak mampu
meningkatkanproliferasinya untuk memenuhi kebutuhan neutrofil di sirkulasi akibat dari
sepsis. Penurunan jumlah neutrofil dapat disebabkan oleh stresneonatal ketika proses
persalinan, asfiksia, neutropenia isoimun, neutropeniakongenital, pemberian obat antitiroid,
atau karena inborn error of metabolism.6

b. Perubahan jumlah trombosit


Infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia, yaitu jumlahtrombosit
kurang dari nilai normal. Hubungan erat antara inflamasi dan koagulasiterlihat pada keadaan
sepsis. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi tissuefactor (TF) yang secara langsung
mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik danmelalui lengkung umpan balik secara tidak
langsung juga akan mengaktifkan jalurinstrinsik. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut
saling berkaitan dan sama,yaitu protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah
menjadi fibrin.Akibat konsumsi berlebihan faktor-faktor koagulasi ini maka sepsis
seringmenyebabkan komplikasi yang disebut Disseminated Intravascular Coagulation(DIC).
Trombosit akhirnya dipakai secara berlebihan dalam proses DIC tersebutsehingga
menyebabkan jumlahnya berkurang dalam sirkulasi. Trombositopeniajuga terjadi akibat
proses destruksi yang berlebihan, serta penekanan padasumsum tulang sehingga terjadi
kegagalan produksi trombosit. Trombositopeniaini sering merupakan petanda awal dari
sepsis.3,6
Keadaan

lain

aplastik,mielofibrosis

yang

menyebabkan

(penggantian

unsur-unsur

trombositopenia

adalah

anemia

sumsum

dengan

jaringan

tulang

fibrosa),leukemia akut, dan karsinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsursumsum


tulang normal. Keadaan defisiensi vitamin B12 dan asam folat akanmempengaruhi
terbentuknya megakariosit besar yang hiperlobulus. Agen-agenkemoterapi terutama bersifat
toksik terhadap sumsum tulang akan menekanproduksi trombosit. Segala kondisi yang
menyebabkan splenomegali (lien yangmembesar) dapat disertai dengan trombositopenia,
yaitu meliputi keadaan sepertisirosis hati, limfoma, dan penyakit-penyakit mieloproliferatif.
Trombosit dapatjuga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksi oleh obat, seperti
yangditemukan pada quinidin dan emas atau oleh autoantibodi (antibodi yang
bekerjamelawan jaringan sendiri). Antibodi ini ditemukan pada penyakit-penyakit
sepertilupus eritematosus, leukemia limfositik kronis, dan purpura trombositopeniaidiopatik.7
PerubahanEritrosit pada Sepsis
Sepsis menyebabkan berbagai kelainan pada lini eritrosit, antara laingangguan
deformabilitas, agregasi eritrosit, anemia, serta peningkatan hemoglobinbebas akibat
peningkatan destruksi sel eritrosit. Keempat gangguan ini dapatmenyebabkan gangguan
sirkulasi, yang pada akhirnya akan memperberat disfungsiorgan yang terjadi.Eritrosit
memiliki kemampuan deformabilitas, yaitu kemampuan untukberubah bentuk dan kembali ke
bentuk semula tanpa terjadi ruptur pada situasitertentu. Deformabilitas ini memegang peranan

penting bagi sel darah merah dalammenjalankan fungsinya untuk menghantarkan oksigen
hingga sirkulasimikrovaskular. Kemampuan ini dikarenakan oleh bentuk eritrosit dan
adanyakomponen elastik pada struktur korteks membran eritrosit.24,25 Sel eritrosit
normalyang

matang

berbentuk

lempeng

bikonkaf,

tidak

mengandung

inti

sel,

denganketebalan 2-3 mikrometer (m), dengan diameter 6-8 m, dan volume sel rata-rata90
fL. Struktur korteks membran sel eritrosit mengandung komponen spektrin yangberbentuk
seperti jaring yang memberikan resistensi saat terjadi deformitas eritrosit.Secara skematik,
bentuk dan struktur membran eritrosit dapat dilihat pada gambar5,6 :

Gambaran klinis
Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik dan berhubungan dengan karakteristik
kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman, seperti1,2 :
-

Iregularitas tempratur : hipertermi, hipotermi,

Perubahan prilaku : letargi, iritabel

Perubahan tonus

Kelainan pada kulit : perfusi perifir buruk, sianosis, mottling, pucat, petikie, rash,
ikterus, sklerema

Masalah minum : intoleransi minum

Masalah saluran cerna : muntah, diare, kembung

Masalah kardiopulmoner : takipnea, takikardia, hipotensi, distres pernafasan (sesak,


retraksi, grunting, sianosis sentral)

Masalah metabolik : hipoglikemia, hiperglikemia, metabolik asidosis

Pendekatan klinis
Pendekatan diagnosis dapat dilihat pada algoritme tatalaksana sepsis neonatorum
Faktor risiko sepsis neonatorum

