Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir
(berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah
judi.
3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya
sesuatu yang berlebih) dan riba nasiah (riba karena penundaan) secara
bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli
warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal
premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel. Adapun bila perusahaan
membayar klaim sebesar premi yang ia terima namun ada penundaan, maka itu
adalah riba nasiah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi
pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram
menurut dalil dan ijma (kesepakatan ulama).
4. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita
ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam.
Premi di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim
atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak
sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat
taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan
unta, dan pacuan kuda (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no.
2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama
memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam
perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Quran dan lomba
menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan
yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan
timbal balik. Padahal dalam akad muawadhot (yang ada syarat mendapatkan
keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman
firman AllahTaala,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku saling ridho di antara kamu (QS. An Nisa: 29). Tentu setiap orang tidak
ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau
keuntungan.
6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syari.
Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim
pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident
bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah,
KSA]
Masa Depan Selalu Suram Ganti dengan Tawakkal
Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah
masa depan yang selalu suram. Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan,
Pendidikan anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan, Kita
bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar. Itu sloganslogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak
ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar
sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram.
Karena Allah Taala sendiri yang menjanjikan,
( 2)
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya
jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Tawakkal adalah dengan menyandarkan hati kepada Allah Taala. Namun bukan
cukup itu saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau
melakukan usaha. Tentu saja, sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui
oleh syariat. Dan asuransi sudah diterangkan adalah sebab yang haram, tidak
boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak
sekolah, bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak
selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar selalu
fit, juga persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu
bisa sebagai solusi dan preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan
pada kendaraan, kita mesti berhati-hati dalam mengemudi dan hindari kebutkebutan, itu kuncinya.
Yang kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia
dikarenakan banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan
alasan kan, ada asuransi, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan
dalam berkendaraan. Jika mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya,
sebab kecelakaan meningkat bisa jadi pula karena janji manis dari asuransi.
Ingatlah setiap rizki tidak mungkin akan luput dari kita jika memang itu sudah
Allah takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang
suram? Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan
yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba
akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun
terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan
yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang
halal dan tinggalkan yang haram (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih
oleh Syaikh Al Albani).
Penutup
Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi,
apa pun jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun
mengatasnamakan asuransi syariah sekali pun. Yang kita lihat adalah
hakekatnya dan bukan sekedar nama dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu
dengan embel syari belaka. Betapa banyak orang memakai slogan syari,
namun nyatanya hanya sekedar bualan.
Nasehat kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan
asuransi tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh
dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah
terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan sebesar premi
yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak boleh lebih dari
itu. Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah
meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan
kebaikan. Jika uang yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).
Catatan: Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah
karena terdapat pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan.
Ada asuransi yang disebut dengan asuransi taawuni yang di dalamnya
hanyalah tabarruat (akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini tidaklah
bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk mengulas lebih jauh
mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan
kelonggaran waktu untuk membahasnya.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi: Akhthou Sya-iah fil Buyu, Said Abdul Azhim, terbitan Darul Iman.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 21 Rabiuts Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/9053-hukum-asuransi.html
kita tidak dipertahkan untuk merugikan diri sendiri ketika melakukan pelanggaran
syariat. Kecuali jika sifatnya mengembalikan kedzaliman atau maksiat itu ada hukuman
khusus dari syariat.
Ketika Allah mengharamkan riba, beberapa kaum muslimin masih memiliki piutang riba yang
belum dibayar. Allah tidak memerintahkan mereka untuk melepas semua uangnya. Namun
mereka diizinkan untuk mengambil uang pokoknya. Tidak ada unsur kedzaliman, tidak
mendzalimi dan tidak didzalimi.
Allah berfirman,
) (
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. ( ) Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak mendzalimi dan tidak pula didzalimi .
Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak mendzalimi dan tidak
pula didzalimi. (QS.
al-Baqarah: 278)
Dalam salah satu fatwa Lajnah Daimah mengenai orang yang sudah terlanjur mengikuti
asuransi, boleh dia mengambil senilai haknya?
Jawaban Lajnah Daimah,
Asuransi perdagangan semacam ini hukumnya haram, karena di sana ada riba, gharar, dan
ketidak jelasan, serta memakan harta dengan cara bathil. Sementara orang yang anda
sebutkan mengalami klaim, dia hanya boleh mendapatkan senilai yang dia bayarkan ke
lembaga asuransi. Sementara kelebihannya, dia bisa sedekahkan untuk fakir miskin, atau
dia salurkan untuk kegiatan sosial lainnya. Selanjutnya dia tinggalkan lembaga asuransi.
(Fatwa Lajnah Daimah, 15/260).
Ketiga, Jika selama masa dia terdaftar sebagai peserta asuransi, ternyata dia mendaatkan
klaim, dan diberi sejumlah dana dari pihak asuransi, dia hanya boleh menerima senilai klaim
yang dibayarkan.
Jika ada kelebihan, ini tidak boleh dimiliki secara pribadi, tapi disalurkan untuk kegiatan
sosial. Sebagaimana cara penyaluran uang riba.
Dalam fatwa islam dinyatakan
.
Jika telah terjadi akad asuransi, maka peserta asuransi hanya berhak mengambil senilai
premi yang telah dia bayarkan. Jika nilai klaim yang diberikan lembaga asuransi kepada
anda senilai premi atau bahkan kurang, statusnya halal untuk anda. Jika lebih besar dari
nilai premi, anda harus menyerahkan sisanya untuk sumbangan berbagai kegiatan sosial.
(Fatwa Islam, no. 125801)
Dalam fatwa yang lain, dinyatakan,
Jika anda terpaksa harus membayar premi asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, anda
boleh mengambil senilai premi yang anda bayarkan ke lembaga asuransi. Selebihnya, tidak
boleh anda ambil. Jika mereka memaksa anda untuk mengambilnya, anda boleh salurkan ke
berbagai kegiatan sosial. (Fatwa Islam, no. 117290)
Allahu alam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Beliau Adalah Dewan Pembina Konsultasisyariah.com dan
PengusahaMuslim.com)
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
SPONSOR
angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun dan ini merupakan keuntungan
bagi perusahaan asuransi.
Inilah asuransi yang hendak dibicarakan di sini. Dan ini terlarang, karena bersifat spekulasi
yang merugikan salah satu pihak.
Asuransi at-Tamn at-Tawuni, dan disebut juga dengan at-Tamn at-Tabduli, atau atTamn al-Islami. Yaitu asuransi gotong-royong, atau asuransi yang sesuai dengan agama
Islam. Asuransi ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanya bersifat tolongmenolong dalam menanggung kesusahan.
Contohnya, sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang. Dengan uang ini,
mereka membantu orang yang terkena musibah.
Perusahaan asuransi Islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah.
Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun
milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan
bantuan.
Selain dua jenis asuransi di atas, masih ada jenis asuransi lainnya, yaitu at-Tamn al-Ijtimai
(jaminan keamanan sosial).
Asuransi at-Tamn al-Ijtimai ini, juga tidak mencari keuntungan dan bukan asuransi khusus
pada seseorang yang khawatir terjadinya musibah tertentu. Asuransi at-Tamn al-Ijtimai ini
bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang.
Seperti yang dilakukan oleh negara atau suatu pemerintahan untuk para pegawainya, yang
dikenal dengan istilah peraturan pensiun (di Indonesia dikenal dengan istilah Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen, Red.).
Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dalam prosentase tertentu, dan ketika telah
sampai masa pensiun, maka uang (pemotongan gaji) tersebut diberikan kembali dalam
bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk
membantu kehidupannya. Dan jenis ini, sebenarnya tidak termasuk dalam kategori asuransi.
Namun hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.
MACAM-MACAM ASURANSI TIJRI
At-Tamn at-Tijri, sebagai asuransi yang bertujuan mencari keuntungan ini sangat banyak
macamnya. Antara lain sebagaimana berikut.
Pertama. Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini berkenaan dengan harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian,
asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga diberlakukan untuk pertanggungan terhadap
nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan
semacamnya.
Kedua. Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, berkaitan
dengan kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Asuransi ini meliputi asuransi
jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan (jasmani).
Asuransi jiwa, yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan
sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ketiga, ketika nasabah (atau orang
ketiga) itu meninggal dunia, ataupun pemberiaan dalam keadaan nasabah (atau orang
ketiga) itu masih hidup sampai umur tertentu. Pemberian perusahaan asuransi ini sebagai
ganti dari angsuran-angsuran yang telah disetorkan oleh nasabah terdahulu.
Termasuk dalam jenis ini, yaitu asuransi kesehatan. Dan terkadang asuransi kesehatan
mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tertentu, atau tindakan operasi penyakit,
atau sebagian penyakit. Dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang
diasuransikan, dan yang tercatat itulah yang mendapatkan jaminan asuransi dari
perusahaan.
HUKUM ASURANSI TIJRI
Asuransi tijri (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya,
hukumnya haram, karena beberapa sebab:
1. Perjanjian Asuransi Tijri Merupakan Perjanjian Penggantian Harta Yang Mengandung
Ketidakpastian, Dan Mengandung Bahaya Yang Sangat Besar.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli
gharar [HR. Muslim, no. 1513]
Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan aku menjual kain yang terkena
kerikil yang aku lemparkan. Atau aku menjual tanah ini mulai sini, sampai jarak kerikil yang
aku lemparkan. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.
Sedangkan jual beli gharar, yaitu jual beli yang mengandung ketidakjelasan, tipu-daya, dan
tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung
yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim, karya Imam an-Nawwi).
2. Asuransi Tijri Termasuk Dalam Kategori Jenis Perjudian.
Karena pada asuransi itu terdapat bahaya kerugian dalam pertukaran harta, kerugian
dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan,
atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi, terkadang baru
menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan (musibah), sehingga perusahaan asuransi
menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan sama sekali,
sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dari angsuran-angsuran nasabah
asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian, asuransi termasuk dalam larangan
perjudian, sebagaimana disebutkan firman Allah Subhanahu wa Taala :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan [Al-Maidah/5: 90]
3. Perjanjian Asuransi Tijri Mengandung Riba.
Karena keuntungan yang didapatkan perusahaan asuransi itu tanpa imbalan. Sedangkan
keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya.
Dan riba di dalam Islam sangat keras larangannya. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya [al-Baqarah/2:278-279]
Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak
panah [HR Abu Dawud, no. 2574; at-Tirmidzi, no. 1700]
Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan, kecuali pada salah satu dari tiga
perkara di atas. Karena ketiganya dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan
dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan
dorongan kepada jihad. [Lihat Tuhfatul-Ahawadzi].
5. Perjanjian Asuransi Tijri, Mengandung Unsur Mengambil Harta Orang Lain Dengan
Tanpa Imbalan.
Perbuatan seperti ini merupakan kebatilan. Sebab Allah Taala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. [an-Nisa/4: 29]
6. Perjanjian Asuransi Tijri Mewajibkan Sesuatu Yang Tidak Diwajibkan Oleh Syariat.
Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang
menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian
dengan nasabah untuk memberi jaminan pertangungan atas bahaya yang menimpa
nasabah dengan imbalan setoran angsuran nasabah.
Berdasarkan keterangan ini, maka banyak fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi
tijri dengan segala jenisnya. Begitu pula dari penjelasan ini nampak, bahwa asuransi yang
saat ini banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan, termasuk
perkara yang dilarang syariat. Adapun asuransi yang dibolehkan, yaitu asuransi at-Tamn atTawuni. Asuransi yang bertujuan untuk gotong royong, sebagaimana telah dijelaskan di
atas.
Wallahu alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2006M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Makalah ini ditulis oleh Ustadz Muslim al-Atsari bersumber dari kitab Mausah alQadhy al-Fiqhiyyah al-Mushirah wal-Iqtishd al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad
as-Sls, Penerbit Dar ats-Tsaqafah Qathar, halaman 363-395. Beliau merupakan pengajar
bidang fiqh dan ushl di Kuliyah Syariat Universitas Qathar. Penulisan makalah ini, juga
dengan mengambil beberapa tambahan dari rujukan lain.
Dan apabila terjadi kekurangan, maka para anggota diminta untuk membayar iuran
tambahan untuk menutupi kekurangannya atau ganti rugi yang seharusnya dikurangi sesuai
ketidakmampuan tersebut.
Anggota asuransi taawun ini tidak bertujuan untuk menggali keuntungan, namun hanya
berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka
melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa
sebagian anggotanya.[11]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi taawun adalah
bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang
menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu, dan itu diambil
dari iuran, yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru
yang bertujuan saling membantu, dan bukan bertujuan untuk perniagaan ataupun mencari
keuntungan. Sebagaimana juga bahwa akad ini tidak mengandung riba, tidak bersifat
spekulasi, gharar dan perjudian.
Gambaran secara mudah, misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat
shunduq, lalu mereka menyerahkan sejumlah uang, yang nantinya, dari sejumlah uang yang
terkumpul itu digunakan untuk ganti rugi (sebagai pertanggungan) kepada anggotanya yang
mendapatkan musibah (bahaya, resiko).
Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka menambahkan iuran
menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah ditunaikan ganti rugi (pertanggungan)
tersebut, maka dikembalikan lagi kepada masing-masing anggotanya, atau dijadikan modal
untuk masa yang akan datang.
Hal ini, mungkin dapat diperluas menjadi sebuah lembaga atau yayasan dengan memiliki
petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang
tersebut, serta mengeluarkannya. Lembaga ini, juga boleh memiliki pengelola yang
membuat rencana kerja dan pengaturannya. Semua pekerja, petugas, dan berikut
pengelolanya mendapatkan gaji tertentu, atau mereka melakukannya dengan sukarela.
Namun semua harus berdasarkan bukan untuk mencari keuntungan (bisnis), dan seluruh
sisinya bertujuan untuk taawun (saling tolong-menolong).[12]
Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi taawun sebagai berikut:
1. Tujuan asuransi taawun, ialah murni takaful dan taawun (saling tolong-menolong) dalam
menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
2. Akad asuransi taawun adalah akad tabarru. Sebagaimana nampak dalam hubungan
antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah.
Dan bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
3. Landasan pemikiran asuransi taawun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian
bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu
menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam
asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
4. Pada umumnya, asuransi taawun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan
khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5. Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq
(simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan
dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]
7. Asuransi taawun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar yang terlarang.
Adapun asuransi konvensional, usaha yang dilakukannya tidak lepas dari hal-hal tersebut.
8. Dalam asuransi taawun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi taawun
memiliki asas-asas berikut.
(a). Pengelola perusahaan asuransi taawun melaksanakan managemen operasional
asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi,
mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji
tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis
secara jelas jumlah gajinya tersebut.
(b). Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan, dan juga memiliki
kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan
ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta
asuransi itu sebagai mudhrib (pengelola pengembangan modal dengan mudhrabah).
(c). Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama, dalam hal pengembangan
modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi
yang murni menjadi milik nasabah (pembayar premi).
(d). Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhrib dalam pengelolaan yang
berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan
mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor
asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi haknya.[15]
Adapun menurut asuransi konvesional, hubungan antara nasabah dengan perusahan
asuransi dalam hal pengelolaan harta nasabah, bahwa semua premi yang dibayar nasabah
(tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan
sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang
terpisah.
9. Nasabah dalam perusahaan asuransi taawun dianggap sebagai anggota syarikat yang
memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan modal mereka.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap sebagai syarikat,
sehingga sama sekali tidak berhak memperoleh keuntungan pengembangan modal mereka,
dan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
10. Perusahaan asuransi taawun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang
diharamkan.
Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam
pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas
permasalahan asuransi taawun ini.
Wabillahit-taufiq.
Maraji (sumber rujukan).
1. Abhats Haiah Kibar Ulama, disusun oleh al-Lajnatid-Dimati lil-Buhtsil-Ilmiyati wal-Ift`,
KSA.
2. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Muamalat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayr,
Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alumusa,
Madar al-Wathani lin-Nasyr, Riyadh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1425H.
3. Al-Uqd al-Mliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Tashiliyah wa Tathbiqiyat, Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-Imrni, Dar Kunz Isybiliy, KSA, Cetakan
Pertama, Tahun 2006M.
4. Fiqhun-Nawzil, Dirasah Tashiliyah Tathbiqiyat, Dr. Muhammad bin Husain al-Jizni, Dar
Ibnul-Juazi, Cetakan Pertama, Tahun 1426H.
5. Ruyat Syariyah f Syarikat at-Tamn at-Tawuniyah, makalah Dr. Khalid bin Ibrahim alDuaij. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2006M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Cetakan Balai
Pustaka, 2005, hlm. 73. Lihat juga Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S.
Purwodarminto, Balai Pustaka, Cetakan ke-8, Tahun 1984, hlm. 63.
[2]. Lihat Undang-Undang No. 2, Tahun 1992, tentang usaha perasuransian.
[3]. Lihat tulisan Ustadz Muslim, dalam Rubrik Mabhats, XXX, edisi ini, halaman
[4]. Abhats Haiat Kibar Ulama, al-Lajnatid-Dimati lil-Buhtsil-Ilmiyati wal-Ift` (4/36).
