Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000
diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif atau non
konginetal yang terjadi akibat rudapaksa(trauma) mekanis eksternal yang
menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik
sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian /
kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Kasus trauma terbanyak disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga,
jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.
Angka kejadian trauma kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di
jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar
rujukan yang terlambat (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut penelitian nasional Amerika Guerrero et al (2000) di bagian
kegawatdaruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala pada
anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh
benda keras. Penyebab trauma kepala pada remaja dan dewasa muda adalah
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi
cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa, kecelakaan
kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera
utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.
Trauma kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih
kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini

disebabkan karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak
yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak,
selaput otak, jaringan syaraf, pembuluh darah dan tulang (Retnaningsih, 2008).
Pemeriksaan klinis pada pasien trauma kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan
sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks. Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan
lateral. Idealnya penderita trauma kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama
bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau
sakit kepala hebat.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi trauma kepala ?
1.2.2 Bagaimana hasil epidemiologi trauma kepala ?
1.2.3 Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
1.2.4 Apa saja penyebab dari trauma kepala?
1.2.5 Bagaimana patofisiology trauma kepala ?
1.2.6 Apa saja tanda dan gejala trauma kepala ?
1.2.7 Apa saja pemeriksaan penunjang trauma kepala ?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan trauma kepala ?
1.2.9 Apa saja komplikasi dari trauma kepala?
1.2.10 Bagaimana asuhan keperawatan trauma kepala ?
1.3 Tujuan penulisan makalah
1.3.1 Mengetahui definisi trauma kepala
1.3.2 Mengetahui hasil epidemiologi trauma kepala
1.3.3 Memahami klasifikasi dari trauma kepala
1.3.4 Mengetahui penyebab trauma kepala
1.3.5 Memahami patofisiology trauma kepala
1.3.6 Mengetahui tanda dan gejala trauma kepala
1.3.7 Mengetahui pemeriksaan penunjang trauma kepala
1.3.8 Mengetahui bagaimana penatalaksanaan trauma kepala
1.3.9 Mengetahui komplikasi trauma kepala
1.3.10 Memahami bagaimana asuhan keperawatan trauma kepala
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Trauma kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierc dan Neil, 2006).
Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen (Perdossi, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), trauma kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana dapat menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, trauma kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara

langsung maupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan


terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian trauma kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama
terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga
dan rekreasi (Turner DA, 1996). Data epidemiologi di Indonesia belum ada,
tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo,
untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS,
dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat
CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
(Perdossi, 2007).
2.3 Klasifikasi
1. Berdasarkan macam cedera kepala (Brunner dan Suddarth, 2001):
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak
Atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio geger otak, kontusio
memar, dan laserasi.

2. Berdasarkan tingkat keparahan (Rosjidi, 2007):


a. Cedera kepala ringan
1) GCS = 13 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak
4) Tidak ada fraktur cerebral,hematoma.
b. Cedera kepala sedang
1) GCS = 9 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
4) Diikuti contusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial.
c. Cedera kepala berat
1) GCS = 3 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
Dewasa
Spontan
Dengan perintah
Dengan rangsang nyeri
Tidak ada respon
Orientasi baik
Disorientasi
Kata-kata tidak teratur

Respon
Bayi dan anak-anak
Respon membuka mata (E)
4
Spontan
3
Dengan perintah
2
Dengan rangsang nyeri
1
Tidak ada respon
Respon verbal (V)
5
Orientasi baik
4
Menangis tetapi dapat
3

ditenangkan
Menangis dan tidak dapat

ditenangkan
Menggumam
2
Menggumam dan agitatif
Tidak ada respon
1
Tidak ada respon
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
6
Aktif
Melokalisir rangsang nyeri
5
Melokalisir rangsang nyeri
Menghindarai rangsang nyeri
4
Menghindarai rangsang nyeri
Fleksi abnormal
3
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
2
Ekstensi abnormal
Tidak ada respon
1
Tidak ada respon
Total skor
15

Tabel : Glasgow Coma Scale


Sumber: ilmu bedah saraf Satyanegara (2010) hal.185

2.4 Etiologi
Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan lalu lintas,
2. Terjatuh/ terbentur.
3. Kecelakaan pada saat olah raga.
4. Cedera akibat kekerasan/ penganiayaan.
5. Tertembak peluru atau terkena benda tajam.
2.5 Manifestasi klinis
1. Cedera kepala ringan, menurut Sylvia A (2005):
a) Skala GCS 13-15 (sadar penuh, atentif dan orientatif)
b) Kebingungan saat kejadian
c) Pusing dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
d) Tidak ada kehilangan kesadaran (konkusi)
e) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku.
2. Cedera kepala sedang, menurut Diane C (2002):
a) Skala GCS 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai kebingungan atau
bahkan koma
c) Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, defisit neurologis,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi
sensorik, kejang otot, sakit kepala,mual muntah, vertigo dan
gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, menurut Diane C (2002):
a) Skala GCS 3-8 (koma)
b) Amnesia
c) Pupil tidak aktual, pemeriksan motorik tidak aktual adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik
d) Nyeri, biasanya menunjukkan adanya fraktur
e) Fraktur pada kubah kranial yang menyebabkan pembengkakan pada
area tersebut.
2.6 Patofisiologi
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh/
terbentur,terkena tembakan, dan lain-lain
Trauma kepala

Ekstra kranial
Terputusnya
kontinuitas jaringan
kulit,otot dan
vaskuler
Perdarahan dan
hematoma

MK: resiko
perdarahan
Gangguan
suplai darah

Perubahan
sirkulasi CSS

Iskemia

Peningakatan
TIK

Hipoksia

Gilus medialis
lobus temporalis
bergeser
Herniasi unkus

Mesensefalon
tertekan
Gangguan
kesadaran

- mual muntah,
papioloedema
, pandangan
kabur,
penurunan
fungsi
pendengaran,
nyeri kepala.
MK: resiko cedera
Imobilisasi

Ansietas

MK: resiko
infeksi

Tulang kranial

Intra kranial

Treputusnya
kontinuitas
jaringan tulang

Jaringan otak
rusak(kontusio
laserasi

MK: nyeri akut

Perubahan
autoregulasi
dan oedema
serebral

MK: Kerusakan
memori
MK:
ketidakefektifan
perfusi jaringan
serebral
MK: Resiko
kekurangan
volume cairan

Tonsil serebrum
bergeser
MK: Hambatan
mobilitas fisik

Kejang
Gangguan
neurologis
vokal

- Bersihan jalan
nafas
- Obstruksi jalan
nafas
Defisit
- Dispnea
neurologis
- Henti nafas
- Purubahan pola
MK:
nafas
Gangguan
MK:
persepsi
Ketidakefektifa
sensori
n bersihan jalan
nafas
Kompresi medula
oblongata

Menurut Amin H & Hardi K (2015)

2.7 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti Ct-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang.
6. Pungsi Lumbal CSS : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7

7. PET (Pesikon Emission Tomografi): menunjukkan aktivitas metabolisme


pada otak.
8. GDA (Gas Darah Arteri) : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
9. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial
10. BAER (Brain Eauditory Evoked): menentukan fungsi dari kortek dan
batang otak.
(menurut Musliha, 2010).
2.8 Penatalaksanaan
1. Umum, menurut Tunner (2000):
a. Airway
1) Atur posisi : posisi kepala datar dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
2) Pertahankan kepatenan jalan nafas
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi, capillary rafill
time, sianosis pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadap cahaya
3) Monitoring tanda tanda vital
4) Monitoring intake dan output
2. Khusus, menurut Tunner (2000):
a. Konservatif: Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
b. Operatif: Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c. Monitoring tekanan intrakranial: yang ditandai dengan sakit kepala
hebat, muntah proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
3. Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi, menurut Mansjoer (2000):
a. Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 1415)
1) Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau
hasil CT Scan abnormal
2) Indikasi rawat inap adalah riwayat hilang kesadaran, sakit kepala
sedangberat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan,
fraktur tulang tengkorak, adanya kebocoran liuor serebro-spinalis