Faktor risiko mayor


Ketuban pecah > 24 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 38 C
Korioamnionitis
Denyut jantung janin menetap > 160x/menit
Ketuban berbau
Faktor risiko minor
Ketuban pecah > 12 jam
Ibu demam saat intrapartum suhu > 37,5 C
Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7 )
Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
Usia gestasi < 37 minggu
Kehamilan ganda
Keputihan yang tidak diobati
Infeksi Saluran Kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan (SEPTIC MARKER)
1

Hitung leukosit (N 5000/uL - 30.000/uL)

Hitung trombosit (N > 150.000/uL)

IT rasio (rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total) : (N < 0,2)

Usia

1 hari

3 hari

7 hari

14 hari 1 bulan

IT Ratio

0,16

0,12

0,12

0,12

CRP ( N 1,0 mg/dL atau 10 mg/L)

Pemeriksaan penunjang lain

0,12

Beberapa tahun terakhir para peneliti banyak mempelajari interleukin-6 sebagai


petanda awal pada sepsis neonatorum. Interleukin-6 adalah sitokin yang diproduksi oleh
berbagai sel dalam tubuh dan berperan dalam respons imunologik terhadap infeksi. Satu
penelitian menunjukkan pada SNAD kadar interleukin-6 meningkat > 100 pg/mL bila
diperiksa pada usia 0-12 jam pertama, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 89%. Namun
demikian teknik pemeriksaan sulit dan perlu biaya tinggi sehingga masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.8
Saat ini telah dikembangkan metode Latex Particle Agglutination (LPA) dan
Countercurrent immunoelectrophoresis(CIE)

untuk pemeriksaan terhadap Streptococcus

grup B dan E. coli. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bila hasil kultur negatif atau
dikhawatirkan negatif karena pemberian antibiotika maternal intrapartum.8
Urine
Urine dikumpulkan secara pungsi buli-buli. Dicurigai adanya infeksi bila :
-

didapatkan > 2 lekosit pada LPK

didapatkan > 1 bakteri pada pemeriksaan dengan oil emersion

Cairan serebrospinal
Diduga adanya meningitis bila terdapat :
-

sel darah putih > 10/mm3

kadar glukosa < 20 mg%

adanya kuman pada pengecatan gram

Foto thorax
Dikerjakan untuk melihat kemungkinan adanya pnemonia
Kultur
Darah, cairan serebrospinal, urine dan feses
Tatalaksana

Pemilihan antibiotika untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab
tersering dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan.
Sebagai initial terapi digunakan cefotaxime, dengan dosis:
-

< 7 hari 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis

> 7 hari 150 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis

Untuk meningitis 200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis

segera setelah didapatkan hasil kultur darah maka jenis antibiotika disesuaikan dengan kuman
penyebab dan pola resistensinya.
Lama pemberian antibiotika :
-

sepsis adalah 10-14 hari

meningitis adalah 21 hari

Untuk infeksi jamur dapat dipakai :


1

Amphotericin B ( Liposomal )
Dosis = 1 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan 1 mg/kg perharinya sampai dengan
maksimal 3mg/kg/hari.
Bila no. 1 sulit didapat, dapat diganti amphotericin B dosis 0,25mg/kg/hari sampai
dengan maksimal 1mg/kg/hari.

Pilihan lain adalah Fluconazole dosis inisial 6mg/kg; lalu 3mg/kg.


Usia < 1 minggu setiap 72 jam
Usia 2 4 minggu = 48 jam
Usia > 4 minggu

= 24 jam

Tatalaksana non-konvensional9
Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena untuk profilaksis maupun terapi SNAD saat ini belum
bdianjurkan untuk diberikan secara rutin. Banyak penelitian mengenai hal ini menggunakan
jumlah sampel yang kecil, dan belum ada sediaan imunoglobulin yang spesifik.Beberapa efek
samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti infeksi, hemolisis dan supresi kekebalan
tubuh pada pemberian imunoglobulin hiperimun. Pada kondisi-kondisi tertentu seperti sepsis

yang berat atau infeksi berulang pada neonatus kurang bulan, ada peneliti yang menganjurkan
pemberian imunoglobulin intravena dengan dosis 500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.
Transfusi FFP ( Fresh Frozen Plasma )
FFP mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein
dan fibronectin. Antibodi bayi baru lahir terbatas pada spesifikasi yang dihasilkan oleh
ibunya,

