Anda di halaman 1dari 21

TUBERKULOSIS PARU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


di SMF. Ilmu Kesehatan Paru RSU Haji Surabaya

Oleh:
Atika Caesarini, S.Ked

NIM. 2013 104 01011 054

SMF ILMU KESEHATAN PARU RSU HAJI SURABAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013

BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia dan dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah
urban serta lingkungan yang padat (Amin, 2009)
Penyakit infeksi menular ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
kuman batang aerobic dan tahan asam yang dapat berupa organism pathogen maupun
saprofit. ada beberapa mikobakteri pathogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia
yang patogenik terhadap manusia. basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4 m,
ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price, 2006). Robert Koch
mengidentifikasikan basil tahan asam M. tuberculosis untuk pertama kali sebagai
bakteri penyebab TB (Amin, 2009)
Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di
negara berkembang. diantara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49
tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65%
dari kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Indonesia adalah
negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina dan India (Amin,
2009). WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian
akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB (Alsagaff, 2004).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi dan struktur bakteri


Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4 m dan tebal 0,3-0,6 m. Sebagian besar dinding
kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan, dan arabidomannan. Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga
disebut BTA dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. kuman dapat
hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dorman. Dari sifat dorman ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit TB aktif kembali. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai
parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula
memfagositasi malah kemudian disenanginya karena mengandung banyak lipid
(Amin, 2009)
Sifat kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian yang lain, sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit TB (Amin, 2009)

Gambar 2.1 Bakteri M. tuberculosis

2.2 Transmisi bakteri M. tuberculosis


Proses infeksi bakteri TB umumnya melalui inhalasi sehingga TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling umum dibandingkan dengan organ lain.
penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdahak
atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) (Amin, 2009). Batuk akan
menghasilkan droplet infeksi yang pada sekali batuk dikeluarkan 3000 droplet.
penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Sinar matahari
dapat membunuh kuman dengan cepat, sedang pada ruangan gelap kuman dapat
hidup. risiko penularan infeksi akan lebih tinggi pada BTA (+) disbanding BTA (-)
(Alsagaff, 2004)

Gambar 2.2 Transmisi Bakteri TB

2.3 Patogenesis
2.3.1 Tuberkulosis Primer
Infeksi

primer

terjadi

setelah

seseorang

menghirup

mikobakterium

tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil TB akan mencapai
alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, disebut Ghon focus. Melalui
aliran limfe, basil mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus
membentuk kompleks primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar melalui
pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respon imun seluler/hipersensitivitas tipe lambat
terjadi 4-5 minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB serta kemampuan daya
tahan tubuh host akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan
kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil

menjadi kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respon
imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada
beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal
sebagai berikut:
Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, firotik, perkapuran)
Menyebar dengan cara
o Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya. Sebagai contoh adalah pembesaran
kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus
medius, berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis sehingga hal ini disebut epituberkulosis. Pembesaran kelenjar
limfe di leher dapat menjadi abses disebut skrofuloderma. Penyebaran ke
pleura menyebabkan efusi pleura.
o Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya, atau
tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus
o Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti tuberculosis
millier, meningitis, ke tulang, ginjal, dan genetalia (Alsagaff, 2004)
2.3.2 Tuberkulosis postprimer
Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa = TB postprimer = TB sekunder. Tb
sekunder terjadi karene imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit

maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal (Amin, 2009). Bentuk tuberkulosis inilah
yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Nasib sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan serbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju tersebut dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi :
Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan

diatas
Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula

aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi


Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut


sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (PDPI, 2006)
2.4 Klasifikasi TB
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis:
TB paru
Bekas TB paru
TB paru tersangka yang terbagi dalam:
o TB paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA (-) tetapi tanda-tanda lain
positif
o TB paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA (-) dan tanda-tanda lain juga
meragukan
Dalam 2-3 bulan TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru
(aktif) atau bekas TB paru.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
Kategori I: kasus baru dengan sputum (+) dan kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II: kasus kambuh, kasus gagal dengan sputum BTA (+)
Kategori III: kasus BTA (-) dengan kelainan paru yang tidak luas, kasus TB ekstra
paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV: TB kronik
Kelas
0
1
2

