Anda di halaman 1dari 10

ATRIBUT DAN KODE ETIK AKUNTAN FORENSIK

SERTA STANDAR AUDIT INVESTIGATIF


DAN
PERNYATAAN PERANG TERHADAP KECURANGAN: SEBUAH
TINJAUAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif
Dosen Pengampu: Halim Dedy Perdana, S.E., M.SM., M.Rech., Ak., CA., CFrA

Oleh Kelompok 4:
Aziz Wahyu Suprayitno
Hana Aria Andani
Fariz Setya Putra
Priyan Mardya Kusuma
Rinto Ariwibowo

(F1315020)
(F1315046)
(F1315106)
(F1315117)
(F1315080)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
BAGIAN I

ATRIBUT DAN KODE ETIK AKUNTAN FORENSIK SERTA


STANDAR AUDIT INVESTIGATIF
A. Atribut Seorang Akuntan Forensik
Atribut seorang Akuntan Forensik adalah bagaimana seorag auditor memahami suatu
entitas dengan kaitannya entitas lain. Atribut seorang akuntan forensik dalam melakukan
investigasi terhadap Fraud yaitu :
1. Hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
2. Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan kecurangan
(perpetrator intent to commit fraud).
3. Kreatiflah, berpikir seperti pelaku kejahatan, jangan mudah ditebak dalam hal arah
pemeriksaan, penyelidikan, atau investigasi yang dilakukan (be creative, think like a
perpetrator, do not be predictable).
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan.
5. Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan
kecurangan dalam investigasi proaktif), si auditor harus mempertimbangkan apakah
kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.
Dari penjelasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Dari awal upayakan menduga siapa pelaku.
2. Fokus pada pengumpulan bukti untuk proses pengadilan.
3. Kreatif dalam menerapkan teknik investigasi, berpikir seperti penjahat, jangan mudah
ditebak.
4. (kalau sistem pengendalian intern sudah baik), fraud hanya bisa terjadi karena
persekongkolan, investigator harus memiliki indera atau intuisi yang tajam untuk
merumuskan teori mengenai persekongkolan; ini adalah sebagai bagian dari teori
mengenai fraud.
5. Kenali pola fraud. Ini memungkinkan investigator menerapkan teknik investigasi
yang sukses.
B. Karakteristik Seorang Pemeriksa Fraud
Berdasarkan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). Pemeriksa Fraud adalah
profesi gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (investigator).
Pemeriksa fraud harus memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Pemeriksa fraud harus memiliki kemampuan yang unik. Di samping keahlian
teknisnya, pemeriksa fraud juga haeus memilik kemampuan lain seperti
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih
(mengikuti ketentuan perundang-undangan), akurat, serta mampu melaporkan faktafakta itu secara akurat dan lengkap.

2. Pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri


orang lain sehingga tujuan spesifik yakni mendapat informasi dapat tercapai. Hal
tersebut juga diperlukan karena pemeriksa fraud berurusan dengan segala macam
jenis manusia dari berbagai latar belakang. Idealnya, pemeriksa harus mempunyai
kepribadian yang menarik dan memotivasi orang lain untuk membantunya.
3. Setiap orang itu unik (tiada duanya). Pemeriksa fraud harus mampu berkomunikasi
dalam bahasa mereka.
4. Pemeriksa fraud harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsep-konsep
keuangan, dan kemampuan untuk menarik kesimpulan terhadapnya.
C. Kualitas Akuntan Forensik
Berdasarkan jawaban kuesioner yang dibagikan oleh Robert J. Lindquist, kualitas yang
harus dimiliki seorang akuntan forensik antara lain :
1. Kreatif
Kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang
normal dan mempertimbangkan interpreatsi lain, yakni bahwa itu tidak perlu
2.

merupakan situasi bisnis yang normal.


Rasa ingin tahu
Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian

peristiwa dan situasi.


3. Tak menyerah
Kemampuan untuk maju terus pandang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak
mendukung dan ketika dokumen dan informasi sulit diperoleh.
4. Akal sehat
Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata.
5. Business sense
Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan dan bukan
sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
6.

Percaya diri
Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di
bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).

D. Independen, Objektif dan Skeptis


Independen adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain,
tidak tergantung pada orang lain. Dalam SPAP (IAI, 2001: 220.1) auditor diharuskan
bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan
pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai
auditor intern).
Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan
anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur

secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan
atau dibawah pengaruh pihak lain
Skeptisme merupakan sikap/pikiran selalu mempertanyakan atau mengasumsikan
kerentanan terhadap suatu kecurangan tetapi juga tidak membenarkan kejujuran yang
absolut.
Sikap tersebut merupakan sikap yang harus melekat pada diri seorang auditor. Ketiganya
juga tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan akuntan forensik.
E. Kode Etik Akuntan Forensik
Kode etik ini berisi nilai-nilai luhur yang amat penting bagi eksistensi profesi. Profesi
bias eksis karena ada integritas (sikap jujur),rasa hormat dan kehoprmatan,dan nilai-nilai
luhur lainnya yang menciptakan rasa percaya dari pengguna dan stackholders lainnya
Seorang ahli hukum berkebangsaan Inggris, Lord (John Fletcher) Moulton membedakan
tiga wilayah tingkat manusia yaitu:
1. Wilayah hukum positif, di mana orang patuh karena ada hukum dan hukuman untuk
ketidakpatuhan.
2. Wilayah kebebasan memilih, di mana orang mempunyai kebebasan penuh untuk
menentukan sikapnya.
3. Wilayah yang ketiga merupakan wilayah yang berada di tengah-tengah kedua wilayah
yang

telah

disebutkan

sebelumnya

atau

disebut

Lord

Moulton

sebagai

kesopansantunan.
Menurut Moulton, yang menentukan kebesaran suatu bangsa adalah berapa besarnya
kepatuhan bangsa itu akan hal-hal yang tidak dapat dipaksakan kepadanya (namun
mengandung nilai-nilai yang luhur) atau dengan kata lain kebesaran suatu bangsa
ditentukan oleh kepatuhannya akan ethics. Berikut adalah contoh suatu kode etik yang
dalam hal ini berlaku di dalam KPK/ Komisi Pemberantasan Korupsi (sebagian dari kode
etik):
1. Nilai-nilai dasar pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dilaksanakan dalam
bentuk sikap, tindakan, dan perilaku Pimpinan KPK.
2. Pimpinan KPK wajib menjaga kewenangan luar bisa yang dimilikinya demi martabat
KPK dan martabat pimpinan KPK dengan perilaku, tindakan, sikap, dan ucapan
sebagaimana dirumuskan dalam Kode Etik.
3. Kode Etik diterapkan tanpa toleransi sedikit pun atas penyimpangannya (zero
tolerance) dan mengandung sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
4. Perubahan atas Kode Etik Pimpinan KPK menurut keputusan ini akan segera
dilakukan berdasarkan tanggapan dan masukan dari masyarakat yang ditetapkan oleh
Pimpinan KPK.
Terdapat dua hal yang menarik dari Kode Etik di atas yaitu pimpinan KPK menetapkan
kode etik bagi mereka sendiri yakni pimpinan KPK memulai dari diri mereka sendiri dan

bukan dari karyawan mereka dan yang kedua adalah kode etik tersebut sejalan dengan
temuan IRS terhadap orang Amerika yang berlatar belakang etnis Asia.
Dalam pelaksanaan kode etik, tidak cukup hanya dengan memiliki dokumen mengenai
Standar dan Kode Etik, diperlukan pula penegakan yang tegas dan konsisten sehingga
kredibilitas profesi tidak diragukan. Mempunyai dokumen mengenai Standar dan Kode
Etik sendiri hanya merupakan langkah awal yang baik untuk memulai pelaksanaan kode
etik tersebut.
F. Standar Audit Investigatif
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett merumuskan beberapa standar untuk mereka
yang melaksanakan investuagasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah
investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai perusahaan. Standar tersebut antara
lain :
Standar 1: Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui
(accepted best practice).
- Dalam istilah ini tersirat dua hal yaitu adanya upaya membandingkan antara
praktekpraktek yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik saat itu (benchmarking)
dan upaya benchmarking dilakukan terus menerus mencari solusi terbaik.
Standar 2: Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care)
sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.
Standar 3: Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi
dan diindeks, dan jejak audit tersedia.
- Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada penyelidikan di kemdian
hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar dan juga
membantu perusahaan dalam upaya perbaikan cara-cara investigasi sehingga accepted
best practice dapat dilaksanakan.
Standar 4: Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senatiasa menghormatinya.
- Apabila investigasi dilakukan dengan cara yang melanggar hak asasi pegawai yang
bersangkutan dapat membuat perusahaan dan investigator dituntut.
Standar 5: Beban pembuktian ada pada yang menduga pegawainya melakukan
kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut baik
dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
- Di Indonesia, terdapat tindak pidana di mana beban pembuktian terbalik
dimungkinkan yang membuat jaksa penuntut umum harus mengajukan sedikitnya dua
alat bukti yang memberikan keyakinan kepada hakim.
Standar 6: Cakup seluruh substansi investigasi dan kuasai seluruh target yang
sangat kritis ditinjau dari segi waktu.

- Sejak investigator memulai investigasinya, ia harus menentukan cakupan mengenai


hal-hal yang esensial dalam tugasnya.
Standar 7: Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk
perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan
pihak ketiga, pengamanan menganai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara
atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.

BAGIAN II
PERNYATAAN PERANG TERHADAP KECURANGAN:
SEBUAH TINJAUAN
Kecurangan adalah tindakan yang membawa kerugian yang tidak sedikit bagi suatu
organisasi. Untuk itu, perusahaan harus mengupayakan suatu tindakan untuk mencegah
terjadinya tindak kecurangan. Ada 4 tindakan yang bisa dilakukan oleh perusahaan yaitu :
1) Pencegahan kecurangan
2) Pendeteksian kecurangan
3) Investigasi kecurangan
4) Tindak lanjut secara hukum dan upaya penyelesaiannya
Investigasi kecurangan dan tindak lanjut secara hukum merupakan tindakan yang
memerlukan biaya lebih tinggi dibandingkan dengan pencegahan dan pendeteksian
kecurangan.
1) Pencegahan Kecurangan
Merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi kerugian akibat kecurangan.
Organisasi harus bertindak tegas terhadap para pelaku kecurangan sehingga orang lain
tidak akan berani untuk melakukan kecurangan lagi. Usaha pencegahan selain
mengurangi tindak kecurangan juga memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan
itu sendiri.
Faktor-faktor yang ada dalam segitiga kecurangan terkadang sangat kuat untuk
memotivasi seseorang melakukan kecurangan, bahkan tindakan pencegahan yang
dilakukan perusahaan terlihat seperti tidak bermanfaat.
Menciptakan budaya jujur dan beretika. Mengandung 5 elemen penting, antara lain:
1. Keteladanan perilaku manajemen puncak. Manajemen harus memperkuat pegawainya
melalui sanksi tegas ketika perilaku yang tidak etis terjadi dalam organisasi dan tidak
lagi bisa ditoleransi.
Penelitian menyatakan bahwa orang yang berbohong memiliki 4 alasan yang
mendasari, karena takut terhadap sanksi yang buruk, ketakutan tersebut kemudian
menyebabkan seseorang untuk terus berbohong, karena melihat contoh-contoh yang
tidak baik mengenai kebohongan karena mereka berpikir bahwa dengan kejujuran
mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.
2. Mempekerjakan pegawai yang tepat. Tidak semua orang berbuat jujur atau memiliki
kode etik yang baik. Menurut hasil pnelitian, mayoritas orang memilih untuk
berbohong supaya tidak mendapatkan hasil yang buruk.

Prosedur untuk melakukan seleksi pegawai bisa dimulai dari investigasi latar
belakang calon pegawai, cek referensi yang ditunjukkan oleh calon pegawai, menguji
kejujuran pegawai, dan lain-lain. Model pengembangan etik berikut adalah penjelasan
mengenai mengapa seseorang berbuat tidak etis
Kepemimpinan Etis
Membantu orang lain agar menjadi etis
Keyakinan Etis
Kesediaan untuk mempertahankan etika
Penerapan Etika dalam Situasi Bisnis
Praktik kecurangan, konirmasi yang menyesatkan, dan
ketidakwajaran
Pemahaman Etis secara Pribadi
Benar/salah, keadilan, kejujuran, integritas pribadi, rasa hormat pada orang
lain