tidak termasuk antibodi protektif terhadap patogen tertentu. FFP mengandung

antibodi protektif, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi tidak adekuat untuk
mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinu ( seperti 10 mL/kg
setiap 12 jam ) maka kadar proteksi dapat tercapai.
Transfusi sel darah putih
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi neonatal
umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan penggunaannya.Hanya beberapa
pusat kesehatan di Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan
transfusi. Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan
reaksi transfusi, di samping biaya tinggi dan teknik pembuatan yang sulit.
Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Akhir-akhir ini banyak peneliti mempelajari colony-stimulating factor, yaitu suatu
protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan differensiasi sel progenitor granulosit serta
mempengaruhi fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang
banyak diteliti berkaitan dengan infeksi pada neonatus, yakni granulocyte stimulating factor
(G-CSF) dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian
melaporkan peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit,limfosit dan trombosit
dengan pemberian GM-CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun demikian masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efektivitas terapi ini.
Transfusi tukar
Secara teoritis, transfusi tukar dengan menggunakan whole blood segar pada sepsis
neonatorum bertujuan (1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta
mediator-mediator penyebab sepsis (2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan
meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah dan (3) memperbaiki sistem imun dengan
adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah

donor.Transfusi tukar juga mempunyai beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik


pelaksanaan, potensial infeksi dan reaksi transfusi. Belum ada penelitian berskala besar untuk
menguji efikasi dan keamanannya sehingga transfusi tukar tidak dianjurkan sebagai terapi
sepsis secara umum maupun SNAD.
Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid intravena terhadap sepsis masih kontroversial. Walaupun
kortikosteroid pernah digunakan untuk terapi sepsis tetapi kemanjurannya masih diragukan,
mungkin karena pemberiannya terlambat yaitu setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.

Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain meningitis yang dapat menyebabkan
terjadinya hidrosefalus dan/ atau leukomalasia periventrikular. Komplikasi acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan syok septik dapat dijumpai pada pasien sepsis neonatorum.
Komplikasi lain adalah berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti tuli dan/
atau toksisitas pada ginjal, komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit
neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental bahkan
sampai menimbulkan kematian.3,4
Prognosis
Dengan diagnosis dan pengobatan dini, bayi dapat terhindar dari sepsis yang
berkepanjangan; namun bila tanda klinis dan/atau adanya faktor risiko yang berpotensial
menimbulkan infeksi tidak terdeteksi, maka angka kesakitan dan kematian dapat meningkat.
Gejala sisa neurologis timbul pada 15-30% neonatus dengan meningitis.

3,4

Prognosis pasien

adalah lebih baik bila diagnosis dilakukan lebih dini dan terapi yang diberikan tepat. Angka
kematian dapat meningkat bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum
tidak dapat dikenali dengan baik. Rasio kematian pada sepsis neonatorum dua sampai empat
kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan.

2.2 Ulkus
Definisi
Ulkus adalah ekstravasi yang berbentuk lingkaran maupun ireguler akibat dari
hilangnya epidermis dan sebagian atau seluruh dermis.10

Patofisiologi Ulkus
Komposisi jaringan lunak bervariasi pada satu anggota tubuh dengan anggota tubuh
lainnya sehingga pada aktivitas normal dapat melakukan adaptasi pada tekanan yang beragam
tanpa terjadi kerusakan. Kolagen dan elastin merupakan dua komponen yang memperkuat
jaringan lunak. Secara fisiologis, jaringan mengalami tekanan yang berlebihan maka akan
memicu sel saraf untuk mengirimkan impuls ke otak. Tekanan yang berlebihan akan diartikan
sebagai nyeri sehingga tubuh akan berespon untuk mengistirahatkan daerah tersebut.11
Respon lokal yang terjadi di jaringan tersebut berupa pelepasan fibrin, neutrofil,
platelet, dan plasma beserta peningkatan aliran darah yang menyebabkan edema. Edema
ternyata dapat menekan pembuluh kapiler yang menyuplai nutrisi sehingga jaringan dapat
mengalami kematian. Kematian jaringan ini justru akan semakin meningkatkan pelepasan
mediator inflamasi. Kulit memberikan tekanan internal untuk mengeluarkan akumulasi sel-sel
debris dan radang tersebut. 11

2.3 Ulkus Dekubitus


Definisi
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah
dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut
mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya
dalam jangka panjang.12,13,15,17
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat
penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung dan kepala
bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan yang terjadi pada bagian tubuh
melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada usaha untuk mengurangi atau
memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang menetap. Bila tekanan yang terjadi
kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut
maka ulkus dekubitus dapat dicegah.14,16,18
Menurut Webster's New Riverside University Dictionar, definisi ulkus adalah suatu
inflamasi, sering suatu lesi yang bernanah pada kulit atau mukosa permukaan tubuh internal,
seperti duodenum, yang menghasilkan jaringan nekrosis. (An inflammatory, often

suppurating lesion on the skin or an internal mucosal surface of the body, as in the
duodenum,

resulting

in

necrosis

of

the

tissue).

Dorland's

Medical

Dictionary

menggambarkan bahwa ulkus (Latin, ulcus; Yunani, heliosis) adalah suatu kerusakan pada
permukaan organ atau jaringan yang terjadi akibat inflamasi jaringan nekrosis.19
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) tahun 1989, ulkus
dekubitus adalah suatu daerah tertekan yang tidak nyeri dengan batas yang tegas, biasanya
batas penonjolan tulang, yang mengakibatkan terjadi iskemik, kematian sel dan nekrosis
jaringan. (As an area of unrelieved pressure over a defined area, usually over a bony
prominence, resulting in ischemia, cell death, and tissue necrosis).19

Morbiditas dan Mortalitas


Morbiditas dan mortalitas pasien yang mempunyai predisposisi untuk terjadinya ulkus
dekubitus akan meningkat karena ada kemungkinan terjadinya komplikasi berupa infeksi.
Infeksi adalah komplikasi penting dan sering pada ukus dekubitus. Infeksi yang terjadi pada
ulkus dekubitus dapat melibatkan kuman aerob dan anaerob.19,20,21
Kuman yang sering dijumpai pada ulkus dekubitus adalah Proteus mirabilis, group D
streptococci, Escherichia coli, Staphylococcus species, Pseudomonas species, dan
Corynebacterium. Pasien dengan bakterimia lebih sering terinfeksi dengan Bacteroides sp
pada ulkus dekubitusnya yang ditandai dengan bau yang tidak sedap, leukositosis, demam,
hipotensi, peningkatan denyut jantung dan perubahan status mental. Bakterimia terjadi pada
3,5 pasien di antara 10.000.12,17,19,21
Mortalitas pada pasien dengan ulkus dekubitus meningkat sampai 50%. Sekitar
60.000 orang meninggal setiap tahun karena ulkus dekubitus dan mortalitas meningkat
menjadi empat sampai lima kali. Mortalitas dan morbiditas ini meningkat dengan terjadinya
osteomyelitis, amiloidosis sistemik, selulitis, abses sinus, arthritis septic, karsinoma sel
skuamousa, fistula periuretra dan osifikasi heterotopik.12,18,20

Etiologi dan Faktor Risiko

Terbentuknya ulkus dekubitus dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi tekanan yang
menyebabkan iskemik adalah penyebab utama. Setiap jaringan mempunyai kemampuan
untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan, tetapi tekanan yang lama dan melewati
batas pengisian kapiler akan menyebakan kerusakan jaringan yang menetap.12,13,
Penyebab ulkus dekubitus lainnya adalah kurangnya mobilitas, kontraktur, spastisitas,
berkurangnya fungsi sensorik, paralisis, insensibilitas, malnutrisi, anemia, hipoproteinemia,
dan infeksi bakteri. Selain itu, usia yang tua, perawatan di rumah sakit yang lama, orang yang
kurus, inkontinesia urin dan alvi, merokok, penurunan kesadaran mental dan penyakit lain
(seperti diabetes melitus dan gangguan vaskuler) akan mempermudah terjadinya ulkus
dekubitus.15,16
Tabel 1. Klasifikasi Bakteri pada Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak1

Patofisologi
Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Allman (1989), Anthony (1992) dan Brand (1976) membagi mekanisme terbentuknya ulkus
dekubitus berdasarkan faktor yang mempengaruhinya menjadi patomekanikal dan
patofisilogi.12,15,19,21
a.

Patomekanikal

Patomekanikal merupakan faktor ekstrisik atau faktor primer terbentuknya ulkus


dekubitus. Patomekanikal ulkus dekubitus meliputi;
1.

Tekanan yang Lama


Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus dekubitus adalah tekanan yang
tidak terasa nyeri. Kosiak (1991) mengemukakan bahwa tekanan yang lama yang
melampaui tekanan kapiler jaringan pada jaringan yang iskemik akan mengakibatkan
terbentuknya ulkus dekubitus. Hal ini karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan
oksigen dan nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan iskemik dan
hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi.12,19,21
Pada keadaan iskemik, sel-sel akan melepaskan substansia H yang mirip dengan
histamine.

Adanya substansi H dan akumulasi metabolit seperti kalium, adenosine

diphosphat (ADP), hidrogen dan asam laktat akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Reaksi kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi tersebut masih
efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode kritis terjadi yaitu 1-2 jam. Suatu
penelitian histologis memperlihatkan bahwa tanda-tanda kerusakan awal terjadi di dermis
antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema dan kerusakan sel-sel endotel.
Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler infiltrat, agregat platelet yang kemudian
berkembang menjadi hemoragik perivaskuler. Hal yang menarik, pada tahap awal ini, di
epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel epidermis memiliki
kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan tanpa oksigen dalam jangka waktu yang
cukup lama. Selain itu, perubahan patologis oleh karena tekanan eksternal tersebut terjadi
lebih berat pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan subkutaneus. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Daniel dkk (1981) yang mengemukakan bahwa iskemia primer terjadi
pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi kemudian sesuai dengan kenaikan besar dan
lamanya tekanan12,15,19,21
Pada tahun 1930, Land melakukan mikroinjeksi pada cabang arteriol dari kapiler pada
jari manusia untuk mempelajari tekanan darah kapiler. Dia melaporkan bahwa tekanan
darah arteriol sekitar 32 mmHg, tekanan darah pada midkapiler sebesar 22 mmHg dan
tekanan darah pada venoul sebesar 12 mmHg. Tekanan pada arteriol dapat meningkat
menjadi 60 mmHg pada keadaan hiperemia.19,21
Kosiak (1959) membuktikan pada anjing, bahwa tekanan eksternal sebesar 60 mmHg
selama 1 jam akan menimbulkan perubahan degeneratif secara mikroskopis pada semua

lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang, sedangkan dengan tekanan 35 mmHg
selama 4 jam, perubahan degeneratif tersebut tidak terlihat.19,21
Sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang
yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami ulkus dekubitus selama
dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.12,16,18
2.

