Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan saluran akar adalah perawatan dengan mengangkat jaringan pulpa
yang telah terinfeksi dari ruang pulpa dan saluran akar. Tujuan dari perawatan ini
adalah membersihkan saluran akar yang terinfeksi oleh bakteri. Perawatan saluran
akar memiliki prinsip yaitu membunuh semua mikroorganisme yang dapat
menginfeksi pulpa dan jaringan apeks gigi sebelum dilakukan pengisian saluran akar.
Untuk memenuhi prinsip tersebut, maka dalam perawatan saluran akar dilakukan
sterilisasi dengan cara irigasi. Pada tahap irigasi ini diperlukan larutan irigasi yang
mampu membunuh bakteri dan membersihkan smear layer.1
Terdapat berbagai macam bakteri di dalam rongga mulut yang dapat
menginfeksi jaringan pulpa. Salah satunya adalah bakteri Enterococcus faecalis.
Berdasarkan beberapa penelitian Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang
persisten pada infeksi endodontik sehingga menjadi mikroorganisme yang dominan
pada saluran akar, khususnya pada perawatan saluran akar yang gagal. Untuk itu
diperlukan larutan irigasi yang adekuat dalam membunuh bakteri ini.2,3
Saat ini terdapat beberapa macam bahan irigasi yang umum digunakan, yaitu
larutan sodium/natrium hipoklorit (NaOCl), klorheksidin (CHX), dan ethylene
diamine tetraacetic acid (EDTA).

Namun, yang paling sering digunakan ialah

NaOCl. Hal ini disebabkan karena NaOCl dianggap cukup efektif sebagai larutan

irigasi dan dianggap mewakili syarat-syarat ideal larutan irigasi dibandingkan larutan
irigasi yang lain. Namun, NaOCl tidak mampu membersihkan smear layer secara
menyeluruh pada saat pembersihan ruang pulpa. Untuk itu, NaOCl dikombinasikan
dengan bahan irigasi yang memiliki kemampuan melarutkan smear layer secara
menyeluruh, yaitu ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA). Konsentrasi NaOCl
yang efektif ialah antara 0,5%-5,25%. Selain itu pendapat lain juga mengatakan
konsentrasi NaOCl yang dianggap ideal ialah 2,5-5%. Namun, semakin tinggi
konsentrasinya, maka semakin tinggi pula toksisitasnya.4,5,6
Saat ini telah berkembang produk alami yang dapat dijadikan sebagai
alternatif bahan irigasi, salah satunya adalah ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa). Buah mahkota dewa ini memiliki kandungan zat aktif dengan berbagai
fungsi. Kandungan buah mahkota dewa antara lain, alkaloid, saponin, flavanoid, dan
polifenol. Di antara kandungan zat aktif buah mahkota dewa tersebut, yang berfungsi
sebagai antibakteri adalah saponin. Selain itu, saponin juga dapat berperan sebagai
detergen alam yang bersifat emulgator yang mampu melarutkan smear layer pada
saat irigasi saluran akar. Penelitian Beltrice (2010) menyatakan bahwa ekstrak buah
mahkota dewa efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis dengan daya
hambat minimal 12,5% dari konsentrasi 6,25%,12,5%, 25%, dan 50% yang
digunakan.7,8
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perbandingan
efektivitas daya hambat ekstrak buah mahkota dewa dengan larutan irigasi NaOCl
terhadap bakteri Enterococcus faecalis yang terdapat pada infeksi saluran akar
mengingat buah mahkota dewa memiliki zat aktif saponin sebagai antibakteri dan
antivirus serta mampu melarutkan smear layer, yang merupakan salah satu syarat
ideal suatu bahan irigasi.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapatkan rumusan masalah yaitu:


bagaimana perbandingan efektivitas daya hambat ekstrak buah mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa) 12,5% dengan larutan NaOCl 3% terhadap Enterococcus
faecalis?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui

perbandingan efektivitas daya hambat ekstrak buah

mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) 12,5% dengan larutan NaOCl 3% terhadap


bakteri Enterococcus faecalis.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Jika diketahui bahwa ekstrak buah mahkota dewa lebih efektif menghambat
pertumbuhan Enterococcus faecalis dibandingkan larutan NaOCl maka
ekstrak buah mahkota dewa dapat dijadikan alternatif bahan irigasi saluran
akar.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi untuk
penelitian ekstrak mahkota dewa selanjutnya.
1.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah ekstrak buah
mahkota dewa 12,5% lebih efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis
dibandingkan larutan NaOCl 3%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikrobiologi Endodontik


3

Mikroorganisme menyebabkan hampir semua patosis jaringan pulpa dan


jaringan periradikuler. Untuk mengobati infeksi endodontik, seorang dokter gigi
harus mengetahui sebab dan akibat dari invasi bakteri pada jaringan pulpa dan
jaringan periradikuler sekitarnya. Pada penelitian W.D.Miller (1890) ditemukan
adanya hubungan antara mikroorganisme dengan penyakit pulpa dan jaringan
periapikal serta menunjukkan adanya perbedaan antara bakteri pada ruang pulpa dan
saluran akar. Penelitian Kakehashi dkk (1965) menunjukkan bahwa bakteri
merupakan penyebab terjadinya infeksi pulpa dan berkembangnya lesi periapikal.1,2
Pada gigi dengan nekrosis pulpa dan lesi periapikal, 90% dari bakteri yang
diisolasi merupakan bakteri anaerob. Bakteri ini hanya tumbuh pada lingkungan yang
tidak ada oksigen. Bakteri tersebut berfungsi pada tingkat potensial oksidasi-reduksi
yang rendah dan pada umumnya kurang memiliki enzim superoksida dismutase dan
katalase. Bakteri mikroaerofil dapat tumbuh di lingkungan dengan oksigen tetapi
sebagian besar energinya berasal dari jalur anaerob. Bakteri anaerob fakultatif
tumbuh pada lingkungan yang ada atau tidak ada oksigen dan biasanya memiliki
enzim superoksida dismutase dan katalase. Untuk menghilangkan mikroorganisme
dan untuk memperoleh penyembuhan jaringan periapikal, perlu dilakukan perawatan

endodontik, meliputi instrumentasi, irigasi/aspirasi dressing dan pengisian ruang


pulpa.3
2.2 Bakteri Enterococcus faecalis di Dalam Saluran Akar
Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob, kokus gram positif dan tidak menghasilkan reaksi katalase dengan
hidrogen peroksida. Bakteri ini berbentuk ovoid dengan diameter 0,51 m dan
terdiri dari rantai pendek, berpasangan atau bahkan tunggal. Sebagian besar jenis ini
merupakan non hemolitik dan non motil.9,10

