Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEMAM KEJANG
1.1. Definisi
Kejang adalah gangguan sistem SSP lokal atau sistemik sehingga kejang bukan merupakan
suatu penyakit, kejang merupakan tanda paling penting akan adanya suatu penyakit lain

sebagai penyebab kejang.


Kejang demam, dalam istilah medis dikenal sebagai febrile konvulsi, adalah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal > 380 C), yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium (di luar susunan saraf pusat). Penyakit ini paling sering terjadi pada
anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun.( Menurut Consensus Statement
on Febrile Seizures,1980)

Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang
tanpa demam(Mansjoer, 2000). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf
seperti meningitis, ensefalitis, atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf
pusat.
1.2. Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan
atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selau timbul
pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.
(Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam
darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang
yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus pencetusnya
dihilangkan (Corwin, 2001).
1.3. ANFIS
System saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum,
medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system
saraf tepi (peripheral nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua
cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis
(sistem saraf simpatis) dan parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).

Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang
disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan
atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana
cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari
cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat
penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di
corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri
inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung
sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.
Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus
yang masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah
penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan
bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada
tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus
berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh
terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia
berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini
terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.
b) Serebellum

Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di
superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak
dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1) N. I

: Nervus Olfaktorius

2) N. II

: Nervus Optikus

3) N. III

: Nervus Okulamotorius

4) N. IV

: Nervus Troklearis

5) N. V

: Nervus Trigeminus

6) N. VI

: Nervus Abducen

7) N. VII

: Nervus Fasialis

8) N. VIII

: Nervus Akustikus

9) N. IX

: Nervus Glossofaringeus

10) N. X

: Nervus Vagus

11) N. XI

: Nervus Accesorius

12) N. XII

: Nervus Hipoglosus.

System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom
dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada
2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
1) Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak
2) Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.
1.4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain,
kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi
keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya :

a.

Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

b.

Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau


aliran listrik dari sekitarnya

c.

Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau


keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan

dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C,
sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas dapat
dilihat pada bagan di bawah ini :
Kejang demam
Inflamasi
Infeksi
Peningkatan suhu tubuh
Metabolisme basal meningkat
Kebutuhan O2 meningkat
Glukosa ke otak menurun
Perubahan konsentrasi dan jenis ion
di dalam dan di luar sel
Difusi ion Na+ dan K+
Kejang

Durasi pendek
Sembuh

Durasi lama
Apnea
O 2 menurun

Kebutuhan O 2 meningkat
Hipoxemia

Aktivitas otot meningkat

Hiperkapnia
Hipotensi
arterial

Hipoxia
Permeabilitas meningkat
Edema otak
Kerusakan sel neuron otak
Epilepsi
1.5. Gejala Klinis
Suhu anak tinggi
Anak pucat/diam saja
Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan
Klien tampak gelisah
Klien kurang selera makan (anoreksia)
Badan klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering
1.6. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis.
Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula mula kelumpuhan bersifat flasid,
tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga
terjadi epilepsi.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental
1.7. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana
Berlangsung < 15 menit
Umum
b. Kejang demam kompleks
Berlangsung > 15 menit

Fokal, atau multipel(lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam)


Disini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang

demam atau kejang tanpa demam dalam keluarga.


1.8. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33 % anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat
dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat
kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
1.9. Penatalaksanaan Medis
Memberantas kejang secepat mungkin.
Obat pilihan utama adalah Diazepam IV yaitu untuk menekan kejang 80-90 % dosis sesuai
dengan BB, 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg.
bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak
timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit,
gunakan diazepam intrarektal 5mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB >10 kg). Bila kejang tidak berhenti
dapat diulang selang 5 menit kemudian.

Pengobatan Penunjang

Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan
pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda tanda vital diobservasi secara ketat, cairan
intravena diberikan dengan monitoring.

Pengobatan di rumah

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah. Pengobatan ini dibagi atas 2
golongan yaitu :
1) Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat campuran anti konvulsan
dan anti piretik yang harus diberikan pada anak bila menderita demam lagi.
2) Profilaksis jangka panjang

Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah
penderita untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari.

Mencari dan mengobati penyebab.

Secara akademis klien dengan kejang demam pertama kali sebaiknya dilakukan pungsi lumbal,
pada klien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti pungsi lumbal, gula darah
dll dan bila perlu rontgen foto thorak, EEG, enchephalografi.
1.10.

Manifestasi Klinis

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik
bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai
kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya hanya
sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung < dari 6 menit dan < dari 8 % berlangsung > 15 menit.
Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis tood) yang berlangsung
beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama.
1.11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala
meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6 bulan, dan
dianjurkan untuk yang berumur < 18 bulan. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
tejadinya epilepsi atau kejang demam berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak
dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak
dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.
1.12.

ASKEP
Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada anak yang mengalami kejang :
1.Riwayat kesehatan bayi atau anak.
Riwayat kelahiran atau dimasa neonatus, penyakit kronis, neoplasma, immunosupresi, infeksi

telinga dalam ataum infeksi ekstra kranial (OMA), meningitis atau enchepalitis, tumor otak yang
merupakan penyebab terjadinya kejang sehingga sangat perlu dilakukan anamnese.

