Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS BLOK ELEKTIF

DAMPAK PSIKIS YANG TERJADI PADA ANAK SEBAGAI


KORBAN TIDAK LANGSUNG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DISUSUN OLEH:
SERA FAJARINA YOSEVA
1102012271
KELOMPOK 5 DOMESTIC VIOLENCE
TUTOR: DR. RIKA FERLIANTI M.BIOMED

UNIVERSITAS YARSI
TAHUN AJARAN 2015-2016

Dampak Psikis yang Terjadi Pada Anak Sebagai Korban Tidak Langsung
Kekerasan Dalam Rumah Tangga

ABSTRACT
BACKGROUND: Mostly children who often witnessing domestic violence will get psychological disorders in
the future.
CASE PRESENTATION: Mrs. MD married with Mr. YK in 2005. They have a 6 years daughter. Theres a
problem in their family. Mr. YK often hit his wife and their daughter always witnessed the incident. Sometimes
he hit his daughter without any reasonable grounds.
DISCUSSION: Mostly children will get psychological disorders as the impact of the domestic violence which
happened in their family. It will be such as PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Although they can hide their
emotion until they blow it up.
CONCLUSION: There are two types of impact in children short term impact and long term impact. But if they
have a high self defence, they will not get those impact.
KEYWORD : witnessed domestic violence, impact, child

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak-anak sering sekali kerap menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup
keluarga. Ekspos kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada anak dapat menimbulkan
berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek
seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya
berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak
terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun
korbannya. Pengalaman menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis
karena kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang
semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang
menciptakan rasa takut serta kemarahan (Margaretha, 2013).
Kekerasan yang terjadi pada seorang istri yang memiliki anak oleh suaminya, akan
berdampak pula pada anaknya. Dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan
oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara
tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga
diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap
suami tetapi malah sebaliknya (Mursudarinah, 2010). Dengan demikian, tidak jarang anakanak menjadi takut, benci hingga trauma kepada ayah mereka sendiri. Hal ini sangat
2

mempengaruhi perkembangan mental anak karena pada masa inilah mereka mudah
mengingat apapun kejadian disekitarnya. Pengalaman KDRT dapat membuat anak-anak saksi
KDRT mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan; bahwa kekerasan adalah
salah satu cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah (Nurrachmawati, 2012).
Case Report ini bertujuan untuk menjelaskan dampak psikis yang terjadi pada anak,
khususnya anak perempuan berumur 6 tahun yang sering menyaksikan kekerasan dalam
rumah tangga. Dari kasus yang ada, akan dijelaskan dampak psikis yang terjadi dalam waktu
jangka pendek maupun jangka panjang.

LAPORAN KASUS
Ny. MD, 29 tahun, (pelapor) menikah siri dengan Tn. YK (terlapor) pada September
2005 di Garut dengan alasan pelapor mualaf dan orang tuanya belum bisa menerima pelapor
memeluk agama Islam. Pernikahan secara hukum dilakukan setelah adanya desakan dari
terlapor dan setelah memiliki seorang anak perempuan yang saat melapor berumur 6 tahun
bernama NLK. Rumah tangga yang dijalani pelapor dan terlapor tidak harmonis, pelapor
sering mengalami kekerasan psikis dan penelantaran termasuk anaknya. Terlapor tidak
memiliki pekerjaan tetap dan kerap pulang malam tanpa memberitahukan perihal untuk
kepentingan apa terlapor sering pulang larut malam. Terlapor kerap marah ketika pelapor
menanyakan kejelasan mengenai keberadaannya tiap kali terlapor keluar.
Pada 14 Juni 2012 pelapor mengalami kekerasan yang dilakukan terlapor berupa
pukulan di telinga sebelah kanan, seketika pelapor jatuh pingsan dan pada saat pelapor
tersadar pelapor hanya mendapati tantenya saja yang sedang mendampingi dan berusaha
membuat pelapor siuman. Setelah terlapor membuat pelapor pingsan, terlapor sempat
melontarkan penghinaan kepada Tante pelapor dengan mengatakan Anjing..Anjing..Anjing
semuanya, semuanya nyusahain aja,penghinaan ini dilontarkan terlapor setelah terlebih
dahulu memukul pintu beberapa kali. Pada 8 Oktober 2012 pelapor berusaha mengkonfirmasi
kepada terlapor perihal apakah benar terlapor mengusir Tante pelapor (yang selama ini
menjaga dan mengurus Anak selama pelapor bekerja dan kuliah). Terlapor tidak mau
menjawab, tetapi pelapor terus mengkonfirmasi hingga terlapor marah dan memaksa keluar
kamar, tetapi pelapor berusaha menahan hingga terjadi kekerasan fisik. Pelapor
dihempas/didorong sekuat tenaga berkali-kali ke lantai hingga jatuh tersungkur. Pelapor
3

