Anda di halaman 1dari 8

JAKARTA Isu kenaikan harga rokok beredar luas di dunia maya.

Menanggapi hal itu,


Kementerian Keuangan menyatakan, wacana kenaikan tarif cukai rok

ok masih dikaji.
Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyatakan, pemerintah belum
menetapkan tarif baru cukai rokok dan harga jual eceran. Kalaupun naik, kebijakan itu
kemungkinan baru diterapkan tahun depan dan hanya berkisar 10 persen.
Menurutnya, hampir tak mungkin harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus,
karena itu berarti menaikkan tarif cukai 365 persen. Soal rencana menaikkan tarif cukai,
pemerintah masih mengkaji bersama sejumlah pihak.
Sekarang fase koordinasi dan komunikasi oleh kementerian/lembaga. Kemudian pemerhati
kesehatan, asosiasi pabrik rokok, dan tentu kementerian terkait yang meliputi Kementerian
Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, jelasnya.
Kemungkinan Naik
Meski masih dalam tahap pembahasan, tetap ada kemungkinan tarif cukai naik. Pemerintah
memang secara rutin menaikkan tarif setiap tahun. Kebijakan itu diumumkan tiga bulan
sebelum pergantian tahun anggaran. Kalau kita lihat histori, harga rokok memang secara
reguler naik.
Kalaupun 2017 akan naik, kami akan umumkan tiga bulan sebelumnya. Ini memberi
kesempatan kepada semua pihak untuk menyesuaikan, tandasnya. Ia menyatakan, kenaikan
tarif cukai bisa terjadi setiap tahun. Contoh, pada 2015 naik 11%. Rencana kenaikan harus
dibahas secara detail dan melibatkan banyak pihak.

Pasalnya, aspirasi banyak pihak yang berkepentingan dalam industri rokok harus didengar.
Faktor yang mempengaruhi kan banyak. Yang concern (peduli) terhadap masalah kesehatan,
yang concern terhadap petani tembakau harus didengar, juga buruhburuh pabrik.
Ia mengakui harga rokok di Indonesia terbilang murah dibandingkan di negara-negara maju.
Namun, jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita per hari, harga
sebatang rokok di Indonesia merupakan yang tertinggi.

PENGERTIAN REBOISASI DAN PENGHIJAUAN

Reboisasi dan penghijauan adalah kegiatan yang sangat mudah untuk filakukan dan mampu
membantu mencegah pemanasan global. Tapi mungkin ada sobat yang masih bingung
tentang perbedaan reboisasi sama penghijauan, atau sobat masih berfikir kalau keduanya itu
sama. Reboisasi dan penghijauan itu beda sob, nih biar sy kasih tau perbedaannya.

Reboisasi itu penanaman hutan kembali dilahan hutan yang telah kosong atau gundul. Jadi
reboisasi hanya dilakukan dikawasan hutan yang kosong. Tentu saja hutan yang dimaksud
adalah hutan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Dengan demikian, membuat hutan
baru pada area bekas tebang habis, bekas tebang pilih, atau pada lahan kosong lain yang
terdapat di dalam kawasan hutan termasuk reboisasi sobat.

Sedangkan penghijauan adalah penanaman pada lahan kosong diluar kawasan hutan,
terutama pada tanah milik rakyat dan dengan tanaman-tanaman keras seperti jenis-jenis
pohon hutan, pohon buah, tanaman perkebunan, tanaman penguat teras, tanaman pupuk hijau,
dan rumput pekan ternak.
Tentu saja keduanya memiliki tujuan yang sama. Tujuannya penanaman tersebut agar lahan
tersebut dapat dipulihkan, dipertahankan, dan ditingkatkan kembali kesuburannya. Selain
fungsi yang sudah disebutkan, tentusata fungsi utamanya adalah mencegah erosi, tanah
longsor, menjaga persediaan air dan mampu membantu pancegahan pemanasan global.
Kitapun harus melakukan penghijauan untuk tetap menjaga kelestarian kehidupan dibumi ini
sobat