2.Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan neurologik,
peningkatan TTV, yang biasanya terjadi pada anak yang mengalami kejang. Kejang terutama terjadi
pada anak golongan umur 6 bulan 4 tahun. Pemeriksaan fisik dipengaruhi oleh usia anak dan
organime penyebab, perubahan tingkat kesadaran, irritable, kejang tonik-klonik, tonik, klonik,
takikardi, perubahan pola nafas, muntah dan hasil pungsi lumbal yang abnormal.
3.Psikososial atau faktor perkembangan.
Umur, tingkat perkembangan, kebiasaan (apakah anak merasa nyaman, waktu tidur teratur,
benda yang difavoritkan), mekanisme koping, pengalaman dengan penyakit sebelumnya.
4.Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
5. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
6. Lama berlangsungnya kejang.
7.Frekuensi terjadinya kejang dalam 1 tahun.
8. Adanya anggota keluarga yang pernah menderita kejang sebelumnya.
Pengkajian Neurologik
1.Tanda Tanda Vital
Suhu, tekanan darah, denyut jantung, TD, Denyut nadi.
2.Hasil pemeriksaan kepala
a.Fontal: menonjol, rata, dan cekung.
b. Lingkar kepala ( di bawah umur 2 tahun )
c. Bentuk umum.
3. Reksi pupil.
a. Ukuran
b. Reaksi terhadap cahaya
c. Kesamaan respons
4. Tingkat kesadaran
a. Kewaspadaan (respon terhadap panggilan dan perintah )
b. Iritabilitas
c. Letargi dan rasa mengantuk
d. Orientasi terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
5. Afek Alam perasaan, labilitas.
6. Aktivitas kejang Jenis dan lamanya.
7. Fungsi sensoris
a.Reaksi terhadap nyeri
b.Reaksi terhadap suhu

8.Refleks
a.Refleks tendo superfisial dan dalam
b.Adanya refleks patologik ( misalnya : Babinski )
9.Kemampuan intelektual
a.Kemampuan menulis dan menggambar.
b.Kemampuan membaca
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terjadi injury berhubungan dengan aktivitas kejang, serangan mendadak
dari perubahan aliran darah ke otak.
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan spasme otot pernapasan, aspirasi.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pengalaman, kurangnya informasi
perawatan rumah.
4. Gangguan konsep diri ( gambaran diri / harga diri ) berhubungan dengan kehilangan
kontrol dari tubuh, reaksi lingkungan terhadap anak.
Intervensi Keperawatan
1. Resiko tinggi terjadi injury berhubungan dengan aktivitas kejang, serangan mendadak
dari perubahan aliran darah ke otak.
Intervensi
a.Pre Konvulsif
Mengidentifikasi

faktor

resiko

pre

konvulsif

untuk

penyakit

kejang

Singkirkan benda benda yang ada di sekitar anak yang dapat melukainya.
Monitor cardiopulmonal secara terus menerus
Kaji kadar gula darah
Sediakan dan dekatkan peralatan suction
Sediakan O2 sesuai dengan indikasi
b.Konvulsif
Baringkan anak ditempat yang rata.
Catat waktu, durasi, bagian tubuh

yang

terlibat

dan

frekuensi

kejang.

Atur pemberian pengobatan ( contoh Diazepam )


Pertahankan jalan nafas ( Airway )
Pastikan klien dalam keadaan aman.
c.Post Konvulsi
Monitor TTV dan kesadaran klien
Pertahankan jalan nafas efektif.
Setelah anak bangun dan sadar berikan minum hangat, cairan untuk rehidrasi.
Sediakan oral hygiene.
Apabila kejang terlalu lama atau terjadi kejang berulang, segera bawa anak ke RS untuk
menghindari gejala sisa.
2.Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan spasme otot pernapasan, aspirasi.
Intervensi :

a. Baringkan pasien dengan sikap extensi / miringkan kepala klien untuk mencegah
aspirasi.
b.Berikan O2 ( 1- 2 liter / menit ) bila berat, berikan hingga 4 liter.
c. Pada saat kejang berikan sudip lidah untuk mencegah supaya lidah tidak tergigit.
d. Lepaskan pakaian yang menggangu pernafasan ( misalnya ikat pinggang, gurita dan
lain sebagainya ).
e.Observasi TTV secara kontinue setiap jam.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pengalaman, kurangnya informasi
perawatan rumah.
Intervensi:
a.Anjurkan orang tua mengenal kelainan alami kejang.
b.Diskusikan pengobatan, dosis, frekuensi, tujuan, efek samping, dan apa yang harus
dilakukan jika terjadi kesalahan dosis.
c. Diskusikan rencana perawatan di rumah, serta perawatan selama kejang
d. Ajarkan kepada orang tua bagaimana cara mengobservasi dan menentukan pertolongan
pertama yang aman dan legal.
4. Gangguan konsep diri ( gambaran diri / harga diri ) berhubungan dengan kehilangan
kontrol dari tubuh, reaksi lingkungan terhadap anak.
Intervensi:
a. Jelaskan perilaku anak selama / setelah kejang kepada anak dan orang tua. Jangan
sampai anak mengalami rasa malu akan perilakunya.
b.Informasikan kepada keluarga akan pentingnya memperlakukan anakanak mereka
seperti anak anak yang lain.
c. Bantu orang tua untuk menentukan kegiatan perkembangan anak yang tepat.
d. Siapkan anak untuk menentukan atau melakukan kegiatan perkembangan anak yang
tepat.
e. Dampingi anak / orang tua untuk mempergunakan sumber sumber koping yang tepat.
Evaluasi
1. Anak terbebas dari cedera fisik.
2. Aktivitas kejang dapat dicegah atau dikendalikan.
3. Kerusakan sistem saraf otak tidak terjadi
4. Penurunan kesadaran tidak terjadi.
5. Anak memiliki harga diri dan citra diri yang meningkatkan kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

Sylvia A. Price, dkk. 1995. Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai