kredibilitas proses pelaporan keuangan di suatu negara sehingga peran manajemen, para
auditor, para pembuat kebijakan/peraturan, dan para analis akan dipertanyakan.
Skema kecurangan berdasarkan Securities and Exchange Commission (SEC):
1) Pendapatan dan aset fiktif dan/atau dilebih-lebihkan (overstated).
2) Pengurangan fiktif atas beban dan kewajiban.
3) Pengakuan pendapatan prematur.
4) Kesalahan pengklasifikasian pendapatan dan aset.
5) Penilaian terlalu tinggi aset atau penilaian terlalu rendah beban dan kewajiban.
6) Menghilangkan kewajiban.
7) Menghilangkan atau pengungkapan yang tidak tepat.
8) Kecurangan terkait ekuitas.
9) Related-party transactions.
10) Alter ego.
11) Meminimalkan pendapatan atau menaikkan beban untuk mengurangi kewajiban pajak.
2. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan
Perusahaan harus mengambil langkah-langkah komprehensif untuk mengamankan sistem
informasinya. Metode yang paling efektif untuk memperoleh sistem keamanan yang
mencukupi adalah terletak pada integritas (integrity) karyawan perusahaan.
Perusahaan dapat mengambil langkah untuk meningkatkan integritas karyawan dan
mengurangi kemungkinan karyawan melakukan kecurangan dengan memperhatikan beberapa
hal sebagai berikut:
1) Hiring and Firing Practices, yakni dalam hal perekrutan maupun pemberhentian
karyawan harus menerapkan kehati-hatian dan selektif.
2) Managing Disgruntled Employees, yaitu sebagian besar karyawan melakukan
kecurangan dengan alasan sebagai balasan atas kesalahan-kesalahan yang pernah
ditimpakan kepada mereka.
3) Employee Training, adanya rasa percaya bahwa keamanan merupakan tanggung jawab
bersama (manajemen maupun karyawan) akan membuat intensitas tindakan kecurangan
jauh lebih sedikit.
The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission)
mengeluarkan 4 (empat) rekomendasi upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kecurangan pelaporan keuangan, antara lain:
1) Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas
proses pelaporan keuangan.
2) Mengidentifikasi dan memahami faktor-faktor yang mengarah ke kecurangan pelaporan
keuangan.
3) Menilai risiko kecurangan pelaporan keuangan di dalam perusahaan.
4) Mendesain dan mengimplementasikan pengendalian internal yang memadai untuk
pelaporan keuangan.
Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko terdapat kecurangan
pelaporan keuangan di perusahaan, antara lain terdapat kelemahan dalam pengendalian
internal, perusahaan tidak memiliki komite audit, dan terdapat hubungan kekeluargaan
(family relationship) antara manajemen dengan karyawan perusahaan.
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif | 2
B. Fraud (Kecurangan)
3. Mukadimah
Fraud yang dikenal para akuntan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
diatur dalam banyak pasal dan dengan berbagai istilah. Pengertian fraud itu sendiri
merupakan penipuan yang sengaja dilakukan, yang menimbulkan kerugian pihak lain dan
memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan atau kelompoknya (Sukanto, 2009).
Adapun menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah perbuatanperbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi
atau memberikan laporan keliru kepada pihak lain) dilakukan oleh orang-orang dari dalam
atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok secara
langsung atau tidak langsung merugikan orang lain. Nah, mengapa fraud terjadi? Menurut
Theodoru M. Tuanakota, jawaban sederhana korupsi terjadi adalah karena corruption by
need, by greed, and by opportunity (korupsi karena kebutuhan, karena serakah, dan karena
ada peluang). Selain itu, Edwin H. Sutherland mengenalkan yang dimaksud dengan whitecollar crime atau mudahnya, kebanyakan fraud justru dilakukan oleh orang-orang yang
terhormat dan berstatus sosial tinggi sesuai pekerjaan mereka atau bisa disebut sekelompok
golongan elit. White-collar crime ini terkait erat dengan corporate crime atau korupsi yang
dilakukan korporasi/perusahaan karena peluang kejahatan yang besar. Selain itu ada yang
disebut dengan Victimless crime yaitu kejahatan tanpa korban akan tetapi melanggar hak-hak
orang lain. Bisa kita lihat sendiri apa yang dilakukan dan siapa yang melakukan fraud
terbesar (dalam jumlah) di indonesia.
4. Fraud Dalam KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan beberapa pasal yang mencakup
pengertian fraud seperti:
a. Pasal 362 tentang Pencurian (definisi KUHP: mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum);
b. Pasal 368 tentang Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
seseorang dengan kekerasan atau mengancam kekerasan untuk memberikan barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain,
atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang);
c. Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP: dengan sengaja dan melawan hukum
dimiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan);
d. Pasal 378 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP: dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang);
e. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberi Piutang dalam Keadaan Pailit;
f. Pasal 406 tentang Menghancurkan atau Merusakkan Barang (definisi KUHP: dengan
sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif | 3
dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik
orang lain);
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur perbuatan
melawan hukum yang termasuk dalam kategori fraud, seperti undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, berbagai undang-undang perpajakan yang mengatur
tindak pidana perpajakan, undang-undang tentang pencucian uang, undang-undang
perlindungan konsumen, dan lain-lain.
5. Pohon Fraud (Fraud Tree)
Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan
occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Para akuntan memahami istilah bahasa Inggris
dalam fraud tree, karena itu adalah istilah yang lazim digunakan dalam buku teks akuntansi
dan auditing. Occupational fraud tree mempunyai tiga cabang utama, yaitu corruption,
mesappropriation, dan fraudulent statements.
a. Corruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam
ketentuan perundang-undangan kita. Istilah korupsi menurut Undang-Undang Nomer 31
Tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi, dan bukan empat bentuk seperti gambar
dalam ranting-ranting: conflicts of interest, bribery, illegal gratuities, economic extortion.
Conflict of interest atau benturan kepentingan sering dijumpai dalam berbagai hal
misalnya bisnis pejabat yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintah ataupun di dunia bisnis. Ciri-ciri terjadi conflict of interest dalam hal ini yang
bersangkutan menjadi pemasok atau rekanan diantaranya adalah :
1) Selama bertahun-tahun
2) Nilai kontrak relatif lebih mahal
3) Rekanan tertentu menguasai pangsa pembelian yang relatif sangat besar di suatu
lembaga
4) Kemenangan dalam tender dicapai dengan cara-cara yang tidak wajar
5) Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari sekedar hubungan bisnis (nepotisme)
Konsep conflict of interest digunakan dalam konvensi PBB mengenai pemberantasan
korupsi kemudian konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia. Memasukkan conflict of
interest ke dalam undang-undang mempunyai keuntungan yakni pembuktian tindak
pidana korupsi yang mengandung unsur (bestanddeel) conflict of interest relatif lebih
mudah, terutama bermanfaat dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa. Contoh
kasus VLCC-Pertamina merupakan dimana pembuktian korupsi dengan konsep conflict
of interest lebih mudah dari membuktikan adanya kerugian keuangan negara.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan bisnis dan
politik di Indonesia. Kickbacks merupakan salah satu bentuk penyuapan dimana si
penjual mengikhlaskan sebagian dari hasil penjualan dengan presentase keihklasan
yang bisa diatur dimuka atau diserahkan sepenuhnya kepada keikhlasan penjual.
Kickbacks berbeda dengan bribery. Bribery pemberinya tidak mengorbankan suatu
penerimaan. Misal, apabila seseorang menyuap atau menyogok seorang penegak hukum,
ia mengharapkan keringanan hukuman. Sedangkan dalam kickbacks, pemberinya pun
Sudut pertama dari fraud triangle adalah pressure, kemudian perceived opportunity, dan
rationalization.
a. Pressure/Tekanan
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure)
yang menghimpitnya. Seseorang yang mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak
(tekanan yang meghimpit hidup), yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain.
Konsep ini disebut preceived non-shareable financial need.
Crassey menemukan bahwa non-shareable problems yang dihadapi timbul dari situasi
yang dapat dibagi dalam:
1) Violation of ascribed obligation
Suatu kedudukan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi tertentu
bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan. Di samping harus jujur, ia
dianggap perlu memiliki perilaku tertentu. Jika menghadapi situasi yang melanggar
kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak dapat
diungkapkannya kepada orang lain. Pengungkapan yang bertentangan dengan
kewajiban tersebut baginya merupakan pengakuan bahwa perilakunya di bawah
standar perilaku yang diharapkan darinya.
2) Problems Resulting from Personal Failure
Kegagalan pribadi merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang mempunyai
kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahannya
menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggung jawab pribadinya.
