Oleh:
Atika Caesarini, S.Ked
BAB 1
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia dan dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah
urban serta lingkungan yang padat (Amin, 2009)
Penyakit infeksi menular ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
kuman batang aerobic dan tahan asam yang dapat berupa organism pathogen maupun
saprofit. ada beberapa mikobakteri pathogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia
yang patogenik terhadap manusia. basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4 m,
ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price, 2006). Robert Koch
mengidentifikasikan basil tahan asam M. tuberculosis untuk pertama kali sebagai
bakteri penyebab TB (Amin, 2009)
Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di
negara berkembang. diantara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49
tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65%
dari kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Indonesia adalah
negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina dan India (Amin,
2009). WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian
akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB (Alsagaff, 2004).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Patogenesis
2.3.1 Tuberkulosis Primer
Infeksi
primer
terjadi
setelah
seseorang
menghirup
mikobakterium
tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil TB akan mencapai
alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, disebut Ghon focus. Melalui
aliran limfe, basil mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus
membentuk kompleks primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar melalui
pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respon imun seluler/hipersensitivitas tipe lambat
terjadi 4-5 minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB serta kemampuan daya
tahan tubuh host akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan
kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil
menjadi kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respon
imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada
beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal
sebagai berikut:
Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, firotik, perkapuran)
Menyebar dengan cara
o Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya. Sebagai contoh adalah pembesaran
kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus
medius, berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis sehingga hal ini disebut epituberkulosis. Pembesaran kelenjar
limfe di leher dapat menjadi abses disebut skrofuloderma. Penyebaran ke
pleura menyebabkan efusi pleura.
o Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya, atau
tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus
o Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti tuberculosis
millier, meningitis, ke tulang, ginjal, dan genetalia (Alsagaff, 2004)
2.3.2 Tuberkulosis postprimer
Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa = TB postprimer = TB sekunder. Tb
sekunder terjadi karene imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit
maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal (Amin, 2009). Bentuk tuberkulosis inilah
yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Nasib sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan serbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju tersebut dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi :
Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
diatas
Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula
Tipe
Tidak ada pajanan TB
Tidak terinfeksi
Terpajan TB
Tidak ada bukti infeksi
Ada infeksi TB
Tidak timbul penyakit
TB
Tidak aktif secara klinis
Keterangan
Tidak ada riwayat terpajan
Reaksi Tes Tuberculin (-)
Riwayat terpajan
Reaksi tes Tuberkulin (-)
Reaksi tes Tuberkulin (+)
Pemeriksaan bakteri (-),
tidak ada bukti klinis,
bakteriologik,
atau
radiografik TB aktif
Biakan M. tuberculosis,
terdapat
bukti
klinis,
bakteriologik,
radiografik
penyakit
Riwayat episode TB
atau
ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah;
Tersangka TB
TB aktifnya.
Kasus gagal: pasien dengan BTA (+) setelah mendapat OAT > 5 bulan; pasien yang
menghentikan pengobatannya setelah mendapat OAT 1-5 bulan dan BTA-nya masih
positif
Kasus kronik: pasien dengan BTA tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang yang
lengkap dan disupervisi dengan baik (Amin, 2009)
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah kasar, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum (PDPI, 2006)
2.6 Pemeriksaan penunjang
2.6.1 Pemeriksaan radiologi
10
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak
dijumpai kaviti
Lesi luas: Bila proses lebih luas dari lesi minimal (PDPI, 2006)
11
2.6.2 Sputum
Pemeriksaan dahak untuk menemukan BTA merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB. Pemeriksaan dahak
dilakukan tiga kali (sewaktu-pagi-sewaktu) dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau
Kinyoun Gabbet. Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen dahak ditemukan BTA. Bila hanya satu
spesimen positif, perlu pemeriksaan foto thoraks atau SPS ulang. Bila foto thoraks
mendukung TB maka diagnosis sebagai TB paru BTA (+). Bila foto thoraks tidak
mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang
hasilnya negatif, berarti bukan penderita TB. Bila SPS positif, berarti penderita TB
BTA (+). Bila foto thoraks mendukung TB tapi pemeriksaan SPS (-), maka
didiagnosis sebagai TB paru BTA (-), rontgen (+) (Alsagaff, 2004)
2.6.3 Tes tuberculin
12
Hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi mantoux yang positif (Amin, 2009)
2.7 Diagnosis
WHO tahun 1991 memberikan criteria pasien TB paru yaitu:
Pasien dengan sputum BTA (+): sekurang-kurangnya positif pada dua kali
pemeriksaan; satu sediaan sputum positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif; satu sediaan sputum positif disertai biakan yang
positif
13
Pasien dengan sputum BTA (-): tidak ditemukan BTA (+) pada sedikitnya 2x
pemeriksaan namungambaran radiologis sesuai dengan TB aktif; tidak ditemukan
BTA (+) sama sekali tetapi biakannya positif (Amin, 2009)
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu
fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan (PDPI, 2006)
14
Jenis
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pyrazinamide (Z)
Streptomycin (S)
Ethambutol (E)
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
2.8.1
15
Berat Badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
>71 kg
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16
minggu
RH (150/150)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
Pasien kambuh
Pasien gagal
Berat badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
>71 kg
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama 28 hari
2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
2 tablet 4 KDT
16
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(275)
Selama 20
minggu
2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
c. Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan
Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan (PDPI,
2006)
17
Efek samping
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit
perut
Nyeri Sendi
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
Penyebab
Rifampisin
Pirasinamid
INH
Rifampisin
Penatalaksanaan
Semua OAT diminum malam
sebelum tidur
Beri Aspirin
Beri vitamin B6 (piridoxin)
100mg per hari
Tidak perlu diberi apa-apa,
tapi perlu penjelasan kepada
pasien.
Penyebab
Semua jenis OAT
Penatalaksanaan
Berikan dulu anti-histamin,
sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat
Tuli
Streptomisin
Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena obat)
lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok)
Rifampisin
Hentikan Rifampisin.
Gambar 2.11 Efek samping berat OAT
19
BAB 3
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian ilmu penyakit paru dan
saluran nafas FK UNAIR RSU dr. Soetomo. Pp: 10-28
Amin, Zulkifli. 2009. Tuberkulosis paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2009. Pp 22302239.
PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Diakses tanggal 6 Januari 2014. (www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf)
Price, S.A. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6 volume 2. Pp: 852-862
21