Anda di halaman 1dari 12

I.

Apakah Asuransi Sama Dengan Judi


A. Definisi Judi dan Taruhan
Judi atau al-Maysir (bahasa Arab), bambling (bahasa Inggris) adalah permainan dengan
memakai uang yang sebagai teruhan atau mempertaruhkan sejumlah uang atau harta
dalam permainan tebakanberdasarkan kebetulan, denagn tujuan mendapatkan sejumlah
uang atau harta semula1 dalam hal ini judi yang dimaksut dalam tulisan ini adalah
permainan yang mengandung unsur taruhan (semua bentuk taruhan) dan orang yang
menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut.
Dalam Al-Qur’an kata al-Maysir, disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam QS. Al-
Baqarah (2) 219, dan QS. Al-Maidah (5): 90-91
1. QS. Al-BAqarah : 219
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Khamar dan Judi. Katkanlah: pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya…”
2. QS. Al-Maidah : 90
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) Khamar,
berjudi, (berkorban untuk) barhala, mengundi nasip dengan panah, adalah
perbuatan kejih adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
3. QS. Al-Maidah : 91
Artinya: “Sesungguhnya setan itu bermaksut hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) Khamar dan berjudi, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu)”
Hadis Nabi yang terkait dengan larangan berjudi, sebagaimana tertuang dalam
salah satu hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
sebagai berikut : Artinya : “Barang siapa mengajak temannya bermain judi, maka
hendaklah ia tebus dengan bersedekah”

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: balai Pustaka, t.th), h. 419
Berdasarkan dalil-dali di atas dapat disimpulkan bahawa Islam menjadikan judi
sebagai satu kesalahan yang serius dan memandang hina apa jua bentuk judi. Ini dapat
dilihat dari petunjuk petunjuk berikut:

1. Judi disebut dan diharamkan bersama dengan perbuatan minum arak, berkorban untuk
berhala (syirik) dan menenung nasib. Semua ini adalah dosa besar di dalam Islam.
2. Judi disifatkan sebagai najis untuk menggambarkan kekejiannya.
3. Kehinaan judi diperkuatkan dengan pernyataan bahawa ia adalah amalan syaitan.
4. Allah menggunakan perkataan ‘Jauhilah’ untuk menunjukkan pengharamannya.
Perintah menjauhi judi lebih keras dari mengatakan bahawa ia adalah haram. artinya
umat Islam bukan hanya dituntut untuk tidak berjudi tetapi juga tidak mendekatinya
atau apa jua jalan kepadanya. Ini sama seperti larangan dari mendekati zina.
5. Allah sertakan dalam ayat pengharaman itu, akibat-akibat buruk dari berjudi.
6. Akibat buruk yang dinyatakan berkaitan dengan perkara yang dianggap penting dalam
Islam iaitu menjaga kesatuan, persaudaraan dan mendirikan solat. Oleh kerana perkara
ini adalah penting dalam Islam, maka apa jua yang boleh merosakkannya adalah suatu
yang dipandang berat.
7. Dalam Al-Maidah : 90-91, Allah bukan hanya perintah agar menjauhi judi bahkan Ia
memperkuatkan perintah tersebut dengan seruan agar meninggalkannya sebagai
penegasan.
8. Siapa yang mengajak saudaranya berjudi sahaja, diperinthkan oleh Rasulullah s.a.w
bersedekah sebagai kafarah terhadap dosanya apa lagi jika melakukannya.

