Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Teknik pertambangan yang digunakan dilakukan di Indonesia adalah teknik
pertambangan terbuka ( Open Pit Mining ) dengan metoda gali isi kembali ( back
filling methods ). Penggunaan teknik ini mengakibatkan terjadinya pembukaan
areal bervegetasi dan mempunyai kecenderungan untuk bertambah seiring dengan
bertambahnya area pertambangan.
Penggunaan teknik ini juga menyebabkan terjadinya lahan kritis karena
hilangnya vegetasi penutup tanah, adanya tekanan karena hilangnya vegetasi
penutup tanah, adanya tekanan berat dari pukulan air hujan, erosi, sentuhan
langsung cahaya matahari dan terjadinya pemadatan tanah akibat aktifitas alat
berat.
Untuk menanggu1angi dampak yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan
penambangan dengan teknik penambangan terbuka, telah dilakukan kegiatan
reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang untuk memperbaiki kondisi areal
yang terbuka. Undang-undang pertambangan mineral dan batubara mewajibkan
setiap pemegang IUP dan IUPK melakukan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan pertambangan termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang.
B. Perumusan Masalah

1. Apa pengertian kegiatan tambang dan reklamasi ?


2. Apa dasar hukum dan ketentuan dalam reklamasi lahan bekas galian
tambang?
3. Upaya yang dilakukan untuk reklamasi bekas bahan galian tambang ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian kegiatan tambang dan reklamasi.
2. Mengetahui mengenai dasar dasar hukum yang mengatur tentang
reklamasi tambang.
3. Mengetahui bagaimana cara upaya mereklamasi lahan tambang.

BAB II
ISI

A. Pengertian Tambang dan Reklamasi


Teknik. penambangan batubara yang umum dilakukan di Indonesia
adalah teknik penambangan terbuka (open pit mining) dengan metoda gali-isi
kembali (back filling methods). Dampak yang ditimbulkan dari penambangan
tersebut adalah lapisan penutup tanah yang sudah tidak ada karena topsoil dan
subsoil dibalik. dan digusur, sedangkan bahan induk muncul di permukaan. Proses
penggalian pada lahan bekas tambang batu bara mengakibatkan terangkatnya
bahan-bahan sulfidik ke permukaan sehingga menyebabkan teroksidasi, proses
oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit, akan melepaskan asam asam sulfat
yang berdampak pada menurunnya pH tanah secara drastis. Nilai pH tanah yang
asam ini akan mempengaruhi kesetimbangan hara dalam tanah (Ginoga, 2009).
Penggusuran tersebut menyebabkan hilangnya bahan organik tanah
sehingga tanah menjadi kritis. Tanah yang miskin akan bahan organik kurang
mampu dalam menyangga pupuk dan air, karena bahan organik merupakan koloid
tanah yang berfungsi dalam pembentukan agregat mikrahan kritis merupakan
lahan yang karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya telah mengalami
3

atau dalam proses kerusakan fisik, kimia dan biologi yang akhirnya
membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan
kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya (Hardjowigeno,
1995).
Undang-undang pertambangan mineral dan batubara mewajibkan setiap
pemegang IUP dan IUPK melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
pertambangan termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang. Reklamasi adalah
kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan
berdaya Juna sesuai dengan peruntukannya. Pada prinsipnya kawasan atau
sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus
dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui reklamasi dan
rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi
seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati (Perrow, 2002).
B. Dasar Hukum Reklamasi
Kebijakan dasar pengelolaan sumber daya alam tercantum pada pasal 33
ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Keterkaitan dengan pasal tersebut, pertambangan merupakan
komponen atau sub-sistem dari sistem kekayaan alam, sehingga pengelolaannya

perlu dilakukan secara terkoordinasi, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan,


maupun tahap pengendalian pemanfaatannya (Adisoemarto, S. 2004).
Kemudian untuk minimisasi dampak negatif dari aktivitas pertambangan,
pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan Pasal 30 dituliskan bahwa setiap pemegang kuasa pertambangan
diwajibkan untuk mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya, antara lain melalui kegiatan
reklamasi.
Perusahaan pertambangan juga wajib untuk melakukan pemulihan
kawasan bekas pertambangan dan telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan:
Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu
tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan mengembalikan
tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat
sekitarnya.
2. Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969:

Sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, baik


karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang Kuasa Pertambangan
harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda
maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat
membahayakan keamanan umum.
Regulasi diatas menjadi pijakan untuk melakukan perbaikan lingkungan
pasca tambang sehingga dampak kerusakan lingkungan bahkan sosial dapat
diminimisasi. Prosedur teknis reklamasi tambang hingga penutupan tambang juga
telah disiapkan secara jernih oleh pemerintah. Ketentuan reklamasi diatur dalam
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008
tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang (Djajakirana, G. 2001).
Pada beberapa perusahaan tambang telah dilakukan rekonstruksi lahan
dan manajemen top soil sebelum revegetasi dilakukan. Sebelum ditambana top soil
dikupas sampai pada zona perakaran tanaman dan dipindahkan ke lokasi
penimbunan sementara (soil stockpile) atau segera digunakan untuk pelapisan
tanah didaerah timbunan batuan sisa yang telah diatur kemiringannya. Setelah
kegiatan penambangan selesai, top soil dihamparkan kembali secara merata hingga
ketebalan maksimum 10 cm atau dapat juga dilakukan secara lokal (perlubang).
Setelah kegiatan reklamasi, kemudian dilakukan revegetasi. Metode revegetasi
lahan bekas tambang bermacam-macam. Ginoga dan Masripatin (2009)
menyebutkan beberapa metode revegetasi lahan yaitu restorasi, reboisasi,

agroforestri dan hydro seeding. Restorasi merupakan upaya untuk memperbaiki


atau memulihkan suatu ekosistem rusak atau menglami gangguan sehingga dapat
pulih atau mencapai suatu ekosistem yang mendekati kondisi aslinya (Perrow,
2002).
C. Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam
merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari
kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam
tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.
Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi
lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah,
yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga
dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada
daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat
yang dapat masuk ke lingkungan perairan.
1. Rekonstruksi Tanah
Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti
rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk.
Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus ditata dengan
penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal
bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase)

yang kemungkinan terganggu. Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk


teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukan juga bagi
penempatan tanaman revegetasi.
2. Revegetasi
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh,
pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan
pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas
tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi.
Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia
tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan
mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan
dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak
adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial
dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan
pemanfaatan mikroriza. Secara ekologi, spesies tanaman local dapat
beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk
itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat,
terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang
telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman
sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang
tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas
tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-

tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk. Untuk


mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan
bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya,
persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya,
penambahan

spesies

pada

lahan

tersebut,

peningkatan

humus,

pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut,
maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai
dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002).
3. Penanganan Potensi Air Asam Tambang
Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah
penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya
bahan
mengandung sulfida pada udara bebas. Secara kimia kecepatan
pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar oksigen udara dan air,
kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+, dan luas permukaan dari mineral
sulfida yang terpapar pada udara. Sementara kondisi fisika yang
mempengaruhi kecepatan pembentukan asam, yaitu cuaca, permeabilitas
dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air pori, dan kondisi hidrologi.
Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah
pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan
terbentuk. Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir
sebaran mineral sulfida
sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar
tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan
9

impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya prose


pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah. Produksi air asam
sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk
mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam diolah pada
instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk
dibuang ke dalam badan air. Penanganan dapat dilakukan juga dengan
bahan penetral, umumnya menggunakan batugamping, yaitu air asam
dialirkan melewati bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman
(Suprapto, 2006).
4. Pengaturan Drainase
Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama
untuk menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang
sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan
penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus
memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum,
serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik
periode
waktu jangka panjang maupun pendek.
Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona
mengandung sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase
menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk menghindarkan pelarutan
sulfida logam yang potensial menghasilkan air asam tambang
5. Tataguna Lahan Pasca Tambang
Lahan bekas tambang tidak selalu dekembalikan ke peruntukan
semula. Hal ini tertgantung pada penetapan tata guna lahan wilayah

10

tersebut. Pekembangan suatu wilayah menghendaki ketersediaan lahan


baru yang dapat dipergunakan untuk pengembangan pemukiman atau
kota. Lahan bekas tambang bauksit sebagai salah satu contoh, telah
diperuntukkan bagi pengembangan kota Tanjungpinang.

11

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teknik tambang terbuka menyebabkan terjadinya lahan kritis karena
hilangnya vegetasi penutup tanah, adanya tekanan berat dari pukulan air
hujan, erosi, sentuhan langsung cahaya matahari dan terjadinya pemadatan
tanah akibat aktifitas alat berat. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai dengan peruntukannya. Dasar-dasar hukum reklamasi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, dan
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008
tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Penataan lahan bekas tambang
disesuaikan dengan penetapan tataruang wilayah bekas tambang. Lahan bekas
tambang dapat difungsikan menjadi kawasan lindung ataupun budidaya.

B. Saran
12

Untuk lahan pertambangan hendaknya segera melakukan reklamasi


yang tepat dengan cara mengidentifikasi tanah tersebut dan menentukan
tanaman apa saja yang tepat pada wilayah tersebut sehingga meminimalisir
terjadinya degradasi tanah.

13

Anda mungkin juga menyukai