Pertemuan Senja
Judul Cerpen Pertemuan Senja
Cerpen Karangan: Sylvia Sari
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 27 August 2016
Maharani memandangi arlojinya dengan gelisah. Pukul 17.59. Detik demi detik jarum jam
bergerak, terasa seabad lamanya. Tepat pukul 18.00, Maharani tersenyum merekah. Bergegas
ia menutup laptopnya. Teguran Dini, rekan kerjanya tak ia acuhkan seperti biasanya. Ia
melesat secepat mungkin, meninggalkan kantor.
Waktu yang ia tunggu telah tiba. Waktu untuk memenuhi janjinya dengan seorang sahabat
lama, Waisaka. Dengan berdebar, ia berjalan menuju kafe yang sudah dijanjikan, yang
terletak tak jauh dari kantornya. Masih terngiang di ingatannya sepotong kalimat sinis dari
Hawari, kekasihnya.
Kau masih ingin menemuinya?
Bukan aku. Ia yang mengajakku bertemu, kata Maharani singkat.
Tapi kau terlihat bahagia akan pertemuan ini.
Maharani terdiam. Tersimpan nada cemburu di kalimat itu.
Kami hanya teman SMA. Ia hanya kisah lama, sahut Maharani datar.

Entah angin apa yang membuat Waisaka menghubunginya kembali. Selama enam tahun
kehilangan komunikasi, Waisaka mengirimkannya sebuah pesan singkat di facebook tepat di
pertengahan bulan Maret.
Halo, Maharani. Apa kabar?
Lama tak bertemu.
Maharani terkesiap. Pemuda yang pernah ia sukai selama duduk di bangku SMA,
menghubunginya secara tiba-tiba. Setelah menimbang-nimbang selama dua puluh empat jam,
ia pun membalas pesan itu.
Halo, Waisaka. Kabar baik.
Bagaimana dirimu?
Bermula dari sapaan itu, mereka pun melanjutkannya dengan bertukar cerita singkat,
terutama tentang pekerjaan.

Ngomong-ngomong,
Bagaimana kalau kita bertemu Selasa depan?
Aku ingin mendengarkan ceritamu.
Sedetik, Maharani tertegun. Kenapa baru sekarang, batinnya. Kenapa di saat aku dan kau
telah memiliki kekasih masing-masing?
Lama ia berpikir. Hal yang pertama terlintas adalah Hawari. Hubungan yang telah terjalin
selama tiga tahun itu membuat tak ada satu rahasia pun di antara mereka, termasuk perasaan
Maharani terdahulu untuk Waisaka.

Sudah cukup baikkah penampilanku, bisik Maharani dalam hati. Beberapa kali, ia menyisir
jari rambutnya. Menarik-narik pakaiannya agar terlihat rapi. Semakin langkah membawanya
mendekati tempat perjanjian, semakin hatinya berdebar.
Waisaka pernah singgah di hatinya untuk waktu yang lama. Salahkah aku jika hatiku
merasakan hal ini kembali, tanyanya. Salahkah aku kepada Hawari dan juga kekasih
Waisaka? Aku hanya ingin bertemu dengan Waisaka, walaupun hanya sebatas teman.
Senja di penghujung Maret itu mulai terbenam malu-malu. Siluet senja memerah,
menyelimuti seisi kota. Bias-bias kekuningan memantul di wajah siapa saja yang berada di
antara hiruk pikuk jalanan.
Maharani terus melangkah menembus senja. Teringat wajah Waisaka delapan tahun lalu
ketika mereka duduk di kelas sepuluh.
Siapa yang bernama Waisaka Satyakumara? tanya guru fisika kami.
Perlahan, Waisaka mengacungkan tangannya.
Selamat nilai kamu tertinggi di kelas ini.
Seluruh murid langsung menatap Waisaka. Waisaka tersenyum malu. Selama ini, ia dikenal
sebagai sosok pemalu dan tak menonjol. Namun sejak itu, banyak yang diam-diam
mengaguminya, termasuk Maharani. Perasaan yang berawal dari kekaguman pun terus
bersemi dan semakin dalam.

Langkah Maharani terhenti tepat di depan pintu masuk kafe yang dijanjikan. Ketika
mendapati Waisaka tengah duduk memunggunginya di balik kaca, waktu seolah terhenti.
Ditatapnya punggung Waisaka. Kokoh dan terkesan melindungi. Maharani mengalihkan
pandangannya ke wajah Waisaka. Tak dapat dipungkiri, pemuda itu tetap memikat meskipun
ditatap dari samping
Maharani pun memasuki ruangan temaram itu. Irama musik waltz yang syahdu menyambut
telinganya.
Halo, Waisaka, sapa Maharani ketika telah berdiri di hadapan Waisaka.
Sedetik Waisaka tampak terpana.

Eh, Maharani? sapanya kikuk.


Mereka berjabat tangan. Waisaka tak pernah berubah. Bahkan senyumnya masih sehangat
dulu. Bahunya makin terlihat bidang. Pesonanya makin memancar. Garis-garis tegas di
wajahnya membuat ia makin terlihat matang dan memikat.
Bagaimana keadaanmu? Waisaka memecah kesunyian di antara mereka.
Seperti yang kau lihat, sahut Maharani sambil tersenyum.

Waisaka tetaplah Waisaka yang sama seperti enam tahun lalu. Pemuda baik hati. Ramah.
Dan mampu membuat Maharani terpikat.
Samar-samar, terdengar suara hangat Waisaka enam tahun lalu.
Apa yang kau baca? tanya Waisaka kepadanya di perpustakaan sekolahnya.
Fisika. Aku ingin mendapatkan nilai tertingi sepertimu, canda Maharani.
Kemudian, mereka tertawa.
Untung sudah jam pulang sekolah. Kalau tidak, kita bisa diusir, kata Maharani.
Mereka memang sudah beberapa kali berjanji belajar bersama. Berdua saja, sebagai sahabat.
Adakah yang ingin kau ketahui tentang Fisika? tanya Waisaka sopan.
Tidak ada, Waisaka, jawab Maharani kepada hatinya. Hanya kau yang ingin kuketahui.
Aku bingung di bagian Medan Magnetik, kata-kata yang sanggup diucapkan Maharani.
Waisaka mendekatkan tubuhnya. Lalu, ia mulai berbicara dengan gaya khasnya. Maharani tak
lagi mendengar. Otaknya tumpul. Waisaka hanya berjarak beberapa mili jauhnya. Jemari
mereka hanya terpaut sejengkal.
Selesai bicara, Waisaka tercengang. Kedua mata saling memandang. Pantulan perasaan
Maharani pun terbaca oleh Waisaka.

Ceritakanlah tentang dirimu, Rani, kata Waisaka, sambil menatap Maharani seperti
tatapannya di perpustakaan kala itu.
Sekarang aku sedang mengejar impianku untuk menjadi software engineer, jawab
Maharani, merekahkan seulas senyum.
Sepertinya kau sibuk sekali. Bagaimana dengan pacarmu? Apakah dia pernah protes
menuntut perhatianmu? tanya Waisaka sambil tertawa.
Maharani hanya tertawa. Masih terngiang perkataan Hawari semalam saat ia mengatakan
akan bertemu Waisaka.
Terserah kau, kata Hawari singkat, menyiratkan lelaki yang tengah dilanda cemburu.
Kami hanya teman lama. Kami hanya ingin bertukar cerita, ujar Maharani meyakinkan
Hawari.
Betapa pun dinginnya tanggapan Hawari, Maharani tetap menemui Waisaka, pemuda yang
ingin ditemuinya selama enam tahun ini.
Kau sendiri bagaimana? Pekerjaanmu lancar? Kekasihmu tak marah kau menemui
perempuan lain? tanya Maharani, memendam perih.

Lancar. Tentu saja tidak. Aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa kita teman lama.
Hati Maharani mencelos. Ya, teman, kita hanya teman. Kata-kata itu mengingatkannya akan
pertemuan terakhirnya dengan Waisaka di perpustakaan.