3. Mengomunikasikan ekspektasi dari kejujuran dan integritas meliputi identifikasi dan


kodifikasi nilai dan etika yang sesuai, pelatihan kesadaran kecurangan yang
membantu pegawai memahami permasalahan yang berpotensi menimbulkan
kecurangan dan bagaimana melaporkan atau menyelesaikannya, mengkomunikasikan
ekspektasi yang konsisten mengenai adanya sanksi atas pelanggaran yang terjadi.
Kode etik yang efektif adalah berupa suatu yang tertulis, kemudian dikomunikasikan
ke pelanggan, pegawai, dan pemasok, dan harus dikembangkan untuk mendorong
manajemen dan pegawai agar bertindak etis.
4. Menciptakan lingkungan kerja yang positif.
5. Penanganan atas kecurangan yang terjadi. Kebijakan yang efektif untuk menangani
kecurangan adalah harus memastikan bahwa fakta diinvestigasi secara mendalam,
kemudian dilakukan tindakan yang tegas dan konsisten terhadap para pelaku, terdapat
penilaian dan peningkatan atas risiko dan pengendalian, serta komunikasi dan
pelatihan kepada seluruh anggota perusahaan secara terus-menerus.
2) Pendeteksian Kecurangan
Sebagian kecurangan dimulai dari jumlah kecil yang tidak signifikan, dan jika tidak
ketahuan maka akan terus berlanjut ke jumlah yang lebih besar. Kejadian yang membuat
pelaku merasa ketakutan atau terancam akan membuatnya menghentikan kecurangan, tapi
nantinya kecurangan akan berlanjut lagi jika pelaku merasa keadaan sudah kembali aman.
Apabila dalam suatu kasus kecurangan melibatkan manajemen puncak atau owner,
pencegahan akan sulit dilakukan sehingga harus dilakukan pendeteksian kecurangan sejak
dini.

Tidak semua kecurangan dapat dicegah. Oleh karena itu, perusahaan sebaiknya
menerapkan pengendalian preventif untuk mencegah terjadinya kecurangan, maupun
pengendalian detektif untuk menghentikan kecurangan yang telah terjadi sebelum
berkembang menjadi lebih parah.
Cara yang umumnya digunakan untuk mendeteksi kecurangan adalah secara tidak
sengaja, menyediakan beberapa alternatif untuk orang yang ingin melaporkan bahwa
tindakan kecurangan tegah terjadi, dan memeriksa catatan dan dokumen transaksi untuk
menentukan apakah ada kejanggalan yang merujuk pada terjadinya kecurangan.
3) Investigasi Kecurangan
Tujuan investigasi ini adalah untuk mengetahui kebenaran apakah indicator yang diamati
menunjukkan tindak kecurangan atau hanya kesalahan yang tidak disengaja. Akan ada
suatu dugaan sebelum seseorang benar-benar tahu apakah kecurangan benar terjadi atau
tidak. Dugaan mengacu pada keseluruhan situasi yang akan membuat pegawai meyakini
bahwa kecurangan tengah terjadi.
Jika investigasi tidak dilakukan dengan benar, amka akan merusak reputasi seseorang dan
pelaku sebenarnya tetap bebas melakukan kecurangan. Ada 4 bukti yang bisa diakumulasi
dalam investigasi kecurangan, yaitu :
1. Bukti testimonial
2. Bukti dokumentasi
3. Bukti fisik
4. Pengamatan pribadi
Investigasi dilakukan dengan melakukan penyelidikan terhadap elemen-elemen yang ada
di segitiga kecurangan. Peneliti akan menemukan adanya tekanan yang dirasakan pelaku,
peluang yang dimiliki, dan rasionalisasi bahwa orang lain telah mendengarnya.
4) Tindak Lanjut secara Hukum
Ada tanda tanya besar ketika terjadi suatu tindakan kecurangan, yaitu mengenai tindakan
apa yang seharusnya diambil oleh perusahaan. Ada 3 alternatif tindakan yang biasanya
diambil perusahaan dan korban kecurangan.
1. Tidak mengambil tindakan hukum
2. Tindakan secara Pidana. Perusahaan harus bekerjasama dengan lembaga penegakan
hukum agar pegawai yang melakukan kecurangan bisa dikenai sanksi hukum. Namun,
untuk mendapatkan putusan pidana lebih sulit karena bukti yang diperlukan haruslah
bukti di luar keragu-raguan yang beralasan bahwa pelaku sengaja mencuri.

3. Tindakan secara Perdata. Jarang ditemui pada kasus nyata, karena uang yang dicuri
pelaku biasanya sudah habis dipakai. Namun, tindakan perdata ini lebih umum
dilakukan ketika kecurangan melibatkan organisasi lain.

Anda mungkin juga menyukai