Tekanan antar Permukaan


Menurut NPUAP tekanan antar permukaan adalah tekanan tegak lurus setiap unit

daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan antar permukaan dipengaruhi oleh
kekakuan dan komposisi jaringan tubuh, bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan
karakteristik pasien. Russ (1991) menyatakan bahwa tekanan antar permukaan yang
melebihi 32 mmHg akan menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik.19,20
Faktor yang juga berpengaruh terhadap tekanan antar permukaan adalah kolagen.
Pada penderita sklerosis amiotropik lateral risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus
berkurang karena adanya penebalan kulit dan peningkatan kolagen dan densitasnya
(Seiitsu, 1988; Watanebe, 1987).17,19
3.

Luncuran
Luncuran adalah tekanan mekanik yang langsung paralel terhadap permukaan
bidang. Luncuran mempunyai pengaruh terhadap terbentuknya ulkus dekubitus terutama
pada daerah sakrum. Brand (1976) dan Reichel (1958) menjelaskan bahwa gerakan
anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring akan mempengaruhi jaringan dan
pembuluh darah daerah sacrum sehingga berisiko untuk mengalami kerusakan.
Penggunaan tempat tidur yang miring seperti pada bedah kepala dan leher akan
meningkatkan tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya ulkus dekubitus
(Defloor, 2000).17,19

4.

Gesekan
Menurut Makebulst (1983), gesekan adalah gaya antar dua permukaan yang saling

berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor untuk terjadinya ulkus dekubitus karena
gesekan antar penderita dengan sandarannya akan menyebabkan trauma makroskopis dan
mikroskopis. Kelembaban, maserasi dan kerusakan jaringan akan meningkatkan tekanan
pada kulit. Kelembaban yang terjadi akibat kehilangan cairan dan inkontinensia alvi dan

urin akan menyebabkan terjadinya maserasi jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah
menjadi rusak.14,19
5.

Immoblitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas

kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit
mencapai 30-45 mmHg. Lindan dkk menyebutkan bahwa pada pasien posisi telentang,
tekanan eksternal 40-60 mmHg merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk
ulkus pada daerah sacrum, maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada pasien posisi
telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada tekanan 50 mmHg. Pada pasien
posisi duduk, mudah terjadi ulkus bila tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada
tuberositas ischii. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi
nekrosis jaringan kulit.12,22

Gambar 1. Patofisologi terbentuknya Ulkus Dekubitus12


Pada penderita dengan paralisis, kelaian neurologi, atau dalam anestesi yang lama,
syaraf aferen tidak mampu untuk memberikan sistem balik sensoromotor. Akibatnya,
tanda-tanda tidak menyenangkan dari daerah yang tertekan tidak diterima, sehingga tidak
melakukan perubahan posisi.12,15,19,21

Berbeda dengan orang tidur, untuk mengatasi tekanan yang lama pada daerah
tertentu secara otomatis akan terjadi perubahan posisi tubuh setiap 15 menit. Gerakan
perubahan posisi pada orang tidur biasanya lebih dari 20 kali setiap malam. Bila kurang
dari 20 kali, maka akan berisiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.12,21
b.

Patofisiologi
Faktor patofisiologi (faktor instrinsik atau sekunder) terbentuknya ulkus dekubitus
meliputi demam, anemia, infeksi, iskemik, hipoksemia, hipotensi, malnutrisi, trauma
medula spinalis, penyakit neurologi, kurus, usia yang tua dan metabolisme yang
tinggi.12,21,23
Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit
akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990). Kandungan kolagen pada kulit yang berubah
menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan
kerusakan. Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus
yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif. Sejumlah
penyakit yang menimbulkan ulkus dekubitus seperti DM yang menunjukkan insufisiensi
kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem
pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun.

Gizi yang

kurang dan anemia memperlambat proses penyembuhan pada ulkus dekubitus.12,13


Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek
penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akan menyebabkan kadar albumin
darah menurun. Pada orang malnutrisi, ulkus dekubitus lebih mudah terbentuk daripada
orang normal. Oleh karena itu, faktor nutrisi ini juga penting dalam patofisiologi
terbentuknya ulkus dekubitus. 21,22,24
2.5 Gejala12,18,21,22
Setiap bagian tubuh dapat terkena ulkus dekubitus, tetapi bagian tubuh yang paling
sering terjadi ulkus dekubitus adalah daerah tekanan dan penonjolan tulang. Bagian tubuh
yang sering terkena ulkus dekubitus adalah tuberositas ischi (30%)i, trochanter mayor (20%),
sacrum (15%), tumit (10%), lutut, maleolus, siku, jari kaki, scapulae dan processus spinosus
vertebrae. Tingginya frekuensi tersebut tergantung pada posisi penderita.