Gambar1. Koloni Enterococcus faecalis dengan scanning electron microscope


(pembesaran 1000x)
Sumber:http://www.bacteriainphotos.com/Enterococcus%20faecalis%20light
%20microscopy.html

Pada dasarnya, Enterococcus faecalis merupakan flora normal komensal yang


habitatnya pada gastrointestinal dan rongga mulut. Namun, dapat menjadi
mikroorganisme patogen penyebab infeksi pada luka, bakteremia, endokarditis, dan
meningitis. Di rongga mulut, Enterococcus faecalis adalah salah satu jenis bakteri

yang sering ditemukan pada saluran akar. Bakteri ini dapat ditemukan pada kasus
infeksi endodontik primer. Namun, sering sekali ditemukan pada kasus perawatan
endodontik yang gagal. Enterococcus faecalis dapat diisolasi dari berbagai infeksi
rongga mulut serta berhubungan erat dengan respon inflamasi periradikular.
Gambaran klinis sebagai akibat virulensi bakteri ini adalah periodontitis apikal akut,
periodontitis kronis, periodontitis apikal eksaserbasi, termasuk pada kasus
periodontitis marginal, dan abses periradikular.9,11,12
Saat ini, bakteri Enterococcus faecalis berada pada peringkat ketiga bakteri
patogen

nasokomial,

serta

resisten

terhadap

beberapa

antibiotik

seperti

aminoglikosida, penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan vankomisin. Sekitar 8090% kasus infeksi enterococcal pada manusia disebabkan oleh Enterococcus
faecalis. Sekitar 23-70% dari hasil kultur positif Enterococcus faecalis diisolasi pada
obturasi saluran akar dengan tanda-tanda periodontitis apikal kronis. Selain itu,
bakteri tersebut dapat beradaptasi pada kondisi tertentu serta memiliki pertahanan
yang kuat pada infeksi saluran akar ketika nutrisi sangat terbatas. Kemampuannya
untuk bertoleransi dan beradaptasi pada lingkungan dapat menjadi keuntungan lebih
dari spesies lainnya. Pada penelitian in vitro, Enterococccus faecalis ditemukan di
tubulus dentin, dimana tidak semua bakteri memiliki kemampuan seperti ini. Pada
penelitian lainnya, dilakukan kultur dari berbagai variasi bakteri yang diinokulasi ke
dalam saluran akar. Terlihat Enterococcus faecalis dapat mengadakan kolonisasi
yang baik dan dapat bertahan dalam saluran akar tanpa dukungan dari bakteri
lainnya. Keberadaan bakteri ini dalam saluran akar dapat diketahui dari hasil kultur
dan metode PCR.9,11,13,14
2.3 Bahan Irigasi Saluran Akar

Salah satu cara untuk mengeliminasi bakteri di dalam saluran akar adalah
dengan melakukan irigasi saluran akar. Irigasi saluran akar merupakan tahapan
penting dalam menunjang keberhasilan perawatan saluran akar, karena irigasi
memudahkan pengeluaran jaringan nekrotik, mikroorganisme, dan serpihan dentin
dari saluran akar terinfeksi dengan aksi bilasan larutan irigasi. Irigasi penting untuk
dilakukan selama preparasi pada setiap pergantian alat dan setelah preparasi selesai
untuk mengangkat sisa pulpa, mikroorganisme, dan serbuk dentin hasil preparasi
serta smear layer. Smear layer sering melekat pada pada dinding saluran akar
terutama pada sepertiga apeks sehingga menyebabkan pengisian yang tidak hermetis.
Smear layer yang tidak terangkat juga dapat menyebabkan infeksi ulang sehingga
terjadi kegagalan perawatan. Sisa jaringan nekrotik dan mikroorganisme perlu
dihilangkan agar bahan pengisi dapat berkontak baik dengan dinding saluran akar.
Penggunaan larutan irigasi akan membersihkan area yang tidak dapat dicapai oleh
instrumen endodontik. 4,6,15,16
2.3.1 Sifat-sifat bahan irigasi. 4,15,17
Adapun sifat sifat bahan irigasi adalah
1. antibakteri dengan spektrum yang luas.
2. pelarut debris/jaringan, irigan dapat melarutkan atau menghancurkan sisa-sisa
jaringan lunak atau keras agar memudahkan pembuangan sisa-sisa jaringan
tersebut.
3. memiliki tegangan permukaan rendah, sifat ini memudahkan mengalirnya
larutan irigasi ke dalam tubulus dan ke daerah yang tidak dapat dimasuki
instrumen.
4. Irigan tidak boleh mengiritasi jaringan periradikuler.
5. Tidak bersifat toksik, mutagenik, dan karsinogenik, serta murah.

Larutan irigasi yang paling sering digunakan adalah natrium/sodium hipoklorit


(NaOCl). Larutan ini tidak mahal, mudah diperoleh, dan sering digunakan dalam
penelitian. Akan tetapi, bukti eksperimen tak serta merta terkait langsung dengan
keefektifan klinis. Walaupun penelitin in vitro mengindikasikan bahwa NaOCl
melarutkan jaringan dengan mudah. Namun, eksperimen pada gigi yang diekstraksi
dan penggunaan klinisnya tidak begitu memuaskan dalam melarutkan smear layer.15
Metode irigasi dilakukan dengan menggunakan syringe plastik berkapasitas 2,5
sampai 5 ml dengan jarum ukuran 25 gauge yang ujungnya telah ditumpulkan. Jarum
dibengkokkan sekitar 30o dari pusat jarum sehingga saluran akar baik gigi anterior
ataupun posterior dapat terjangkau. Bahan irigasi tidak boleh ditekan kuat masuk ke
jaringan periapikal tetapi arus dialirkan perlahan saja di dalam saluran akar. Pada
saluran akar yang relatif besar, maka ujung syringe diletakkan tanpa adanya
resistensi dari dinding saluran akar dan selanjutnya ujung jarum ditarik ke arah luar
beberapa milimeter. Irigan yang berlebih dapat ditampung dengan menggunakan
ujung kasa berukuran 2x2 inci yang diletakkan dekat dengan gigi untuk menyerap
kelebihan bahan irigan. Untuk mengeringkan saluran dapat dilakukan dengan
menggunakan paper point.16
2.3.2 Macam macam larutan irigasi.
Beberapa macam larutan irigasi saluran akar yang saat ini populer adalah
larutan sodium hipoklorit (NaOCl), larutan kelator/ethylene diamine tetraacetic acid
(EDTA), mixture of tetracycline, an acid and a detergent (MTAD), klorheksidin
(CHX), dan iodine potasium iodide (IPI).4
2.3.2.1 Sodium hipoklorit.

Larutan NaOCl telah digunakan sebagai bahan irigasi pada perawatan


endodontik selama bertahun-tahun. Larutan ini murah, mudah didapatkan, dan
bersifat antibakteri yang tinggi, dan dapat melarutkan jaringan. Sodium/natrium
hipoklorit yang pertama kali digunakan sebagai larutan irigasi untuk luka infeksi
pada Perang Dunia I, sekarang merupakan larutan irigasi yang paling sering
digunakan dalam praktek dokter gigi, dikenal juga sebagai pemutih pakaian.
Kelebihan bahan ini adalah mampu melarutkan jaringan pulpa vital dan nekrotik,
membilas debris keluar dari saluran akar, bersifat antibakteri dengan spektrum luas,
sporasid, virusid, pelumas, ekonomis, dan mudah diperoleh. Beberapa penelitian
menujukkan bahwa larutan NaOCl 5,25% lebih efektif membunuh bakteri
Enterococcus faecalis dalam waktu 30 detik dibandingkan dengan larutan NaOCl
0,5% dan 2,5% yang mampu membunuh bakteri dalam waktu 10-30 menit.4,16
Efek antibakteri NaOCl tergantung dari beberapa faktor, diantaranya pH, waktu
kontak, temperatur, dan juga konsentrasi yang digunakan. Makin tinggi konsentrasi
larutan, makin kuat daya antibakteri yang dihasilkan, tetapi juga makin besarnya
iritasi terhadap jaringan. Walaupun NaOCl sebagai larutan irigasi yang ideal,
kelemahan larutan ini adalah tidak mampu melarutkan partikel anorganik dentin,
tidak dapat menghilangkan smear layer, serta rasa dan bau yang tidak
menyenangkan. Dalam penggunaannya larutan NaOCl sering dikombinasikan
dengan larutan EDTA 17%

yang berfungsi sebagai chelating agent dan dapat

melarutkan komponen anorganik. Pada penelitian Bystrom (1985) menunjukkan


bahwa larutan NaOCl 5% dan EDTA lebih efektif membunuh bakteri dibandingkan
larutan NaOCl 0,5% dan 5% yang diaplikasikan secara tunggal.6,17
2.3.2.2 Larutan kelator / EDTA.

Larutan kelator yang sering digunakan dalam perawatan endodontik adalah


garam disodium dari ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) 17% dalam larutan
netral. Kelator adalah pelarut komponen anorganik dan memiliki efek antibakteri
yang rendah, sehingga dianjurkan sebagai pelengkap dalam bahan irigasi saluran
akar setelah sodium hipoklorit. Pada penelitian Maria dkk (2006) menunjukkan
bahwa larutan EDTA 17% memiliki efektivitas paling rendah dalam membunuh
bakteri Enterococcus faecalis dibandingkan dengan larutan NaOCl 2,5% dan
klorheksidin (CHX) 0,2%.4,18
Mekanisme kerja dari larutan EDTA adalah membentuk kelat dengan ion
kalsium dari dentin dan smear layer sehingga mudah larut dalam air dan dikeluarkan
dari saluran akar. Smear layer yang terbentuk selama preparasi mekanik saluran akar
dan yang melekat pada dinding saluran akar, dapat dengan mudah dilepas melalui
demineralisasi, membuat tubulus dentin terbuka lebar. Hal ini memudahkan penetrasi
disinfektan lebih jauh ke dalam dentin saluran akar.4,6,16
Beberapa laporan penelitian menunjukkan penggunaan EDTA menyebabkan
erosi pada dinding saluran akar akibat hiperdekalsifikasi. Akan tetapi, penelitian
SEM (Scanning Electron Microscope) yang dilakukan oleh Niu dkk, menunjukkan
tidak terjadi erosi bila hanya EDTA yang digunakan sebagai larutan irigasi.
Efektivitas larutan EDTA juga di pengaruhi oleh pH. Pada pH rendah, efektivitas
larutan dalam membersihkan dinding saluran akar menjadi menurun, tetapi efek
erosinya meningkat karena pH rendah membuat larutan EDTA lebih bersifat asam.4,6
2.3.1.3 Klorheksidin.
Klorheksidin (CHX) merupakan basa kuat dan paling stabil dalam bentuk
garam klorheksidin diglukonat yang larut dalam air. Klorheksidin sangat luas
digunakan sebagai desinfektan karena memiliki sifat antibakteri baik terhadap bakteri

10

gram positif, negatif, dan spora bakteri. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas
antibakteri larutan CHX 2% hampir sama dengan larutan NaOCl 5,25%.4
Klorheksidin tidak dapat digunakan sebagai larutan irigasi tunggal pada
perawatan saluran akar karena tidak memiliki kemampuan melarutkan jaringan
nekrotik dan kurang efektif terhadap bakteri gram negatif. Oleh sebab itu, kombinasi
larutan irigasi NaOCl dan klorheksidin dianjurkan untuk meningkatkan kemampuan
keduanya.4
2.4 Tanaman Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)
Keanekaragaman hayati yang merupakan potensi alam masih sangat sedikit
menjadi subjek penelitian ilmiah di Indonesia. Tanaman mahkota dewa merupakan
salah satu tanaman tradisional Indonesia yang sedang dikembangkan agar dapat
digunakan secara optimal sebagai salah satu pengobatan alternatif. Pohon mahkota
dewa (Phaleria macrocarpa) berasal dari Papua/Irian Jaya. Disebut juga Makuto
Rojo, Makuto Ratu, Obat Dewa, Pau (Obat Pusaka) atau Crown of God. Berasal dari
Papua (Irian Barat) dan dikenal serta dibudidayakan di Indonesia di Keraton
Jogjakarta dan Solo. Karena ukuran buah yang relatif besar, para ahli botani memberi
sebutan macrocarpa (macro=besar). Taksonomi dari tumbuhan mahkota dewa
sebagai berikut: 7
Kingdom
Subkingdom
Super Divisi
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae (Tumbuhan)
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
: Rosidae
: Myrtales
: Thymelaeaceae
: Phaleria
: Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.

11

Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) adalah tanaman perdu yang


tumbuh subur pada dataran rendah hingga ketinggian 1200 meter di atas permukaan
laut. Tanaman ini mempunyai 1200 spesies yang tersebar di 67 negara. Penampilan
tanaman ini sangat menarik, terutama saat buahnya mulai tua berwarna merah marun,
sehingga banyak dipelihara sebagai tanaman hias. Akhir-akhir ini tanaman mahkota
dewa banyak digunakan sebagai obat tradisional. Di dalam daunnya terkandung
alkaloid, saponin, serta polifenol. Beberapa khasiat farmakologis saponin adalah
sebagai antiinflamasi, antiulkus, ekspektoran, antibakteri, antijamur, antivirus,
stimulasi dan depresi susunan saraf pusat, spermatosid, molusida, antioksida,
meningkatkan sistem imun, dan menghambat pertumbuhan sel ganas. Senyawa
saponin ini merupakan larutan berbuih yang diklasifikasikan berdasarkan struktur
aglycon ke dalam triterpenoid dan steroid saponin. Kedua senyawa tersebut
mempunyai efek antiinflamasi, analgesik, dan sitotoksik.7,8

Gambar 2. Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)


Sumber: http://mahkotadewa.com/blog/2004/12/aktivitas-antioksidan-danantibakteri-produk-kering-instant-dan-effervescent-dari-buah-mahkotadewa/

12

Buah mahkota dewa ini biasanya digunakan untuk mengobati berbagai


penyakit mulai dari flu, rematik, paru-paru, sirosis hati sampai kanker. Di dalam kulit
buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flavanoid. Bijinya
dianggap beracun, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar untuk mengobati
penyakit kulit. Batang tanaman mahkota dewa yang bergetah digunakan untuk
mengobati penyakit kanker tulang, sehingga mungkin hanya akar dan bunganya saja
yang jarang dipergunakan. Hasil penelitian Lisdawati menunjukkan bahwa daging
buah dan cangkang biji mengandung beberapa senyawa antara lain: alkaloid,
flavonoid, senyawa polifenol, dan tanin. Acuan pustaka yang ada telah menyebutkan
bahwa tanaman marga Phaleria umumnya memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa
aktif mahkota dewa yang berkhasiat sebagai antibakteri adalah saponin, alkaloid, dan
tanin. Setiap bagian pohon mahkota dewa, terutama yang berkhasiat obat, mendapat
perlakuan tertentu setelah dipanen.7,8
2.4.1 Kandungan buah mahkota dewa.
Buah mahkota dewa mengandung beberapa zat aktif seperti:19
1) Alkaloid, bersifat detoksifikasi yang dapat menetralisir racun di dalam tubuh
2) Saponin, yang bermanfaat sebagai:
a. sumber antibakteri dan antivirus
b. meningkatkan sistem kekebalan tubuh
c. meningkatkan vitalitas
d. mengurangi kadar gula dalam darah
e. mengurangi penggumpalan darah
3) Flavonoid
a. melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh dan mencegah
terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah
b. mengurangi kandungan kolesterol serta mengurangi penimbunan
lemak pada dinding pembuluh darah
c. mengurangi kadar risiko penyakit jantung koroner
d. mengandung antiinflamasi (antiradang)

13

e. berfungsi sebagai anti-oksidan


f. membantu mengurangi rasa sakit jika terjadi pendarahan atau
pembengkakan
4) Polifenol, berfungsi sebagai antihistamin (antialergi).
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan spesies
tanaman yang berbeda, terutama tanaman dikotil dan berperan sebagai bagian dari
sistem pertahanan tanaman. Istilah saponin diturunkan dari bahasa Latin sapo yang
berarti sabun, diambil dari kata saponaria vaccaria, suatu tanaman yang
mengandung saponin digunakan sebagai sabun untuk mencuci. Saponin larut dalam
air tetapi tidak larut dalam eter. Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman,
baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Pada tanaman budidaya, saponin
triterpenoid merupakan jenis yang utama, sedangkan saponin steroid umum terdapat
pada tanaman yang digunakan sebagai tanaman obat. Beberapa faktor seperti umur
fisiologis, kondisi agronomi dan lingkungan dapat mempengaruhi kandungan
saponin dalam tanaman. Tanaman muda dalam suatu spesies mempunyai kandungan
saponin lebih tinggi dibanding dengan tananam dewasa.20

BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Teori

1.
2.
3.
4.

Perawatan Endodontik
Tahapan
Irigasi
Bahan Irigasi
1. Antibakteri
Saluran Akar2. Pelarut smear layer
3. Tegangan permukaan
rendah
Sodium
hipoklorit
Jenis Larutan
Irigasi
Syarat Ideal
4. Tidak mengiritasi
Klorheksidin
MTAD
jaringan
EDTA
5. Tidak toksik

14

15

3.2 Kerangka Konsep


Perawatan
Endodontik
Gagal

Berhasil
Ekstrak Buah
Mahkota
Dewa

Candida
Albicans
Keterangan:

Larutan Irigasi
Saluran Akar

Larutan
NaOCl

E. faecalis
: Variabel yang diukur
: Varabel yang tidak diukur
: Lingkup penelitian

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
4.2 Lokasi Penelitian

: Eksperimen laboratorium
: Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Unhas
dan Balai Besar Laboratorium Dinas Kesehatan
Makassar

4.3 Waktu Penelitian

: 24 Oktober 20 Novermber 2011

4.4 Data
3.4.1 Jenis data
3.4.2 Pengolahan data
3.4.3 Penyajian data

: Data primer
: SPSS
: Dalam bentuk tabel dan grafik

16

3.4.4. Analisis data

: Untuk mengetahui ada/tidak perbedaan secara


signifikan antara ekstrak mahkota dewa 12,5%,
larutan NaOCl 3%, dan akuades (kontrol negatif)
digunakan uji Anova. Sedangkan untuk mengetahui
bahan

uji

mana

yang

memiliki

perbedaan

digunakan uji beda lanjut LSD.


4.5 Subyek Penelitian

: Bakteri Enterococcus faecalis

17

4.6 Variabel
4.6.1 Variabel sebab

: ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%,

4.6.2 Variabel akibat

akuades (kontrol negatif)


: pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis pada media

4.6.3 Variabel kendali

agar.
: media tumbuh blood agar dan temperatur yang digunakan

untuk menumbuhkan Enterococcus faecalis (370C).


4.6.4 Variabel moderator : kandungan fitokimia dari buah mahkota dewa.

4.7 Definisi Operasional


a)

Ekstrak buah mahkota dewa adalah ekstrak dengan konsentrasi 12,5% yang
didapatkan dengan melakukan ekstraksi buah mahkota dewa dengan pelarut

b)

etanol 96%.
Koloni Enterococcus faecalis adalah bakteri Enterococcus faecalis yang berasal

c)

dari stem cell Enterococcus faecalis kemudian dikultur pada media blood agar.
Larutan NaOCl 3% adalah larutan yang dibuat dari 3 gram bubuk NaOCl yang
dilarutkan dalam 100 ml akuades.

4.8 Alat Dan Bahan Penelitian


4.8.1 Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain tabung erlenmeyer (Pyrex,USA),
destilator, cawan petri (Pyrex,USA), kertas saring, autoklaf (Hirayama,Jepang),

18

pipet mikro (Thermo election corp.), vacum rotary evaporator, inkubator


(Memmert), lampu spirtus, jangka sorong (Mitutoyo, Jepang), ose, pinset (CE
Stainless, Jepang), timbangan analitik (Sartorius), aluminium foil, pencadang
stainless steel.
4.8.2 Bahan yang diperlukan dalam penelitian antara lain buah mahkota dewa, pelarut
etanol 96%, suspensi Enterococcus faecalis, spirtus, media blood agar, larutan
NaOCl 3%, dan akuades.
4.9 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
4.9.1 Prosedur pembuatan ekstrak buah mahkota dewa
Pada prosedur pembuatan ekstrak buah mahkota dewa ini yang pertama dilakukan
adalah menyiapkan buah mahkota dewa yang segar. Buah mahkota dewa tersebut dicuci
bersih lalu diiris tipistipis dan dikeringkan di bawah sinar matahari, kurang lebih 7
hari. Buah mahkota dewa yang telah kering tersebut dihaluskan dengan blender hingga
menjadi serbuk simplisia, kemudian disimpan dalam wadah dan dimaserasi dengan
pelarut etanol 96% selama 3 hari. Setelah itu, simplisia tersebut diperkolasi dengan
menggunakan perkolator yang ditutup dengan aluminium foil dan pada bagian ujung
perkolator disumbat dengan kapas basah dan kertas saring. Setelah 24 jam, bagian ujung
lain dari perkulator, yang sebelumnya telah disambungkan pada tabung untuk
menampung cairan, dibuka sehingga cairan maserat menetes sedikit demi sedikit.
Prosedur penampungan maserat tersebut diulangi sehingga menghasilkan maserat yang
berwarna jernih. Setelah itu, semua maserat digabung dan disaring lalu diuapkan dengan
vaccum rotary evaporator. Setelah melakukan semua prosedur di atas, maka hasil akhir
yang didapat adalah ekstrak buah mahkota dewa.

19

4.9.2 Pembuatan medium blood agar


Cara pembuatan medium blood agar :
1. Darah domba 25-30 ml dimasukkan dengan menggunakan spoit ke dalam
tabung erlenmayer I yang berisi batu didih/bola kaca untuk memisahkan
fibrin darah domba.
2. Mengambil darah domba tanpa fibrin pada tabung erlenmayer I sebanyak 5
cc, dimasukkan ke tabung erlenmayer II yang berisi blood agar 100 ml.
3. Setelah tercampur sempurna, blood agar ditempatkan pada 3 cawan petri
dengan ketebalan 20 ml untuk masing-masing cawan petri.
4.9.3 Persiapan bakteri uji
4.9.3.1 Penyiapan biakan bakteri Enterococcus faecalis
1. Mengambil bakteri Enterococcus faecalis sebanyak 1 ose dan diinokulasikan
pada seluruh permukaan blood agar.
2. Bakteri diinkubasikan pada suhu kamar (37oC) selama 1-2 x 24 jam

4.9.3.2 Pembuatan suspensi bakteri uji


Bakteri yang telah disiapkan disuspensikan dengan bantuan NaCl 0,9% steril dan
penetapan kepekatan suspensi biakan dilakukan dengan cara visual yaitu dengan
membandingkan antara suspensi biakan dengan larutan Mc. Forland 0,5.