Tipe
Tidak ada pajanan TB
Tidak terinfeksi
Terpajan TB
Tidak ada bukti infeksi
Ada infeksi TB
Tidak timbul penyakit

TB aktif secara klinis

TB
Tidak aktif secara klinis

Keterangan
Tidak ada riwayat terpajan
Reaksi Tes Tuberculin (-)
Riwayat terpajan
Reaksi tes Tuberkulin (-)
Reaksi tes Tuberkulin (+)
Pemeriksaan bakteri (-),
tidak ada bukti klinis,
bakteriologik,
atau
radiografik TB aktif
Biakan M. tuberculosis,
terdapat
bukti
klinis,
bakteriologik,
radiografik
penyakit
Riwayat episode TB
atau
ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah;

reaksites tuberculin (+)


Tidak ada bukti klinis atau
radiografik
penyakit
sekarang
Diagnosis ditunda

Tersangka TB

Sumber: Price, 2006


Gambar 2.3 Sistem klasifikasi TB
Penggolongan berdasarkan riwayat penyakitnya:
Kasus baru: pasien yang tidak mendapat OAT > 1 bulan
Kasus kambuh: pasien pernah dinyatakan sembuh dari TB tetapi kemudian timbul lagi

TB aktifnya.
Kasus gagal: pasien dengan BTA (+) setelah mendapat OAT > 5 bulan; pasien yang
menghentikan pengobatannya setelah mendapat OAT 1-5 bulan dan BTA-nya masih

positif
Kasus kronik: pasien dengan BTA tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang yang
lengkap dan disupervisi dengan baik (Amin, 2009)

2.5 Manifestasi klinis

Gejala akibat TB adalah batuk produktif yang berkepanjangan (> 3 minggu),


nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala sistemik termasuk demam (subfebril), menggigil,
keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan.
Seseorang yang dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan fisik, tes Tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi atau
histology. Tes tuberculin harus dilakukan pada semua orang yang dicurigai menderita
TB klinis aktif, namun nilai tes tersebut dibatasi oleh reaksi negatif palsu, khususnya
pada seseorang dengan imunosupresif. Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala
TB khususnya batuk produktif yang lama dan hemoptisis, harus menjalani foto toraks
walaupun reaksi terhadap tes tuberculin negatif (Price, 2006)
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
9

sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah kasar, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum (PDPI, 2006)
2.6 Pemeriksaan penunjang
2.6.1 Pemeriksaan radiologi

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :


o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
o Bayangan bercak milier
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


o Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
o Kalsifikasi atau fibrotic
o Kompleks ranke
o Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

10

Gambar 2.4 Foto toraks TB

Luluh Paru (Destroyed Lung)


Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk
kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada
kasus BTA dahak negatif) :

Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak
dijumpai kaviti

Lesi luas: Bila proses lebih luas dari lesi minimal (PDPI, 2006)

11

Gambar 2.5 Destroyed lung

2.6.2 Sputum
Pemeriksaan dahak untuk menemukan BTA merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB. Pemeriksaan dahak
dilakukan tiga kali (sewaktu-pagi-sewaktu) dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau
Kinyoun Gabbet. Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen dahak ditemukan BTA. Bila hanya satu
spesimen positif, perlu pemeriksaan foto thoraks atau SPS ulang. Bila foto thoraks
mendukung TB maka diagnosis sebagai TB paru BTA (+). Bila foto thoraks tidak
mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang
hasilnya negatif, berarti bukan penderita TB. Bila SPS positif, berarti penderita TB
BTA (+). Bila foto thoraks mendukung TB tapi pemeriksaan SPS (-), maka
didiagnosis sebagai TB paru BTA (-), rontgen (+) (Alsagaff, 2004)
2.6.3 Tes tuberculin

12

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan


diagnosis TB terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberculin PPD (Purified Protein Derivate) intrakutan
berkekuatan 5 TU (intermediate strength).
Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria pathogen
lainnya. Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibody selular dan antigen tuberculin. Berdasarkan hal diatas, hasil tes tuberculin
dibagi menjadi:

Indurasi 0-5 mm: mantoux (-) = no sensitivity

Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity

Indurasi 10-15 mm: mantoux (+) = golongan normal sensitivity

Indurasi > 15 mm: mantoux (+) kuat = golongan hypersensitivity

Hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi mantoux yang positif (Amin, 2009)
2.7 Diagnosis
WHO tahun 1991 memberikan criteria pasien TB paru yaitu:

Pasien dengan sputum BTA (+): sekurang-kurangnya positif pada dua kali
pemeriksaan; satu sediaan sputum positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif; satu sediaan sputum positif disertai biakan yang
positif

13

Pasien dengan sputum BTA (-): tidak ditemukan BTA (+) pada sedikitnya 2x
pemeriksaan namungambaran radiologis sesuai dengan TB aktif; tidak ditemukan
BTA (+) sama sekali tetapi biakannya positif (Amin, 2009)

Gambar 2.6 Alur diagnosis TB

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu
fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan (PDPI, 2006)

14

Jenis
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pyrazinamide (Z)
Streptomycin (S)
Ethambutol (E)

Dosis rekomendasi (mg/kg)


Harian
3x/minggu
Bakterisid
5 (4-6)
10 (8-12)
Bakterisid
10 (8-12)
10 (8-12)
Bakterisid
25 (20-30)
35 (30-40)
Bakterisid
15 (12-18)
15 (12-18)
Bakteriostatik
15 (15-20)
30 (20-35)
Gambar 2.7 Pengobatan TB
Sifat

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis


di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB:

Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.

Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya


resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

2.8.1

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

15

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien:

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paru

Berat Badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
>71 kg

Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16
minggu
RH (150/150)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT

Gambar 2.8 Pengobatan kategori 1

2.8.2 Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Berat badan

30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
>71 kg

Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari

Selama 28 hari

2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.

2 tablet 4 KDT

16

3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(275)
Selama 20
minggu
2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol

Gambar 2.9 Pengobatan kategori 2

2.9 Pengobatan TB pada keadaan khusus


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier
placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan (PDPI,
2006)
b. Ibu menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat (PDPI, 2006)

c. Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan
Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan (PDPI,
2006)
17

d. Kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau
diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE (PDPI, 2006)
e. Gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT
jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan
gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh
karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal.
Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin
tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang
paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR (PDPI,
2006)
f. Diabetes mellitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan (PDPI, 2006)
2.10 Efek samping terapi
18

Efek samping
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit
perut
Nyeri Sendi
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

Penyebab
Rifampisin
Pirasinamid
INH

Warna kemerahan pada air seni (urine)

Rifampisin

Penatalaksanaan
Semua OAT diminum malam
sebelum tidur
Beri Aspirin
Beri vitamin B6 (piridoxin)
100mg per hari
Tidak perlu diberi apa-apa,
tapi perlu penjelasan kepada
pasien.

Gambar 2.10 Efek samping ringan OAT


Efek samping
Gatal dan kemerahan kulit

Penyebab
Semua jenis OAT

Penatalaksanaan
Berikan dulu anti-histamin,
sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat
Tuli
Streptomisin
Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena obat)
lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok)
Rifampisin
Hentikan Rifampisin.
Gambar 2.11 Efek samping berat OAT

19

BAB 3
KESIMPULAN

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang


sudah sangat lama dikenal pada manusia dan dihubungkan dengan tempat tinggal di
daerah urban serta lingkungan yang padat yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, kuman batang aerobic dan tahan asam.
Proses infeksi bakteri TB umumnya melalui inhalasi sehingga TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling umum dibandingkan dengan organ lain.
Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdahak
atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).
Gejala akibat TB adalah batuk produktif yang berkepanjangan (> 3 minggu),
nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala sistemik termasuk demam (subfebril), menggigil,
keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan.
Seseorang yang dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan fisik, tes Tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi atau
histology.
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu
fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.

20

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian ilmu penyakit paru dan
saluran nafas FK UNAIR RSU dr. Soetomo. Pp: 10-28
Amin, Zulkifli. 2009. Tuberkulosis paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2009. Pp 22302239.
PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Diakses tanggal 6 Januari 2014. (www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf)
Price, S.A. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6 volume 2. Pp: 852-862

21

Anda mungkin juga menyukai