(rinorre/ottorea), cedera penyerta yang bermakna, indikasi sosial


(tidak ada keluarga atau pendamping di rumah).
3) Bila tidak memenuhi kriteria rawat inap maka pasien dipulangkan
dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah
sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan, seperti:
a. mengatuk dan sukar dibangunkan
b. mual, muntah dan pusing yang hebat
c. kelumpuhan sala satu sisi anggota gerak dan kejang
d. nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
e. bingung,gelisah, tidak mampu berkonsentrasi
f. perubahan denyut nadi atau pola pernapasan.
4) Observasi tanda-tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara
periodik setiap - 2 jam.
5) Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR
kecuali memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan
neurologis normal.
b. penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)
1) Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis
secara periodik.
2) Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali,
bila kondisi memburuk dilakukan CT Scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala sedang.
c. Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS > 8)
1) Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi
dan jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera
cervical dapat disingkirkan.
2) Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk
resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang
terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3) Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota
tubuh lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
4) Berikan manitol IV dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat
mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi dan
peningkatan TIK yang mencolok.
5) Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg
31, furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada
edema cerebri, berikan anti perdarahan.

6) Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan


anti kejang jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi
pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7) Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin IV untuk mencegah
perdarahan gastrointestinal.
8) Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
2.9 Komplikasi
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah ke
otak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardi) dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memperburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg,yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita cedera kepala. Peningkatan vasokontriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru,
perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan
karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut (Rosjidi, 2007).
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg,dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian (Rosjidi, 2007).
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama
fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
10

perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas


paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan (Rosjidi, 2007).
4. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulang temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga (Rosjidi, 2007).
5. Infeksi
Frekuensi tengkorak atau luka terbuka dapat merobek membran
(meningen) sehingga kuman dengan mudah dapat masuk. Infeksi
meningen ini sangat berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial
untuk menyebar ke sistem saraf yang lain (Rosjidi, 2007).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
Contoh Kasus:
Tn. A, 37 tahun dibawa ke UGD RSUD setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas saat mengendarai motornya. Lokasi kejadian berjarak 2 jam dari RSUD. Tn. A
tidak memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika sadar ia
kembali mengeluh bahwa kepalanya terasa sakit dan Tn. A muntah sebanyak 3 kali.
Saat dilakukan periksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang
nyeri dan menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan
pada sisi kiri. Tekanan darah : 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, nadi:
52x/menit, suhu : 37,8 C .tampak jejas dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan.
Pupil mengalami dilatasi dan refleks cahaya pada kedua pupil menurun.
3.1 PENGKAJIAN
1. PENGKAJIAN UMUM

11

a. Identitas pasien
1) Nama
:
2) Umur
:
3) Jenis kelamis
:
4) Status perkawinan:
5) Agama
:
6) Suku
:
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit kepala, wajah tidak
simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur kepala terbuka
ataupun tertutup
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat trauma masa lalu,
riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan,
kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada riwayat penyakit menular/ genetik.
2. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
Perhatikan kepatenan jalan napas, apakah ada sumbatan, sputum/ sekret,
darah, benda asing dan sebagainya.
b. Breathing
Melihat : adanya pengembangan dinding dada, penggunaaan otot bantu
nafas, pernapasan cuping hidung, sianosis,respirasi cepat (takipnea).
Mendengar : terdengar suara nafas stridor (indikasi adanya obstruksi
parsial jalan nafas).
Merasakan : hembusan nafas.
c. Circulation
Akral dingin, kulit pucat, adanya perdarahan (dimulut, telinga, hidung),
capilarry refille time.
d. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer Et all ( 2000) penilaian
GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a) Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan
orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

12

e) Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit


kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a) Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b) Konkusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
a) Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda neurologis fokal
d) Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
e. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu ruangan, pertahankan suhu ruangan yang
3.