20

4.9.4 Langkah-langkah pengujian efektivitas antibakteri ekstrak buah mahkota


dewa dan larutan NaOCl
1. Menyiapkan bahan uji, yaitu ekstrak buah mahkota dewa 12,5% , larutan NaOCl
3%, dan kontrol negatif (akuades steril).
2. Menyiapkan 2 buah cawan petri.
3. Memasukkan medium blood agar ke dalam 2 cawan petri dengan volume yang
sama.
4. Meletakkan bakteri uji dengan menggunakan ose dispossible sehingga menutupi
seluruh permukaan blood agar.
5. Meletakkan pencadang steril sebanyak 3 buah ke dalam masing-masing cawan
petri.
6. Meneteskan bahan uji ke pencadang menggunakan pipet mikro sebanyak 150 l
untuk masing-masing cawan petri. Satu cawan petri terdiri dari 3 pencadang
dengan 3 bahan uji, yaitu ekstrak buah mahkota dewa 12,5% , larutan NaOCl
3%, dan kontrol negatif.
7. Setelah semua pencadang telah ditetesi, ketiga cawan petri didiamkan selama
10-20 menit, lalu dimasukkan ke dalam inkubator suhu 37oC.
8. Setelah 24 jam dalam inkubator, dilakukan pengukuran zona inhibisi dengan
menggunakan jangka sorong. Pengukuran ini dilakukan pada daerah jernih disisi
pencadang.
9. Luas daerah jernih merupakan indikasi kemampuan bahan uji dalam
menghambat bakteri.

21

4.10 Alur Penelitian


Bahan Uji

Ekstrak buah mahkota


dewa 12,5%

NaOCl
3%

Akuades
(kontrol negatif)

Medium blood agar + pencadang + Enterococcus faecalis


Inkubasi pada temperatur
37oC selama 24 jam

Pengukuran zona inhibisi

Analisis hasil

22

BAB V
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan
Makassar maka diperoleh hasil penelitian berikut ini :
Tabel 1. Rata-Rata Diameter Zona Inhibisi Bahan Uji terhadap Pertumbuhan Bakteri
E.faecalis (periode inkubasi 24 jam)

Bahan Uji
Ekstrak buah mahkota dewa 12,5%
Larutan NaOCl 3%
Kontrol negatif
Keterangan: diameter pencadang= 8 mm
kontrol negatif= akuades steril

Replikasi
I
12,0 mm
17,0 mm
0 mm

II
9,16 mm
17,0 mm
0 mm

Tabel 1 menunjukkan rata-rata diameter zona inhibisi bahan uji. Setiap bahan uji
pada pencadang dilakukan 3 kali pengukuran diameter dari berbagai arah. Pada tabel
tersebut dapat dilihat selama periode inkubasi 24 jam, ekstrak buah mahkota dewa
12,5% memiliki rata-rata diameter zona inhibisi sebesar 12,0 mm pada replikasi I dan
9,16 mm pada replikasi II. Untuk larutan NaOCl 3%, rata-rata diameter zona inhibisi
pada replikasi I 17,0 mm, begitu pula pada replikasi II. Pada kontrol negatif, baik

23

replikasi I maupun II tidak ditemukan zona inhibisi (0 mm). Jadi, berdasarkan tabel
tersebut yang memiliki zona inhibisi paling besar ialah larutan NaOCl 3%. Untuk lebih
jelasnya, zona inhibisi pada masing-masing bahan uji dapat dilihat pada grafik dibawah

Diameter zona inhibisi (mm)

ini:
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Replikasi I
Replikasi II

Bahan Uji

Gambar 3. Grafik efektivitas ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%,
dan kontrol (-) terhadap pertumbuhan E.faecalis

Dari hasil uji efektivitas tersebut, dilakukan uji statistik data untuk mengetahui
apakah ada perbedaan bermakna pada efektivitas ekstrak buah mahkota dewa 12,5%
dengan larutan NaOCl 3% pada pengamatan 24 jam terhadap Enterococcus faecalis
dilakukan uji Anova one way dan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant
Difference), dan diperoleh hasil sebagai berikut:

24

Tabel 2. Uji Anova Ekstrak Buah Mahkota Dewa 12,5%, Larutan NaOCl 3%, dan
Kontrol Negatif terhadap Pertumbuhan E.faecalis

Bahan Uji
Ekstrak buah mahkota dewa 12,5%
Larutan NaOCl 3%
Kontrol negatif (akuades)
*Signifikan dengan p< 0,05

Replikasi
I
12,0 mm
17,0 mm
0 mm

II
9,16 mm
17,0 mm
0 mm

Uji Anova
0,002*

Tabel 3. Uji Least Significant Difference (LSD) Ekstrak Buah Mahkota Dewa 12,5%,
Larutan NaOCl 3%, dan Kontrol Negatif terhadap pertumbuhan E.faecalis

Bahan Uji

Bahan Uji

Ekstrak buah mahkota


NaOCl
dewa
Kontrol negatif
Ekstrak buah mahkota
NaOCl
Kontrol negatif
dewa
NaOCl
Ekstrak buah mahkota
Kontrol negatif
dewa
Keterangan: S= Signifikan (p<0,05)
NS= Non Signifikan (p>0,05)

Nilai
Signifikan

Keterangan

0,012

0,001
0,012
0,003
0,001

S
S
S
S

0,003

Dari hasil uji statistik Anova pada Tabel 2 diperoleh hasil yang signifikan karena
menunjukkan nilai p<0,05, yaitu 0,002. Hal ini berarti ada perbedaan efektivitas yang
bermakna antara ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol
negatif terhadap pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis. Oleh karena hasilnya
signifikan, maka dilanjutkan uji LSD untuk mengetahui antar bahan uji yang mana yang
memiliki perbedaan yang signifikan. Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa semua bahan uji

25

memiliki perbedaan yang signifikan, baik antara larutan NaOCl 3% dengan ekstrak
buah mahkota dewa 12,5%, maupun ekstrak buah mahkota dewa 12,5% dengan kontrol
negatif.