Perasaan Maharani terlanjur dalam terhadap Waisaka. Berbagai upaya dilakukan untuk
mendekati Waisaka. Tak peduli apapun tanggapan Waisaka, Maharani terus memperjuangkan
perasaannya. Hingga tiba pada suatu hari, di mana ia harus melepaskan semua anganangannya tentang Waisaka.
Di hari itu, dunia serasa berhenti berputar. Waisaka menegaskan keraguan di hati Maharani.
Ia menepiskan segala pertanyaan Maharani dan menjawab semuanya. Di penghujung ajaran
kelas dua belas, Waisaka resmi memiliki kekasih.
Terjawab sudah. Perasaan Maharani tak tersampaikan. Cintanya bertepuk sebelah tangan.
Usahanya sia-sia untuk memasuki hati Waisaka.
Sekali lagi, mereka duduk berhadapan di perpustakaan. Suasana canggung terasa seperti
pertemuan mereka di kala senja hari ini. Tanpa kata. Tanpa tawa. Tanpa pembahasan Fisika.
Hari ini bukanlah hari kita belajar bersama, celetuk Maharani, hatinya berdesir.
Waisaka tertunduk, tampak berpikir keras.
Apa yang membuatmu mengajakku ke mari? sambung Maharani setelah menghadapi
kenyataan yang demikian menyakitkan.
Aku ingin meminta maaf, Waisaka mulai bersuara. Aku sudah mengetahui perasaanmu
kepadaku lewat tatapanmu. Semua perbuatanmu terhadapku. Maafkanlah aku perasaanku tak
sama terhadapmu. Aku ingin tetap menjadi temanmu.
Setiap kata yang meluncur dari bibir Waisaka menggoreskan perih di hati Maharani. Katakata Waisaka yang biasanya hangat menenangkan, kini hanya memperdalam luka.
Aku tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapmu, dusta Maharani, menyembunyikan
keangkuhannya sebagai perempuan.
Setelah mengucapkan itu, mata Maharani langsung berkaca-kaca. Tanpa kata yang terucap, ia
berlalu meninggalkan Waisaka.
Itu yang terjadi enam tahun lalu, tepat di penghujung Maret saat senja perlahan memudar dan
menebarkan bias jingga kemerahan.
Sejak itu, jangankan kita berbicara, bertatapan saja tidak pernah, batin Maharani perih.
Waisaka terus bercerita tentang pekerjaannya. Bahwa ia kini meniti kariernya dengan baik,
meraih cita-citanya menjadi seorang arsitek. Ia juga bercerita tentang kekasihnya. Perempuan
bermata bulat. Berlesung pipi. Dan yang pasti, perempuan pemilik hati Waisaka.
Sudah jalan berapa lama kau bersamanya, Rani? tanya Waisaka.
Sudah tiga tahun. Dan kau sejak SMA bukan?
Pipi Waisaka bersemu merah, tersenyum malu.
Benar, jawab Waisaka, kebahagiaannya terpancar.

Lalu, Waisaka melakukan pergerakan. Ia mengambil sesuatu di balik jaket kulitnya.


Datanglah bersama pacarmu, ucap Waisaka sambil menyerahkan sepucuk kertas merah
muda.
Tangan Maharani bergetar ketika menerimanya.
Sebuah undangan. Tertera di sampulnya:
Untuk Maharani Pramudita.
Undangan pernikahan Waisaka.
Maharani terpaku. Tak tahu harus berkata apa. Kenyataan ini jauh lebih menyakitkan
dibanding kenyataan enam tahun silam.
Oh, ya, celetuk Waisaka seraya nenyodorkan sebuah pulpen.
Ketika menyentuh pulpen itu, ingatan Maharani langsung melesat pada pertemuan terakhir
mereka di perpustakaan.
Ini milikmu bukan? tanya Waisaka, tak menyadari perubahan Maharani. Pulpenmu
tertinggal di hari itu.
Kenapa kau masih menyimpannya? tanya Maharani.
Saat itu, perkataanku terlalu terbuka terhadapmu. Persahabatan kita pun retak. Kupikir,
inilah waktu yang tepat untuk mengembalikannya seperti semula, termasuk pulpenmu.
Maafkan aku, Rani, ucap Waisaka penuh ketulusan. Dengan pertemuan senja ini, kuharap
kita dapat kembali seperti dulu.

Anda mungkin juga menyukai