normal.
PENGKAJIAN SKUNDER
a. Breathing (B1)
Perubahan system persyarafan tergantung gradasi dari perubahan
serebral akibat trauma kepala.
b. Blood (B2)
1) Sering ditemukan syok hipovelemik pada cedera kepala sedang
dan berat. Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi,
takikardi dan aritmia. Frekuansi nadi cepat dan lemah Karena
homeostatis tubuh untuk menyeimbangkan kebutuhan oksigen
perifer.
2) Nadi bradikardi sebagai tanda perubahan perfusi jaringan otak
3) Kulit pucat karena penurunan kadar hemoglobin dalam darah
4) Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan
tanda-tanda awal dari syok
5) Terjadi retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus
sehingga elektrolit meningkat.
c. Brain (B3)
1) Pengkajian tingkat kesadaran : letargi,stupor,semikomatosa
sampai Koma
2) Pengkajian fungsi serebral
3) Pengkajian saraf cranial
d. Bladder (B4)

13

1) Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat


terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal
2) Setelah cedera kepala,klien dapat terjadi inkotinensia urine
e. Bowel (B5)
1) Terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan
muntah pada fase akut. Defekai terjadi kontipasi akibat
penurunan peristaltic usus
2) Pemeriksaan rongga mulut terdapat mulut dan dehidrasi
3) Bising usus menurun atau hilang. Motilitas usus menurun
f. Bone (B6)
Disfungsi motorik yaitu : kelemahan pada seluruh ekstrimitas. Kaji
warna kulit ,suhu kelembapan dan turgor kulit,warna kebiruan. Pucat
pada wajah dan membran mukosa karena rendahnya kadar hemoglobin
atau syok.
3.2 ANALISA DATA
No
1.

SYMPTOM
DS:
-

ETIOLOGI
trauma kepala

Keluarga mengatakan

perfusi jaringan

pasien masih belum

kerusakan pada

sadar

tulang tengkorak

DO:
- KU: lemah, gelisah,
kesadaran stupor
Pasien tampak
meringis menahan
-

nyeri
Palpebra edema dan

ada jejas (kebiruan)


Pupil anisokor
Akral dingin
CRT > 2 detik

PROBLEM
Ketidakefektifan
serebral

Perdarahan
Penambahan volume
intrakranial pada
cavum serebral
Kompresi pada vena
sehingga terjadi
stagnai aliran darah
Peningkatan TIK
Penurunan aliran

14

darah ke otak
Perubahan perfusi
jaringan serebral
2.

DS:
-

Trauma
Keluarga mengatakan
pasien masih belum
sadar.

DO:
-

bersihan jalan nafas


Jaringan otak rusak
Perubahan
autoregulasi, oedema

Suara nafas stridor


Terdapat sumbatan
berupa darah dan

Ketidakefektifan

lendir
Pasien terlihat sesak
dengan frekuensi
nafas 37x/menit

serebral
Kejang
Dispnea, obstruksi
jalan nafas, bersihan
jalan nafas
terganggu
Ketidakefektifan

3.

bersihan jalan nafas


Peningkatan TIK

DS:
-

Keluarga mengatakan

Resiko kekurangan
volume cairan

pasien masih belum

gilus medialis lobus

sadar

temporalis tergeser

DO:
-

Mukosa bibir kering


Pasien tampak pucat

dan lemas
Bising usus

meningkat
Konjungtiva anemis

mual muntah,

resiko kekurangan
volume cairan

3.3 Diagnosa prioritas


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas, ditandai dengan dispnea.

15

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d penurunan ruangan untuk


perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral.
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perubahan kadar
elktrolit serum (muntah)
3.4 Intervensi keperawatan
No
1.

Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan

Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC:
NIC:

bersihan jalan nafas

1. Respiratory status :

berhubungan dengan

ventilation
2. Respiratory status :

obstruksi jalan nafas,


ditandai dengan dispnea.

airway patency
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 1x30
menit, bersihan jalan nafas
dapat teratasi dengan
kriteria hasil :
1. Mendemontrasikan
batuk efektif dan
suara nafas yang
bersih, tidak ada
sianosis dan dispnea
(mampu
mengeluarkan
sputum, mampu
bernapas dengan
mudah, tidak ada
pursed lips).
2. Menunjukkan jalan
nafas yang paten
(klien tidak merasa
tercekik, irama nafas,

1. Posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi.
2. Monitor repirasi dan
status O2
3. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
4. Monitor TTV
5. Monitor pola nafas
6. Lakukan fisio terapi
dada dan pasang
mayo jika perlu
7. Keluarkan sekret
dengan batuk atau
suction
8. Pertahankan jalan
nafas yang paten
9. Observasi adanya
tanda-tanda
hipoventilasi
10. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian
bronkodilator.

frekuensi pernapasan

16

dalam rentang
normal, tidak ada
suara napas
abnormal).
3. Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah faktor
yang dapat
menghambat jalan
nafas.
2.

Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral b/d
penurunan ruangan untuk

NOC:
1. Circulation status
2. Tissue perfusion :
cerebral

perfusi serebral,
sumbatan aliran darah
serebral.

NIC:

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 1x 8
jam perusi jaringan serebral
dapat tertasi dengan kriteria
hasil :
1. Tekanan sisteole dan
diastole dalam
rentang yang
diharapkan
2. Tidak ada ortostatik
hipertensi
3. Tidak ada tandatanda peningkatan
TIK
4. Dapat

1. Monitor adanya
daerah tertentu yang
hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tu
mpul.
2. Monitor adanya
paratese
3. Batasi gerakan pada
leher, kepala dan
punggung.
4. Monitor adanya
tromboplebitis
5. Kolaborasi pemberian
antibiotik untuk
mencegah terjadinya
infeksi pada cedera
kepala terbuka.

berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai kemampuan
5. Menunjukkan fungsi
sensori motorik
cranial yang utuh:
17

tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan
involunter.
3.

Resiko kekurangan
volume cairan
berhubungan dengan
perubahan kadar elktrolit

NOC:

NIC:

1. Fluid balance
2. Hydration
3. Nutritional status :
food and fluid intake

serum (muntah).
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x8
jam jam, kekuragan volume
cairan pasien dapat teratasi
dengan kriteria hasil :
1. Mempertahankan
urin output sesuai
dengan usia dan BB
2. TTV dalam batas
normal
3. Tidak ada tandatanda dehidrasi,

1. Monitor TTV
2. Monitor status
hidrasi
(kelembaban
membran mukosa,
nadi adekuat, TD
ortostatik)
3. Monitor intake
dan urin output
4. Monitor elektrolit
5. Monitor tanda dan
gejala dari edema
6. Monitor BB
7. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian obatobatan.

elastisitas turgor
kulit baik, membran
mukosa lembab,
tidak ada rasa haus
yang berlebihan.
4. Elektrolit, HB dalam
batas normal
5. PH urin dalam batas
normal

18

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif atau non
konginetal yang terjadi akibat rudapaksa(trauma) mekanis eksternal yang
menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik
sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian /
kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Kasus trauma terbanyak disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga,
jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.
Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi
cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa, kecelakaan
kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera
utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan
sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks. Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan

19

lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama


bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau
sakit kepala hebat.
4.2 Saran
Kepada Mahasiswa Keperawatan STIKes Kendedes Malang diharapkan
dapat mengerti tentang asuhan keperawatan pada klien cedera kepala serta
mampu untuk memberikan komunikasi yang jelas kepada pasien dalam
mempercepat penyembuhan. Berikan pula Penatalaksanaan yang efektif dan
efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kepada dosen
pembimbing dapat memberikan penjelasan secara merinci kepada Mahasiswa
tentang askep pada pasien cedera kepala agar semua Mahasiswa dapat benarbenar memahami asuhan keperawatan pada klien cedera kepala.

DAFTAR PUSTAKA

Amin H & Hardhi K, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan NANDA. MediAction. Jogjakarta.

20

Batticaca,Fransisca B, 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta:Salemba Medika
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November
2007. Pekanbaru.
Brunner & suddarth.1997.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah E/3 Vol.3.
Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Musliha,S.Kep.,Ns. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta:Nuha Medika
Syaifuddin.2009. Fisiologi Tubuh Manusia E/2.Jakarta.Salemba Medika
MansJoer, Arif, 2000. KapitaSelektaKedokteran,MediaAesculapius.Jakarta.
Suzanne C, Brenda GB. 2000. BukuAjarMedikalBedah,Edisi8.Volume3. EGC:Jakarta.
Brain Injury Association of America. Types of Brain
Injury. Http://www.biausa.org [diakses 9 Januari 2013]

21

Anda mungkin juga menyukai