EBMD 12,5%

NaOCl 3%

Kontrol (-)

(a)

26

EBMD 12,5%

NaOCl 3%

Kontrol (-)

(b)
Keterangan : EBMD = Ekstrak buah mahkota dewa
Gambar 4. Zona inhibisi ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan
kontrol (-) terhadap pertumbuhan E.faecalis pada pengamatan 24 jam (a)
replikasi I (b) replikasi II

27

BAB VI
PEMBAHASAN
Perbedaan efektivitas antibakteri antara ekstrak buah mahkota dewa 12,5%
dengan larutan NaOCl 3% dapat diketahui dengan menggunakan metode difusi agar,
yaitu membandingkan diameter zona inhibisi pada sekeliling pencadang yang berisi
perlakukan (ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol
negatif). Diameter zona inhibisi yang dihitung adalah daerah jernih disekeliling
pencadang yang menunjukkan bahwa bahan uji memiliki sifat antibakteri.
Setelah inkubasi 24 jam, ekstrak buah mahkota dewa 12,5% dan larutan NaOCl
3% menunjukkan adanya zona inhibisi sedangkan kontrol negatif tidak menunjukkan
adanya zona inhibisi. Pada Tabel 1 menujukkan bahwa diameter zona inhibisi tertinggi
terdapat pada larutan NaOCl 3% , yaitu 17,0 mm sedangkan pada ekstrak buah mahkota
dewa 12,5% memiliki diameter inhibisi hanya mencapai 12,0 mm. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa memang lebih kecil
dibandingkan larutan NaOCl. Selain itu, diameter zona inhibisi juga dapat dipengaruhi
oleh toksisitas bahan uji, kemampuan difusi bahan uji pada media, interaksi antar
komponen yang terdapat pada media, dan kondisi lingkungan mikro in vitro.21 Pada
Tabel 2, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ekstrak buah
mahkota dewa 12,5%, larutan NaOCl 3%, dan kontrol negatif dengan nilai signifikansi

28

0,002 (p<0,05) dan semua bahan uji memiliki perbedaan yang bermakna satu sama lain
yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil penelitian ini juga relevan dengan penelitian Beltrice (2010) yang
menggunakan konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12,5%, dan 6,25% untuk menentukan
KHM ekstrak buah mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan Enterococcus
faecalis. Pada konsentrasi 12,5% tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri,
sedangkan pada konsentrasi 6,25% masih ditemukan adanya pertumbuhan bakteri
sehingga konsentrasi 12,5% menjadi konsentrasi hambat minimum pada penelitian
tersebut. Pada penelitian Bella (2011) yang menguji efektivitas antibakteri ekstrak
mahkota dewa terhadap Streptococcus mutans menetapkan konsentrasi 6,25% sebagai
KHM. Selain itu, pada penelitian Winda (2011) yang membandingkan daya antibakteri
ekstrak buah mahkota dewa 25% dengan cresophene terhadap Streptococcus viridans
memperoleh hasil bahwa daya antibakteri cresophene lebih tinggi dibandingkan ekstrak
buah mahkota dewa 25%. Hasil lain ditemukan pada penelitian Lina (2006),
menyatakan bahwa KHM ekstrak buah mahkota dewa terhadap Pseudomonas
aeruginosa adalah 1,25%. Adanya perbedaan hasil pada masing-masing penelitian
mungkin disebabkan oleh toksisitas bahan uji, kemampuan difusi bahan uji pada media,
interaksi antar komponen yang terdapat pada media, dan kondisi lingkungan mikro in
vitro.21,22,23,24
Sodium hipoklorit (NaOCl) merupakan bahan irigasi yang paling sering
digunakan karena daya antibakterinya yang tinggi. Asam hypochlorous yang terdapat
dalam larutan NaOCl bertindak sebagai pelarut apabila berkontak dengan jaringan
organik, akan membebaskan klorin. Klorin yang bergabung dengan protein amino akan
membentuk Chloramine. Klorin merupakan agen pengoksida yang kuat memberikan

29

sifat antibakteri yang menghambat enzim-enzim bakteri dengan membentuk


pengoksidaan irreversible grup SH (sulphydryl), enzim esensial bakteri.22
Efektivitas ekstrak buah mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis dipengaruhi oleh kandungan fitokimianya. Ekstrak buah mahkota
dewa memiliki kandungan saponin yang bersifat antibakteri yang bekerja dengan cara
menghambat sintesisi protein, menghambat pembentukan DNA, dan merusak dinding
sel bakteri. Selain itu, kandungan tanin dalam buah mahkota dewa juga dapat
menghambat sintesis protein.7,8
Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa ekstrak buah mahkota dewa
12,5% dan larutan NaOCl 3% memiliki efektivitas antibakteri terhadap Enterococcus
faecalis yang baik. Hal ini terlihat dari diameter zona inhibisi kedua bahan uji yang
dihasilkan lebih besar dari diameter pencadang, yaitu 8 mm. Pada hasil analisis data
dengan uji Anova pun diperoleh hasil yang signifkan karena p<0,05, yaitu p= 0,002.
Namun, jika kedua bahan uji tersebut dibandingkan, maka dapat disimpulkan bahwa
larutan NaOCl 3% memiliki daya hambat terhadap Enterococcus faecalis lebih tinggi
dibandingkan ekstrak buah mahkota dewa 12,5%, dengan kata lain larutan NaOCl 3%
lebih efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis daripada ekstrak buah
mahkota dewa 12,5%.
Jika hasil penelitian ini dipadukan dengan hasil penelitian sebelumnya, yaitu
penelitian Bella (2011) dan Lina (2006), dapat disimpulkan bahwa ekstrak buah
mahkota dewa efektif sebagai antibakteri, tetapi tidak cukup ideal digunakan pada
bidang kedokteran gigi, khususnya bidang endodontik, karena konsentrasi hambat
minimum ekstrak buah mahkota dewa terhadap Enterococcus faecalis cukup tinggi,
yaitu 12,5%.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan

30

Berdasarkan penelitian ini maka dapat diperoleh kesimpulan, yaitu:


1. Ekstrak buah mahkota dewa 12,5% efektif menghambat pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis.
2. Larutan NaOCl 3% lebih efektif menghambat pertumbuhan Enterococcus faecalis
daripada ekstrak buah mahkota dewa 12,5%.