Gambar 2. Area terbentuknya Ulkus Dekubitus pada Posisi Telentang12


Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit yang kemerahan
sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi dapat meliputi dermis, epidermis,
jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan gejala klinis, NPUAP mengklasifikasikan ulkus
dekubitus menjadi empat stadium, yakni19,24,25
1.

Stadium 1
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit. Penderita dengan
sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium ini umumnya reversibel dan dapat
sembuh dalam 5 - 10 hari.

2.

Stadium 2
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke jaringan adiposa.Terlihat
eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam 10 - 15 hari.

3.

Stadium 3
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah mulai terganggu
dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya struktur fibril. Tepi ulkus tidak
teratur dan terlihat hiper atau hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat
anemia dan infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.

4.

Stadium 4
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta sendi. Dapat terjadi
artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai anemia. Dapat sembuh dalam 3 - 6
bulan.

Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan
perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi
tiga:16,22,23
1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5 oC dibandingkan kulit
sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena
iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh
darah sebenarnya baik.
2. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit
sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada
pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping
faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.

Satu hal penting yang harus diperhatikan sebagai ciri ulkus dekubitus adalah adanya bau
yang khas, sekret luka, jaringan parut, jaringan nekrotik, dan kotoran yang berasal dari
inkontinensia urin dan alvi. Ciri tersebut dapat menunjukkan kontaminasi bakteri pada ulkus
dekubitus dan penting untuk penatalaksanaan.13,15,18
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat juga pada ulkus yang
superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain infeksi (sering brsifat multibakterial,
baik yang aerobik atau pun anerobik), keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti
periostitis, osteitis, osteomielitis, artritis septik, septikemia, anemia, hipoalbuminemia,
bahkan kematian.13,18,20

2.6 Pemeriksaan12,15,22

Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat ditegakkan


dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk menegakkan diagnosis ulkus
dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium dan penujang lainnya.
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah,
1.

Kultur dan analisis urin


Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah
pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma medula spinalis.

2.

Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit dan toksin
Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.

3.

Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan
yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang
mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang
menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.

4.

Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan laju endap
darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis.

5.

Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses penyembuhan ulkus
dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin level, prealbumin level, transferrin
level, dan serum protein level,

6.

Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat osteomyelitis.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan tulang atau MRI.

Penatalaksanaan Infeksi Pada Ulkus Dekubitus


Penatalaksanaan ulkus dekubitus harus dilakukan dengan baik dan terpadu, karena
proses penyembuhannya yang membutuhkan waktu yang lama. Agency for Health Care
Policy and Research (AHCPR) telah membuat standar baku dalam penatalaksanaan ulkus
dekubitus (Bergstrom, 1994). Ketika ulkus dekubitus telah terbentuk, maka pengobatan harus
diberikan dengan segera. Pengobatan yang diberikan dapat berupa tempat tidur yang
termodifikasi baik untuk penderita ulkus dekubitus, pemberian salap, krim, ointment,
solution, kasa, gelombang ultrasonik, atau lampu panas ultraviolet, gula, dan tindakan bedah.
17,22,24

Pemilihan

terapi,

tergantung

pada

stadium

ulkus

dekubitus

dan

tujuan

pengobatan.seperti proteksi, pelembaban dan membuang jaringan nekrosis. Hal yang harus
diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah,15,17,20,23
1.

Perawatan luka harus dibedakan ke dalam metode operatif dan nonoperatif.

2.

Perawatan luka dengan metode nonoperatif dilakukan untuk ulkus dekubitus stadium
1 dan 2, sedangkan untuk stadium 3 dan 4 harus menggunakan metode operatif.

3.

Sekitar 70-90% ulkus dekubitus adalah superfisial dan sembuh dengan penyembuhan
sekunder.

4.

Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.

Secara umum penatalaksanaan ulkus dekubitus dibagi menjadi nonmedikamentosa dan


medikamentosa.
A. Nonmedikamentosa12,15,22,23
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan nonmedikamentosa adalah meliputi
pengaturan diet dan rehabilitasi medik. Seperti telah disebutkan di atas, nutrisi adalah faktor
risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.
Pemberian diet yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral akan meningkatkan
status gizi penderita ulkus dekubitus. Meningkatnya status gizi penderita ini akan
memperbaik sistem imun penderita sehingga mempercepat penyembuha ulkus dekubitus.
Terapi rehabilitasoi medik yang diberikan untuk penyembuhan ulkus dekubitus adalah
dengan radiasi infra merah, short wave diathermy, dan pengurutan. Tujuan terapi ini adalah

untuk memberikan efek peningkatan vaskularisasi sehibgga dapat membantu penyembuhan


ulkus. Sedangkan penggunaan terapi ultrasonik,

sampai saat ini masih terus diselidiki

manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus.


B. Medikamentosa14,15,16
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan metode medikamentosa meliputi:
1.

Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya


Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik.
Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan
pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan NaC1 0,9%, larutan H202 3% dan
NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya.

Table 2. Delapan Tipe Kompres Mayor dan karakteristiknya19


Major

Dressing Key Performance Characteristics

Categories
Alginates (sheets and Exudate absorption, obliterate dead space, and
fillers)
Foams

autolytic debridement
(sheets

fillers)
Gauzes

and Obliterate dead space, retain moisture, exudate


absorption, and mechanical debridement

(woven

nonwoven)
Hydrocolloids

and Obliterate dead space, retain moisture, absorb


exudate, and mechanical debridement

(wafers Occlusion, moisture retention, obliterate dead space,

and fillers)

and autolytic debridement

Hydrogels (sheets and Retain moisture and autolytic debridement


fillers)
Transparent films

Occlusion,

retain

moisture,

and

autolytic

debridement
Wound fillers

Obliterate dead space, absorb exudate, retain


moisture, and autolytic debridement

Wound pouches

Exudate control

Kompres yang diberikan pada ulkus dekubitus adalah semipermiabel dan tertutup,
yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan transfer penguapan air dari kulit dan
mencegah maserasi kulit. Selain itu, kompres dapat mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan mencegah faktor trauma. Tetapi, kompres ini tidak berfungsi baik pada
pasien dengan diaforesis dan eksudat yang banyak.
Beberapa kategori untuk kompres dan topikal yang dapat digunakan adalah
antimikrobial,

moisturizer,

emollient,

topical

circulatory

stimulant,

kompres

semipermiabel, kompres kalsium alginate, kompres hidrokoloid dan hidrogel, penyerap


eksudat, kompres dari basah/lembab ke kering dan ezim dan cairan atau gel pembentuk
film.
2.

Mengangkat jaringan nekrotik.


Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari bahan yang
terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan granulasi dan
epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses
penyembuhan ulkus. Terdapat 7 metode yang dapat dilakukan antara lain,

Autolytic debridement. Metode ini menggunakan balutan yang lembab


untuk memicu autolisis oleh enzim tubuh. Prosesnya lambat tetapi tidak menimbulkan
nyeri.

Biological debridement, or maggot debridement therapy. Metode ini


menggunakan maggot (belatung) untuk memakan jaringan nekrosis. Oleh karena itu
dapat membersihkan ulkus dari bakteri. Pada Januari 2004, FDA menyetujui maggot
sebagai live medical devic untuk ulkus dekubitus.

Chemical debridement, or enzymatic debridement. Metode ini


menggunakan enzim untuk membuang jaringan nekrosis.

Mechanical debridement.

Teknik ini menggunakan gaya untuk

membuang jaringan nekrosis. Caranya dengan menggunakan kasa basah lalu


membiarkannya kering di atas luka kemudian mengangkatnya. Teknik ini kurang baik
karena kemungkinan jaringan yang sehat akan ikut terbuang. Pada ulkus stadium 4,
pengeringan yang berlebihan dapat memicu terjadinya patah tulang atau pengerasan
ligamen.

Sharp debridement. Teknik ini menggunakan skalpel atau intrumen


serupa untuk membuang jaringan yang sudah mati.

Surgical debridement. Ini adalah metode yang paling dikenal. Ahli


bedah dapat membuang jaringan nekrosis dengan cepat tanpa menimbulkan nyeri.

Ultrasound-assisted wound therap. Metode ini memisahkan jaringan


nekrosis dari jaringan yang sehat dengan gelombang ultrasonik.

3.

Menurunkan dan mengatasi infeksi.


Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat diberikan bila
penderita mengalami sepsis dan selulitis. Ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan
beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan H 202 3%, povidon iodin 1%,
seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal.
Antibiotik sistemik kurang dianjurkan untuk pengobatan ulkus dekubitus karena akan
menimbulkan resistensi. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan meliputi gologan
penicillins, cephalosporins, aminoglycosides, fluoroquinolones, dan sulfonamides.
Antibiotik lainnya

yang dpat digunakan adalah clindamycin, metronidazole dan

trimethoprim.
4.

Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi.


Untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi pada ulkus
dekubitus sehingga mempercepat penyembuhan dapat diberikan:

Bahan-bahan topikal misalnya: salep asam salisilat 2%, preparat seng


(ZnO, ZnSO4).

Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap


sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah jaringan
granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular.

5.

Tindakan bedah
Tindakan

bedah

bertujuan

untuk

membersihkan

ulkus

dan

mempercepat

penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus stadium III & IV dan
karenanya sering dilakukan tandur kulit, myocutaneous flap, skin graft serta intervensi
lainnya terhadap ulkus.
Intervensi terbaru terhadap ulkus dekubitus adalah Negative Pressure Wound
Therapy, yang merupakan aplikasi tekanan negatif topikal pada luka. Teknik ini

menggunakan busa yang ditempatkan pada rongga ulkus yang dibungkus oleh sebuah
lapisan yang kedap udara. Dengan demikian, eksudat dapat dikeluarkan dan material
infeksi ditambahkan untuk membantu tubuh membentuk jaringan granulasi dan
membentuk kulit baru. Terapi ini harus dievaluasi setiap dua minggu untuk menetukan
terapi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Infectious Diseases. Dalam: Gomella TL, Cunnigham MD, Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology : Management, procedures, on call problems, diseases,
drugs. Lange Medical Book/McGraw-Hill, edisi ke-4;1999: 408-440.

Guerina NG. Bacterial and fungal infections. Dalam : Cloherty JP, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins,
1998,h.271-300

Pourcyrous M, Bada HS, Korones SB, Baselski V, Wong SP. Significance of serial Creactive protein responses in neonatal infection and other disorders. Pediatrics 1993;
92:431-5

Bone RC. The sepsis syndrome : definition and general approach to management.
Clin Chest Med 1996; 17:175-80

Powell KR. Sepsis and shock. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia : WB Saunders, 2000.h.747-51

Smith JB. Bacterial and fungal infection of the neonate. Dalam : Pomerance JJ,
Richardson CJ, penyunting. Neonatology for the clinician. Connecticut : Appleton &
Lange, 1993.h.185-200

Llorens XS, McCracken GH. Clinical pharmacology of antibacterial agents. Dalam :


Remington JS, Klein JO, penyunting. Infectious disesase of the fetus and newborn
infant. Philadelphia : WB Saunders,1995.h. 1287-1326

Wasserman RL. Nonconventional therapies for neonatal sepsis. Journal of Infectious


Disease; 1983: 421 423.

The Royal Womens Hospital; Intensive and Spesial Care Nurseries. Clinicians
Handbook. February 2003.h.166

10 James WD, Timothy GB & Dirk ME. Cutaneous Signs and Diagnosis. In:
AndrewsDisease of The Skin, Clinical Dermatology 10th edition. Philadelpia: WB
Saunders Company, 2000; 18.
11 South H. Wound Care for People Affected by Leprosy: A Guide for Low Resource
Situation. Greenville: American Leprosy Missions, 2001.
12 Pendland, Susan L., dkk. Skin and Soft Tissue Infections. Dalam Joseph T. DiPiro,
dkk, editor.

Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Edisi 6. Chicago:

McGrawHill Company; 2005. p1998-90

13 Staf Mayoklinik. 2007. Bedsores (pressure sores). Availaible from URL: www.mayoclinic.com
diakses tanggal 20 April 2016
14 Jr, Don R Revis. 2008. Decubitus Ulcer. Availaible from URL: www.emedicine.com
diakses tanggal 20 April 2016
15 Hidayat, Djunaedi, Sjaiful Fahmi Daili, dan Mochtar Hamzah. Ulkus Dekubitus .
Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 64, Tahun 1990.
16 Wilhelmi, Bradon J. 2008. Pressure Ulcers, Surgical Treatment and Principles.
Availaible from URL: www.emedicine.com
17 Anonim. 2008. Bedsores. Availaible from URL: www.dermnetnz.org
18 Salcido, Richard. 2006.

Pressure Ulcers and Wound Care. Availaible from URL:

www.emedicine.com
19 Thomas, David R. Prevention and treatment of pressure ulcers: What works? What
doesnt? Dalam Cleveland Clinic Journal Of Medicine. Volume 68 Number 8
Augustus 2001. Availaible from URL: www.ccjm.org
20 Kirman,Christian N. 2008. Pressure Ulcers, Nonsurgical Treatment and Principles.
Availaible from URL: www.emedicine.com
21 Pershall, Linda D.2008. Decubitus Ulcer Information and Stages of Wounds. from
URL: http://expertpages.com
22 Anonim. 2006. Decubitus Ulcers. Availaible from URL: www.expertlaw.com
23 Susanto, Heri. 2008. Integumen Disorder. Availaible from URL: http://els.fk.umy.ac.id
24 Anonim 2008. Pressure Sores, Pressure Ulcers or Decubitus Ulcers. Availaible from
URL: www.apparelyzed.com

Keterangan :

* Septic Markers :
-

Jumlah leukosit

Jumlah trombosit

CRP

IT Ratio

** Septic Workup : Septic Markers + kultur darah

Urinalisis/kultur urin : hanya dikerjakan pada SNAL

Pungsi lumbal : hanya dikerjakan pada SNAL atau pada SNAD dengan hasil kultur
darah ( + )

Foto Rntgen dada : pada neonatatus dengan gejala sindrom gawat napas

Anda mungkin juga menyukai