[5]. At-Tamn wa Ahkamuhu, oleh al-Tsanayn (hlm. 40). Dinukil dari kitab al-Uqd alMliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Tashiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. Abdullah bin
Muhammad bin Abdillah al-Imrni, hlm. 288.
[6]. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Muamalat, hlm. 255.
[7]. Fiqhun-Nawzil, Dirasah Tashiliyah Tathbiqiyat (3/267).
[8]. Akad tabarru`, adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan
tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit). Lihat Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9]. Abhats Haiat Kibar Ulama, oleh al-Lajnatid-Dimati lil-Buhtsil-Ilmiyati wal-Ift`. Saudi
Arabiya, 4/38.
[10]. Nidzam at-Tamn, Musthafa al-Zarqa`, hlm. 42. Dinukil dari al-Uqd al-Mliyah alMurakkabah, Dirasat Fiqhiyah Tashiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 289.
[11]. Al-Gharar wa Atsaruhu fil-Uqd, Dr. Adh-Dharr, Mathbut Majmuah Dalah al-Barakah,
Cetakan Kedua, hlm. 638. Dinukil dari makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Duaij berjudul
Ruyat Syariyah f Syarikat at-Tamn at-Tawuniyah, hlm. 2. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa
atau www.saaid.net
[12]. Lihat pembahasannya dalam al-Uqd al-Mliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah
Tashiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 291-311.
[13]. Kelima karekteristik ini dapat dilihat dalam kitab al-Uqd al-Mliyah al-Murakkabah,
Dirasat Fiqhiyah Tashiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 290-291
[14]. Lihat makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Duaij berjudul Ruyat Syariyah f Syarikat atTamn at-Tawuniyah (hlm 2-3), al-Uqd al-Mliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah
Tashiliyah wa Tathbiqiyat (hlm. 290-291), dan al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Muamalat
(hlm. 255-256).
[15]. Keputusan Nadwah al-Barkah ke-12 dalam sebuah forum simposium untuk ekonomi
Islam. Lihat Qararat wa Taushiyat Nadwah al-Barkah lil-Iqtishad al-Islami, Tahun 1422H,
hlm. 212.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2590-perbedaan-antara-asuransi-taawun-dan-asuransi-konvensional.html
Pertama kali asuransi muncul di abad ke-14 masehi di Italia. Mereka menyebutnya
Saukarah, dalam bahasa latin yang artinya asuransi. Transaksi ini mereka buat untuk
memberikan jaminan keamanan bagi para pedagang yang mengantar barang melalui jalur
laut. Selama beberapa tahun, asuransi hanya mereka terapkan untuk menjamin resiko
bahaya laut.
Hingga akhirnya terjadi kebakaran besar di London, tahun 1666 M, yang melenyapkan lebih
dari 30.000 rumah. Setelah itu, mereka membuat asuransi untuk resiko di darat. (Aqdu atTamin wa Mauqif as-Syariah al-Islamiyah, Musthofa az-Zarqa, hlm. 34).
Secara umum, ada prinsip yang perlu dijaga dalam asuransi,
[1] Tidak ada unsur gharar yang tidak diimbangi dengan keberadaan hak apapun
Dalam jual beli, di sana ada unsur ketidak jelasan, apakah nanti dapat untung ataukah justru
rugi. Demikian pula dalam mudharabah dan investasi, ada dua kemungkinan,
menguntungkan dan merugikan. Namun semua ketidak-jelasan di sini, tidak mempengaruhi
kehalalan transaksi.
Karena uang yang digunakan dalam jual beli, tergantikan dengan barang yang dijual, dan
modal dalam perusahaan tergantikan dengan aset perusahaan.
Syaikhul Islam menjelaskan,
Untung-untungan (mukhatharah), tidak ada dalil shahih yang menunjukkan haramnya semua
mukhatharah. Bahkan kita tahu dengan pasti, Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
tidak mengharamkan semua bentuk mukhatharah. Dan Allah dan Rasul-Nya juga tidak
mengharamkann semua transaksi yang tidak tentu, apakah menguntungkan atau rugi, atau
bisa sukses demikian pula, semua orang yang jual beli barang, mereka berharap dapat
untung, dan takut rugi. Mukhatharah semacam ini dibolehkan, berdasarkan dalil al-Quran,
sunnah dan sepakat ulama. Seorang pelaku bisnis, adalah seorang mukhatir (orang yang
sedang melakukan untung-untungan). (al-Fatawa al-Mishriyah, hlm. 532)
Berbeda dengan ketidak-jelasan dalam asuransi konvensional, premi yang dibayarkan hanya
tergantikan dengan jaminan klaim yang belum jelas keberadaannya. Ada kemungkinan
terjadi dan banyak kemungkinan tidak terjadi. Dan inilah gharar yang terlarang.
[2] Tidak ada riba, dalam bentuk menambahan uang tanpa ada iwadh yang diterima oleh
pihak kedua.
Dalam transaksi konvensional, ketika nasabah asuransi mengajukan klaim, dia
mendapatkan tambahan dari nilai premi yang dia bayarkan. Sementara kelebihan itu tidak
disertai dengan adanya ganti (iwadh) apapun yang diterima pihak asuransi. Dan ini adalah
riba.
[3] Tidak diniatkan untuk komersial, mencari keuntungan, tanpa menanggung resiko
kerugian. Karena adanya niat untuk mencari keuntungan tanpa menanggung resiko
kerugian, menyebabkan asuransi ini kembali menjadi asuransi konvensional yang
mengandung gharar. Dalam akad muamalah, maksud dan tujuan orang yang melakukan
transaksi, berpengaruh kepada status transaksi.
Prinsip dari asuransi syariah adalah menjamin tidak ada transaksi terlarang di dalamnya.
Baik dengan cara saling tolong menolong atau mengembangkan dana melalui investasi
halal.
Di bagian ini kita akan sebutkan dua contoh prototype asuransi yang insyaaAllah bersih dari
adanya transaksi haram, berikut kami sertakan skema untuk memudahkan pemahaman.
Pertama, asuransi premi sukarela, berbasis taawuni, selanjutnya disebut asuransi taawuni.
Dalam asuransi taawuni, yang dikembangkan adalah kerja sama saling tolong menolong
antar-sesama peserta asuransi. Konsekuensi dari hal ini,
Dana yang diberikan peserta bersifat sukarela, sehingga peserta tidak bisa
menarik kembali dalam bentuk uang di luar klaim yang ditentukan.
Nilai dana yang disumbangkan bisa seragam, bisa juga berbeda-beda sesuai
kemampuan peserta. Dan ini kembali kepada kesepakatan.
Dalam asuransi sukarela berbasis taawuni, ada 3 pihak yang terlibat,
[1] Peserta asuransi, sebagai penyedia dana
[2] Lembaga asuransi, sebagai pengelola dana para peserta
[3] Perusahaan x, Unit bisnis halal, sebagai pihak yang menerima investasi dari sebagian
besar dana peserta
Alur kerja sama dan aliran dana, bisa kita pelajari dalam skema berikut,
Sesungguhnya orang-orang kabilah Asyariy, ketika mereka kehabisan bekal pada waktu perang, atau makanan
mereka kurang untuk keluarganya ketika di Madinah, maka mereka kumpulkan sisa-sisa makanan mereka di
satu kain, lalu mereka bagi rata di wadah-wadah mereka. Saya bagian dari mereka dan mereka bagian
dariku. (HR. Bukhari
Hak dan kewajiban
Karena dana yang ditampung, sama sekali bukan miliknya, tetapi milik peserta. Sementara
lembaga asuransi hanya menyalurkan dana itu ke perusahaan x. Sehingga dia tidak
mendapatkan bagi hasil, tapi berhak mendapat upah atas kerja yang dia lakukan, berupa
mengatur perputaran dana itu.
Jika lembaga asuransi meminta sekian persen dari revenue perusahaan x, yang terjadi
adalah mudharabah bertingkat. Dan ini tidak boleh.
Mengenai mudharabah bertingkat, terdapat keterangan dari an-Nawawi,
Tidak boleh bagi amil (mudharib) untuk menyalurkan modal yang dia terima kepada pihak
ketiga, sebagai modal. Bila dia melakukan itu atas seizin pemodal, dan tidak terhitung
sebagai utang, serta dia hanya wakil untuk transaksi mudharabah yang kedua, maka
mudharabahnya sah. Dan amil pertama tidak boleh mempersyarat-kan, untuk mendapatkan
bagi hasil. Jika amil pertama mempersyaratkan harus mendapatkan bagi hasil, maka
mudharabah yang kedua batal. Sementara amil pertama hanya mendapat ujrah mitsl (upah
standar) dari pemilik modal. (Raudhah at-Thalibin, 5/132)
[3] Hak dan Kewajiban Perusahaan x
Ikatan yang dibentuk dengan perusahaan x adalah akad mudharabah. Dimana
peserta asuransi sebagai sohibul mal dan perusahaan x sebagai mudharib,
sementara lembaga asuransi hanyalah wakil, yang menghubungkan sohibul mal
dengan amil.
Perusahaan x mengembangkan dana itu sesuai unit bisnisnya atau sesuai
kesepakatan.
Semua hasil akhir dibagi bersama sesuai kesepakatan, baik keuntungan maupun
kerugian.
Kedua, Asuransi non-sukarela, berbasis investasi, selajutnya diistilahkan dengan asuransi
investasi.
Dalam asuransi investasi, yang dijadikan acuan adalah prinsip bahwa peserta asuransi
hanya mendapatkan hak sesuaidana miliknya yang ada di perusahaan asuransi, baik yang
bentuknya tabungan atau investasi. Karena itu, dana yang disalurkan dibagi menjadi 2:
Dijadikan tabungan, yang bisa diambil kapanpun ketika membutuhkan.
Diinvestasikan untuk unit usaha yang halal dengan skema mudharabah agar bisa
dikembangkan. Sehingga peserta harus menyadari, dalam investasi ini ada
kemungkinan untung atau rugi.
Sebgaimana asuransi taawuni, dalam asuransi berbasis investasi, ada 3 pihak yang terlibat,
[1] Peserta asuransi, sebagai panyalur dana
[2] Lembaga asuransi, sebagai pengelola dana para peserta
[3] Unit bisnis halal, sebagai pihak yang menerima investasi dari sebagian besar dana
peserta
asuransi syariah, skema asuransi syariah, skema asuransi, bagan proses klaim
asuransi, bagan asuransi syariah
Keywords: skema, makanan, dan, minuman, halal, asuransi, syariah, konvensional, contoh,
perusahaan, mudharabah, adalah, akad
Description:
Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem,
atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk
jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari
kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian,
kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan pembayaran premi secara
teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin
perlindungan tersebut. (Wikipedia)
Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi
Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang,
asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas,
asuransi menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi),
dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).
Berikut adalah rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:
1. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan
(muawadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri
mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan
waktu nasahab akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang
yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident
atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak
tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan
accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak
mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.
Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan
diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu
alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi
tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
- -
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang
dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan) (HR. Muslim no. 1513).
2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah
tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini
berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena
tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi
besar karena banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi
nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak
pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada
nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak
mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang
mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi
berdasarkan keumuman ayat,
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda (HR.
Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878.
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga permainan di
atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti lomba
untuk menghafal Al Quran dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi
tidak termasuk dalam hal ini.
5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil .
Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik.
Padahal dalam akad muawadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus
ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Taala,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu (QS. An Nisa: 29). Tentu
setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan
timbal balik atau keuntungan.
6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syari. Seakanakan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada
pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan
dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah,
KSA]
Masa Depan Selalu Suram Ganti dengan Tawakkal
Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah
masa depan yang selalu suram. Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan, Pendidikan anak
bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan, Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan
biaya yang besar. Itu slogan-slogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di
perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal
tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran
masa depan yang suram. Karena Allah Taala sendiri yang menjanjikan,
( 2)
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya
Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari
rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah
mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan
tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan
tinggalkan yang haram
Albani).
Penutup
Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi,
apa pun jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun
mengatasnamakan asuransi syariah sekali pun. Yang kita lihat adalah
hakekatnya dan bukan sekedar nama dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu
dengan embel syari belaka. Betapa banyak orang memakai slogan syari,
namun nyatanya hanya sekedar bualan.
Nasehat kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan
asuransi tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh
dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah
terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan sebesar premi
yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak boleh lebih dari
itu. Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah
meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan
kebaikan. Jika uang yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).
Catatan: Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah
karena terdapat pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan.
Ada asuransi yang disebut dengan asuransi taawuni yang di dalamnya
hanyalah tabarruat (akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini tidaklah
bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk mengulas lebih jauh
mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan
kelonggaran waktu untuk membahasnya.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Share on Facebook
Tweet on Twitter
Asuransi Masuk Warisan?
suami meninggal dan beliau punya asuransi kesehatan dg nilai pertanggungan yg bsr (sdh diinfokan oleh agen
asuransinya), asuransi pendidikan dan kesehatan utk anak2, dan dr kantornya jg mendpt jaminan asuransi
jiwa. Sy blm paham apa hukum asuransi menurut syariah, halal/haram kah? Sy dan suami baru mengenal
sunnah, ingin kehidupan yg berkah bebas dr harta yg haram.
Apakah uang asuransi itu tmsk harta peninggalan? Kalau ada santunan (krn suami meninggal krn kecelakaan
tersengat listrik), uang santunan itu bisa diterima atau tdk? Trs bagaimana dg uang2 dr para pelayat, apakah
halal sy gunakan utk keperluan sehari2 selama sy blm bs mengurus rekening tabungan dll?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, wa badu,
Sebelum mambahas masalah pembagian warisan, kita akan melihat lebih dekat
mengenai asuransi dan konsekuensi yang harus dilakukan ketika orang
mendapatkan klaim.
Salah satu yang bermasalah dalam asuransi adalah adanya riba. Dimana pada
saat mengajukan klaim, peserta asuransi akan mendapatkan nilai uang yang
lebih besar dibandingkan premi yang dia bayarkan. Padahal itu termasuk
manfaat yang didapatkan dari utang. Sementara semua manfaat yang
didapatkan dari utang termasuk riba.
Al-Baihaqi menyebutkan riwayat pernyataan sahabat Fudhalah bin
Ubaid radhiallahu anhu,
Setiap piutang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah
riba.
Kemudian al-Baihaqi mengatakan,
Kami juga mendapatkan riwayat dari Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Abdullah bin
Sallam, dan yang lainnya, yang semakna dengan itu. Demikian pula yang
diriwayatkan dari Umar dan Ubay bin Kab Radhiyallahu anhu. (as-Sunan as-Sughra,
4/353).
Oleh karena itu, ketika pengajuan klaim atau penutupan asuransi, nasabah
asuransi HANYA boleh menerima senilai premi yang pernah dia bayarkan. Tidak
lebih dari itu. Sehingga, tugas penting bagi para nasabah asuransi untuk
mencatat premi yang pernah dia bayarkan. Jika nasabah hanya mengambil
senilai premi, dia tidak dzalim dan tidak didzalimi.
Prinsip ini yang Allah ajarkan dalam al-Quran,
Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
Nilai klaim asuran yang boleh diterima tidak lebih dari premi yang pernah
dibayarkan. Jika orang telah mendapatkan itu, lalu bagaimana pengaturan
hartanya? Apakah masuk hitungan warisan ataukah tidak?
Dr. Muhammad Ali Farkus pernah ditanya tentang wanita yang ditinggal mati
suaminya, dan dia mendapat santunan dari lembaga kematian. Apakah uang ini
boleh dimanfaatkan pribadi? Atau harus dibagi ke seluruh ahli waris?
Beliau menjelaskan,
Harta yang diterima oleh keluarga mayit ada 2 kemungkinan,
[1] harta itu murni hibah dan pemberian untuk keluarga mayit
Harta jenis ini tidak masuk dalam perhitungan warisan. Tapi diserahkan sesuai
peruntukan dan sasaran yang diinginkan pemberi. Jika yang memberi
mengarahkannya untuk istri atau anaknya, maka yang lain tidak
mendapatkannya.
[2] harta itu diberikan karena jasa atau tabungan mayit ketika masih hidup
Harta jenis ini masuk dalam perhitungan warisan. Dibagi sesuai kaidah
pembagian warisan sebagaimana yang dijelaskan dalam fiqh warisan.
Beliau memberikan jawaban,
Hukum dalam masalah ini berbeda-beda melihat latar belakang yayasan yang
memberi uang dan latar belakang harta yang diberikan. Apakah itu dari yayasan
khusus menangani santunan bagi keluarga mayit ataukah jaminan sosial untuk
mayit? Sehingga pertannyaan yang butuh kita pastikan jawabannya, apakah
lembaga memberikan dana ini sebagai hibah ataukah itu hak orang yang mati
yang diambilkan dari jaminan sosial melalui iuran bulanan dari potongan
penghasilan bulanan yang dibayarkan mayit selama masa kerja ketika hidup?
Kemudian beliau memberikan rincian,
Jika bentuknya yang pertama, yaitu hibah atau santunan dari lembaga yang
khusus menangani orang meninggal, sebagai bantuan kemanusiaan, dalam
rangka membantu keluarga mayit, anak-anaknya dalam kondisi ini, harta
diserahkan kepada tujuan pemberian itu, sesuai yang telah ditentukan oleh
lembaga pemberi donasi, dan tidak digabungkan dengan harta warisan.
