1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: balai Pustaka, t.th), h. 419
Berdasarkan dalil-dali di atas dapat disimpulkan bahawa Islam menjadikan judi
sebagai satu kesalahan yang serius dan memandang hina apa jua bentuk judi. Ini dapat
dilihat dari petunjuk petunjuk berikut:
1. Judi disebut dan diharamkan bersama dengan perbuatan minum arak, berkorban untuk
berhala (syirik) dan menenung nasib. Semua ini adalah dosa besar di dalam Islam.
2. Judi disifatkan sebagai najis untuk menggambarkan kekejiannya.
3. Kehinaan judi diperkuatkan dengan pernyataan bahawa ia adalah amalan syaitan.
4. Allah menggunakan perkataan ‘Jauhilah’ untuk menunjukkan pengharamannya.
Perintah menjauhi judi lebih keras dari mengatakan bahawa ia adalah haram. artinya
umat Islam bukan hanya dituntut untuk tidak berjudi tetapi juga tidak mendekatinya
atau apa jua jalan kepadanya. Ini sama seperti larangan dari mendekati zina.
5. Allah sertakan dalam ayat pengharaman itu, akibat-akibat buruk dari berjudi.
6. Akibat buruk yang dinyatakan berkaitan dengan perkara yang dianggap penting dalam
Islam iaitu menjaga kesatuan, persaudaraan dan mendirikan solat. Oleh kerana perkara
ini adalah penting dalam Islam, maka apa jua yang boleh merosakkannya adalah suatu
yang dipandang berat.
7. Dalam Al-Maidah : 90-91, Allah bukan hanya perintah agar menjauhi judi bahkan Ia
memperkuatkan perintah tersebut dengan seruan agar meninggalkannya sebagai
penegasan.
8. Siapa yang mengajak saudaranya berjudi sahaja, diperinthkan oleh Rasulullah s.a.w
bersedekah sebagai kafarah terhadap dosanya apa lagi jika melakukannya.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil
lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung
unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
b. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak
mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada
spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak
mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena
banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa
jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami
accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi
beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya.
Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah
melarang judi berdasarkan keumuman ayat,
َصابُ َواَأْل ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِإنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواَأْل ْن
c. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang
berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan
asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati,
dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba
fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi yang ia terima
namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini
nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua
riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
d. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui
terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini
sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik
tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti
ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga
permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ق ِإالَّ فِى نَصْ ٍل َأوْ ُخفٍّ َأوْ َحافِ ٍر
َ َالَ َسب
“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan
unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no.
2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama
memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan
Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits.
Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
e. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.
Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik.
Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus
ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
اض ِم ْن ُك ْم َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َج
ٍ ارةً ع َْن ت ََر
f. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan
nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak
asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka.
Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
D. Pendapat Bahwa Asuransi Bukan Judi
Terdapat sekelompok orang yang tak dapat membedakan antara asuransi dengan
perjudian, mereka menyamakan asuransi dengan spekulasi. Padahal dengan asuransi
orang yang menjadi tanggungan dari seorang yang meninggal dunia terlebih dahulu dapat
menerima keuntungan lumayan untuk sejumlah uang kecil uang yang telah dibayar
almarhum sebagai premi. Tampaknya ini seperti sejenis perjudian. Tapi perbedaan antara
asuransi dan perjudian adalah fundamental, karena dasar asuransi adalah kerja sama yang
diakui dalam Islam.
Kata "perjudian", dalam Kamus Arab-Indonesia adalah maisir atau qamarun. Sedangkan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, judi adalah permainan dengan bertaruh uang
seperti main dadu, main kartu dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
judi adalah permainan dengan memakai uang atau barang sebagai taruhan.
2
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf, 1997, hlm. 301, 302.
3
sebuah transaksi yang berisikan kesediaan lembaga asuransi untuk menyerahkan kepada nasabah atau orang
yang ditunjuk oleh nasabah sejumlah uang atau kompensasi materi yang lain pada saat terjadi musibah atau
bahaya yang disebutkan dalam kesepakatan. Kompensasi ini merupakan timbal balik dari premi yang disetorkan
oleh nasabah kepada lembaga asuransi.
Sikap yang senada juga diberikan oleh al-Majma` al-Fikih al-Islami yang berada di
bawah Rabithah Alam Islami. Al-Majma` mengatakan, “Setelah kajian yang cukup
mendalam dan bertukar pikiran tentang asuransi, maka secara mayoritas (selain Syekh
Mushthafa Zarqa) majelis menetapkan haramnya asuransi dengan berbagai bentuknya,
baik asuransi jiwa, barang dagangan, ataupun jenis harta yang selainnya. Namun, secara
aklamasi majelis al-Majma` menyepakati keputusan Haiah Kibar Ulama’ (Saudi Arabia)
tentang bolehnya asuransi kerja sama (ta’min ta’awuni) sebagai alternatif pengganti
ta’min tijari yang haram sebagaimana di atas.”
Dalam keputusan penjelas, terdapat enam alasan yang dipergunakan al-Majma` untuk
mendukung keputusan di atas, di antaranya adalah:
1. Alasan pertama. Transaksi ta’min tijari merupakan salah satu transaksi tukar-
menukar finansial yang mengandung unsur “gambling” (judi -ed) dan gharar
(spekulasi) yang keterlaluan. Saat transaksi, nasabah tidaklah mengetahui nilai
total dari jumlah premi yang harus dia berikan dan nilai jumlah kompensasi
finansial yang akan dia dapatkan.
Boleh jadi, dia baru menyerahkan premi sebanyak satu atau dua kali lalu
terjadi musibah, sehingga dia berhak mendapatkan kompensasi finansial yang
telah disanggupi oleh lembaga asuransi. Kemungkinan yang lain, musibah tak
kunjung terjadi sehingga nasabah menyerahkan semua premi namun tidak dapat
timbal balik apa pun.
Demikian pula, pihak lembaga asuransi tidak bisa menetapkan jumlah uang
yang didapat dan yang harus diserahkan untuk masing-masing transaksi,
sedangkan dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi).
2. Alasan kedua. Transaksi ta’min tijari itu mengandung riba fadhl (riba karena ada
ketidaksamaan antara dua barang yang dipertukarkan) dan riba nasi`ah (riba
karena pertukaran tidak dilakukan secara langsung).
Jika pihak lembaga asuransi menyerahkan kompensasi finansial kepada
nasabah, ahli waris, atau orang yang ditunjuk, lebih besar dari uang yang diterima
maka ini adalah riba fadhl. Di samping itu, lembaga asuransi menyerahkan
kompensasi tersebut tidak secara tunai, sehingga ini adalah riba nasi`ah.
Namun, bila pihak lembaga asuransi hanya menyerahkan kompensasi sesuai
dengan total premi yang diterima, maka dalam transaksi ini hanya terdapat riba
nasi`ah saja. Kedua jenis riba ini haram dengan dasar dalil disamping ijma’.
F. Apakah Akad Asuransi Cacat Secara Syar'i?
Asuransi syariah yang menggunakan prinsip tafakuli sedang pada asuransi
konvensional menggunakan prinsip tadabulli yaitu jual beli antaranasabah dengan
perusahaan.
Kontrak tafakuli disebut juga dengan akad tabarru', yaitu derma atau sumbangan.
Kontrak atau akad ini bertujuan untuk memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas
saling membantu satu dengan yang lain dengan sesama nasabah asuransi syariah apabila
diantaranya ada yang terkena musibah. Dana tabarruakan disimpan dalam rekening
khususdimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana
tabarru yang sudah diniatkan oleh semua peserta menolong. untuk kepentingan tolong
menolong.
Maka dari itu, akad merupakan hal dasar yang menjadi pembeda antara asuransi
syariah dengan asuransi kovensional, penentu halal atau haram dalam perjanjian asuransi.
Salah dalam pembuatan akad bisa berakibat fatal dunia akhirat, karena menyangkut
urusan halal dan haram. Asuransi seharusnya tidak menggunakan akad jual beli karena
syarat dalam transaksi jual beli terdapat penjual, pembeli dan harga serta barang yang
diperjualbelikan, di dalam asuransi yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus
dibayar kepada perusahaan asuransi karena kita tidak tahu kapan risiko yang
dipertanggungkan itu akan terjadi, sehingga akad jual beli dalam asuransi bisa terjadi
cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar)
Gharar menurut mazhab Syafi'i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita dan akibat paling kita takuti.Apabila tidak lengkap rukun dari akad maka
terjadi gharar, oleh sebab itu ulama berpendapat bahwa akad jual beli atau akad
pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum, dimana tidak ada
kejelasan berapa besaran yang harus dibayarkan kepada pemegang polis atau berapa
besar yang diterima pemegang polis.
Maka dari itu, untuk menghindari kecacatan tersebut, dalam perjanjian asuransi syariah
akad jual beli diganti dengan akad tabarru, yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama
peserta apabila ada yang ditakdirkan mengalami suatu risiko berupa musibah kehilangan
sesuatu. Disamping ketentuan tersebut, akad dilakukan oleh orang perseorangan,
kelompok orang, persekutuan maupun badan usaha yang cakap berbuat hukum, berakal
dan tamyiz.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazaly, D. (2010). Abdul Rahman Ghazaly, dkk. Jakarta: Kencana.
Abdul Salam. (2013). Bunga Bank dalam Perspektif Islam (Studi Pendapat
108.
Keuangan Syariah.
1), 110-128.
Muchamad Arif Wahyudi. (2014). Maqasid Syariah. Hukum Bisnis Islam, 4(1).
Ramadhan, Bagus Mohamad. (2015). Etos Kerja Islami pada Kinerja Bisnis
Solusi.
Yussuf Qardawi. (1995). Problematika Islam Masa Kini (Turmana Ahmad Qasim,
Pustaka Hidayah.