B. Kriteria Judi dalam Perspektif Islam


Dengan kita ikut bermain maka kita juga ikut berperan aktif dalam meramaikan
perjudian itu sendiri. Dan syarat suatu hal dikatakan sebagai sebuah judi menurut agama
adalah :
1. Adanya harta yang dipertaruhkan.
2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pihak yang menang
dan pihak yang kalah.
3. Pihak yang menang akan mengambil harta (yang menjadi taruhan) dari pihak yang
kalah (kehilangan hartanya).
Berdasarkan ini para ulama berpendapat bahwa mana-mana permainan yang mana
pemenangnya memperolehi manfaat yang disediakan oleh pihak ketiga, bukan dari
pihak-pihak yang terlibat dalam permainan itu. Permainan seperti ini dinamakan
sebagai pertandingan dan manfaat yang diperolehi dianggap sebagai hadiah. Satu
permainan juga tidak dianggap sebagai judi sekiranya manfaat yang diperolehi berasal
dari satu pihak seperti sekiranya seorang berkata kepada temannya “Jika kamu boleh
mengalahkan saya, saya akan memberimu hadiah. Akan tetapi jika kamu kalah, tiada
kewajipan atas kamu terhadap saya.” Ini berdasarkan kepada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud yang mana Rasulullah s.a.w diajak oleh seorang kafir
Quraisy bernama Rukanah untuk bergusti dengan hadiah beberapa kambing, jika
Rasulullah s.a.w menang. Rasulullah s.a.w menerima cabaran itu dan beliau menang
dalam pertandingan.
Pengaharaman judi adalah sesuatu yang tsabit dengan dalil qat’ii sama seperti
pengharaman ke atas babi. artinya dalam apa jua keadaan dan tempat, judi adalah
haram sehingga hari Kiamat. Larangan terhadapnya tidak dapat ditafsirkan dengan
pengertian lain. Apa yang tidak tsabit secara qat’ii ialah bentuk-bentuk permainan yang
dikategorikan sebagai judi. Dalam aspek ini sememangnya terdapat khilaf dikalangan
ulama kerana permainan selalunya berkembang dari masa ke semasa dan berbeza-beza
antara dahulu dan sekarang dan antara kalangan kaum.
Oleh kerana itu pendirian seorang muslim dalam persoalan judi ialah untuk
menerima ketentuan Allah taala dengan yakin akan keburukan judi. Walaupun terdapat
berbagai hujah dan kajian saintifik yang dibuat oleh berbagai pihak bagi
menjustifikasikan judi untuk tujuan ekonomi, sosial dan lain-lain. Babi tidak akan
boleh menjadi halal walaupun para saintis dapat membuktikan faedah yang ada
padanya. Begitulah juga judi. Seorang muslim wajib menolak judi dan membrantasnya
walau pun ia tidak lihat atau belum lihat tanda-tanda negatif dari perbuatan judi.
Keimanan kita terhadap Allah taala dan kebenaran Al-Quran dan As-Sunnah cukup
bagi menolak judi samada sikit atau banyak, untuk tujuan peribadi atau manfaat sosial.
Permainan yang apabila seorang di antara yang bertaruh menang lalu mendapatkan
taruhan itu sedang bila kalah maka dia berhutang kepada temannya dianggap sebagai
judi yang diharamkan.
Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi menulis bahawa apa yang sekarang ini dinamakan
dengan ‘loteri’ adalah semacam cabang dari perjudian juga, yang mana tidak
seharusnya dipandang remeh serat membolehkannya atas nama badan bantuan sosial
dan kerana tujuan-tujuan kemanusiaan. Sebenarnya orang-orang yang membolehkan
bermain loteri kerana tujuan-tujuan tersebut seperti orang-orang yang mengumpul dana
sumbangan kerana tujuan-tujuan khairat dengan mengadakan majlis-majlis joget dan
pertunjukan seni yang haram. Sebaik-baiknya kita katakan kepada orang ini
sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Muhammad s.a.w yang
bermaksud “Sesungguhnya Allah itu Baik, Dia tidak akan menerima kecuali yang baik-
baik saja” (Riwayat Muslim)
C. Ciri-ciri Judi dan Taruhan dalam Akad Asuransi
a. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan
(mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung
ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab
akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah
bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa
meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa
mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh
jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.
Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang
akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau
spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

‫صا ِة َوع َْن بَي ِْع ْالغ ََر ِر‬


َ ‫ ع َْن بَي ِْع ْال َح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil
lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung
unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

b. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak
mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada
spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak
mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena
banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa
jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami
accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi
beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya.
Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah
melarang judi berdasarkan keumuman ayat,

َ‫صابُ َواَأْل ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِإنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواَأْل ْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir


(berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.

c. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang
berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan
asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati,
dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba
fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi yang ia terima
namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini
nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua
riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
d. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui
terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini
sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik
tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti
ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga
permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ق ِإالَّ فِى نَصْ ٍل َأوْ ُخفٍّ َأوْ َحافِ ٍر‬
َ َ‫الَ َسب‬

“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan
unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no.
2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama
memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan
Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits.
Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.

e. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.
Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik.
Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus
ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,

‫اض ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika
telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.

f. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan
nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak
asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka.
Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
D. Pendapat Bahwa Asuransi Bukan Judi

Menurut Muhammad Abdul Manan :

Terdapat sekelompok orang yang tak dapat membedakan antara asuransi dengan
perjudian, mereka menyamakan asuransi dengan spekulasi. Padahal dengan asuransi
orang yang menjadi tanggungan dari seorang yang meninggal dunia terlebih dahulu dapat
menerima keuntungan lumayan untuk sejumlah uang kecil uang yang telah dibayar
almarhum sebagai premi. Tampaknya ini seperti sejenis perjudian. Tapi perbedaan antara
asuransi dan perjudian adalah fundamental, karena dasar asuransi adalah kerja sama yang
diakui dalam Islam.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangannya asuransi tidak bertentangan


dengan Islam, karena Asuransi berbeda dengan perjudian.

Kata "perjudian", dalam Kamus Arab-Indonesia adalah maisir atau qamarun. Sedangkan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, judi adalah permainan dengan bertaruh uang
seperti main dadu, main kartu dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
judi adalah permainan dengan memakai uang atau barang sebagai taruhan.

Sedangkan Asuransi menurut Abdul Manan mengajarkan perlunya saling membutuhkan


dalam masyarakat. Hakikat dari semangat ini sangat membantu tercapainya tujuan
persaudaraan di seluruh dunia. Namun berjudi dilarang karena dapat meningkatkan
pertikaian, dendam, dan kecenderungan untuk menjauhkan mereka dari mengingat Allah.
Semua hal ini menyebabkan kerugian yang lebih besar daripada manfaat yang dapat
diperoleh daripadanya. Asuransi bermotivasikan prinsip kerja sama dan keuntungan
sosial yang maksimum, sedangkan berjudi adalah penyangkalan dari prinsip-prinsip ini.
Karena itu asuransi tidak dapat dinyatakan tidak islami.2

E. Pendapat Bahwa Asuransi Sama Dengan Judi


Majma` al-Fikih Islami yang berada di bawah naungan OKI mengatakan,
“Sesungguhnya transaksi ta’min3 tijari dengan premi yang konstan, sebuah transaksi yang
dipergunakan oleh berbagai lembaga asuransi yang berorientasi kepada bisnis, adalah
sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar yang besar yang membatalkan transaksi.
Oleh karena itu, hukumnya adalah haram, menurut syariat.”

2
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf, 1997, hlm. 301, 302.
3
sebuah transaksi yang berisikan kesediaan lembaga asuransi untuk menyerahkan kepada nasabah atau orang
yang ditunjuk oleh nasabah sejumlah uang atau kompensasi materi yang lain pada saat terjadi musibah atau
bahaya yang disebutkan dalam kesepakatan. Kompensasi ini merupakan timbal balik dari premi yang disetorkan
oleh nasabah kepada lembaga asuransi.
Sikap yang senada juga diberikan oleh al-Majma` al-Fikih al-Islami yang berada di
bawah Rabithah Alam Islami. Al-Majma` mengatakan, “Setelah kajian yang cukup
mendalam dan bertukar pikiran tentang asuransi, maka secara mayoritas (selain Syekh
Mushthafa Zarqa) majelis menetapkan haramnya asuransi dengan berbagai bentuknya,
baik asuransi jiwa, barang dagangan, ataupun jenis harta yang selainnya. Namun, secara
aklamasi majelis al-Majma` menyepakati keputusan Haiah Kibar Ulama’ (Saudi Arabia)
tentang bolehnya asuransi kerja sama (ta’min ta’awuni) sebagai alternatif pengganti
ta’min tijari yang haram sebagaimana di atas.”
Dalam keputusan penjelas, terdapat enam alasan yang dipergunakan al-Majma` untuk
mendukung keputusan di atas, di antaranya adalah:
1. Alasan pertama. Transaksi ta’min tijari merupakan salah satu transaksi tukar-
menukar finansial yang mengandung unsur “gambling” (judi -ed) dan gharar
(spekulasi) yang keterlaluan. Saat transaksi, nasabah tidaklah mengetahui nilai
total dari jumlah premi yang harus dia berikan dan nilai jumlah kompensasi
finansial yang akan dia dapatkan.
Boleh jadi, dia baru menyerahkan premi sebanyak satu atau dua kali lalu
terjadi musibah, sehingga dia berhak mendapatkan kompensasi finansial yang
telah disanggupi oleh lembaga asuransi. Kemungkinan yang lain, musibah tak
kunjung terjadi sehingga nasabah menyerahkan semua premi namun tidak dapat
timbal balik apa pun.
Demikian pula, pihak lembaga asuransi tidak bisa menetapkan jumlah uang
yang didapat dan yang harus diserahkan untuk masing-masing transaksi,
sedangkan dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi).
2. Alasan kedua. Transaksi ta’min tijari itu mengandung riba fadhl (riba karena ada
ketidaksamaan antara dua barang yang dipertukarkan) dan riba nasi`ah (riba
karena pertukaran tidak dilakukan secara langsung).
Jika pihak lembaga asuransi menyerahkan kompensasi finansial kepada
nasabah, ahli waris, atau orang yang ditunjuk, lebih besar dari uang yang diterima
maka ini adalah riba fadhl. Di samping itu, lembaga asuransi menyerahkan
kompensasi tersebut tidak secara tunai, sehingga ini adalah riba nasi`ah.
Namun, bila pihak lembaga asuransi hanya menyerahkan kompensasi sesuai
dengan total premi yang diterima, maka dalam transaksi ini hanya terdapat riba
nasi`ah saja. Kedua jenis riba ini haram dengan dasar dalil disamping ijma’.
F. Apakah Akad Asuransi Cacat Secara Syar'i?
Asuransi syariah yang menggunakan prinsip tafakuli sedang pada asuransi
konvensional menggunakan prinsip tadabulli yaitu jual beli antaranasabah dengan
perusahaan.
Kontrak tafakuli disebut juga dengan akad tabarru', yaitu derma atau sumbangan.
Kontrak atau akad ini bertujuan untuk memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas
saling membantu satu dengan yang lain dengan sesama nasabah asuransi syariah apabila
diantaranya ada yang terkena musibah. Dana tabarruakan disimpan dalam rekening
khususdimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana
tabarru yang sudah diniatkan oleh semua peserta menolong. untuk kepentingan tolong
menolong.
Maka dari itu, akad merupakan hal dasar yang menjadi pembeda antara asuransi
syariah dengan asuransi kovensional, penentu halal atau haram dalam perjanjian asuransi.
Salah dalam pembuatan akad bisa berakibat fatal dunia akhirat, karena menyangkut
urusan halal dan haram. Asuransi seharusnya tidak menggunakan akad jual beli karena
syarat dalam transaksi jual beli terdapat penjual, pembeli dan harga serta barang yang
diperjualbelikan, di dalam asuransi yang dipersoalkan adalah berapa premi yang harus
dibayar kepada perusahaan asuransi karena kita tidak tahu kapan risiko yang
dipertanggungkan itu akan terjadi, sehingga akad jual beli dalam asuransi bisa terjadi
cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar)
Gharar menurut mazhab Syafi'i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita dan akibat paling kita takuti.Apabila tidak lengkap rukun dari akad maka
terjadi gharar, oleh sebab itu ulama berpendapat bahwa akad jual beli atau akad
pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum, dimana tidak ada
kejelasan berapa besaran yang harus dibayarkan kepada pemegang polis atau berapa
besar yang diterima pemegang polis.
Maka dari itu, untuk menghindari kecacatan tersebut, dalam perjanjian asuransi syariah
akad jual beli diganti dengan akad tabarru, yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama
peserta apabila ada yang ditakdirkan mengalami suatu risiko berupa musibah kehilangan
sesuatu. Disamping ketentuan tersebut, akad dilakukan oleh orang perseorangan,
kelompok orang, persekutuan maupun badan usaha yang cakap berbuat hukum, berakal
dan tamyiz.

II. Apakah Asuransi Konvensional Boleh Karena Darurat


A. Pengertian Darurat
Keadaan darurat adalah situasi yang mendesak, tidak terduga, dan biasanya
berbahaya yang menimbulkan risiko langsung terhadap kesehatan, jiwa, harta benda, atau
lingkungan dan memerlukan tindakan segera.
Dana darurat adalah sejumlah uang yang perlu disisihkan untuk mengantisipasi
situasi darurat seperti sakit, kecelakaan, bencana alam, kena PHK, dan masih banyak lagi.
B. Asuransi Konvensional Bukan Darurat
Asuransi konvensional tidak dapat diklaim secara darurat setelah baru saja
mendaftarkannya dengan sengaja. Asuransi Konvensional hanya dapat diklaim sekurang-
kurangnya 3 bulan setelah nasabah mendaftarkan diri. Tentu saja hal ini tidak termasuk
darurat karena memiliki cukup waktu dan adanya pilihan lain yaitu Asuransi Syariah.
Mengacu pada aturan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Al-Qur’an bahwa
hukum asuransi tidaklah haram selama pengelolaan asuransi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Maka dapat disimpulkan bahwa asuransi konvensional tetap tidak boleh dalam
keadaan darurat karena hukumnya haram.

III. Fatwa Kontemporer Tentang Keuangan dan Asuransi


a. Fatwa Seputar Bunga Pinjaman dan Bunga Bank
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 1 Tahun 2004 Tentang BUNGA
(INTEREST/FA’IDAH)
b. Fatwa Syariah yang Mengharamkan Sertifikat Investasi dan Tabungan Bunga Bank
FATWA DSN Nomor 38/DSN-MUI/X/2002 Tentang Sertifikat Investasi
Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA)
c. Fatwa dalam Transaksi Jual Beli
Fatwa DSN MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Jual-Beli
d. Fatwa seputar Bentuk Asuransi Modern
Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, D. (2010). Abdul Rahman Ghazaly, dkk. Jakarta: Kencana.

Abdul Salam. (2013). Bunga Bank dalam Perspektif Islam (Studi Pendapat

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah). Jurnal Ekonomi Syariah, 3(1), 77-

108.

Ahmad Sarwat. (2011). Pengantar Ilmu Fiqih. DU Publishing.

Ahmad Wardi Muslich. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta.

Anshori, A. G. (2018). Perbankan Syariah di Indonesia. Gajah Mada University Press.

Djalaluddin, Muhammad Mawardi. (2015). Perkembangan maqashid al-shariah

menjadi sebuah cara yang independen dalam penyingkapan satu hukum

ada di tangan Imam al-Shatiby. Al Daulah, 4(2), 289-300.

Ipandang. (2015). Tanggungjawab Manusia Terhadap Al Maslahat (Kajian Ushul

Fiqhi). Jurnal Al-‘Adl, 8(2), 163-182.

M. Zainul Wathani. (2015). Aplikasi Dalil Maslahah Mursalah Pada Lembaga

Keuangan Syariah.

Ma’mun, M. N. A. (2015). Perspektif NU Tentang Bunga Bank. Ummul Quran, 5(

1), 110-128.

Muchamad Arif Wahyudi. (2014). Maqasid Syariah. Hukum Bisnis Islam, 4(1).

Noor Juliansyah. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Prenada Media Group.

Ramadhan, Bagus Mohamad. (2015). Etos Kerja Islami pada Kinerja Bisnis

Pedagang Muslim Pasar Besar Kota Madiun). Jestt, 2(4), 274-287.

Vieitzal Rivai, A. N. U. (2012). Ekonomi Keuangan Islam bukan Alternatif, tetapi

Solusi.
Yussuf Qardawi. (1995). Problematika Islam Masa Kini (Turmana Ahmad Qasim,

ed.). Trigenda Karya.

Yusuf Qardawi. (2006). Fatwa-Fatwa Mutakhir (H.M.H al-Husaini, ed.). Bandung:

Pustaka Hidayah.

Zahroh, S. K. (2016). Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam. 1(1).

Anda mungkin juga menyukai