:
Namun jika bentuknya yang kedua, yaitu hak bagi mayit yang diambil dari gaji
selama bekerja untuk jaminan sosial, maka dana ini masuk dalam hitungan
warisan, yang harus dibagi sesuai aturan pembagian warisan dalam syariat.
Sumber: http://ferkous.com/home/?q=fatwa-310
Oleh karena itu,
Pertama, untuk santunan dari lembaga asuransi, semuanya dihitung sebagai harta
warisan. Dan dibagi sesuai kaidah pembagian warisan. Karena hakekatnya ini
adalah tabungan mayit selama dia masih bekerja. Dan baru diserahkan setelah
meninggal. Termasuk ketika mayit punya saham di sebuah perusahaan, dan
berkembang. Semua hasil mask dalam hitungan warisan. Ada kaidah
mengatakan,
Harta dan semua turunan perkembangan dari harta, menjadi hak pemilik harta
Kedua, untuk dana santunan dari masyarakat, para pelayat atau yayasan sosial
bisa diserahkan sesuai peruntukannya. Jika para pemberi santunan
menyerahkan uang itu untuk ditujukan kepada anak jenazah, maka istri dan ortu
jenazah tidak mendapatkannya. Sementara untuk tidak ada sasarannya, misal
yang dimasukkan di kotak dana rumah duka, bisa dibagi untuk semua anggota
keluarga. Bisa juga untuk menutupi kebutuhan selama prosesi jenazah, seperti
pelayanan untuk tamu atau semacamnya.
Allahu alam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: https://konsultasisyariah.com/28328-apakah-asuransi-masuk-warisan.html
Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak. ( Al
Mawsuah Al Fiqhiyyah, 31: 149)
Kenapa sampai asuransi mengandung ghoror? Karena waktu untuk mendapatkan
klaim tidaklah jelas. Adanya resiko dahulu barulah ada klaim. Jika tidak ada
accident? Tentu tidak ada klaim.
Coba perhatikan beberapa hukum dilarang karena adanya sebab ghoror. Pada
jual beli dengan sistem ijon terlarang karena hasil panen yang diperoleh bisa jadi
ada, bisa jadi tidak karena terserang hama atau penyakit. Dari sahabat Anas bin
Malik radhiyalahu anhu, ia berkata,
.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil
tanaman) hingga menua? Para sahabat bertanya, Apa maksudnya telah
menua? Beliau menjawab, Bila telah berwarna merah. Kemudian beliau
bersabda, Bila Allah menghalangi masa panen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab
apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)? (HR. Bukhari no. 2198 dan Muslim no.
1555)
Yang terlarang lagi karena terlacak di dalamnya ada unsur ghoror adalah jual beli
habalul habalah. Bagaimanakah jual beli tersebut? Dari Abdullah bin
Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut
dengan habalul habalah. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat
jahiliyah. Habalul habalah adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah:
seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo
pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual
lahir. (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883). Cucu dari unta tersebut
tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi
setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta
tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas
diperoleh.
Secara umum memang Rasul shallallahu alaihi wa sallam larang. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,
- -
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror. (HR. Muslim no.
1513)
Inilah di antara alasan kenapa setiap beli kendaraan bermotor, penulis sendiri
tidak pernah menambah biaya asuransi. Karena asuransi itu selalu merugi, rugi
dunia, rugi akhirat karena terjatuh pada yang haram.
Wa billahit taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.
* Tulisan di atas diambil dari buku penulis Bermodalkan Ilmu Sebelum
Berdagang yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta.
Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi
(dijadikan dua lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah. Dana yang
masih kurang untuk pembangunan tahap kedua, dibutuhkan sekitar 850 juta rupiah.
Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1)
BCA: 8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI:
0029-01-101480-50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].
Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan
contoh sms konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi
masjid. Laporan donasi, silakan cek di sini.
Read more https://rumaysho.com/9737-asuransi-kendaraan-selalu-rugi.html
MAKNA ASURANSI
Yang dimaksud dengan asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi
jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin,
atau memberi ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah
asuransi), pada waktu terjadi musibah atau terjadinya bahaya, dan dijelaskan dengan
perjanjian. Pemberian itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan nasabah
kepada perusahaan asuransi.
Dari penjelasan ini, dapat diketahui secara jelas bahwa dalam perjanjian asuransi itu
terdapat tiga unsur yang melingkupinya, yaitu: (1) bentuk dan jumlah jaminan yang akan
diberikan perusahaan asuransi, (2) bahaya atau musibah yang terjadi, (3) angsuran atau
pembayaran yang dibayar oleh nasabah.
SEJARAH ASURANSI
Asuransi yang pertama kali muncul ialah dalam bentuk asuransi perjalanan laut, yaitu pada
abad 14 Masehi. Namun sebenarnya, asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum
Masehi. Praktek asuransi waktu itu, seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk
kapal yang akan berlayar. Jika kapal itu hancur, maka pinjaman tersebut hilang. Jika kapal
selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu
digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.
Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi. Di dalamnya merupakan perjanjian yang
bersifat riba, mengandung unsur perjudian dan bahaya. Dan hingga pada saat ini, asuransi
tetap memiliki unsur-unsur sebagaimana saat muncul pertama kali.
Kemudian, pada abad 17 Masehi muncul asuransi di daratan, yaitu di kalangan bangsa
Inggris. Pertama kali, muncul dalam bentuk asuransi kebakaran. Kemunculannya setelah
terjadi kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Kerugian yang diderita
pada waktu itu, tidak kurang dari 13 ribu rumah, dan sekitar 100 gereja terbakar. Dari sini,
asuransi kebakaran kemudian menyebar ke banyak negara di luar Inggris pada abad 18
Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat, serta semakin bertambah
jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.
JENIS-JENIS ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi dapat dikategorikan dalam dua jenis.
Yaitu at-Ta'mn at-Tijri dan at-Ta'mn at-Ta'wuni.
disebut juga dengan at-Ta'mn at-Tabduli, atau at-Ta'mn alIslami. Yaitu asuransi gotong-royong, atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam.
Asuransi ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanya bersifat tolong-menolong
dalam menanggung kesusahan.
Contohnya, sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang. Dengan uang ini,
mereka membantu orang yang terkena musibah.
Perusahaan asuransi Islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah.
Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun
milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan
bantuan.
Selain dua jenis asuransi di atas, masih ada jenis asuransi lainnya, yaitu at-Ta'mn al-Ijtima'i
(jaminan keamanan sosial).
Asuransi at-Ta'mn al-Ijtima'i ini, juga tidak mencari keuntungan dan bukan asuransi khusus
pada seseorang yang khawatir terjadinya musibah tertentu. Asuransi at-Ta'mn al-Ijtima'i ini
bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang.
Seperti yang dilakukan oleh negara atau suatu pemerintahan untuk para pegawainya, yang
dikenal dengan istilah peraturan pensiun (di Indonesia dikenal dengan istilah Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen, Red.).
Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dalam prosentase tertentu, dan ketika telah
sampai masa pensiun, maka uang (pemotongan gaji) tersebut diberikan kembali dalam
bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk
membantu kehidupannya. Dan jenis ini, sebenarnya tidak termasuk dalam kategori asuransi.
Namun hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.
MACAM-MACAM ASURANSI TIJRI
At-Ta'mn at-Tijri, sebagai asuransi yang bertujuan mencari keuntungan ini sangat banyak
macamnya. Antara lain sebagaimana berikut.
Pertama. Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini berkenaan dengan harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian,
asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga diberlakukan untuk pertanggungan terhadap
nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan
semacamnya.
Kedua. Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, berkaitan
dengan kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Asuransi ini meliputi asuransi
jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan (jasmani).
Asuransi jiwa, yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan
sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ketiga, ketika nasabah (atau orang
ketiga) itu meninggal dunia, ataupun pemberiaan dalam keadaan nasabah (atau orang
ketiga) itu masih hidup sampai umur tertentu. Pemberian perusahaan asuransi ini sebagai
ganti dari angsuran-angsuran yang telah disetorkan oleh nasabah terdahulu.
Asuransi jiwa ini dapat digolongkan dalam beberapa macam.
1. Asuransi Kematian.
Yaitu pemberian sejumlah uang pada saat kematian nasabah, dan meliputi tiga macam.
a. Asuransi Selama Hidup.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan
pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah).
Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu meninggal
sebelum masa 20 tahun, maka angsurannya (setorannya) gugur, dan orang yang
diasuransikan tersebut berhak mendapatkan sejumlah uang asuransi secara penuh. Ini
berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah masih hidup melewati masa 20 tahun,
maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidak diberikan kepada orang yang
diasuransikan, kecuali setelah kematian nasabah.
b. Asuransi Berjangka Waktu Tertentu.
Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah
uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah meninggal dalam jangka
waktu (masa) asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jangka waktu asuransi, maka
angsuran yang telah ia bayarkan hilang, dan perusahaan asuransi mengambil uang tersebut
dengan tanpa imbalan apapun. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.
c. Asuransi Selama Hidupnya Orang Yang Diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan,
jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika
orang yang diasuransikan meninggal sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah),
maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi
jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.
2. Asuransi Untuk Keadaan Tetap Hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah. Asuransi ini kebalikan dari bentuk (1.a). Dalam asuransi ini,
nasabah membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan
akan membayarkan sejumlah uang tertentu juga yang lebih banyak- pada waktu yang
ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah
meninggal sebelum waktu yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi, maka asuransi
berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Begitu pula ahli waris
nasabah tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur
perjudiannya.
3. Asuransi Yang Memiliki Unsur Kombinasi.
Asuransi tijri (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya,
hukumnya haram, karena beberapa sebab:
1. Perjanjian Asuransi Tijri Merupakan Perjanjian Penggantian Harta Yang Mengandung Ketidakpastian, Dan
Mengandung Bahaya Yang Sangat Besar.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli
gharar" [HR. Muslim, no. 1513]
Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ''aku menjual kain yang terkena
kerikil yang aku lemparkan''. Atau ''aku menjual tanah ini mulai sini, sampai jarak kerikil yang
Karena pada asuransi itu terdapat bahaya kerugian dalam pertukaran harta, kerugian
dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan,
atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi, terkadang baru
menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan (musibah), sehingga perusahaan asuransi
menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan sama sekali,
sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dari angsuran-angsuran nasabah
asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian, asuransi termasuk dalam larangan
perjudian, sebagaimana disebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" [AlMaidah/5: 90]
3. Perjanjian Asuransi Tijri Mengandung Riba.
Karena keuntungan yang didapatkan perusahaan asuransi itu tanpa imbalan. Sedangkan
keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya.
Dan riba di dalam Islam sangat keras larangannya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya" [al-Baqarah/2:278-279]
4. Asuransi Tijri Merupakan Perlombaan Yang Hukumnya Haram, Karena Mengandung Ketidakjelasan, Bahaya
Kerugian, Dan Perjudian.
"Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak
panah" [HR Abu Dawud, no. 2574; at-Tirmidzi, no. 1700]
Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan, kecuali pada salah satu dari tiga
perkara di atas. Karena ketiganya dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan
dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan
dorongan kepada jihad. [Lihat Tuhfatul-Ahawadzi].
5. Perjanjian Asuransi Tijri, Mengandung Unsur Mengambil Harta Orang Lain Dengan Tanpa Imbalan.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu". [an-Nisa'/4: 29]
6. Perjanjian Asuransi Tijri Mewajibkan Sesuatu Yang Tidak Diwajibkan Oleh Syariat.
Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang
menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian
dengan nasabah untuk memberi jaminan pertangungan atas bahaya yang menimpa
nasabah dengan imbalan setoran angsuran nasabah.
Berdasarkan keterangan ini, maka banyak fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi
tijri dengan segala jenisnya. Begitu pula dari penjelasan ini nampak, bahwa asuransi yang
saat ini banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan, termasuk
perkara yang dilarang syariat. Adapun asuransi yang dibolehkan, yaitu asuransi at-Ta'mn atTa'wuni. Asuransi yang bertujuan untuk gotong royong, sebagaimana telah dijelaskan di
atas.
Wallahu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]. Artikel ada di www.almanhaj.or.id
________
Footnote
Makalah ini ditulis oleh Ustadz Muslim al-Atsari bersumber dari kitab Mausah al-Qadhy
al-Fiqhiyyah al-Mu'shirah wal-Iqtishd al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Sls,
Penerbit Dar ats-Tsaqafah Qathar, halaman 363-395. Beliau merupakan pengajar bidang
fiqh dan ushl di Kuliyah Syari'at Universitas Qathar. Penulisan makalah ini, juga dengan
mengambil beberapa tambahan dari rujukan lain.
[pertanyaan]
Si jago merah telah melumat habis toko seorang muslim, dan menghanguskan
hampir seluruh isinya. Dan dikarenakan sejak beberapa tahun lalu ia telah
mengasuransikan tokonya tersebut, maka perusahaan asuransi membayarkan
kepadanya seluruh jumlah kerugiannya. Apa hukum Allah tentang uang yang ia
terima tersebut, terlebih-lebih iuran yang pernah ia setorkan selama beberapa
tahun tersebut tidak sebanding, walau hanya separuh dari uang asuransi yang ia
terima. Sedangkan anda telah mengetahui bahwa sebagian negara mewajibkan
asuransi?
[jawaban]
Asuransi jenis ini adalah asuransi komersial, dan itu diharamkan; dikarenakan
pada asuransi itu terdapat unsur riba, ghoror (ketidak jelasan), dan praktek
memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Dan pemilik toko
yang anda sebutkan, dibolehkan untuk mengambil sejumlah uang setoran yang
pernah ia bayarkan ke perusahaan asuransi. Sedangkan sisanya, hendaknya ia
sedekahkan kepada orang-orang fakir, atau digunakan dalam kegiatan sosial
lainnya. Dan hendaknya ia segera menghentikan diri dari menjadi nasabah
perusahaan asuransi tersebut.
Dengan demikian, bila terjadi klaim, maka saudara dapat mengambil sejumlah
fee yang telah dipotong dari gaji saudara dan oleh perusahaan dibayarkan ke
perusahaan asuransi. Sedangkan selebihnya, saudara salurkan ke jalur-jalur
sosial bukan dengan niat bersedekah akan tetapi berlepas diri dari harta haram.
Dan bila tidak terjadi klaim, maka anda dapat mengambil kembali fee yang telah
dibayarkan oleh perusahaan sejumlah total potongan gaji saudara selama 5
tahun atau pada saat saudara pensiun. Wallahu aalam bisshowab.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.
Sumber: www.PengusahaMuslim.com
Sumber: https://konsultasisyariah.com/104-hukum-asuransi-bagi-pegawai.html
Bagaimanakah Hukum Asuransi Dalam Islam (Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri)
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al Maidah: 90) dan juga tercakup
dalam ayat setelah ayat tersebut.
Ketiga: Akad "asuransi komersial" mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba
nasi'ah (penundaan), karena perusahaan asuransi bila ia membayar ke nasabahnya atau ke
ahli warisnya atau kepada orang yang berhak memanfaatkan suatu klaim yang lebih besar
dari uang setoran (iuran) yang ia terima, maka itu adalah riba fadhl, sedangkan perusahaan
asuransi akan membayar klaim tersebut kepada nasabahnya setelah berlalu tenggang
waktu dari saat terjadi akad, maka itu adalah riba nasi'ah. Dan bila perusahaan membayar
klaim nasabah sebesar uang setoran yang pernah ia setorkan ke perusahaan, maka itu
adalah riba nasi'ah saja, dan keduanya diharamkan menurt dalil dan ijma' (kesepakatan
ulama).
Keempat: Akad "asuransi komersial" termasuk pertaruhan yang terlarang, karena masingmasing dari asuransi ini dan pertaruhan terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan,
dan mengundi nasib. Padahal, syariat tidak membolehkan pertaruhan selain pertaruhan
yang padanya terdapat unsur pembelaan terhadap agama Islam, dan penegakkan
benderanya dengan hujjah/ dalil dan pedang/ senjata. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
telah membatasi rukhshah (keringanan) pertaruhan dengan tebusan hanya pada tiga hal:
"Tiada hadiah selain pada unta atau kuda atau senjata tajam." Dan "asuransi" tidaklah
termasuk salah satu darinya, tidak juga serupa dengannya, sehingga diharamkan.
Kelima: Akad "asuransi komersial" padanya terdapat praktik pemungutan harta orang lain
tanpa imbalan, sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi
perniagaan adalah diharamkan, dikarenakan tercakup oleh keumuman firman Allah Ta'ala:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan
cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di
antara kamu." (Qs. an-Nisa': 29).
Keenam: Pada akad "asuransi komersial" terdapat pengharusan sesuatu yang tidak
diwajibkan dalam syariat, karena perusahaan asuransi tidak pernah melakukan suatu
tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinya kerugian. Perusahaan
asuransi hanyalah melakukan akad bersama nasabah untuk menjamin kerugian bila hal itu
terjadi, dengan imbalan iuran/ setoran yang dibayarkan oleh nasabah kepadanya,
sedangkan perusahaan asuransi tidak pernah melakukan pekerjaan apapun untuk
nasabahnya, sehingga akad ini diharamkan.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang membolehkan "asuransi
komersial" secara mutlak atau pada sebagian macamnya, maka bantahannya sebagai
berikut:
A. Berdalil dengan kaidah "maslahah/ kemaslahatan" tidak dapat dibenarkan, karena kaidah
maslahat dalam syariat Islam ada tiga bagian:
- Bagian pertama: Maslahat yang dibenarkan oleh syariat penggunaannya, dan bagian ini
dapat menjadi dalil.