7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas antibakteri ekstrak buah
mahkota dewa terhadap Enterococcus faecalis secara in vivo.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan efektivitas ekstrak buah mahkota
dewa dan larutan NaOCl dengan konsentrasi yang berbeda dari penelitian ini.
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas antibakteri ekstrak buah
mahkota dewa terhadap bakteri lain yang terdapat di dalam rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Baumgartner JC, Bakland LK, Sugita EI. Microbiology of endodontics and asepsis in
endodntic practice. In: Ingle JI, Bakland LK, eds. Endodontics Fifth Edition.
Kanada: BC Decker,2002:65-8.
2. Baumgartner JC. Microbiologic aspects of endodontic infections. J Can Dent Assoc
2004; 32(6):459-68.
3. Ferreira CM, Rosa OP, Torres SA, Ferreira FB, Bernardinelli N. Activity of endodontic
antibacterial agents againts selected anaerob bacteria. Braz Dent J 2002;13(2):11822.
31

4. Tanumihardja M. Larutan irigasi saluran akar. Dentofasial 2010;9(2):108-15.


5. Grande NM, Plotino G, Falanga A,dkk. Interaction between EDTA and Sodium
hypochlorite. JOE 2003;32(5):460-4.
6. Prabaswari IR, Untara RTE, Siswadi YL. Pengaruh kombinasi berbagai konsentrasi
larutan irigasi natrium hipoklorit dengan EDTA 17% terhadap kebersihan dinding
saluran akar. J Ked Gi 2010;1(3):157-63.
7. Soeksmanto A, Hapsari Y, Simanjuntak P. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian
tanaman mahkota dewa, Phaleria macrocarpa (scheff) boerl (thymelaceae).
Biodiversitas 2007;8(2):92-5.
8. Dewanti TW, Wulan SN, Nur IC. Aktivitas antioksidan dan antibakteri produk kering,
instant dan effervescent dari buah mahkota dewa. [serial online] 2010; [internet].
Available from: URL: http://mahkotadewa.com/blog/2004/12/aktivitasantioksidan-dan-antibakteri-produk-kering-instant-dan-effervescent-daribuah-mahkota-dewa/. Accessed on 19 Desember 2010.

9. Suchitra U, Kundabala M. Enterococcus faecalis: An Endodontic pathogen. J Endod


2002;11-3.
10.

Vibha H. Enterococcus faecalis; clinical significance & treatment considerations. J


Endod 2002.

11.Kayaoglu G, Dag Orstavik. Virulence factors of Enterococcus feacalis: relationship to


endodontic diseases. Sages Journal 2004;15(5):308-20.
12.

M Seluck, Ahmet O. Analysis of Enterococcus faecalis in samples from Turkish


patients with primary endodontic infections and failed endodontic treatment by
real-time PCR SYBR green method. Journal of Applied Oral Science 2009;17(5).

13.

Cogulu Dilsah, Atac Uzel. Detection of Enterococcus faecalis in necrotic teeth root
canals by culture and polymerase chain reaction methods. European Journal of
Denstistry. Oktober 2007;Vol.1.

14.

Sedgley, Lennan. Survival of Enterococcus faecalis in root canal ex vivo.


International Endodontic Journal. Oktober 2005;38(10); 735-42.

15.

Walton RE, Torabinejad M. Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Alih


bahasa: Narlan S, Winiati S, Bambang N. ed ke-3.Jakarta: EGC,
2008:41-278

32

16.

Nugrohowati, Hadhy TD. Peran irigan terhadap lapisan smear dinding saluran akar.
JITEKG 2009;6(1):9-12.

17.

Bystrom A, Sundqvist G. The antibacterial action of sodium hypochlorite and


EDTA in 60 cases of endodontics therapy. International Endodontic Journal
1985;18:35-40.

18.

Bulacio MA, Cangemi R, Cecilia M, Raiden G. In vitro antibacterial effect of


different irrigating solutions on Enterococcus faecalis. Acta Odontol 2006;19(2):7580.

19.

Majalah Flona. Manfaat mahkota dewa. Edisi 27(2). Mei, 2005:13-4,23.

20.

Supardjo. Saponin peranan dan pengaruhnya bagi ternak dan manusia.


Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

21.

Mickel AK, Sharma P, Chogle S. Effectiveness of stainnous fluoride and calsium


hidroxide againts Enterococcus faecalis. J Endod 2003; 29(4): 259-60.

22.

Belrice. Daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa. Scheff
( Boerl.)) terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar secara
in vitro. Universitas Sumatera Utara. 2010.
Siregar B. Daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa
[scheff.] boerl) terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans (in vitro). [serial
online]
2011;
[internet].
Available
from
:
URL
:
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30101/7/Cover.pdf .
Accessed
December 7, 2011.

23.

24.

Susanti L. Khasiat ekstrak etanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)


sebagai anti bakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa. Jurnal Kimia dan Teknologi
2006;5(2):67-72.

25.

Sugiarto W. Perbedaan daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria


macrocarpa [scheff.] boerl) 25% dengan cresophene terhadap pertumbuhan
Streptococcus viridans (in vitro). [serial online] 2011; [internet]. Available from:
URL:
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-sl-2011-sugiartowi154444&q=phaleria+macrocarpa. Accessed December 10, 2011.

33

34

Anda mungkin juga menyukai