terdorong emosi dengan terus berusaha menahan terlapor. Akan tetapi terlapor kembali
berkali-kali mengehempaskan pelapor sekuat tenaga ke lantai. Pelapor juga ditindih di lantai
dan dihimpit oleh badan terlapor ke dinding hingga pelapor mengalami sesak nafas dan
semakin merasa tertekan. Pelapor berusaha melepaskan diri, namun terlapor tetap berusaha
sekuat tenaga menekan pelapor. Hingga pelapor secara seketika menggigit bahu terlapor
dengan maksud agar terlapor menggeser badannya lalu terlapor keluar rumah. Selang berapa
hari, terlapor datang ke rumah dengan berteriak-teriak

meminta dibukakan pintu lalu

membawa paksa Anak pelapor ke Polres Jaktim untuk keperluan terlapor membuat laporan
Polisi terhadap pelapor dan diajukan banyak pertanyaan oleh penyidik terkait Ibunya,
kemudian dikembalikan lagi ke rumah lalu terlapor pergi. Anak Pelapor menceritakan tentang
dirinya menyaksikan orang tuanya yang selalu bertengkar. Selang berapa hari pelapor
menerima surat panggilan dari pihak kepolisian sebagai tersangka lalu Anaknya memeluk
ibunya sambal menangis dan berkata Aku nggak mau mama dibawa polisi. Beberapa hari
setelah surat pemanggilan, terlapor datang ke rumah untuk mengambil jaketnya sambil
menggendor-gendor pintu dan berteriak-teriak. Terlapor menyuruh Anaknya mengambil
jaketnya dengan cara yang kasar, lalu pelapor berusaha mengingatkan untuk bersikap sopan
terlebih dengan anaknya. Terlapor justru semakin bersikap kasar dan melontarkan penghinaan
yaitu: dasar pelacuuuuuurrrrr.!!! di depan rumah sambil menjalankan motornya. Pada
akhir Desember pelapor mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jaktim karena
merasa tertekan dengan ulah terlapor dan pelapor menolak pengasuhan anak secara bergilir
dengan alasan terlapor tidak pernah menunjukan kepedulian dan kasih sayangnya terhadap
anak.

DISKUSI
Sebuah laporan dari dana PBB Internasional Anak (2006) menyatakan bahwa 275 juta
anak di seluruh dunia sebagai saksi kekerasan dalam rumah tangga setiap tahun. Anak-anak
yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga telah dianggap sebagai korban penyalah
gunaan yang tersembunyi. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa menyaksikan
KDRT dapat berefek pada psikologis anak seperti, kecemasan, depresi, kesulitan dan PTSD
(Post Traumatic Stress Disorder) (McKee, 2014).