- Bagian kedua: Maslahat yang tidak diketahui statusnya, apakah syariat meninggalkannya
atau menggunakannya, dan inilah yang disebut dengan maslahah mursalah, dan maslahah
jenis ini merupakan permasalahan yang menjadi ajang ijtihad para ulama.
- Bagian ketiga: Masalahat yang telah terbukti bahwa syariat sengaja meninggalkannya, dan
akad "asuransi komersial" padanya terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan,
perjudian, dan riba, sehingga termasuk maslahat yang ditinggalkan oleh syariat,
dikarenakan sisi kerusakannya lebih besar dibanding sisi kemaslahatannya.
B. Hukum asal perniagaan yaitu "mubah", tidak dapat dijadikan dalil pada permasalahan ini,
karena akad "asuransi komersial" telah terbukti bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur'an
dan as-Sunnah. Sedangkan, pengamalan kaidah "hukum asal perniagaan yaitu mubah"
disyaratkan tidak ada dalil yang mengubah hukum tersebut, padahal dalil tersebut telah
didapatkan, maka batallah pendalilan dengan kaidah dasar tersebut.
C. Kaidah:
"Setiap keterpaksaan (darurat) membolehkan hal yang dilarang." Tidak dapat dijadikan dalil
di sini, karena jalan-jalan mengais penghasilan yang halal jauh lebih banyak berlipat ganda
dibanding jalan yang diharamkan atas manusia. Sehingga, tidak ada keadaan darurat yang
dibenarkan secara syariat yang memaksa seseorang untuk melakukan hal yang telah
diharamkan syariat, yaitu berupa asuransi.
D. Tidak dibenarkan berdalil dengan tradisi, karena tradisi bukan termasuk dalil dalam
mensyariatkan hukum. Tradisi hanya sebagai dasar dalam penerapan hukum, dan
memahami maksud dari teks-teks dalil dan ungkapan manusia dalam persumpahan,
gugatan dan berita masyarakat, serta setiap hal yang memerlukan kepada penentuan
maksud, baik berupa perbuatan atau ucapan. Sehingga, tradisi tidak memiliki pengaruh
dalam hal-hal yang telah nyata, dan telah jelas maksudnya. Dan dalil-dalil telah
menunjukkan dengan nyata tentang larangan dari "asuransi", sehingga tradisi tidak dapat
dijadikan pertimbangan.
E. Beralasan bahwa akad "aasuransi komersial" termasuk salah satu akad mudharabah/
bagi hasil atau yang serupa dengannya tidak dapat dibenarkan. Karena, kepemilikan modal
dalam akad mudharabah tidak pernah keluar dari pemiliknya, sedangkan iuran/ setoran
nasabah dalam "asuransi" dengan akad asuransi berpindah dari kepemilikan pemiliknya
kepada perusahaan asuransi, sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan asuransi.
Modal dalam akad mudharabah akan menjadi hak ahli waris bila pemodal meninggal dunia,
sedangkan dalam akad asuransi ahli waris -sesuai dengan peraturan perusahaan- bisa saja
memiliki klaim walaupun orang tua mereka belum sempat membayar selain satu setoran
saja, dan bisa saja mereka tidak mendapatkan apa-apa, bila orang tua mereka telah
menentukan orang yang berhak menerima klaim adalah selain penyetor dan ahli warisnya.
Dan keuntungan dalam akad mudharabah dibagi antara kedua belah pihak dengan
persentase tertentu, beda halnya dengan asuransi, keuntungan modal dan kerugiannya
murni ditanggung perusahaan, sedangkan nasabah tidak barhak apa-apa diluar klaim atau
klaim dalam jumlah yang tidak tertentu.
F. Menyamakan akad "asuransi" dengan hubungan loyalitas (al-muwalaat) menurut ulama
yang membenarkannya, tidak benar; karena penyamaan itu merupakan suatu qiyas dengan
adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan antara keduanya: bahwa akad "asuransi"
bertujuan mencari keuntungan materi yang sarat dengan untung-untungan, perjudian dan
ketidakjelasan. Beda halnya dengan hubungan loyalitas (al-muwalaat), tujuan utamanya
ialah menjalin persaudaraan dalam agama Islam, saling membela, dan bahu-membahu
dalam kesusahan, kesenangan dan dalam segala keadaan. Adapun keuntungan berupa
materi, maka itu merupakan tujuan sekunder.
G. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan janji yang mengikat menurut ulama yang
membenarkannya, tidak benar; karena penyamaan itu merupakan suatu qiyas dengan
adanya perbedaan. Di antara perbedaan antara keduanya ialah: bahwa janji memberi
piutang atau pinjaman, atau menanggung kerugian -misalnya- merupakan tindak sosial
semata, sehingga memenuhi janji tersebut merupakan hal yang wajib atau salah satu sikap
terpuji. Beda halnya dengan akad "asuransi", karena sesungguhnya asuransi adalah akad
tukar-menukar komersial, yang didasari oleh keinginan mencari keuntungan materi, maka
unsur ketidak-jelasan dan untung-untungan padanya tidak dapat ditoleransi sebagaimana
dalam perbuatan sumbangan sosial.
H. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad memberikan jaminan/ garansi
(dhamaan) terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan menjamin sesuatu yang belum
terjadi, tidak benar; karena itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara
perbedaannya ialah: akad jaminan (dhamaan) salah satu bentuk tindak sosial dan bertujuan
untuk berbuat baik/ membantu semata. Beda halnya dengan "asuransi", karena asuransi
merupakan akad tukar-menukar komersial, dan tujuan utamanya ialah mendapatkan
keuntungan materi. Dan bila di kemudian hari muncul sikap baik, maka itu merupakan hal
sekunder dan tidak disengaja. Padahal hukum-hukum syariat senantiasa dikaitkan dengan
tujuan utama, bukan dengan hal-hal sekunder, selama hal-hal tersebut bukan merupakan
tujuan.
I. Menyamakan akad "asuransi" dengan jaminan (dhamaan) terhadap resiko perjalanan,
tidaklah benar; karena itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan, sebagaimana
halnya alasan sebelumnya.
J. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan peraturan pensiun, juga tidak benar, dan
itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan. Karena uang pensiun adalah suatu hak
yang telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya. Dan pemerintah dalam
penyalurannya mempertimbangkan jasa setiap pegawai dalam memberikan layanan kepada
masyarakat. Dan pemerintah membuat aturan yang mempertimbangkan orang-orang
terdekat kepada setiap pegawai.
Dan karena para penerima uang pensiun biasanya adalah orang-orang yang membutuhkan,
maka aturan uang pensiun tidaklah termasuk dalam hal tukar-menukar harta antara
pemerintah dan pegawainya. Oleh karena itu, tidak ada kesamaan antaranya dengan akad
"asuransi komersial" yang merupakan salah satu akad tukar-menukar harta secara
komersial dan perusahaan asuransi bertujuan darinya memanfaatkan keberadaan para
nasabah, dan mengeruk keuntungan dari mereka dengan cara-cara yang tidak diizinkan
dalam syariat. Karena, uang pensiun yang diterima tatkala seorang pegawai telah pensiun
merupakan hak yang telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya, dan diberikan
kepada setiap orang yang telah menjalankan tugas melayani masyarakat, sebagai balasan
atas jasanya, dan dalam rangka memberikan pertolongan kepadanya sebagai imbalan atas
pertolongan yang pernah ia berikan kepada pemerintah dalam wujud badan, pikiran, dan
banyak waktu luangnya dalam rangka memajukan masyarakat.
K. Menyamakan sistem "asuransi komersial" dan akadnya dengan sistem al-'aqilah tidak
dapat dibenarkan. Karena itu adalah suatu qiyas yang disertai dengan adanya perbedaan.
Dan di antara perbedaan antara keduanya ialah: dasar kewajiban kerabat lelaki untuk ikut
andil menanggunng beban diyat (denda) pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja
atau sibhul 'amdi ialah adanya jalinan tali persaudaraan dan kekerabatan yang
mengharuskan mereka semua untuk saling membela, berhubungan, bahu-membahu, dan
memberikan bantuan, walau tanpa ada imbalan. Sedangkan akad "asuransi komersial"
bersifat komersial dan menggunakan kesempatan dalam kesempitan, yang murni
berasaskan pada sistem imbal balik, tanpa ada kaitan sedikitpun dengan kasih sayang dan
amal kebaikan.
L. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad "security" adalah tidak benar.
Karena penyamaan ini juga merupakan qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara
perbedaan antara keduanya ialah: keamanan bukanlah objek akad pada kedua
permasalahan tersebut. Yang menjadi objek akad pada asuransi ialah uang setoran dan
uang asuransi (klaim). Sedangkan pada akad sewa security, yang menjadi objek adalah
uang sewa dan kerja petugas keamanan. Adapun keamanan itu sendiri adalah hasil dan
cita-cita, sebab bila keamanan yang menjadi objek akad, niscaya pekerja security tidaklah
mendapat upah bila ada dari barang yang ia jaga yang hilang.
M. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad "penitipan barang" tidak dapat
dibenarkan. Karena itu juga merupakan qiyas dengan adanya perbedaan. Karena, upah
dalam penitipan barang adalah imbalan atas jasa penerima titipan yang telah menjaga
barang di tempatnya yang senantiasa ia rawat. Beda halnya dengan asuransi, uang setoran
yang dibayarkan oleh nasabah, bukan sebagai imbalan atas jasa dari "perusahaan asuransi"
yang pernah didapatkan oleh nasabah. Uang tersebut tidaklah lain hanya sebagai jaminan
atas rasa keamanan dan ketentraman. Padahal, mensyaratkan upah pada akan jaminan
tidak dibenarkan (menurut syariat), bahkan menjadikan akad jaminan terlarang. Dan bila
uang klaim dianggap sebagai imbalan atas uang setoran, maka jelaslah bahwa ini
merupakan akad tukar-menukar yang bersifat komersial, akan tetapi jumlah klaim dan
masanya tidak dapat diketahui. Dengan demikian asuransi berbeda dengan akad penitipan
dengan upah.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu' Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, 14/277-286,
fatwa no. 18047).
@PengusahaMuslim.com
Asuransi
Nov 16, 2011 | Asy Syariah Edisi 029 |
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Dalam praktik bisnis pada umumnya, pembeli kebanyakan dalam posisi dirugikan. Kaidah ini tak terkecuali juga
berlaku pada sistem asuransi. Pencairan klaim yang dipersulit adalah contoh persoalan paling klise yang banyak
dialami tertanggung atau pemegang polis. Namun yang namanya pertaruhan, tak ada yang mau dirugikan begitu saja.
Banyak juga kasus di mana tertanggung dengan sengaja membakar atau menghilangkan aset miliknya menjelang
habis masa pertanggungan demi memperoleh klaim. Bagaimana Islam menyoroti perjudian bernama asuransi ini?
Simak kupasannya!
Asuransi
Asuransi yang jenisnya kian beragam pada masa sekarang, sebenarnya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga: asuransi sosial, asuransi taawun (gotong-royong), dan
asuransi tijarah (bisnis).
Asuransi Sosial
Biasanya, asuransi jenis ini diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, sipil maupun militer.
Sering juga didapati pada karyawan swasta. Gambarannya, pihak perusahaan memotong
gaji karyawan setiap bulan dengan persentase tertentu dengan tujuan:
1. Sebagai tunjangan hari tua (THT), yang biasanya uang tersebut diserahkan seluruhnya
pada masa purna tugas seorang karyawan. Terkadang ditambah subsidi khusus dari
perusahaan.
2. Sebagai bantuan atau santunan bagi mereka yang wafat sebelum purna bakti,
diserahkan kepada ahli waris atau yang mewakili.
3. Sebagai pesangon bagi karyawan yang pensiun dini.
Pemotongan gaji dengan tujuan di atas yang dilakukan oleh pemerintah atau sebuah
perusahaan adalah murni untuk santunan bagi karyawan, bukan dalam rangka
dikembangkan untuk mendapatkan laba (investasi).
Hukum asuransi jenis ini dengan sistem seperti yang tersebut di atas adalah boleh,
termasuk dalam bab taawun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah l berfirman:
Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah n bersabda:
Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama dia selalu menolong saudaranya. (HR.
Muslim no. 3391 dari Abu Hurairah z)
Upaya di atas termasuk dalam bab ihsan (berbuat baik) kepada sesama. (Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da`imah, 15/284, dan Syarhul Buyu hal. 38)
Bila potongan gaji tersebut dimasukkan dalam investasi dan menghasilkan penambahan
nominal dari total nilai gaji yang ada, maka tidak boleh (haram), karena termasuk memakan
harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah l berfirman:
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang
batil. (Al-Baqarah: 188)
Maka tidak ada hak bagi karyawan tadi kecuali nominal gajinya yang dipotong selama kerja.
Allah l berfirman:
Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-Baqarah: 279)
Namun bila nominal tambahan tersebut telah diterima oleh sang karyawan dalam keadaan
tidak mengetahui hukum sebelumnya, maka boleh dimanfaatkan. Allah l berfirman:
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (AlBaqarah: 275)
Bila dia mengambilnya atas dasar ilmu (yakni mengetahui) tentang keharamannya, dia wajib
bertaubat dan mensedekahkan tambahan tadi.
Wallahu alam bish-shawab. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/261)
Asuransi Taawun (Gotong Royong)
Asuransi ini dibangun dengan tujuan membantu dan meringankan pihak-pihak yang
membutuhkan atau yang terkena musibah. Gambarannya, sejumlah muhsinin menyerahkan
saham dalam bentuk uang yang disetorkan setiap pekan atau bulan dengan nominal
tertentu atau semampunya, kepada yayasan/lembaga yang menangani musibah, bencana
dan orang yang membutuhkan.
Biasanya, saham akan dihentikan untuk sementara bila jumlah uang dirasa sudah cukup
dan tidak terjadi bencana atau musibah yang menyebabkan kas menipis atau membutuhkan
suntikan dana. Saham-saham dalam bentuk uang itu sendiri tidak dikembangkan dalam
bentuk investasi. Dan asuransi ini murni dibangun di atas dasar kemanusiaan bukan
paksaan.
Contoh di lapangan yang disebutkan oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-Adni hafizhahullah
adalah asuransi gotong royong pada perkumpulan angkutan kota atau bis (di mana
kendaraan-kendaraan itu milik pribadi, bukan milik sebuah perusahaan). Caranya, masingmasing anggota menyetorkan sejumlah nominal tak tertentu, setiap pekan/bulan, kepada
salah seorang yang mereka tunjuk untuk membantu anggota mereka yang kecelakaan atau
terkena musibah. Setoran tersebut bersifat sukarela dan tidak mengikat, dengan nominal
beragam dan dihentikan bila dirasa sudah cukup dan tidak ada musibah.
Mengenai asuransi jenis ini, para ulama anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah dan anggota Kibarul
Ulama Kerajaan Saudi Arabia telah melakukan pertemuan ke-10 di kota Riyadh pada bulan
Rabiul Awwal 1397 H. Hasilnya, mereka sepakat bahwa taawun ini diperbolehkan dan bisa
menjadi ganti dari asuransi tijarah (bisnis) yang diharamkan, dengan beberapa alasan
berikut:
1. Asuransi taawun termasuk akad tolong-menolong untuk membantu pihak yang terkena
musibah, tidak bertujuan bisnis atau mengeruk keuntungan dari harta orang lain. Tujuannya
hanyalah membagi beban musibah tersebut di antara mereka dan bergotong royong
meringankannya.
2. Asuransi taawun ini terlepas dari dua jenis riba: fadhl dan nasi`ah. Akad para pemberi
saham tidak termasuk akad riba serta tidak memanfaatkan kas yang ada untuk muamalahmuamalah riba.
3. Tidak mengapa bila pihak yang memberi saham tidak mengetahui secara pasti jumlah
nominal yang akan diberikan kepadanya bila dia terkena musibah. Sebab, mereka semua
adalah donatur (muhsinin), tidak ada pertaruhan, penipuan, atau perjudian.
Kemudian mereka memberikan usulan-usulan kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia
seputar masalah sosialisasi asuransi taawun ini. Lihat uraian panjang tentang masalah ini
dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/287-292).
Sementara Syaikhuna Abdurrahman Al-Adni menyayangkan dua hal yang ada pada
yayasan atau lembaga yang menangani asuransi ini, yaitu:
1. Menaruh uang-uang tersebut di bank-bank riba tanpa ada keadaan yang darurat.
2. Memaksa para muhsinin untuk menyetorkan saham mereka.
Wallahu alam. (Syarhul Buyu, hal. 39)
Asuransi Tijarah (Bisnis)
Asuransi ini biasanya lekat dengan para pelaku usaha dan orang yang memiliki harta
berlebih, namun bisa juga bermuamalah dengan pihak manapun.
Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal (premi) tertentu
kepada perusahaan/lembaga asuransi setiap pekan atau bulan atau tahun, atau setiap
order, atau sesuai kesepakatan bersama, dengan ketentuan bila terjadi kerusakan atau
musibah maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi. Dan bila tidak
terjadi sesuatu, maka setoran terus berjalan dan menjadi milik lembaga asuransi.
Asuransi jenis ini murni bisnis. Karena biasanya, mereka akan lepas tangan ketika terjadi
peristiwa yang dianggap luar biasa (force majeur) peperangan misalnya yang
mengakibatkan kerugian yang sangat besar.
Ringkasnya, orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua
kemungkinan: untung atau rugi.
Untuk asuransi jenis ini, para ulama masa kini berikut perkumpulan-perkumpulan fiqhiyah
umiyah semacam Rabithah Alam Islami, Hai`ah Kibarul Ulama, tercakup di dalamnya
anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah Kerajaan Saudi Arabia, serta lembaga-lembaga keislaman
yang lainnya baik di dunia Arab maupun internasional, telah bersepakat menyatakan
keharaman asuransi jenis ini. Kecuali beberapa gelintir orang saja yang membolehkan
dengan alasan keamanan harta benda.
Berikut ini beberapa argumentasi yang disebutkan oleh Hai`ah Kibarul Ulama pada
ketetapan mereka no. 55 tanggal 4/4/1397 H, tentang pengharaman asuransi bisnis di atas:
1. Asuransi bisnis termasuk pertukaran harta yang berspekulasi tinggi dengan tingkat
pertaruhan yang sangat parah. Sebab, pihak nasabah tidak tahu berapa nominal yang akan
dia berikan nanti dan berapa pula nominal yang bakal dia terima. Bisa jadi, dia baru
menyetor sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga dia menerima nominal (nilai
pertanggungan) yang sangat besar sesuai dengan kejadiannya. Namun mungkin pula dia
menyetor terus menerus dan tidak terjadi apa-apa, sehingga perusahaan asuransi meraup
keuntungan besar. Padahal Rasulullah n telah melarang sistem jual beli gharar (yang
mengandung unsur pertaruhan).
2. Asuransi bisnis termasuk salah satu jenis perjudian, dan termasuk dalam keumuman
firman Allah l:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (AlMa`idah: 90)
3. Asuransi ini mengandung riba fadhl dan riba nasi`ah. Rinciannya sebagai berikut:
q Bila lembaga asuransi memberikan kepada tertanggung atau ahli waris yang
bersangkutan melebihi nominal yang disetorkan, maka ini adalah riba fadhl.
q Bila lembaga asuransi menyerahkannya setelah waktu yang berselang lama dari akad,
maka ia juga terjatuh dalam riba nasi`ah.
q Namun bila perusahaan tersebut menyerahkan nominal yang sama dengan jumlah
setoran nasabah, tetapi setelah selang waktu yang lama, maka dia terjatuh dalam riba
nasi`ah saja.
Kedua jenis riba di atas adalah haram dengan nash dalil dan kesepakatan ulama.
4. Asuransi ini termasuk jenis pegadaian/perlombaan yang diharamkan, karena
mengandung pertaruhan, perjudian, dan penuh spekulasi. Pihak tertanggung memasang
pertaruhan dengan setoran-setoran yang intensif, sedangkan pihak lembaga asuransi
pertaruhannya dengan menyiapkan ganti rugi. Siapa yang beruntung maka dia yang
mengambil pertaruhan pihak lain. Mungkin terjadi musibah dan mungkin saja selamat
darinya.
5. Asuransi ini mengandung upaya memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah
l berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kalian. (An-Nisa`: 29)
6. Dalam asuransi ini terdapat tindakan mengharuskan sesuatu yang tidak ada
keharusannya secara syariat. Pihak lembaga asuransi diharuskan membayar semua
kerugian yang dialami pihak nasabah, padahal musibah itu tidak berasal dari lembaga
asuransi tersebut atau disebabkan olehnya. Dia hanya melakukan akad asuransi dengan
pihak nasabah, dengan jaminan ganti rugi yang diperkirakan terjadi, dengan mendapatkan
nominal yang disetorkan pihak nasabah. Tindakan ini adalah haram.
Kemudian para ulama tersebut membantah satu per satu argumentasi pihak yang
membolehkan asuransi ini dengan uraian yang panjang lebar, yang dibukukan dalam
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/275-287, juga 15/246-248). Lihat juga dalam Syarhul
Cukup dengan membayar 800 real Saudi selama masa kehamilan, dengan pelayanan sbb:
a. Pemeriksaan kesehatan sejak awal kehamilan hingga melahirkan, 2-3 kali dalam
sebulan. Khusus bulan terakhir dari kehamilan, pemeriksaan sekali sepekan.
b. Pemeriksaan gratis 2 kali di rumah setelah melahirkan.
c. Si bayi mendapatkan kartu pengobatan gratis selama setahun.
3. Asuransi anak sehat
Setorannya 490 real per tahun, dengan pelayanan:
a. Pemeriksaan bayi selama setahun sampai 3 kali dalam sebulan.
b. Diskon 20% untuk UGD dan operasi kecil.
c. Diskon 15% untuk operasi besar di salah satu rumah sakit tertentu.
Jawaban Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/272-274):
Program ini termasuk jenis asuransi kesehatan yang berafiliasi bisnis, dan itu adalah haram
karena termasuk akad perjudian dan pertaruhan.
Nominal yang diserahkan nasabah untuk mendapatkan pelayanan berdiskon selama
setahun, lebih atau kurang, terkadang tidak dia manfaatkan sama sekali karena dia tidak
membutuhkan pelayanan di klinik tersebut selama jangka waktu itu. Sehingga dia rugi
dengan jumlah nominal tersebut. Yang untung adalah pihak klinik. Terkadang pula dia
mengambil faedah besar yang berlipat ganda dari nominal yang dia serahkan, sehingga dia
untung dan kliniknya rugi
Program ini adalah perjudian yang diharamkan dengan nash Al-Qur`an. Allah l berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (AlMa`idah: 90)
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Abdul Aziz
Alusy Syaikh, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Masalah 3: Apa hukumnya bekerja di lembaga asuransi bisnis?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/251, lihat pula 15/262-264):
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk bekerja di perusahaan asuransi sebagai
sekretaris ataupun lainnya. Sebab bekerja di situ termasuk taawun di atas dosa dan
permusuhan, dan ini dilarang oleh Allah l dalam firman-Nya:
Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Ma`idah:
2)
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Asy-Syaikh
Abdullah bin Quud dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Masalah 4: Bila uang ganti rugi dari lembaga asuransi telah diterima, apa yang harus
dilakukan?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/260-261):
Adapun harta yang telah diterima dari hasil akad asuransi bisnis, bila dia menerimanya
karena tidak tahu hukumnya secara syari, maka tidak ada dosa baginya. Namun dia tidak
boleh mengulangi lagi akad asuransi tersebut. Allah l berfirman:
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (AlBaqarah: 275)
Tetapi bila dia menerimanya setelah tahu hukumnya, dia wajib bertaubat kepada Allah l
dengan taubat nasuha, dan mensedekahkan keuntungan tersebut.
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Quud.
Ketika menjawab pertanyaan senada (15/260) Al-Lajnah Ad-Da`imah menyatakan: Pihak
nasabah boleh mengambil nominal uang yang pernah dia setorkan ke lembaga asuransi.
Sedangkan sisanya dia sedekahkan untuk para faqir miskin, atau dia belanjakan untuk sisi-
sisi kebajikan lainnya dan dia harus lepas/keluar dari lembaga asuransi.
Syaikhuna Abdurrahman Al-Adni hafizhahullah menjelaskan: Bila para pelaku usaha dan
hartawan dipaksa untuk bermuamalah dengan lembaga-lembaga asuransi oleh pihak-pihak
yang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapinya atau menolak permintaannya,
sehingga mereka menyetor dan bermuamalah dengan lembaga tersebut. Dosanya
ditanggung oleh pihak yang memaksa. Namun ketika terjadi musibah, mereka tidak boleh
menerima kecuali nominal yang telah mereka setorkan. (Syarhul Buyu hal 39, pada catatan
kaki).
Demikian uraian tentang masalah asuransi. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
Catatan Kaki:
1 Hasil ini dicantumkan pada ketetapan mereka no. 51 tanggal 4/4/1397 H
Share on Facebook
Tweet on Twitter
Tidak ada seorang pun yang tidak tergiur dengan uang kaget. Semua akan
merasa sangat gembira bila tiba-tiba menerima uang. Apalagi jika jumlahnya
lumayan besar. Namun, seorang Muslim tidak serta merta lupa diri dan lupa
daratan. Kegembiraan akibat faktor tertentu tetap membuatnya mawas diri.
Karena seorang Muslim seharusnya memiliki standar syariat dalam sumber
perolehan harta dan tujuan penyaluran harta yang diperolehnya.
Salah satu tujuan penyaluran harta seorang Muslim adalah zakat. Seluruh Muslim
pasti sudah mengetahui hal ini, karena zakat adalah salah satu rukun Islam.
Tulisan ini akan membahas zakat dari dua sumber dana yang diperoleh
seseorang, yakni tabungan pensiun dan klaim asuransi.
Sebelumnya kami ulang kembali syarat yang harus terpenuhi sehingga wajib
mengeluarkan zakat dari uangnya. Berikut syaratnya:
Uang tersebut adalah harta milik pribadi dan dimiliki secara sempurna.
Jumlahnya sudah mencapai nishob (nishob mata uang seharga 85 gram emas
murni).
Jumlah uang yang mencapai nishob sudah tersimpan selama satu tahun Hijriyah.
(disebut haul).
Jika syarat tersebut terpenuhi, uang tersebut wajib dizakati setiap haul sebesar
2,5%.
Tabungan Pensiun
ini lebih ngetren dalam kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan
tidak jarang orang termotivasi untuk menjadi PNS dengan tujuan memperoleh
tabungan, walaupun gaji bulanan selalu menjadi keluhan dengan alasan
kurang. Namun bayangan hidup enak dari gaji pensiun di masa tua menjadi
mimpi indah yang menghapus masa kesulitan ekonomi bulanan.
Hakikat tabungan pensiun adalah sejumlah dana yang diperoleh seorang PNS
dari instansinya ketika ia mengakhiri masa kerjanya. Tabungan tersebut
sebenarnya bukan mutlak hadiah instansi kepada mantan pegawainya. Ia hasil
kumpulan dana tertentu setiap bulan selama masa kerjanya ditambah
konpensasi akhir masa kerja dari instansinya.
Dengan demikian, bila pensiun kelak dan tabungan pensiun yang diterima dalam
jumlah yang sudah melebihi nishob, apakah wajib langsung dikeluarkan
zakatnya ketika mendapatkan tabungan pensiun tersebut?
Mari kita simak, apakah uang pensiun tersebut sudah memenuhi syarat untuk
dizakati atau belum.
Ada satu syarat yang tidak terpenuhi dalam kasus ini. Yakni uang pensiun itu
belum mencapai haul. Mungkin ada yang menyanggah syarat yang tidak
terpenuhi itu dengan mengatakan, uang pensiun itu kan potongan gaji bulan
sejak bertahun-tahun ia bekerja. Potongan gaji itu disimpan dan ditabung oleh
instansi.
Tabungan
Sanggahan
Selama pemilik tabungan pensiunan ini masih dalam masa aktif kerja, tabungan
pensiun itu belum dimilikinya secara sempurna. Karena tabungan tersebut baru
mutlak menjadi miliknya saat dia pensiun. Sedangkan sebelumnya, uang
tersebut masih di bawah kepemilikan dan wewenang instansi; dan pegawai tidak
berhak memiliki uang tersebut, apalagi mengambilnya.
Tabungan pensiunan sangat berbeda dengan tabungan pribadi di bank.
Tabungan bank bisa ditarik tunai sesuka hati.
Dengan demikian, karena belum terpenuhi syarat untuk zakat, ia belum wajib
menzakati uang tabungan pensiun saat pertama diterimanya. Namun, mulai hari
itu ia sudah harus mulai menghitung haul tabungan tersebut, tahun depannya
baru dizakati. Begitu juga tahun-tahun berikutnya selama nominalnya masih
mencapai nishob.
Zakat Uang Klaim Asuransi
Secara garis besar, ada dua cara yang dilakukan nasabah asuransi. Pertama, ada
nasabah yang sengaja bergabung dengan perusahaan asuransi, misalnya dengan
cara mendaftar ke perusahaan atau lembaga finansial tertentu, untuk
mengasuransikan rumah, atau kendaraannya. Kedua, ada nasabah yang
bergabung dengan perusahaan asuransi karena terpaksa atau tanpa ada unsur
sengaja.
Salah satu contohnya, perusahaan asuransi Jasa Raharja. Kita semua yang
pernah mengendarai kencaraan umum, baik bus, kapal, maupun pesawat,
secara otomatis ikut serta membayar dana asuransi saat membayar tiket, dan
secara otomatis juga berhak mendapatkan klaim asuransi bila terjadi kecelakaan
setelah memenuhi persyaratan tertentu.
Dalam pembahasan ini, kami tidak sedang membahas hukum ikut serta dalam
perusahaan asuransi. Dan tidak sedang membahas hukum uang kaget hasil
klaim asuransi tersebut. Namun pembahasan kita adalah mengenai zakat uang
dari hasil klaim asuransi tersebut.
Hukum zakat uang hasil klaim asuransi tidak berbeda dengan tabungan pensiun. Ia baru
wajib dizakati, setelah diterima dan tersimpan selama satu haul di tangan si
empunya. Walaupun ia telah membayar premi pada perusahaan selama
bertahun-tahun. Akan tetapi uang premi tersebut tidak bisa dianggap sebagai
uang tabungan. Karena premi yang sudah dibayarkan tidak bisa ditarik kembali,
bahkan kemungkinan besar akan hangus bila tidak ada klaim.
Yang Perlu Diperhatikan
Ada sedikit salah paham di kalangan sebagian orang mengenai masalah zakat uang
tabungan. Karena mereka mengira zakat berfungsi untuk mensucikan harta, yang
mereka pahami, uang yang sudah mencapai nishob hanya wajib dizakati sekali
saja. Sedangkan yang benar adalah wajib dizakati setiap tahun (haul) selama
uangnya masih mencapai nishob.
Contoh: Suatu ketika, seseorang memperoleh uang Rp 50 juta. Sudah mencapai
nishob (dengan asumsi nishob kurang lebih Rp 43 juta). Ia belum wajib
menzakati uang tersebut. Namun ia sudah harus menghitung haul sejak hari itu.
Bila tahun depan (tahun hijriyah) uang tabungannya masih mencapai nishob,
saat itulah ia menzakati 2,5% dari uangnya. Begitu pula tahun berikutnya, ia
menzakati 2,5% dari uangnya selama masih mencapai nishob. Jadi, mensucikan
harta dengan zakat bukan hanya sekali seumur hidup. Tapi per tahun hijriyah.
Oleh: Muhammad Yassir, L.c. (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
ARTIKEL INI DISPONSORI OLEH ZAHIR ACCOUNTING. SOFTWARE AKUNTANSI TERBAIK DI
INDONESIA.
Sumber: https://konsultasisyariah.com/17499-zakat-uang-pensiun-dan-klaim-asuransi.html
pegawai/karyawan, maka hanya ada satu cara untuk mendapatkan dana pensiun, yaitu
mengikuti DPLK.
Adapun program pensiun yang tersedia di Indonesia sejauh penelitian kami- hanya ada
dua.
Bagi yang mengikuti DPPK, biasanya dana pensiun dipotongkan dari gaji bulanan. Lalu
dikelola oleh lembaga tertentu. Yang menjadi masalah ialah cara pengelolaan dana
tersebut? Apakah diinvestasikan untuk proyek-proyek halal, atau untuk proyek yang tidak
jelas, atau justru untuk yang haram, seperti didepositokan di bank dan diserahkan kembali
beserta bunganya (baca: riba)?
Bila tidak ada kejelasan dalam hal ini, maka si karyawan/pegawai hanya berhak
mendapatkan tak lebih dari total potongan gajinya selama ia bekerja di perusahaan tersebut.
Adapun selebihnya adalah harta yang tidak jelas statusnya. Misalnya: A bekerja di
perusahaan B selama 25 tahun, dengan gaji perbulan Rp 1,5 juta, dipotong Rp 100 ribu
sebagai dana pensiun. Dengan begitu, selama 25 tahun jika tidak ada perubahan- maka A
telah membayar dana pensiun sebesar Rp 30 juta. Jadi, ia hanya berhak menerima dana
pensiun total tidak lebih dari Rp. 30 juta, baik diberikan secara berangsur maupun sekaligus.
Alasannya, potongan gaji yang selama ini ia berikan kepada pengelola dan pensiun yang
tidak jelas cara pengelolaannya- identik dengan meminjamkan uang kepada si pengelola
(qardh). Uang pensiunan yang dikembalikan ke si pegawai statusnya adalah badal
(pengganti) yang senilai dari potongan gaji yang dahulu ia bayarkan, dan bukan benda yang
sama. Ia tidak sama dengan wadiah (menitipkan barang tertentu) yang kemudian barang itu
dikembalikan lagi dan tidak diganti dengan barang lain yang sejenis. Oleh karena itu,
berlakukah hukum qardh dalam uang pensiunan yang asalnya dari potongan gaji ini.
Pengelolaan dana pensiun juga tidak bisa dianggap sebagai bentuk mudharabah, karena
dalam mudharabah, pemodal memiliki hak penuh terhadap seluruh modalnya. Ia bisa
meminta kembali modalnya selama belum digunakan. Dan ia harus siap kehilangan
sebagian modal atau seluruhnya bila mudharabah tersebut ternyata merugi, sebagaimana ia
juga berpotensi mendapat keuntungan yang besar bila mudharabah tersebut mendatangkan
keuntungan. Artinya, dalam mudharabah tidak ada jaminan modal kembali, namun
kepemilikan modal tetap utuh di tangan pemodal. Sedangkan dalam pengelolaan dana
pensiun, dana yang disetorkan otomatis keluar dari kepemilikan si penyetor. Ia tidak bisa
diminta kembali atau dicairkan kecuali setelah yang bersangkutan (penyetor) dianggap
pensiun, dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, uang yang
disetorkan sifatnya terjamin (tidak akan hilang). Jadi, ia mirip dengna meminjamkan uang
secara berangsur namun kontinyu kepada seseorang, untuk dikembalikan lagi dalam jumlah
yang senilai setelah jangka waktu tertentu, baik secara berangsur maupun sekaligus. Inilah
yang dalam istilah fiqih dikenal dengan nama qardh.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
Setiap qardh (pinjaman uang) yang menarik manfaat tertentu, maka manfaat tersebut
tergolong riba.
Jadi, bila si pemberi pinjaman (dalam hal ini adalah karyawan atau peserta DPPK)
mendapatkan manfaat apapun bentuknya, baik jasa maupun benda- dari potongan gaji
yang dibayarkannya, maka manfaat tersebut adalah riba. Intinya, ia hanya berhak mendapat
uang pensiunan senilai dengan total potongan gaji yang dibayarkannya, tak lebih dari itu.
Manfaat apa pun yang ia dapatkan selain ituk, statusnya adalah riba.
Kecuali bila tambahan yang diberikan oleh si pengelola sifatnya murni sebagai hadiah yang
sukarela, maka tidak mengapa. Akan tetapi, adakah pengelola yang seperti itu hari ini? Ini
bila cara pengelolaan uang tersebut tidak jelas. Namun bila ia jelas-jelas didepositokan atau
ditabung di bank oleh si pengelola, atau diinvestasikan pada proyek-proyek yang tidak syari,
maka jelaslah keuntungan yang didapat termasuk riba sekaligus harta haram.
Adapun bila dana pensiun tadi diinvestasikan pada proyek-proyek yang mubah/syari, lalu
sebagian dari keuntungannya diberikan kepada si peserta dana pensiun setelah ia pensiun,
maka dalam hal ini harus berlaku aturan mudharabah. Artinya, dana tersebut tidak boleh
dijamin pasti kembali, namun harus ada resiko yang ditanggung oleh si pemodal (yang
dalam hal ini adalah karyawan yang dipotong gajinya). Ia harus siap merugi (berkurang
modalnya) atau bahkan kehilangan modal, sebagaimana ia berpotensi mendapat
keuntungan pula dari modalnya. Dan kepemilikan modal tetap berada di tangannya secara
penuh. Masalahnya, adakah aturan-aturan seperti ini berlaku dalam pengelolaan dana
pensiun? Agaknya tidak demikian, sehingga kesimpulannya, bahwa dana pensiun tersebut
harus disikapi sebagai qardh, bukan sebagai mudharabah.
Menurut Bapepam, sumber dana pensiun berasal dari kekayaan dan investasi. Kekayaan itu
sendiri terdiri dari iuran normal (sumber utama kekayaan dana pensiun) dan iuran
tambahan.
Iuran normal ada dua jenis. Pertama, Iuran Normal Pemberi Kerja, yang dibayarkan oleh
pemberi kerja dan ditetapkan dengan perhitungan aktuaris. Kedua, Iuran Normal Peserta,
yang dibayarkan oleh peserta dan ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
Kedua macam iruan ini berlaku untuk Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP). Dalam PPIP,
besar kecilnya uang pensiun ditentukan oleh kumulasi dari seluruh iuran pensiun ditambah
dengan hasil investasinya. Iuran pensiun bulanan bisa berasal hanya dari perusahaan saja,
atau perusahaan dengan karyawan, dengan besaran tertentu.
Untuk Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), besarnya iuran pensiun, khususnya iuran
perusahaan ditetapkan dengan menggunakan perhitungan aktuaria, yang dilakukan secara
berkala minimal sekali dalam 3 tahun atau sewaktu-waktu dilakukan perubahan peraturan
yang berdampak pada kewajiban pendanaan. Iuran perusahaan dibagi menjadi iuran normal
dan iuran tambahan. Yang dimaksud dengan iuran normal, adalah iuran yang menjadi
kewajiban perusahaan berdasarkan perhitungan aktuaris secara berkala. Sedangkan iuran
tambahan, adalah iuran yang menjadi beban perusahaan bilamana terjadi perubahan
peraturan yang berdampak pada pendanaan. Bila peserta juga ikut membayar iuran,
besarnya sudah ditetapkan dengan prosentase tertentu, sedangkan iuran perusahaan bisa
berubah-ubah, tergantung pada hasil dari perhitungan aktuaria; sebagaimana telah
disinggung tadi, kekayaan Dana Pensiun berasal dari iuran pensiun dan hasil investasinya.
Sedangkan investasinya terbatas pada bentuk-bentuk tertentu, yang berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 511/KMK. 06/2002 tentang Investasi Dana Pensiun sebagai
berikut:
1. Deposito Berjangka pada Bank.
2. Deposito on call pada Bank.
3. Sertifikat Deposito pada Bank.
maka pensiun yang boleh diterima hanyalah yang terkumpul dari potongan gajinya selama
10 tahun pertama saja. Demikian yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid
dari guru beliau, Syaikh Bin Baz.[5]
Kedua : Jenis program pensiun yang diikuti. Bila mengikuti PPIP, maka yang uang pensiun
yang halal ialah yang berasal dari iuran peserta dan iuran perusahaan saja, adapun
selebihnya adalah uang haram karena merupakan hasil investasi dengan cara-cara ribawi.
Sedangkan bagi yang mengikuti PPMP, maka yang halal ialah yang berasal dari iuran
perusahaan dan iuran tambahan (bila ada); demikian pula jika dalam prakteknya peserta
dikenai iuran pula, maka gabungan dari kedua atau ketiga iuran tadilah yang berhak ia
terima. Adapun selebihnya bersifat riba yang haram.
Ketiga : Pengelola dana pensiun itu sendiri. Bila di kelola oleh DPLK, maka keharamannya
jelas, karena menggunakan sistem asuransi. Namun bila dikelola oleh DPPK, maka tak
lepas dari syubhat dan perlu kejelian untuk memilah antara yang halal dengan yang haram.
PENUTUP
Sebagai penutup, mungkin ada sebagian kalangan yang berbeda pendapat dengan kami
dalam menghukumi uang pensiun. Biasanya mereka berpijak pada sejumlah fatwa yang
dikeluarkan oleh Lajnah Da-imah atau beberapa ulama secara perorangan. Akan tetapi,
perlu diperhatikan bahwa mereka berfatwa sesuai dengan kondisi yang berlaku di negara
masing-masing; atau sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh si penanya. Oleh
karena itu, tidak seyogynya fatwa-fatwa tadi diterapkan begitu saja pada negara lain yang
sistemnya jauh berbeda dengan tempat keluarnya fatwa, atau negara tempat si penanya.
Bahkan ada di antara para ulama yang sama sekali tidak mau menerima uang pensiun,
seperti Syaikh Abdurrazzaq Afifi, yang notabene adalah salah seorang anggota Lajnah Daimah itu sendiri.
Adapun fatwa Lajnah Daimah yang menganggap uang pensiun sebagai sesuatu yang halal,
karena merupakan bantuan/penghargaan pemerintah kepada para pegawai yang telah
mengabdi untuk kepentingan negara. Ini tentunya tidak sama dengan sistem yang berlaku di
Indonesia. Karena ternyata di negara kita dana pensiun tidak 100% dari bantuan
pemerintah, bahkan sebagiannya adalah hasil investasi yang tidak jelas. Atau kalau ia
peserta DPLK, berarti terjerat dalam sistem asuransi komersial yang haram. Lagi pula, yang
menjadi patokan dalam hukum syari adalah hakikat sesuatu itu sendiri dan bukan namanya.
Biarpun sama-sama dinamakan uang pensiun, namun jika hakikatnya adalah asuransi
komersial (DPLK), maka hukumnya tetap haram.
CATATAN:
Bila si penerima uang pensiun tergolong fakir, maka menurut sejumlah ulama- ia boleh
menggunakan uang tersebut bagi kepentingan pribadinya sekadarnya (sebatas
kebutuhannya), walaupun sebagian harta tadi berstatus haram.
Dalam kitab al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab (9/351) Imam Nawawi menukil dari al-Ghazali
sebagai berikut,Jika ia memiliki harta haram dan ingin bertaubat serta melepaskan diri
darinya, maka jika ia mengetahui pemilik uang tersebut secara pribadi, ia wajib
menyerahkannya kepada pemiliknya, atau kepada wakilnya. Jika si pemilik telah wafat, maka
diserahkan kepada ahli warisnya. Namun jika pemiliknya tidak diketahui dan tidak mungkin
dipasitkan orangnya, maka hendaklah harta tersebut dibelanjakan untuk kemaslahatan
kaum Muslimin secara umum, seperti pembangunan jembatan, masjid, kemaslahatan jalan,
dan semisalnya yang dipakai secara bersama oleh kaum muslimin. Kalau tidak bisa seperti
itu, maka boleh disedekahkan kepada orang fakir atau kaum fuqara Jika ia
menyedekahkannya kepada orang fakir, maka harta tersebut tidak menjadi haram bagi si
fakir, namun ia berstatus halal dan baik baginya. Dia (pemegang harta haram tadi) juga
boleh bersedekah kepada diri dan keluarganya kalau memang dia juga fakir. Sebab bila
keluarganya tergolong fakir, maka sifat kefakiran ini terwujud pada mereka, bahkan mereka
lebih berhak disedekahi. Dia juga boleh mengambil sebagian harta tadi bagi dirinya
sekadarnya, sebab ia juga fakir.
Pendapat yang dinyatakan al-Ghazali dalam masalah ini, juga dinyatakan oleh Ulama
Syafiiyyah lainnya, dan pendapat mereka memang benar. Al-Ghazali juga menukil pendapat
ini dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para Salaf lainnya, termasuk Ahmad bin Hambal, alHarits al-Muhasibi, dan orang-orang wara lainnya. Alasannya, karena uang haram tersebut
tidak boleh dihanguskan dan dibuang ke laut (atau sampah), sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin.
Wallahu Taala alam.[6]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2013M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: www.bapepamlk.depkeu.go.id/dana_pensiun
[2]. Anuitas adalah suatu rangkaian penerimaan atau pembayaran tetap yang dilakukan
secara berkala pada jangka waktu tertentu.
[3]. Lihat terjemahan fatwa secara ringkas dalam rubrik Fatawa Nawazil edisi ini.
[4]. Dalam brosur Biro Dana Pensiun, disebutkan ada 24 bank dan perusahaan asuransi
yang menangani DPLK. Semuanya adalah bank konvensional (ribawi) dan asuransi
komersial.
[5]. Diringkas dari pertanyaan no. 12.397 di situs ( ) dengan judul (
)
[6]. Lihat ( ) fatwa no 167.645 dengan judul ( ) .
Sumber: https://almanhaj.or.id/3893-uang-pensiun-halal-ataukah-haram.html
Share on Facebook
Tweet on Twitter
Assalamualaikum
Saya ingin bertanya seputar masalah hutang
Sekitar 3 thn yg lalu saya menjadi nasabah sebuah bankkemudian saya dikirimkan sebuah kartu kredit..dan
ada semacam formulirnya gtu utk persetujuan
Waktu itu saya tdk berminat dan juga tdk faham masalah perbankan
Kemudian setelah bbrapa hari..saya mendpt telpon dari sebuah asuransi jiwakarena saya waktu itu sedang
bekerjajadi saya tdk konsen salesnya bicara apayg saya ingat..dia minta nomor kartu kredit yg waktu itu
dikirimkanlalu saya sebutkan nomornya..memang kebetulan saya bawa di dompet(padahal saya tdk minat
dgn kartu itu)
Setelah itu brapa hari kemudian saya mendpat kiriman dari asuransi yg waktu itu minta nomor kartu
kredit..semacam premi lengkap dgn atribut2 asuransinya itu (saya kurang faham itu apa )..
Kemudian sewaktu saya ingin setor uang ke bank (tujuannya utk nabung)..tiba2 saya mendapat bbrapa
amplop yg isinya tagihan kartu kredit
Saya kagetlhaa kapan saya ikut asuransi dan saya tdk merasa punya kartu kredit
Akhirnya dijelaskan oleh CS bank tersebutbahwa jika saya sdh menyebutkan nomor kartu kredit..brarti saya
sdh setuju dan bla bla..panjang lebar dijelaskan
Akhirnya saya membuat surat pemutusan atas asuransi trsbt
Tetapi saya sering sekali di tagih oleh bank trsbtkatanya tagihan saya sdh jatuh tempo..harus dibayardan
angkanyasubhanalloh saya kagetkoq banyak sekali
Katanya itu tagihan asuransi sblm pemutusan dan bunga keterlambatan karena tdk pernah membayar tagihan
kartu kredit
Oiya sejak pemutusan asuransinya..saya ambil uang saya di bank itu..jadi sdh tdk ada saldonya..
Yg ingin saya tanyakan
1. Apakah saya harus membayar hutang saya itu ke bank trsbt
Padahal saya tdk pernah membuat surat persetujuan ttg kartu kredit itu
Dan saya berfikirlebih baik uangnya saya infaqin aja daripada bayar hutang yg gak jelas itu..
2. Apakah jika saya tdk membayar hutang itunanti di akhirat, saya akan di siksa atau jiwa saya akan
menggantung sampai ada keluarga sya yg membayarnyakarena saya pernah dengar ada hadist sprti itu
Mohon penjelasannya ustadz
Jazakalloh khoiron katsiran
Jawab:
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Semoga Allah memberikan kesabaran bagi ibu dan mendapatkan balasan terbaik
atas musibah pembodohan bank dan lembaga asuransi.
Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi pembaca, agar lebih waspada ketika
berinteraksi dengan bank dan asuransi.
Kita sangat yakin, kasus pembodohan secara legal semacam ini kejadiannya
sangat banyak, meskipun dibungkam dalam berita. Kita sangat jarang
mendengar beritanya, sampaipun mereka yang mati gara-gara bank.
Setidaknya, ini kasus kedua yang dilaporkan kepada kami, mengenai kejahatan
dunia perbankan.
Kasus pertama, bisa anda pelajari di: Kedzaliman Bank Syariah dan Pengalaman Pahit
Nasabah
Mereka Lintah Darat
Kita keheranan untuk orang yang masih berupaya membela bank. Barangkali
mereka perlu lebih banyak mendengar pengalaman pahit para nasabah yang
menjadi korban bank.
Hanya dengan hitungan angka di mesin komputer, harus ada orang yang
digebugi debt collector. Sehingga layak, jika mereka diposisikan sebagai lintah
darat. Sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi ancaman siksaan di alam
kubur dengan berenang di sungai darah.
Dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
menceritakan mimpi beliau, ketika itu beliau melihat siksaan Allah kepada para
pemakan riba,
Kami mendatangi sungai airnya merah, seperti darah. Di tengah sungai ada orang yang berenang. Sementara
di di tepi sungai ada seseorang yang di dekatnya ada banyak bebatuan. Setiap kali orang yang di tengah
sungai berenang menepi, datang orang yang membawa batu, lalu dia lempari mulut orang yang berenang itu,
sampai dia menelan batunya. Hingga dia balik berenang ke tengah. Ketika kembali menepi, mulutnya
dilempari batu sampai tertelan.
Seusai perjalanan panjang, Nabi shallallahu alaihi wa sallam diberi tahu malaikat yang
membimbingnya,
Orang yang kamu lihat dia berenang di sungai darah dan mulutnya dibungkam batu, dia adalah pemakan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan
riba, yang mencatat, dan keduaa saksinya. Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menyatakan, mereka semua sama. (HR. Ahmad 14634, Muslim 4177 dan
yang lainnya)
Jika adanya bunga dalam pinjaman itu jadi syarat, maka syarat semacam ini
tidak berlaku. Karena syarat riba adalah syarat yang batil, bertentangan dengan
al-Quran dan sunnah. Sementara Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa menetapkan syarat yang bertentangan dengan kitabullah, maka syarat itu batil. (HR.
Bukhari 2560)
Ketika transaksi ada syarat yang batil, transaksinya tetap sah, meskipun syarat
itu tidak berlaku. Sehingga, untuk kasus hutang yang disyaratkan ada ribanya,
kewajiban orang yang berutang hanya mengembalikan pokoknya saja.
Sementara kelebihannya, bukan tanggung jawabnya.
Tidak ada yang mendzalimi dan tidak ada yang didzalimi. Antara utang dan
pelunasan, dibayar sama.
Jika kalian bertaubat, maka kalian hanya mendapatkan pokok pinjaman dari harta kalian. Kalian tidak
mendzlimi dan tidak didzalimi.
Hanya Saja!!
Hanya saja, nasabah terikat dengan undang-undang dzalim buatan bank. Dan
undang-undang ini mengikat di negara kita. Ketika nasabah bertekad tidak
mengembalikannya, dikhawatirkan bank bisa menuntutnya. Jika tidak bisa
diselesaikan di darat, bank bisa menggunakan jasa pengadilan. Dampak
kedzaliman yang ditimbulkan, bisa lebih menakutkan.
Sementara ada sebagian bank yang menetapkan sistem bunga-berbunga.
Sehingga bisa jadi, nasabah sudah merasa melunasi pokok utangnya, tapi bunga
menghasilkan bunga. Jika dibiarka tahunan, bisa menjadi angka yang tidak
terduga.
Sehingga dari pertimbangan ini, nasabah perlu memahami aturan main bank.
Semakin selamat dari bank, makin menenangkan.
Allahu alam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: https://konsultasisyariah.com/25903-bolehkah-tidak-bayar-utang-bank.html
Hukum BPJS
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), bagaimana tinjauan hukum
Islam mengenai BPJS? Bolehkah menjadi anggota BPJS?
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 8 December 2014
114 15501 36
Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja
mandiri) dan Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun,
veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau
perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang
terdiri atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau
Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2
persen dibayar oleh peserta.
Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara sekaligus. Karena secara
bertahap akan dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015 adalah
pemotongan 4 persen dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen
dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5 persen dibayar oleh Peserta.
Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per
bulan itu menjadi 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen oleh Peserta.
Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan
dan kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:
Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan
Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 42.500 per orang per bulan
Untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 25.500 per orang per bulan
Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan
apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari
total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Dan
besaran iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua tahun sekali yang
ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Rincian Hukum BPJS
BPJS dikategorikan menjadi 3:
1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)
Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah
direkomendasikan sebagai warga yg tidak mampu.
2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan
perusahaan. Dana ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga
sebagiannya ditanggung peserta.
3- Mandiri
Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan.
Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk
kategori unsur riba dan gharar.
Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena murni gratis tanpa premi
dan tanpa denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang
dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.
Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan karena ada unsur gharar dan
riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi karena resiko tidak bisa
dipastikan. Accident belum pasti pula terjadi. Pengertian gharar sebagaimana
dikatakan oleh Al Jarjani,
Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak. (Al Mawsuah Al Fiqhiyyah, 31:
149).
Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
- -
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang
dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror. (HR. Muslim no. 1513)
Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan habalul habalah.
Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. Habalul habalah adalah transaksi jual beli yang
bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya
adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir .
Sumber: https://muslim.or.id/23816-hukum-bpjs.html
Terlepas dari hukum halal dan haram BPJS, banyak yang bertanya bagaimana hukum
bekerja pada bagian yang menerapkan BPJS, pegawai BPJS, tenaga medis yang bekerja di
RS atau Klinik yang bekerjasama dengan BPJS
Sebelumnya kami tekankan bahwa hukum BPJS untuk pastinya,maka perlu didiskusikan
bersama, duduk bersama ahli agama, ulama dan pejabat BPJS serta pihak terkait. Karena
perlu tahu fiqhul Waqi (keadaan di lapangannya) yang sebenarnya cara kerja BPJS,
sehingga bisa dirumuskan dengan benar hukumnya sesuai dengan fiqhul waqi yang
sebenarnya
Fatwa itu sesuai dengan pemahaman pemberi fatwa dari kasus tersebut, jika berbeda
pemahaman maka fatwa bisa berbeda
karenanya ada kaidah fiqhiyah:
Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi
fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).
Sebagai gambaran awal (mohon ini bukan patokan, karena untuk hukum jelasnya,
sebagaimana dijelaskan diawal perlu duduk bersama-sama semua pihak). Ini sebagai
pengantar untuk membahas hukum bekerja di RS atau klinik yang bekerja sama dengan
BPJS.
Maaf, ini adalah hasil diskusi dengan beberapa ustadz dan informasi yang masuk mengenai
BPJS (mohon koreksi jika salah, karena ini tahun ketika tahun 2014, mungkin ada
perubahan cara kerja dan sistem)
-BPJS bukanlah asuransi yang diharamkan, karena bukan badan asuransi murni. Untung
rugi BPJS ditanggung oleh pemerintah, sehingga ini semacam subsidi pemerintah kepada
rakyatnya
-BPJS kalau dirinci, tidak semuanya haram, ada pengolongan/ rincinannya
I. Golongan pertama:
Bagi yang tidak mampu, maka gratis dan tidak bayar premi. ini BOLEH karena semacam
subsidi dari pemerintah
II. Golongan kedua:
Bagi PNS, polri dan lain-lain
premi dipotong otomatis dari gaji jadi tidak terlambat dan tidak ada denda.
jika benar seperti ini prosedurnya , maka ini juga BOLEH, karena hakikatnya adalah subsidi
yang jaminan dari pemerintah
III. Golongan ketiga
selain kedua di atas, membayar premi dan jika terlambat membayar maka dikenakan denda.
ini yang TIDAK BOLEH / HARAM karena denda ini adalah riba
Setiap hutang/pinjaman yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba
SOLUSINYA:
Solusinya adalah denda dihapus, karena inilah sisi pengharaman Ribanya.
Silahkan diatur bagaimana hukuman yang tepat agar masyarakat patuh dan tidak
bermudah-mudahan menunggak membayar, misalnya jika terlambat bayar BPJS di putus
saja (seperti listrik, kalau mau ada diurus lagi) atau solusi yang lain
Jadi: dengan dihapus denda, BPJS sudah sesuai syariat InsyaAllah. Golongan I-III BPJS
sudah sesuai syariat
Bagi masyarakat, masalah ini adalah masalah bersama, jangan kita hanya menuntut
pemerintah saja dan ingin GRATIS tetapi tidak patuh terhadap anjuran pemerintah.
Dan perlu kerja sama yang baik dan kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat
untuk mewujudkan hal ini, tidak bisa saling menuntut. Karena dana anggaran kesehatan
untuk negara kita sangat sedikit (jika disbanding negara lain) dan tentunya cakup sulit
menuntut kesempurnaan dalam kesehataan dengan dana yang dibilang sangat minim.
Adapun pengelolaan Dana BPJS yang besar, bisa di simpan di bank konvensional asalkan
bunganya tidak diambil atau disalurkan pada penyaluran harta riba semisal membangun
fasilitas umum. Wallahu alam
Hukum menjadi pegawai BPJS dan bekerja di RS atau klinik yang bekerja sama
dengan BPJS
Fakta yang kita ketahui saat ini bahwa BPJS:
1. Bukan perusaaan asuransi yang diharamkan, karena tidak berdiri sendiri dan ditangung
untung-rugi oleh pemerintah. Jadi bukan BPJS yang haram
2. Jika ada yang haram, maka sistemnya yang haram, bukan BPJS nya, yaitu penerapan
denda yang termasuk riba pada golongan ketiga
Maka:
A. BOLEH bekerja sebagai pegawai BPJS,
Terlebih jika gaji diperoleh dari pemerintah (bukan kas BPJS), ini sebagaimana status gaji
PNS yang halal. Bila digaji dari kas BPJS juga tidak mengapa -insyaAllahKarena pendapat terkuat untuk tercampur harta halal dan haram (kas BPJS misalnya
bercampur halal dan haram), maka harta tersebut halal.
Dengan syarat:
1. Harta halal dan haram sulit atau susah dipisah
2. Harta haram tidak terlalu mendominasi
Sebagaimana gaji PNS dari dana pemerintah. Dana pemerintah ada yang dari pajak (pajak
ada yang haram) ada juga pendapatan pemerintah yang halal semisal BUMN. Maka ini
bercampur dan pendapat terkuat adalah halal
Karena:
1. Hukum asal sesuatu adalah halal
Jika ada harta curian yang tidak mungkin dikembalikan, harta tak bertuan dan harta
rampasan yang tidak bisa dikembalikan. Maka ditaruh ke baitul mal, jelas beberapa harta ini
sumbernya haram. Dan dari baitul mal ini (tercampur halal-haram) digaji para pegawai
negara termasuk gaji khalifah.
2. Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bermuamalah dengan Yahudi, menerima
undangan makan dan lain-lainnya. Padahal kita tahu darimana sumber harta Yahudi
mayoritasnya.
B. BOLEH menerima gaji dari RS atau Klnik yang bekerja sama dengan BPJS
Karena bercampur harta halal dan haram, penghasilan RS atau klnik tidak hanya dari BPJS
saja dan BPJS sendiri jika dirinci, tidak semuanya haram.
Note:
1. Sekali lagi, mengenai hukum BPJS yang kami gambarkan bukan final, karena tetap harus
tahu benar fiqhul waqi realita di lapangan, kami buat sebagai pengantar gambaran jika
memang seperti itu, maka inilah hukum menjadi pegawai BPJS dan bekerja di RS yang
bekerja sama dengan BPJS
2. Mohon jika ada Informasi terbaru mengenai sistem kerja BPJS, sehingga bisa
didiskusikan
3. Mohon Koreksi jika ada kesalahan, kami menulis ini untuk mencari solusi bersama, bukan
untuk ajang berdebat dan saling menyalahkan
4. insyaAllah jika ada waktu luang, kami akan menuliskan lebih lengkap dengan dalil-dalilnya
mengenai hukum ini.
Demikian semoga bermanfaat
@Gemawang, Yogyakarta tercinta
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
silahkan like fanspage FB , Follow facebook dan follow twitter
Artikel Terkait
Permasalahan Imunisasi Dan Vaksinasi Tuntas Insya AllahMengapa Minum Habbatus Sauda Kok Tidak Sembuh?
Jawaban Bagi Yang Berkata: Banyak Obat Dokter Berbahaya dan Haram
WHO adalah antek yahudi dan Barat melalui vaksin? (Konspirasi kah?)
Herbal dan Thibbun Nabawi: Pelajaran dari Buah Merah Penyembuh AIDS
Mengkombinasikan Pengobatan Tradisional dan Modern
Vaksinasi Mubah dan Bermanfaat
Thibbun Nabawi Mengobati Sakit Dengan Tanah dan Air Ludah
Bahasan Bestiality (Kecendrungan Seks Dengan Binatang) Dalam Islam
Vaksinasi Haji Mubah dan bermanfaat
13 Comments
Muhammad septa utama
1 August 2015 at 09:18
Assalamualaikum. Dok berarti kl untuk pns masih diperbolehkan y?
REPLY
Raehanul Bahraen
25 April 2016 at 09:51
waalaikumussalam, boleh
REPLY
Pemburu007
1 August 2015 at 10:50
Memang bpjs itu mmberatkan. Jika yg tdk memegang kartunya tdk bs berobat. Misalkan
kedua orgtua yg punya kartunya,anaknya sakit itu tdk bs digunakan untk brobat bgm
mungkin itu tdk brlaku???
REPLY
Raihan Bahasoean
11 August 2015 at 12:04
Assalamualaikum,
Dari tulisan di atas Saya menangkap bahwa seakan-akan letak keharaman BPJS hanya
pada perkara denda yang diterapkan saja. Yang Saya ingin tanyakan, bagaimana dengan
ketidak pastian manfaat yang diterima oleh peserta BPJS? Bukankah ini perkara yang
haram? Bukankah didalamnya terkandung unsur Judi dan Ghoror (ketidak jelasan)?
Sebagai contoh: Jika Saya bergabung dengan BPJS pada usia 30 tahun dan ALLOOH
menakdirkan usia Saya hanya sampai umur 70 tahun (semoga ALLOOH memanjangkan
umur kita dalam keberkahan), berarti Saya harus membayar premi bulanan sebanyak 480
bulan (40 tahun), dimana jika premi yang dibayarkan perbulan adalah Rp 60.000 maka total
yang Saya bayarkan sampai tutup usia adalah Rp 28.800.000. Pertanyaannya bagaimana
jika semasa Saya hidup Saya hanya sakit beberapa kali saja yang hanya membutuhkan
total biaya perawatan sekitar Rp 10.000.000, bukankah berarti Saya mengalami kerugian
yang tidak mampu saya antisipasi? Maka disinilah letak judinya.
Atau sebaliknya, seandainya pada usia 40 tahun ALLOOH menakdirkan Saya meninggal
dunia (semoga ALLOOH memanjangkan umur kita dalam keberkahan) dengan sebuah
penyakit yang biaya perawatannya sampai Rp 115.000.000 misalnya, bukankah berarti
BPJS mengalami kerugian yang tidak bisa mereka antisipasi? Maka disini juga termasuk
unsur perjudiannya.
Lantas bagaimana jika ternyata ALLOOH tidak menakdirkan Saya sakit sampai akhir hayat,
bukankah berarti premi yang Saya bayarkan merupakan kerugian yang sia-sia, karena tidak
ada kejelasan kapan manfaatnya bisa saya dapatkan? Di sinilah unsur Ghorornya.
Atau sebaliknya, dimana Saya baru membayar premi selama 3 bulan, tiba-tiba ALLOOH
menakdirkan Saya sakit yang biaya pengobatannya mencapai angka Rp 120.000.000
misalnya (seperti operasi jantung dan tindakan-tindakan mahal lainnya), bukankah ini
kerugian yang tidak terduga sebelumnya oleh BPJS? Maka di sinilah letak unsur Ghorornya.
Jika dikatakan akdanya adalah taawun (tolong menolong), maka dalam tolong menolong
tidak boleh disyaratkan manfaat atau pamrih bagi pihak yang menolong. Karena hukum
dasar tolong menolong adalah dilakukan tanpa pamrih, jika menuntut pamrih maka ini sama
saja dengan transaksi biasa, dimana yang membayar meminta balasan berupa barang atau
jasa. Sedangkan dalam kontrak BPJS, si pembayar premi (atau si penolong) mensyaratkan
wajibnya manfaat bagi dirinya jika ia suatu saat jatuh sakit dan membutuhkan biaya
pengobatan. Maka ini bukanlah akad tolong menolong yang benar.
Dan juga WaLLOOHU alam, setahu Saya akad BPJS adalah akad asuransi konfensional
(mhn dikoreksi jika salah), dimana si pembayar premi membayar untuk kepastian mendapat
manfaat dikemudian hari, bukan untuk menolong pihak lain yang sedang ,mengalami
musibah. Artinya pembayaran premi tersebut terikat dengan syarat kepastian untuk
mendapat manfaat dikemudian hari (walaupun tidak jelas kapannya), jika tidak ada manfaat
yang dijanjikan sudah barang tentu si pembayar premi tidak akan mau membayarkan
preminya.
Jadi berdasarkan uraian di atas, Saya beranggapan masih banyak yang perlu dirubah dari
BPJS jika ingin mendapat predikat halal, bukan hanya bagian dendanya saja.
Mekanismenya harus dirubah secara total, jika ingin mengadopsi mekanisme tolong
menolong, maka harus ada donatur tetap yang tidak disyaratkan manfaat untuknya. Jika
ingin menggunakan mekanisme jaminan sosial swadaya masyarakat, maka premi yang
tidak terpakai untuk biaya pengobatan wajib dikembalikan kepada si anggota, shingga
hilanglah unsur judi dan ghoror di dalamnya. WaLLOOHU alam.
Saya hanya ingin berbagi dan mencari ilmu, jadi mohon tanggapannya, bisa jadi Saya yang
keliru dan Kalian yang benar. Maka ini akan menjadi ilmu baru bagi Saya dan bagi orang
lain yang membaca.
Wassalamualaikum
Raihan Bahasoean
REPLY
Raehanul Bahraen
29 August 2015 at 11:09
Waalaikumussalam, atas masukknya,
saya melihat fakta bahwa BPJS bukan asuransi konvensional, krna untung ruginya
ditangggung oleh negara
Jdi ini poin perbedaan padangannya
REPLY
ali
16 March 2016 at 12:47
Assalamualaikum wr wb.
Maaf, saya (muslim) adalah orang yg tidak terlalu mengetahui secara detail dari hukum
islam. Tapi secara awam saya lebih setuju dengan pendapat pak raihan diatas.
Ditambah lagi bahwa saya telah mengalaminya sendiri. Jelas2 secara tertulis di website bpjs
bahwa bpjs itu untuk keluarga dimana pendaftarannya pun melampirkan kartu keluarga,
sehingga dalam satu keluarga itu hanya ada satu iuran sesuai KK. Kenyataannya pak : Saya
& istri bekerja dalam perusahaan yg berbeda (berarti kami termasuk gol III) dan kami tetap
dalam 1 KK. Istri yg pertama didaftarkan oleh perusahaannya tapi ternyata didaftarkan
sebagai sengli (belum menikah) dan anehnya seluruh rekan2 dia dalam satu perusahaan
pun yg wanita juga dianggap single (padahal mereka semua sudah berkeluarga. Setelah
saya tanyakan ke BPJS mereka sarankan saya untuk mendaftarkan sendiri untuk saya &
anak2 saya. Otomatis dalam keluarga saya membayar 2 iuran (walaupun istri ditanggung
oleh perusahaannya). Saya pernah usulkan bhw saya & anak2 saya ditambahkan aja ke
BPJS istri dan saya tinggal menambahkan kekurangannya, tapi itu ditolak oleh BPJS.
Disinilah saya melihat kecurangan dari BPJS, karena secara tidak langsung saya merasa
dirugikan.
Apabila ada saran untuk menyampaikan pesan tetang BPJS ini ke pemerintah (yg
mewajibkan BPJS ini bagi warganya), maka saya ingin menyampaikan ini.
ali
16 March 2016 at 12:51
Dan saya yakin, perlakuan seperti di perusahaan istri saya tidak hanya terjadi di 1
perusahaan saja. Semoga ini menjadi pemberitahuan bagi pemerintah, bahwa ada
ketidakadilan disini.
Terimakasih
Dian Yuliasti
22 August 2015 at 08:50
2015 tidak ada BPJS yang gratis. Premi paling kecil sebesar Rp. 25.000. Itu pun saat
dipakai di rumah sakit biayanya tdk tercover oleh BPJS. pasien msh harus membayar obat
dan lainnya. Karena obat dan yang lainnya tdk sama diberikan dg BPJS yang preminya lebih
besar. Lagi pula premi yg telah disetor tdk bisa diambil jd kn rugi.
REPLY
Raehanul Bahraen
29 August 2015 at 10:44
Ada program yg pertama buat masyarakat miskin, gratis
REPLY
Farida
13 May 2016 at 17:54
Kalau yg th ini baru daftar tdk ada yg program gratis itu pak untuk mandiri ( tdk bekerja d
perusahaan), meskipun sudah mengantongi surat keterangan tidak mampu dari RT,RW dan
kelurahan setempat, tetap diikutkan yg kelas 3 jdi harus tetap bayar premi, ada sedikit
keraguan ustad, mau ikut bpjs tkut, mau tdk ikut sbnarnya butuh untuk putra kmi yg
menderita ROP karena lahir prematur
Azwin
2 September 2015 at 09:44
Bagaimana dengan asuransi konvensional, dimana banyak rumah sakit bekerjasama.
Bahkan Rumah sakir muslim juga. Saya sebagai dokter hanya melakukan pengobatan
disana tanpa ikut ijab kabul keejasama RS dengan asuransi terkait, dan juga bukan home
doctor rumah sakit tersebut. Bolehkan saya menerima jasa atas pasien asuransi yang
membutuhkan jasa saya? Barakallahu fiikum
REPLY
Raehanul Bahraen
25 April 2016 at 09:37
jika kita dipaksa ikut, kita ambil jatah kita saja, misalnya 50 rbu, berarti 600 rbu setahun, kita
perkirakan periksa atau jatah pengobatan yg 600 rbu
REPLY
Azwin
25 April 2016 at 14:46
Maksud saya jasa medis perpasien asuransi konvensionalnya boleh saya gunakan atau
tidak?
Sumber: https://konsultasisyariah.com/12392-terlanjur-menerima-uangasuransi-jasa-raharja.html
Hukum BPJS
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), bagaimana tinjauan hukum
Islam mengenai BPJS? Bolehkah menjadi anggota BPJS?
By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 8 December 2014
114 15501 36
Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di
Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai
pasal 14 UU BPJS.
Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS.
Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib
mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan
ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga miskin,
iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran.
Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun
juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS
Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai
dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.
Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap
pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki
jaminan kesehatan tersebut. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan BPJS
Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis penyakit namun
dengan melakukan upaya efisiensi.
Peserta BPJS
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 jenis Iuran dibagi menjadi:
Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah
daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah (orang miskin dan tidak mampu).
Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota
TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri dan
pegawai swasta) dibayar oleh Pemberi Kerja yang dipotong langsung dari gaji
bulanan yang diterimanya.
Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja
mandiri) dan Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun,
veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau
perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang
terdiri atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau
Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2
persen dibayar oleh peserta.
Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara sekaligus. Karena secara
bertahap akan dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015 adalah
pemotongan 4 persen dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen
dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5 persen dibayar oleh Peserta.
Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per
bulan itu menjadi 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen oleh Peserta.
Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan
dan kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:
Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan
Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 42.500 per orang per bulan
Untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 25.500 per orang per bulan
Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan
apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari
total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Dan
besaran iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua tahun sekali yang
ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Rincian Hukum BPJS
BPJS dikategorikan menjadi 3:
1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)
Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah
direkomendasikan sebagai warga yg tidak mampu.
2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan
perusahaan. Dana ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga
sebagiannya ditanggung peserta.
3- Mandiri
Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan.
Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk
kategori unsur riba dan gharar.
Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena murni gratis tanpa premi
dan tanpa denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang
dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.
Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan karena ada unsur gharar dan
riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi karena resiko tidak bisa
dipastikan. Accident belum pasti pula terjadi. Pengertian gharar sebagaimana
dikatakan oleh Al Jarjani,
Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak. (Al Mawsuah Al Fiqhiyyah, 31:
149).
Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
- -
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang
dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror. (HR. Muslim no. 1513)
Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan habalul habalah.
Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. Habalul habalah adalah transaksi jual beli yang
bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya
adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir .
Sumber: https://muslim.or.id/23816-hukum-bpjs.html
TANYA - JAWAB
1092. APA HUKUM BPJS KESEHATAN ?
MAY 10, 2014 ADMIN
1092. BBG Al Ilmu
Tanya:
Bagaimana hukum BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan ?
Jawab:
Ust. DR. Muhammad Arifin Badri,
BPJS Kesehatan termasuk dalam katagori Asuransi Komersial, jadi hukumnya
HARAM.
Tambahan:
Penjelasan mengenai haramnya Asuransi Komersial bisa di baca dalam artikel
berikut:
http://pengusahamuslim.com/bagaimanakah-hukum-asuransi-dalam-islam23/#.U2yjv1cR8z4
(*)-
View
Jangan lupa untuk ikut membagikan link download kajian ini ke Facebook, Twitter, Google+.
dll. In-sya Allah bermanfaat bagi saudara Muslimin dan bagi amal ibadah kita.
[PENTING] Hukum Ikut Serta Dalam Program BPJS
Mei 28, 2014
Pertanyaan
Saya ingin bertanya, apakah program pemerintah yang namanyaprogram BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) itu mengandung riba atau tidak? Karena program tersebut
mirip sekali dengan asuransi.
Jawaban oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.
Dengarkan jawabannya secara langsung, atau silakan download tanya-jawabnya.
Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan
Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis
kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan)
dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri
atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau Upah per bulan, dengan
ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh peserta.
Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara sekaligus. Karena secara bertahap akan
dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015 adalah pemotongan 4 persen dari Gaji
atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5
persen dibayar oleh Peserta.
Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan itu
menjadi 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen oleh Peserta.
Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan dan
kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:
Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan
Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 42.500 per orang per bulan
Untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 25.500 per orang per bulan
Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan apabila ada
keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang
tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Dan besaran iuran Jaminan Kesehatan
ditinjau paling lama dua tahun sekali yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Rincian Hukum BPJS
BPJS dikategorikan menjadi 3:
1- PBI (Peserta Bantuan Iuran)
Murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah direkomendasikan sebagai
warga yg tidak mampu.
2- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan perusahaan.
Dana ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya ditanggung
peserta.
3- Mandiri
Bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan. Jika terjadi
keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk kategori unsur riba dan
gharar.
Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 karena murni gratis tanpa premi dan tanpa
denda. Kategori 2 dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang dipotong dari gaji) dan
tidak ada denda.
Sedangkan kategori 3, haram untuk diikuti dengan karena ada unsur gharar dan riba.
Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi karena resiko tidak bisa dipastikan.
Accident belum pasti pula terjadi. Pengertian gharar sebagaimana dikatakan oleh Al Jarjani,
Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak. (Al Mawsuah
Al Fiqhiyyah, 31: 149).
Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
- -
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror. (HR. Muslim no. 1513)
Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan
habalul habalah. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. Habalul
habalah adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang
semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari
seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir. (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).
Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru
akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta
tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh.
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi berpendapat bahwa sebagian besar dengan adanya BPJS ini
sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap rakyatnya, hanya saja karena ada satu
akad yang mengandung unsur ribawi yakni bila terjadinya keterlambatan pembayaran maka
pada bulan berikutnya akan dikenakan denda Rp 10 rb. Unsur inilah yang pada akhirnya
dipermasalahkan dan menjadikan BPJS: haram.
(Dinukil dari SalamDakwah.Com)
Jika Sakit Parah dan Untuk Berobat Butuh Biaya Besar
Jika kita tidak bisa masuk kategori 1 karena tidak ada rekomendasi dari RT bahwa kita tidak
mampu, kita juga tidak bisa ikut kategori 2 karena kita bukan PNS atau semisalnya, maka
bisa mendaftar BPJS ketika kondisi dlm kedaruratan.
Contoh: Ada seseorang yang sakit parah hingga harus keluar biaya puluhan juta. Awalnya
keluarganya bukan kategori orang miskin. Namun saat itu mereka benar-benar tidak mampu
membayar biaya sebesar itu, maka boleh bagi mereka mendaftar BPJS kategori 1, tentu
dengan pengantar dari RT/RW setempat.
Wallahu alam bish showab. Moga bermanfaat bagi pembaca Muslim.or.id sekalian.
Referensi:
Kajian Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi tentang BPJS saat di Jogja
Tidak diketahui oleh oleh banyak orang
Karenanya syaikh Al-Utsaimin menjelaskan hadits ini, bahwa berarti banyak yang tahu,
banyak juga yang tidak tahu, karena hadist tidak mengatakan mayoritas (). Beliau
menjelaskan:
:
Banyak yang tidak tahu, banyak juga yang tahu, hadits tidak berkata: mayoritas manusia
tidak tahu[5]
Apalagi jika sudah ada yang berilmu dan tahu hukumnya, maka menjadi hujjah bagi yang
tidak berilmu.
SEHINGGA:
kita tidak bermudah-mudah:
1.Mengecap suatu makanan syubhat hanya berdasarkan dugaan saja dan perkiraan saja,
padahal hukum asal makanan halal dan tidak ada yang menjadi penyebab hukum
asalanya bergeser (pengcualian) menjadi haram.
2.Tidak bermudah-mudah mengecap haram suatu makanan hanya berdasarkan sangkaan
dan dugaan saja
Semoga ini bisa memperjelas, yaitu kisah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang diberi
hadiah daging kambing oleh wanita Yahudi dan daging tersebut diberi racun.
Silahkan baca disini kisahnya[6]
Perhatikan yang memberi hadiah adalah wanita Yahudi. Memang sembelihan ahli kitab
adalah halal.
Tetapi jika telah NYATA dan ada bukti NYATA mereka:
1.Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka haram daging tersebut
2.menyembelih dengan cara yang tidak syari, maka haram daging tersebut
Tetapi jika tidak ada bukti dan hanya prasangka saja, maka tidak bisa menghilangkan
hukum asalnya yaitu halal. Apalagi kita ketahui bagaimana sifat Yahudi. Tetapi Nabi
shallallahu alaihi wa sallam menerima saja hadiah daging hadiah dari Yahudi dan daging
tesebut dimakan oleh beliau.
BOLEH SAJA HATI-HATI AKAN TETAPI JANGAN SAMPAI GHULUW (BERLEBIHAN),
SEHINGGA MENJADI TAKALLUF (MEMBEBANI SEHINGGA MENYUSAHKAN SENDIRI)
Dari kisah pemberian daging yahudi, maka tidak ghuluw dengan takalluf berlebihan,
misalnya:
Diakan yahudi, jangan-jangan nyebut nama Y***S ketika menyembelih, haram dunk
Yahudi kan sifatnya sudah tahu deh, jangan-jangan ini daging gak galal
Demikian juga terlalu kritis yang menyebabkan ghuluw dalam menyikapi halal suatu
makanan. Boleh-boleh saja kritis tetapi perhatikan kaidah dan batasan ulama.
Contoh ghuluw dalam hal ini: ada mie ayam pinggir jalan
Tanya ke pedagangnya:
-Ini ayamnya halal pak?
-Ada sertifikat halal?
-Ayamnya disembelih dengan syari benar pak?
-Oya bapak muslim kan? Karena sembelihan musyrik haram
-Oh ayamnya di beli di pemotongannya ya? Yakin pak di sana dipotong syari?
-Tukang sembelih lupa baca bismillah gak?
-Kalau sembelinya syari, yakin gak wadah dagingnya gak bekas wadah babi?
Beberapa saat kemudian:
-Oh jadi ayamnya, bapak sendiri yang sembelih dan dengan bismillah, oya pak ini kecap
yang dipakai halal pak?
-Ini kecap kan sudah terkenal sekali, apa sudah ada serifikat halalnya?
-O iya, metcin dan penyedap rasa ini yang dipakai halal juga gak pak? Jangan-jangan
produk impor
Beberapa saat kemudian:
-Nah, kerupuk ini halal gak pak? Jangan-jangan tepung dan minyak goreng serta bumbunya
gak halal dan belum ada setifikat halal
Kalau sudah seperti ini, maka ini yang disebut ghuluw yang menyebabkan takalluf (terlalu
membebani).
Contoh lagi:
ini sudah ada sertifikat halalnya, tetapi kok bisa rasanya enak sekali ya? Jangan-jangan
hanya pas pengujian saja dia nampakkan bahan-bahan yang halal, jadi pas selama
pengujian dan audit yang ditemukan oleh tim editor halal semua, Jangan-jangan setelah
dapat setifikat halal ia kebali memasukkan resep-resep haram yang membuat enak, janganjangan.
TENANG DENGAN KAIDAH ULAMA:
Kaidah yang dibuat ulama ini akan menbuat kita tenang dalam menyikap hal ini, tidak
takalluf yang sampai terlalu membebani. Jadi, silahkan pilih bagaimana dalam menyikapi
hal ini.
Demikian semoga bermanfaat
@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar Sabalong Samalewa
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] Dan cabang kaidahnya:
Hukum asal makanan dan minuman adalah halal
[2] Yaitu hadits:
.
Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. [Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dan an-Nas`i. At-Tirmidzi berkata,Hadits hasan shahh]
[3] baca: https://muslim.or.id/23082-tidak-ada-sertifikasi-halal-mui-haram.html
[4] Yaitu hadits berikut:
Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum jelas status halal atau
haramnya) maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Dan
barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar tersebut maka berarti dia telah
terjerumus ke dalam perkara yang haram (dilarang dalam Islam). (HR. Muslim, no 1599)
[5] Syarh Arbain An-Nawawiyah 2/7 , syamilah
[6] Baca: https://muslimafiyah.com/nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam-wafatsyahadah-membawa-sisa-racun.html
Artikel Terkait
Imunisasi Program Wajib di Saudi
WHO adalah antek yahudi dan Barat melalui vaksin? (Konspirasi kah?)
Dokter Muslim Memilih Obat Turunan Sapi daripada Babi
Vaksinasi Mubah dan Bermanfaat
Penjelasan Berita Belum Ada Vaksin Yang Halal Untuk Bayi
Hukum Campuran sedikit Khamer dan Tidak Memberikan Pengaruh/Memabukkan
Hukum Menjadi Pegawai BPJS dan Bekerja di Rumah Sakit Bekerja Sama dengan
BPJS
Jangan Ragu Donorkan darah Anda (Medis dan syariat)
Sekedar Makanan Halal Dan Thayyiba Tidak Bisa Mencegah (Menjamin) Dari Wabah
Penyakit
Tanya-Jawab Ringkas Terkait Program PIN Imunisasi Polio Pemerintah
4 Comments
Hilmy
19 July 2016 at 07:10
Assalamualaikum
Ustadz, saya mendapat roti daging ayam dan sapi dari teman. Roti itu berasal dari sebuah
restoran jepang di Jakarta, yang belum ada sertifikasi halal.
Nah, apakah ini bisa dikembalikan ke hukum asalnya, yaitu halal Ustadz? Bagi saya, ini
merupakan sebuah syubhat Ustadz. Soalnya, saya belum punya bukti yang kuat kalau
restoran itu haram. Tetapi, saya juga ngga bisa bertanya ke restoran itu karena
dikhawatirkan ghuluw. Gimana ini Ustadz?
REPLY
Raehanul Bahraen
29 July 2016 at 07:41
waalaikumussalam, tergantung keadaan di situ, apakah restoran jepang yng punya muslim
atau orang jepang, yang punya siapa dan yang menjalani serta pegawainya, jika ada
indikasi kuat atau bukti nyata, sebaiknya jangan
REPLY
Hilmy
19 July 2016 at 20:37
Assalamualaikum
Ustadz, apa yang Ustadz maksud dengan mengembalika hukum asal makanan adalah
halal?
Jika saya diberi ayam panggang oleh orang nasrani yang bukan ahli kitab, apa ini berarti
saya bisa mengembalikan bahwa hukum asal ayam adalah halal, tanpa mempertimbangkan
cara penyembelihannya atau cara masaknya?
Jazaakumullah khairan
REPLY
Raehanul Bahraen
18 August 2016 at 09:18
waalaikumussalam, semua nashrani adalah ahli kitab, jadi boleh saja
REPLY