Sehingga ia takut mengungkapkan kegagalan tersebut dan takut kehilangan status
sebagai orang yang dipercaya.
3) Business Reversals
Kegagalan bisnis dipersepsikan sebagai kegagalan yang berada diluar dirinya atau
diluar kendalinya, misal karena inflasi yang tinggi, atau krisis moneter, tingkat bunga
yang tinggi, dan lain-lain. Namun yang bersangkutan tidak mau mengungkapkan
permasalahannya karena tidak mau dianggap sebagai orang yang gagal.
4) Physical Isolation
Merupakan situasasi keterpurukan dalam kesendirian. Dalam situasi ini, orang itu
bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia tidak mempunyai orang lain
tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.
5) Status Gaining
Situasi ini merupakan kebiasaan (buruk) untuk tidak mau kalah dengan tetangga.
Pelaku berusaha mempertahankan status atau pelaku berusaha meningkatkan status.
Masalah menjadi non-shareable ketika orang tersebut tidak mampu secara finansial
untuk menaikkan status dan tidak bisa menerima kenyataan kalau harus tetap berada
di status yang sekarang atau bahkan turun status.
6) Employer-Employee Relations
Situasi ini mencerminkan kekesalan/ kebencian seorang pegawai yang menduduki
jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada
pilihan baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang harus dikerjakannya
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif | 7
sekarang. Kekesalan itu bisa terjadi karena ia merasa gaji atau imbalan lainnya tidak
layak dengan pekerjaan atau kedudukannya, atau ia merasa beban pekerjaannya
teramat banyak, atau ia merasa kurang mendapat penghargaan batiniah (pujian).
b. Perceived Opportunity/Kesempatan
Non-shareable financial problem menciptakan motif bagi terjadinya kejahatan. Akan
tetapi, pelaku kejahatan harus mempunyai persepsi bahwa ada peluang baginya untuk
melakukan kejahatan tanpa diketahui orang. Ada dua komponen terkait perceived
opportunity, yaitu :
1) General information, merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung
trust (kepercayaan) dapat dilanggar tanpa konsekuensi, misalnya melihat pengalaman
orang lain yang melakukan fraud tanpa ketahuan.
2) Technical skill, merupakan ketrampilan atau keahlian yang dibutuhkan untuk
melakasanakan kejahatan tersebut, misalnya petugas yang menangani rekening koran
di bank, mencuri dari nasabah yang jarang bertransaksi.
c. Rationalization/Pembenaran
Rationalization (rasionalisasi) adalah mencari pembenaran sebelum melakukan
kejahatan, bukan sesudahnya. Rationalization diperlukan agar si pelaku dapat mencerna
perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai
orang yang dipercaya. Setelah kejahatan dilakukan, rationalization ini ditinggalkan
karena tidak diperlukan lagi. Ketika pertama kali manusia akan berbuat kejahatan atau
pelanggaran, ada perasaan tidak enak dan melakukan pembenaran-pembenaran untuk
perilakunya. Ketika perbuatan itu sukses, akan mengulanginya dan tidak perlu
rationalization lagi.
C. Korupsi
1. Pengertian Korupsi dan Penyebabnya
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Korupsi biasanya didefinisikan
sebagai penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan untuk kepentingan pribadi. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Korupsi artinya: penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara (perusahaan, organisasi, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Karyono (2013:2) menyebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan umum/ public atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi
atau kelompok tertentu.
Tuanakota mendefinisikan korupsi berdasarkan pendekatan psikologis (2010: 224) yaitu
penyalahgunaan wewenang jabatan untuk keuntungan pribadi.
Di dalam peraturan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang RI
Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 menyebutkan bahwa Korupsi adalah tindakan orang yang
melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Apabila mengacu pada ACFE (Association of Certified Fraud Examiners), korupsi terdiri
dari 4 (empat) bagian pokok, yaitu: (1) Benturan Kepentingan/ Conflict of Interest; (2)
Penyuapan / Bribery; (3) Pemberian Ilegal/ Illegal Gratuities; dan (4) Perluasan Ekonomi/
Economic Extortion.
Menurut Transparency International, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
macam:
1) Grand Corruption (Korupsi pada Kedudukan Tinggi), yang terdiri dari tindakan yang
dilakukan pada jajaran tingkat tinggi pemerintah yang mendistorsi kebijakan atau
fungsi sentral negara, memungkinkan para pejabat negara untuk memperoleh
keuntungan dengan cara mengorbankan kepentingan public. Misalnya, kasus dana
talangan haji Indonesia yang menyeret mantan menteri agama RI, kasus suap daging
impor sapi tahun 2013 yang menyeret mantan Menteri Pertanian RI, dan kasus
korupsi distribusi minyak goring tahun 2007 yang menyeret Mantan Ketua PSSI.