Kriteria PTSD kini telah dibagi menjadi kelompok anak-anak lebih dari 6 tahun,
anak-anak usia 6 tahun, dan anak-anak dibawah 6 tahun (durasi gejala lebih dari dari satu
bulan). Pada kelompok yang lebih tua, PTSD meliputi sebagai berikut: (1) kekerasan seksual,
(2) adanya gejala gangguan yang berhubungan dengan peristiwa traumatik (mimpi
menyedihkan, ditandai dengan tekanan psikologis), (3) persisten menghindari rangsangan
yang terkait dengan peristiwa traumatik, (4) perubahan negatif dalam sikap dan suasana hati
yang berhubungan dengan peristiwa tersebut, (5) ditandai dengan perubahan sifat (marah,
ceroboh, sensitif, konsentrasi bermasalah, dan gangguan tidur) (Tsavoussis et al, 2014).
Berbagai penelitian di dua dekade ini telah menemukan bahwa anak perempuan yang
melihat kekerasan di dalam keluarganya akan menginternalisasikan trauma tersebut ke dalam
hidupnya sehingga perempuan lebih berpotensi untuk menjadi korban kekerasan selanjutnya
di masa dewasa. Harga diri anak perempuan yang menyaksikan KDRT cenderung melemah
sebagai akibat hidup dengan perasaan malu dan tertekan atas sikap kejam dan meremehkan
pelaku KDRT yang kebanyakan laki-laki di rumahnya (Margaretha, 2013).
Anak-anak yang sering menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga sering
mengalami masalah emosionalnya. Namun, sebuah ketahanan diri yang tinggi pada anak
dapat menyembunyikan emosionalnya, atau dengan kata lain perilakunya tidak menunjukan
bahwa anak tersebut sering menyaksikan kekerasan dalam keluarganya (McKee, 2014). Tentu
saja dengan dukungan lingkungan sekitar, anak akan dapat melanjutkan hidupnya tanpa
mengalami gangguan emosional maupun perilaku yang signifikan pada kehidupan
selanjutnya (Nurrachmawati, 2012).
Pada literatur yang diambil tidak membahas spesifik tentang umur anak yang
menyaksikan kekerasan dalam keluarganya. Adapun literatur yang membahas mengenai umur
6 tahun, umur tersebut sama dengan anak Ny. MD. Namun literatur tersebut tidak
memperjelas dampak psikis yang terjadi pada umur tersebut, hanya menyebutkan dampak
psikis pada umur yang lebih tua dan tidak memperspesifikan gender. Literatur menyebutkan
anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarganya terjadi pada ibunya yang pelakunya
adalah ayahnya, ini mirip dengan kasus yang terjadi pada Ny. MD. Pada kasus Ny. MD,
suaminya sering berteriak dan melontarkan kata yang tidak sepantasnya kepada istrinya di
depan anaknya lalu melantarkan anaknya dengan tidak memberi nafkah, kejadian tersebut di
paparkan pada literatur yang akan mengakibatkan PTSD.

Adapula literatur membahas mengenai ketahanan diri yang tinggi dipengaruhi oleh
dukungan lingkungan yang baik, ini tidak bisa disamakan dengan kasus Ny. MD. Karena
anak Ny. MD sering tinggal bersama tante atau adik dari Ny. MD sendiri dan pada kasus
tersebut tidak dijelaskan secara detail sikap baik atau buruk yang dilakukan adik Ny. MD
terhadap anak Ny. MD sendiri. Dari semua literatur menjelaskan mengenai dampak psikis
yang akan terjadi pada anak di masa yang akan datang, karena anak Ny. MD ini baru berumur
6 tahun, sehingga mungkin di masa depannya berpotensi akan mengalami hal yang sama
seperti ibunya yaitu sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Sikap Orang Tua yang Baik Menurut Pandangan Islam


Pada kasus Ny. MD, suaminya selain melakukan kekerasan terhadap Ny. MD sendiri
juga melakukan kekerasan terhadap anaknya, seperti; tidak memberi nafkah, menyuruh
dengan kata yang kasar, melontarkan kata-kata yang tidak senonoh, tidak menunjukkan rasa
saying terhadap anak dan sikap yang tidak baik lainnya. Diketahui bahwa Ny. MD adalah
seorang mualaf dan suaminya seorang muslim, tentunya sikap yang dilakukan suami Ny. MD
sangat bertolak belakang dengan sikap baik orang tua terhadap anaknya yang sebagimana
diajarkan oleh agama Islam.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan pada ummatnya cara yang tepat
dalam bermuamalah dengan anak. Simak beberapa ulasan sederhana berikut:
1. Tidak Membohongi anak
Pada sebagian besar orang tua, berbohong pada anak adalah hal yang lumrah. Mulai dari hal
yang sepele hingga yang besar. Padahal berbohong meskipun pada anak kecil tetap saja
berdosa. Berbohong pada anak secara tidak langsung mencontohkan anak untuk melakukan
hal

serupa.

Saat anak menangis, kita tidak mau ambil pusing menjelaskan, kita memilih jalan pintas
dengan berbohong.
Sudah, jangan nangis lagi. Abah cuma pergi sebentar, sebentar lagi pulang.

Padahal ayahnya pergi berangkat kerja dan pulang sore harinya. Anak lama-kelamaan jika
terus dibohongi akan sadar dan kecewa serta terluka perasaanya.
2. Menghargai Usaha Anak Sekecil Apapun itu
Kita percaya bahwa memuji anak dapat memupuk rasa percaya diri mereka. Sering-seringlah
memuji usaha mereka, sekecil apapun itu. Puji jika mereka melakukan kebaikan, jangan lupa
sertakan kalimat Masya Allah. Sehingga dengan hal tersebut anak bahagia, merasa bahwa
usahanya dihargai oleh orang tua dan ia menjadi lebih termotivasi untuk melakukan yang
lebih baik lagi.
3. Adil Terhadap mereka
Dienul Islam yang mulia ini mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dalam setiap hal.
Begitu pula dalam mendidik anak. Sebagai orang tua kita hendaknya adil dalam
memperlakukan anak. Adil dalam kasih sayang, adil dalam memberi, dan adil dalam
menghukum.
Dalam memberikan kasih sayang, orang tua harus berlaku adil pada anak-anaknya. Ia tidak
boleh melebihkan anak yang satu dibanding yang lainnya. Lebih memprioritaskan anak yang
satu dari pada yang lain. Ini adalah perbuatan dzalim. Semua harus diperhatikan dan sama
rata diberi perhatian.
Ketika memberikan hadiah pada anak, kita juga harus berlaku adil. Jika yang satu diberi
maka yang lain pun diberi.
Amir berkata bahwa beliau mendengar An Numan bin Basyir radhiyallahu anhuma yang
ketika itu berada di atas mimbar berkata, Ayahku memberikan hadiah padaku. Lantas
ibunya Numan, Amroh bintu Rowahah berkata, Aku tidak ridho sampai engkau
mempersaksikan

hal

itu

pada

Rasulullah shallallahu

alaihi

wa

sallam.

Lalu

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamdatang, lantas Basyir (ayah Numan) berkata, Aku
telah memberikan hadiah pada anak laki-lakiku dari istriku, Amroh bin Rowahah. Lalu
istriku memerintah padaku untuk mempersaksikan masalah hadiah ini padamu, wahai
Rasulullah. Rasul shallallahu alaihi wa sallam pun bertanya pada Basyir, Apakah engkau

memberi anak-anakmu yang lain seperti anakmu itu? Tidak, begitu jawaban Basyir.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Bertakwalah pada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu. An Numan berkata


bahwa ayahnya kembali dan menarik hadiah tersebut (Muttafaqun alaih).
Hadits ini dibawakan Imam Bukhari dalam persaksian dalam hal hadiah. Imam Nawawi
memberi judul Bab dalam Shahih Muslim Tidak disukai mengutamakan hadiah pada satu
anak tidak pada yang lainnya.
Bersikap adil yaitu sama dalam pemberian hadiah pada anak-anak kita adalah suatu hal yang
wajib. Sedangkan bersikap tidak adil dalam hal ini tanpa adanya alasan adalah suatu yang
haram atau tidak dibolehkan. Namun, jika ternyata ditemukan adanya sebab untuk
mengutamakan satu anak dan lainnya dalam pemberian hadiah, maka harus dengan ridho
seluruh anak.
4. Tidak Menghina Anak
Ketika marah pada anaknya karena kelakuan anak yang nakal, rewel, atau lainnya tak jarang
orang tua marah sambil memaki dan mencela. Ungkapan kotor nan tidak pantas terlontar
untuk buah hatinya. Atau ada pula ibu yang memarahi anaknya hingga sang anak sakit hati.
Percayalah, Ibu ketika kita menasehati anak dalam keadaan marah apalagi sampai mencela
tidaklah ada manfaatnya. Yang ada hanyalah kepuasan diri kita sudah memaki dan mencela.
Belum habis sampai disitu, kita belum merasa plong dan puas sebelum sang anak menangis
karena kita marahi.

Saat amarah menguasai kita, redamlah ia. Menyendirilah sejenak. Berwudhulah untuk
menghilangkan amarah. Jangan menasehati saat diri kita dikuasai amarah. Setelah emosi reda
barulah nasehati anak. Nasihat seperti ini lebih bermanfaat dan tepat sasaran.
Ingatlah anak yang sakit hati karena makian kita atau bahkan jika kita terus-menerus
mencelanya, akan terus ia ingat hingga dewasa nanti. Jika kita terus seperti ini bukan hanya
menyelisihi perintah Allah untuk berlemah lembut pada anak tapi juga merenggangkan
hubungan kasih sayang orang tua dan anak.
Ingat juga, celaan yang diterima anak terus-menerus akan menjadikan anak minder dan tidak
percaya diri sehingga akan mengganggu kejiwaannya. Berprilaku lemah lembutlah pada anak
sehingga Allah dan anak akan mencintaimu. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi. (HR. Bukhari)

5. Menepati Janji
Inilah juga satu hal yang dianggap remeh oleh para orang tua. Berjanji namun tidak ditepati.
Menggombal akan memberi ini itu, namun faktanya tidak. Meskipun hanya gurauan, janji
adalah janji. Seorang muslim yang baik harus berusaha menunaikan janjinya. Ingat kan,
bahwa salah satu ciri orang munafik itu adalah bila berjanji maka ia tidak menepati.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin
Amir radhiyallahu anhuma dia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan
mengatakan: Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu! Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallammengatakan kepada ibuku: Apa yang akan kamu berikan kepadanya? Ibuku
menjawab: Kurma. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.
(HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)
6. Memberikan perhatian kepada anak- anak
Memberikan perhatian kepada anak-anak anda dengan mengenali lingkungannya dalam hal
ini, sangat dianjurkan bagi orang tua untuk mengenali lingkungan di mana anak- anak mereka
terbiasa bermain seperti mengenali teman- temannya, mengenali permainan apa saja yang
mereka sukai, serta memberi dukungan terhadap apa yang mereka lakukan. Orang tua juga
harus aktif dalam memberikan nasehat kepada anak apabila mereka melakukan kesalahan
kepada temannya, namun jangan memarahi anak di depan teman- temannya karena hal ini
dapat membuat anak menjadi pribadi yang minder. Menasehati anak dengan tutur kata yang
lembut akan lebih mengena kepada anak daripada memarahi mereka ketika mereka
melakukan kesalahan.
7. Mengkondisikan kehidupan rumah tangga yang harmonis
Dengan menunjukkan sikap saling toleransi antar anggota keluarga serta saling menghormati.
Pupuklah rasa kasih sayang antara ayah dan ibu dan tunjukkan kasih sayang kepada sang
anak, hal ini akan sangat membantu sang anak untuk lebih mengenal keluarganya. Jangan
sekali- kali berselisih di depan sang anak karena hal ini akan berdampak buruk terhadap
perkembangan mental sang anak. Jika dalam suatu keluarga ada masalah terutama di antara
kedua orang tua, maka hendaknya diselesaikan dengan baik ketika anak tidak ada di rumah.
Dengan menunjukkan kehidupan rumah tangga yang harmonis, maka anak akan
mendapatkan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang sehingga mereka akan tumbuh
menjadi pribadi yang penuh kasih sayang terhadap sesamanya.
8. Membiasakan anak untuk cinta terhadap agama
Dengan mengenalkan sholat dan membaca Al Quran. Hal ini dapat dilakukan dengan
membiasakan untuk sholat berjamaah di rumah dan melibatkan anak untuk ikut serta di
dalamnya, serta membaca Al Quran seusai sholat berjamaah merupakan hal yang sangat
dianjurkan. Jika sang anak belum mampu membaca Al Quran, maka tugas orang tua adalah
melatih mereka untuk belajar membaca Al Quran. Hal ini perlu untuk dilakukan secara rutin
agar anak terbiasa dengan Al Quran sehingga mereka akan menjadikan Al Quran sebagai
pedoman hidup mereka di kemudian hari.

10

KESIMPULAN
Dalam semua literatur yang diambil tidak semua sesuai dengan kasus Ny. MD yang
mengalami kekerasan oleh suaminya dan berdampak kepada anak perempuannya yang
berusia 6 tahun yang menyaksikan kekerasan tersebut. Seperti yang dikatakan dalam literatur
bahwa anak perempuan yang berusia 6 tahun akan mengalami dampak psikologis seperti
PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), depresi, kesulitan, kecemasan dan juga akan
berdampak jangka panjang yaitu berpotensi menjadi korban kekerasan pada masa dewasa
karena sering melihat kekerasan di dalam keluarganya. Namun, dengan memiliki ketahanan
yang tinggi dengan dibantu dukungan dari lingkungan sekitar maka anak tersebut dapat
menyembunyikan atau bahkan tidak akan mengalami gangguan emosional sepanjang
hidupnya.
Islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang terutama dalam keluarga. Maka
dari itu, Islam tidak mengajarkan sikap orang tua yang tidak baik terhadap anaknya, seperti
tidak membuat keluarga menjadi harmonis, menyuruh anak dengan kasar. Sebaliknya, Islam
mengajarkan pada orang tua untuk selalu memberi perhatian kepada anak, tidak menghina
anak, menghargai usaha kecil anak, mengajarkan solat dan membaca AlQuran sebagai
pedoman hidup, serta membuat suasana keluarga selalu harmonis dan penuh kasih sayang.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada bagian ini, penulis ingin berterima kasih kepada LBH Apik Jakarta yang telah
memberikan kesempatan berkunjung dan mengumpulkan data untuk laporan ini. Terima kasih
kepada dr. Rika Ferlianti M.biomed yang telah memberikan bimbingan dan waktunya untuk
menyelesaikan laporan ini. Terima kasih pula kepada dr. Ferryal Babeth Sp.F selaku dosen
pengampu serta dr. HJ. R.W. Susilowati, M.Kes dan DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun sebagai
koordinator blok elektif dan kepada semua anggota kelompok Domestic Violance 5 terima
kasih atas dukungan dan kerjasamanya.

11

DAFTAR PUSTAKA

Ketahui Cara Mendidik Anak Secara Islami yang Baik dan Benar. (2014, June 19). Retrieved
November 15, 2015, from http://mutiarabijaksana.com/2014/06/19/ketahui-cara-mendidikanak-secara-islami-yang-baik-dan-benar/

Mckee, J., & Payne, B. (2014). Witnessing Domestic Violence as a Child and Adulthood
Emotionality: Do Adults Feel the Consequences of Exposure to Partner Abuse Later in the
Life Course? Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma, 23(3), 318-331.

Mewaspadai Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (2010). Jurnal Ilmiah Rekam Medis Dan
Informatika Kesehatan, 1(1), 32-45.

Nuringtyas, R., & Rachim, R. (2013). Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam
Relasi Intim. Makara Seri Sosial Humaniora, 17(1), 33-42.

Nurrachmawati, A., & Rini, P. (2012). Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (studi kasus di pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan
anak kalimantan timur). Jurnal Kesehatan Reproduksi, 3(1), 24-37.

12

Tsavoussis, A., Stawicki, S., Stoicea, N., & Papadimos, T. (2014). Child-Witnessed Domestic
Violence and its Adverse Effects on Brain Development: A Call for Societal SelfExamination and Awareness. Frontiers in Public Health, 2, 1-5.

Ulasan Sederhana Tentang Sikap Bijak terhadap Anak. (2015). Retrieved November 15,
2015, from http://muslimah.or.id/6906-ulasan-sederhana-tentang-sikap-bijak-terhadapanak.html

13

Anda mungkin juga menyukai