2) Petty Corruption (Korupsi Skala Kecil), mengacu pada penyalahgunaan kewenangan
harian yang dipercayakan kepada pejabat public tingkat menengah dan kecil dalam
berinteraksi dengan masyarakat, yang sering mencoba untuk mengakses barang
primer (bahan-bahan pokok) dan jasa-jasa di tempat-tempat seperti sekolah,
kepolisan, rumah sakit, dan instansi lainnya. Misalnya: Untuk mengurus urusan
administrative (contoh: Akte kelahiran anak, e-KTP, SIM, Izin Buka Usaha, dsb) akan
dipermudah apabila ada uang tambahan atau istilahnya uang pelicin untuk petugas
pengurus.
3) Political Corruption (Korupsi Politik) adalah manipulasi kebijakan, institusi, dan
aturan prosedur dalam alokasi sumber daya dan pembiayaan oleh pengambil
keputusan politik, yang menyalahgunakan posisi mereka untuk mempertahankan
kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Misalnya: Kasus korupsi perihal suap
perkara hasil pemilihan kepala daerah Lebak, Banten Tahun 2013, yang melibatkan
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Gubernur Banten, dan mantan calon
kepala daerah Lebak, Banten. Juga kasus dugaan suap dan penerimaan gratifikasi
terkait pembahasan APBN Perubahan Tahun 2013 yang menyeret Mantan Ketua
Komisi VII DPR RI.
Berdasarkan Gone Theory yang dikemukan oleh Jack Bologne, terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain:
-
Expossure (Tekanan);
Opportunities (Peluang/ kesempatan);
Greeds (Keserakahan); dan
Needs (Kebutuhan).
Namun, masih terdapat faktor rasionalisasi (rationalization) yang juga menjadi faktor
penyebab fraud. Hal tersebut senada dengan John Cassidy dalam artikelnya yang
berjudul Rational Irrationality, yang mana menjelaskan krisis keuangan dengan
teori permainan/ game theory dimana pada posisi ini korupsi dapat teraplikasikan
dengan sangat baik.
Sedangkan para peneliti korupsi telah mengelompokkan teori-teori yang akan
mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab korupsi endemic di negara-negara
berkembang ke dalam 3 (tiga) macam: (1) Teori Utama Ekonomi; (2) Patrimonalisme;
dan (3) Teori Bangsa Kleptokratis. Kita dapat menemukan bukti-bukti yang
mendukung ketiga teori tersebut di Indonesia.
1) Teori Utama Ekonomi (Mainstream Economic Theory)
Para ekonom yang telah mengikuti perkembangan ekonomi Indonesia berpendapat
bahwa penyebab dari merajalelanya korupsi di Indonesia adalah pemerintah Indonesia
memainkan peran utama dalam menjalankan perekonomian negara. Peraturan tentang
pembatasan perdagangan, represi keuangan, dan lisensi ekonomi sering menjadi
penghambat yang signifikasn terhadap dunia bisnis di Indonesia. Akan tetapi, bagi
para pengusaha yang memiliki sumber daya untuk untuk menghindari Undang-undang
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif | 11
atau memiliki jaringan politik dengan partai penguasa, akan mudah melenggang
untuk melakukan perdagangan sekalipun bisnis yang dijalankan adalah illegal
menurut hukum. Ini terjadi sebelum dan sesudah Indonesia meliberalisasi
perekonomiannya.
2) Patrimonalisme (Patrimonalism)
Dukungan untuk teori ini dapat ditemukan dalam karya-karya oleh Anderson (1972:
33-39) dan Liddle (1997: 87-88) yang menyatakan bahwa budaya Jawa, yang
mendominasi politik Indonesia adalah budaya patrimonial. Penguasa yang memiliki
klaim atas sumber daya negara, pada gilirannya akan mendistribusikan sumber daya di
antara keluarga, teman, bawahan, dan pendukung setianya. Orang dari kalangan biasa
hanya memiliki akses yang terbatas ke kekuasaan dan mereka cenderung menerima
apapun yang dilakukan oleh penguasa, meskipun hak-hak mereka dilanggar
(Robertson-Snape). Dalam sistem ini, praktek korupsi akan dengan mudah merajalela.
Hal tersebut sangat tampak dan terasa pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan
mantan presiden RI Soeharto, dimana tidak ada check and balance mekanisme untuk
mengawasi kekuasaannya.
3) Teori Bangsa Kleptokratis (Kleptocratic State Theory)
Pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan mantan presiden RI, negara Indonesia
dianggap sebagai negara yang menerapkan teori kleptokratis. Hal tersebut dapat
dibuktikan terutama saat anak-anaknya aktif ikut berpartisipasi dalam kegiatan sewamenyewa kekuasaan atas sumber daya ekonomi secara paksa, dengan menciptakan
monopoli dalam negeri dan mewajibkan kepada para investor yang ingin
memanfaatkan sumber daya ekonomi Indonesia untuk menjadi mitra bisnis anak-anak
tersebut. Teori kleptokratis tergambar dimana para pejabat dapat membuat kebijakan
ekonomi friendly-market sementara korupsi tetap berjalan (McLeod 2000a; Schwarz
2000).
Kita dapat membuktikan bahwa semua teori korupsi di atas telah sesuai dengan
gambaran di negara Indonesia.
Kami sependapat dengan apa yang menjadi pernyataan dari Theodorus M. Tuanakota
pada Buku Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif Edisi 2 Bab 7 perihal Korupsi
bahwa korupsi bukan masalah budaya. Namun, korupsi merupakan masalah yang
berkenanaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian
dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau keuntungan korupsi cenderung
memiliki 4 (empat) cirri: (1) Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak
(substantial monopoly power) atas pengambilan keputusan; (2) Pejabat yang
Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif | 12
bersangkutan mempunyai kelonggaran yang wewenang yang besar; (3) Mereka tidak
perlu mempertanggungjawabkan (tidak akuntabel terhadap) tindakan mereka; dan (4)
Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya (an
environment of low transparency).
2. Korupsi Dari Tinjauan Sosiologis dan Sosiologis Aditjondro
a. Korupsi dari Tinjauan Sosiologis
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada Jurusan Kajian Melayu, Universitas
Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di kawasan
tersebut. Dari kasus-kasus korupsi sekitar tahun 1970-1980-an yang dilaporkan oleh
Prof. Alatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Tipologi korupsinya tidak banyak
berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit kekanak-kanakan alias mencuri
terang-terangan; (b) Bahkan pemain-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah
berganti nama); dan (c) Gebrakan membawa sukses sesaat.
b. Korupsi menurut tinjauan sosiologis Aditjondro
George Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi di
Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Dalam bukunya Korupsi
Kepresidenan mengajak pembacanya mengkaji bersama dan menjawab pertanyaan:
Mengapa tuntutan untuk mengadili Soeharto karena dosa-dosa politiknya sampai
sekarang belum terlaksana? Kalaupun Soeharto dianggap terlalu tua dan lemah untuk
diadili, mengapa semua rezim pasca-Soeharto tidak berusaha melakukan repatriasi
harta rakyat yang dijarah oleh Soeharto beserta keluarga dan konco-konco-nya,
dibarengi dengan penyitaan harta jarahan yang berada di depan mata kepala kita di
dalam negeri?
Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan mengenai korupsi
kepresidenan, antara lain:
i.
Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa) yang
ii.
iii.
oligarchi; dan
Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi kepentingan mantan
penguasa dengan segala cara pemindahan kekayaan.
d. Degradasi lingkungan adalah konsekuensi lain dari sistem yang korup. Kurangnya atau
tidak adanya penegakan atas peraturan perundang-undangan lingkungan berarti bahwa
sumber daya alam yang berharga akan dieksploitasi secara sembarangan dan seluruh
sistem ekologi menjadi porak poranda. Dari pertambangan, penebangan liar, dan
perusahaan di dunia terus-menerus membayar suap sebagai imbalan atas kerusakan
yang tak terbatas.
4. Corruption Perception Index (CPI)
Corruption Perception Index (CPI) merupakan indeks komposit yang mengukur persepsi
pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan
oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan politisi. Sejak diluncurkan pada tahun
1995, CPI telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi
dalam negeri dibandingkan dengan negara lain.
Risiko korupsi dapat datang melalui dua arah, dari publik sektor ataupun dari privat sektor.
Menyikapi hasil CPI 2015 ini Transparency International Indonesia (TII)
merekomendasikan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut: