Anda di halaman 1dari 19

Nama Kelompok 3

1. Rina Anjani (2230602229)


2. Sabrina Miftahuljannah (2230602230)
3. Rafli Febrian (2230602231)

GHARAR DAN KETIDAKPASTIAN DALAM KEUANGAN SYARIAH

A. Pendahuluan
Kegiatan jual beli dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Namun pada kenyataanya
tidak semua transaksi jual beli mendatangkan keuntungan. Jual beli gharar justru menyebabkan
kerugian karena mengandung unsur penipuan. Melihat kenyataan yang ada, Nabi Muhammad
SAW melarang jual beli tersebut. Jual beli gharar (uncertainty) merupakan salah satu faktor yang
merusak visi jual beli.
Islam sebagai agama dengan visi keadilan menolak secara tegas praktik jual beli gharar.
Selain merugikan pihak yang terlibat secara langsung, kehadirannya juga akan membuat
masyarakat gelisah. Secara tidak langsung jual beli gharar akan mengakibatkan perekonomian
suatu negara sulit berkembang.
Nabi Muhammad SAW dalam upaya memberantas praktek jual beli gharar, memberi
peringatan kepada umatnya supaya menghindarinya. Salah satu bentuk peringatan Nabi tersebut
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam kitab musnadnya; Bab Musnad
Abdullah bin Mas'ud, hadis nomor: 3494.
ُ ‫ه‬
‫الله َصَّل هللا‬ ُ ُ َ َ َ َ َ ‫اَّلل بن َم ْس ُع‬‫َ ْ َْ ه‬ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ‫الس َم‬ َّ ‫َح َّد َث َنا ُم َح َّم ُد ْب ُن‬
ِ ‫ود قال قال رسول‬ ٍ ِ ِ ‫اك عن ي ِزيد ب ِن أ ِ يب ِزي ٍاد ع ِن المسي ِب ب ِن ر ِاف ٍع عن عب ِد‬
ِ
َ ُ َّ َ ْ َ َّ َ ْ َ َ ‫ه‬ ََ
‫الس َمك ِ يف ال َم ِاءف ِإنه غ َرر‬ ‫عل ْي ِه َو َسل َم َل تش ُتوا‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin As Sammak dari Yazid bin Abu Ziyad dari Al
Musayyab bin Rafi' dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: Janganlah kalian membeli ikan dalam air sebab Larangan Jual Beli
Gharar: Tela'ah Terhadap Hadis dari itu termasuk penipuan.

1
B. Definisi Gharar
Gharar secara etimologis, merupakan isim mashdar dari (‫)غرر‬. Arti kata gharar berkisar
pada risiko (khathar), ketidaktahuan (jabl), kekurangan (nuqsan) atau sesuatu yang mudah rusak
(ta arrudh lil balakah). Gharar merupakan bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan
untuk merugikan orang lain.
Di lihat dari beberapa arti kata tersebut, yang dimaksud dengan gharar dapat diartikan
sebagai semua bentuk jual beli yang didalamnya me ngandung unsur-unsur ketidakjelasan,
pertaruhan atau perjudian. Dari semuanya mengakibatkan atas hasil yang tidak pasti terhadap
hak dan kewajiban dalam suatu transaksi/jual beli.
Secara istilah fiqh, gharar adalah hal ketidaktahuan terhadap akibat suatu perkara,
kejadian/ peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli, atau ketidakjelasan antara baik
dengan buruknya. Menurut madzhab syafi’i, gharar adalah segala sesuatu yang akibatnya
tersembunyi dari pandangan dan sesuatu yang dapat memberikan akibat yang tidak diharapkan/
akibat yang menakutkan. Sedang Ibnu Qoyyim berkata bahwa gharar adalah sesuatu yang tidak
dapat diukur penerimaannya baik barang tersebut ada ataupun tidak ada, seperti menjual kuda
liar yang belum tentu bisa di tangkap meskipun kuda tersebut wujudnya ada dan kelihatan.
Imam al-Qarafi mengemukakan bahwa gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui
dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak. Begitu juga yang disampaikan Imam as-
Sarakhsi serta Ibnu Taimiyah yang memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian akibat
yang timbul dari suatu akad. Sementara Ibnu Hazm melihat gharar dari segi ketidaktahuan salah
satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi objek akad tersebut. 1
Dalam terminologi legal, gharar dapat memiliki arti yang berbeda-beda, hal itu nampak
dalam penjelasan berikut. Pertama, gharar yang hanya terkait dengan kasus yang meragukan atau
ketidakpastian, misalnya saja apakah sesuatu itu akan terjadi atau tidak. Jadi di sini tidak
mencakup batasan atau pengertian tentang sesuatu yang tidak diketahui, jadi hanya eksklusif
pada hal-hal yang tidak pasti atau meragukan. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Ibnu
Abidin; Kedua, gharar dapat diterapkan pada sesuatu yang tidak diketahui, bukannya yang
meragukan, pendapat ini dianut oleh mazhab Zahiri, misalnya saja pernyataan Ibnu Hazm yang
menyatakan bahwa gharar dalam jual beli itu terjadi apabila pembeli tidak tahu apa yang dia beli

1
(Analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi, 2009)

2
dan penjual tidak tahu apa yang dia jual; Ketiga, gharar yang merupakan kombinasi dari dua
kategori, yakni baik yang tidak diketahui maupun yang meragukan sebagaimana yang
didefinisikan oleh As Sarahasi yang berkata gharar akan didapati apabila konsekuensi atau
akibatnya itu tidak terungkap dan definisi yang ketiga ini yang banyak diminati di dalam hukum
Islam.2
Ada yang mendefenisikan risiko dengan the chance of loss (peluang kerugian). Ada juga
yang mendefenisikan dengan possibility of loss (kemungkinan kerugian). Ada juga yang
mendefensiskannya dengan uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian). Meskipun tampak
berbeda antara satu defenisi dengan defenisi lainnya, semuanya sepakat dalam hal bahwa risiko
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk yang tidak diinginkan atau tidak
terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian.
Ketidakpastian merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko.
Kondisi yang tidak pasti itu sendiri timbul karena beberapa sebab, antara lain: (1) Jarak
waktu dimulai perencanaan atas kerugian sampai kegiatan itu berakhir. Makin panjang jarak
waktu makin besar ketidakpastiannya. (2) Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan,
dan (3) Keterbatasan pengetahuan/ketrampilan/teknik mengambil keputusan.
Ketidakpastian itu sendiri banyak tingkatannya. Ada beberapa tingkat ketidakpastian dengan
karakteristiknya masing- masing."
1. Tidak ada ketidakpastian (pasti) dengan karakteristik hasil bisa diprediksi dengan pasti.
Contohnya hukum alam. Pada tingkatan pertama ini, kondisi kepastian sangat tinggi,
hasil bisa diprediksi dengan relativ. Kita bisa memprediksikan dengan pasti bahwa bumi
mengitari matahari selama 360-365 hari (setahun)
2. Ketidakpastian objektif, dengan karakteristik hasil bisa dindentifikasi dan probabilitas
diketahui. Contohnya permainan dadu. Ada enam kemungkinan angka yang akan
diperoleh, yaitu 1,2,3,4,5 dan 6. Masing-masing mempunyai nilai kemungkinan keluar
1/6.
3. Ketidakpastian subjektif, dengan karakteristik hasil bisa diidentifikasi tetapi probabilitas
tidak diketahui. Contohnya investasi. Identifikasi hasil dan. probabilitasnya
(kemungkinan) sangat sulit dilakukan. Jika sejumlah dana diinvestasikan, maka berapa

2
(Gharar ; konsep dan penghindarannya pada regulasi , 2010)

3
besar kemungkinan kerugian yang akan dialami. Jika terjadi kerugian, kerugian yang
bagaimana yang akan dialami. Begitu juga sebaliknya.
4. Sangat tidak pasti, hasil tidak bisa didentifikasi dan probabilitas tidak diketahui.
Contohnya eksplorasi angkasa. Tidak bisa diketahui, hasil apa yang akan diperoleh dari
eksplorasi angkasa.
Risiko beragam jenisnya, mulai dari resiko kecelakaan, kebakaran, resiko kerugian, fluktuasi
kurs, perubahan tingkat bunga dan lain sebagainya. Meskipun demikian, resiko dapat
dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu:"
1. Risiko murni (pare risk), adalah risiko di mana kemungkinan kerugian ada akan tetapi
kemungkinan keuntungan tidak ada. Contohnya adalah risiko banjir dan kecelakaan.
Banjir yang menghantam rumah, akan sangat merugikan. Akan tetapi rumah berdiri di
tempat tertentu tidak secara langsung akan mendatangkan keuntungan tertentu. Di
samping individu yang terkena dampaknya, masyarakat secara keseluruhan juga akan
dirugikan.
2. Risiko spekulatif, adalah risiko di mana kita memperkirakan terjadinya kerugian dan juga
keuntungan. Potensi kerugian. dan keuntungan dibicarakan dalam jenis resiko ini. Contoh
dari tipe risiko ini adalah usaha bisnis. Dalam bisnis, kita mengharapkan adanya
keuntungan di samping ada potensi kerugian. Risiko spekulatif bisa juga dinamakan
dengan risiko bisnis. Kerugian akibat resiko spekulatif akan merugikan individu tertentu
tetapi akan menguntungkan individu lainnya. Misalkan suatu perusahaan mengalami
kerugian, akan tetapi perusahaan lain barangkali akan memperoleh keuntungan dari
situasi tersebut. 3
C. Macam-macam transaksi Gharar
1. Ketidakjelasan jenis objek transaksi (‫)الجهالة في جنس المعقود عليه‬
Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka
jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar di
dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui
dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari
Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya
tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru'ya (hak melihat komoditinya).

3
(Uncertainty (Ketidakpastian) dan Antisipasinya Dalam Perspektif Keuangan Islam, 2011)

4
Begitu juga dalam mazhab. Hanafi menetapkan khiyar ru'yah tanpa dengan adanya
syarat. Akan tetapi ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak
sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu,
menurut mereka, khiyar ru'yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur
penipuan (gharar).
2. Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (‫)الجهالة في نوع المعقود عليه‬
Ketidak jelasan dalam macam objek transaksi termasuk gharar yang dilarang.
Ketidak jelasan dimaksud akan menyebabkan transaksi yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli tidak sah. Seperti dalam akad salam (pesan), pembeli berkata," saya pesan baju
kepada anda di lemari pakaian yang ada di sini", tanpa menjelaskan baju model apa yang
dikehendaki. Karena baju yang ada di lemari pakaian sangat banyak. Karena itu, ini
termasuk gharar yang dilarang oleh agama. Transaksi di atas ada kemiripan dengan bai'u
al-hashah (jual beli dengan sistem melemparkan kerikil) yang merupakan kebiasaan
orang jahiliyyah pada waktu itu. Sehingga, pembeli tidak bisa mendapatkan barang yang
sesuai keinginan. Karena yang menjadi fokus persoalan adalah lemparan krikil itu bisa
mengena pada barang apa saja yang tidak sesuai keinginannya. Dan itu harus dilakukan
dan dibayar oleh pembeli.
3. Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi (‫)الجهالة في الصفة المعقود عليه‬
Perdebatan soal ketidakjelasan sifat dan karakter objek transaksi berakhir dengan
pentingnya penyebutan hal tersebut dalam jual beli. Karena mayoritas ulama fikih setuju
tentang hal itu. Diantaranya, Maliki, Syafii dan Hanbali termasuk ulama yang
berpendapat tentang pentingnya penyebutan sifat dan karakter baik terhadap komoditi
maupun harga (tsaman). Karena jika hal ini tidak dilakukan oleh para pihak, maka jual
belinya mengandung gharar yang dilarang agama. Akan tetapi pendapat berbeda
dikemukakan oleh Hanafiyah. Mereka mengatakan bahwa penyebutan atau pengetahuan
tentang sifat dan karakter objek transaksi itu tidak diperlukan jika obyek transaksinya
terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang. Tetapi jika obyek transaksinya
tidak terlihat dalam transaksi, maka hukumya ditafshil (dirinci). Mereka yang tidak
mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan.
Karena pembeli mempunyai hak khiyar ru'yah. Penjelasan dimaksud terkait dengan

5
komoditi bukan harga. Sedangkan soal harga, semua ulama sepakat untuk pentingnya
mengenai sifat dan karakternya.
4. Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi (‫)الجهالة في القدر المعقود عليه‬
Ketidakjelasan jumlah takaran objek yang ditransaksikan oleh para pihak menjadi
penghalang sahnya jual beli yang mereka lakukan. Alasan yang diungkapkan oleh para
ulama adalah unsur ghararnya sangat kuat. Maksudnya, ketidakpastian jumlah takaran
yang menyebabkan mereka mengatakan demikian. Sebagaimana sering dicontohkan
dalam kasus riba tentang sistem tukar menukar antara kurma basah dan kurma kering.
Hal demikian dilarang oleh agama karena Rasulullah sendiri telah memberikan contoh
yang baik. Sebagaimana dikisahkan dalam sejarah Islam, bahwa ada seorang sahabat
membawa kurma basah satu keranjang ke pasar kemudian ditukar dengan kurma kering
setengah keranjang. Kejadian di atas oleh sahabat dilaporkan kepada Rasulullah SAW
dan beliau menjawab agar sahabat tersebut mengembalikan kurma hasil tukar menukar di
pasar. Alasannya transaksi yang sudah dilakukan oleh sahabat tersebut termasuk kategori
riba yang dilarang oleh agama. Sebagaimana disinggung oleh fikih dalam bab riba,
bahwa barang ribawi bisa ditukar dengan memenuhi tiga syarat, yakni bulul, taqobud dan
tamatsul.
5. Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi (‫)الجهالة في الذات المعقود علي‬
Ketidakjelasan dalam zat objek yang ditransaksikan adalah sesuatu yang dilarang
dalam agama. Ketidakjelasan dimaksud termasuk gharar yang bisa menggagalkan jual
beli yang dilakukan. Sesuai tuntunan agama bahwa setiap barang yang ditransaksikan
seperti jenis, sifat, kadar dan bentuknya harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak.
Karena ketidakjelasan yang ada bisa menimbulkan sengketa diantarapara pihak yang
bertransaksi.Mayoritas mujathid berbeda pendapat mengenai soal tersebut. Seperti
Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri. Mereka berpendapat bahwa transaksi ini dilarang. Karena
mereka beralasan adanya gharar yang menghalangi sahnya jual beli. Akan tetapi Imam
Malik berpendapat berbeda. Beliau mengatakan bahwa jual beli dimaksud itu dibolehkan
dengan syarat ada hak khiyar bagi pembeli. Sedangkan kalangan Hanafiyah memberi
catatan bahwa jual beli itu bisa sah kalau dilakukan dalam jumlah terbatas, misalnya di
bawah tiga barang.

6
6. Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi(‫)الجهالة في الزمن المعقود عليه‬
Ketidakjelasan soal waktu terhadap objek barang yang ditransaksikan termasuk
kategori yang bisa menggagalkan jual beli. Waktu dimaksud mengenai pembayaran yang
akan dilakukan oleh pembeli. Kalau dalam akad salam, maka pembayaran harus
dilakukan di tempat akad. Berbeda halnya ketika menyangkut tempat pengiriman barang
yang tidak jelas, atau tidak disebutkan oleh kedua belah pihak pada saat transaksi
dilakukan. Maka barang harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, seperti gudang
si penjual atau bagian pembelian di pembeli. Akan tetapi jika akadnya menggunakan bai’
istisna’, maka sistem pembayaran bisa dilakukan di muka (tempat akad), melalui cicilan,
atau ditanggukan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang, sebagaimana
pendapat Abu Bakar Ibn Mas’ud al-Kasani yang dikutip oleh Muhammad Syafii Antonio.
7. Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi (‫)عدم القدرة على تسليم‬
Ketidakmampuan menyerahkan barang yang telah ditransaksikan merupakan
penghalang sahnya jual beli yang dilakukan. Oleh karena itu, ketika barang tersebut tidak
dapat diserahkan maka jelas tidak sah jual belinya dan secara otomatis sudah masuk
kategori gharar. Itu menjadi sesuatu yang dilarang oleh agama.Contoh, seseorang
menjual burung yang terbang di udara atau menjual ikan yang berenang di air.
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad
SAW secara tegas melarang jual beli model seperti ini karena mengandung gharar.
Alasannya, barang yang ditransaksikan tidak dapat diserahkan oleh penjual.
8. Objek transaksi yang spekulatif
Objek transaksi yang spekulatif termasuk gharar yang dapat mengagalkan sahnya
jual beli. Kenapa demikian? Karena keberadaan barang yang menjadi objek transaksi di
antara penjual dan pembeli tidak jelas. Ia bisa saja ada atau tidak ada. Contoh, seperti
seseorang menjual puting buah yang ada di pohon, maka ia bisa saja menjadi buah atau
tidak sama sekali atau gugur. Sehingga puting buah yang diharapkan menjadi buah
akhirnya rontok. Begitu juga dengan transaksi jual beli janin yang ada dalam kandungan
hewan, maka ia bisa saja lahir atau keguguran. Di titik inilah agama hadir untuk melarang
transaksi yang objek barangnya spekulatif. 4

4
(problematika gharar dalam keuangan syariah, 2020)

7
D. Risiko dan Ketidakpastian dalam Keuangan Syariah
Menurut Bank Indonesia risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa
(events) tertentu. Risiko dalam lingkup perbankan merupakan suatu kejadian potensial baik yang
dapat diperkirakan (expected) maupun yangtidak dapat diperkirakan (unexpected) yang
berdampak negatif terhadappendapatan dan permodalan bank. Risiko dalam bidang apapun
mempunyai sifatyang dinamis dengan intensitas dan dampak yang berubah-ubah serta
mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kategori risiko yang lainnya.
Menurut Schroeck (2002) terdapat dua tipe risiko, pertama risiko-risikoyang berkaitan dengan
neraca atau aset dan juga liabilitas. Risiko-risiko tipe inimencakup risiko suku bunga, risiko nilai
tukar dan risiko likuiditas. Kedua, terdapat risiko-risiko transaksi yang berkaitan dengan sisi aset
saja di dalamneraca. Risiko risiko tipe ini antara lain mencakup risiko kredit, risiko pasar, dan
risiko operasional. Dan berikut ini adalah risiko-risiko yang dihadapi oleh bank syariah :
1. Risiko Pembiayaan (Credit Risk)
Bank adalah mesin risiko, mereka mengambil, mentransformasi dan kemudian
meletakkannya pada produk dan jasa yang diberikannya. Untuk menjamin berjalannya
fungsi intermediary perbankan islam, Bank Indonesiamembuat satu ukuran kinerja bank
syariah yaitu rasio FDR (Financing toDeposits Ratio). Rasio ini mengukur seberapa besar
bank syariah menyalurkan dananya kepada nasabah dibandingkan dengan besarnya dana
yang dihimpun. Bank Indonesia akan memberikan penalty kepada bank syariah yang
memiliki FDR di bawah 65% dengan cara meminta tambahan modal yang disetor ke
Bank Indonesia dalam bentuk tambahan Giro Wajib Minimum (GWM). Dalam bank
syariah terdapat berbagai akad untukpenyaluran dana sesuai dengan bentuk kerjasama
yang dilakukan. Secara umum akad pembiayaan dalam bank syariah dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu akad yang berbasis utang dan akad yang berbasis
ekuitas. Akad yang termasuk berbasis utang adalah qardhul hasan, jual beli
murabahah,jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil), dan ijarah. Sedangkan akad
yang berbasis utang ini masih dibagi menjadi dua yaitu : utang murni (qardulhasan) dan
utang yang muncul dari jual beli (seperti jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli
muajjal (bi tsaman ajil) dan ijarah). berikut ini adalah bentuk akad yang dilakukan oleh
bank syariah dengan nasabah.

8
Terdapat komponen DPK (Dana Pihak Ketiga) yang tidak dapat digunakan. oleh
bank syariah untuk disalurkan ke nasabah. Akad tersebut adalah titipan murni (wadiah
yad amanah). Akad ini memiliki sifat yang khas yaitu:
a. Dapat diambil sewaktu-waktu oleh penitip
b. Tidak boleh dimanfaatkan oleh peneri,a tiipan
c. Tidak boleh mengambil biaya terhadap titipan
d. Tidak ada tanggung jawab (dhaman) pada pihak yang dititipi apabila terjadi kerusakan
atau kehilangan terhadap barang titipan kecuali karena faktor keteledoran pihak yang
dititipi.
Akad wadiah yad amanah ini berbeda dengan kelompok akad yang berbasis
pertukaran (jual beli dan ijarah), realisasi dari akad-akad syirkah yaitu mudharabah dan
musyarakah sangat fleksibel mengikuti dinamika pasar. Apabila pasar dalam kondisi baik
dan bertumbuh maka bank akan memperoleh imbal hasil yang lebih besar termasuk juga
dengan nasabah. Sebaliknya apabila dunia keuangan atau perbankan dalam kondisi lesu
atau stagnan dan bahkan cenderung menurun maka bank dapat mentransfer risiko kepada
nasabah. Tetapi apabila bank terlena menerapkan system ini maka bank akan
ditinggalkan oleh nasabahnya karena nasabah juga akan memilih perbankan yang dapat
memberikan imbal hasil yang lebih besar. Dengan logika seperti ini maka sangat masuk

9
akal apabila struktur portofolio bank syariah di Indonesia masih didominasi dengan akad
murabahah (jual beli). Kondisi ini dikarenakan dengan akad murabahah menjamin tingkat
pengembalian yang lebih pasti dibandingkan dengan akad yang lainnya yaitu dengan
penetapan margin di awal sehingga tingkat pengembalian lebih pasti.
Risiko pembiayaan terjadi apabila terdapat kegagalan dalam memenuhi kewajiban
oleh nasabah atau pihak lain sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati antara
kedua belah pihak. Risiko ini disebut juga dengan risiko gagal bayar (default risk) risiko
pembiayaan (financing risk), risiko penurunan rating (downgrading risk), dan risiko
penyelesaian (settlement risk). Termasuk dalam risiko pembiayaan adalah risiko
konsentrasi pembiayaan. Risiko konsentrasi ini timbul sebagai akibat dari
terkonsentrasinya pembiayaan pada satu atau sekelompok sektor, pihak, industry,
dan/atau area geografis tertentu yang dianggap besar tetapi pada kenyataannya bias
menimbulkan kerugian yang besar bagi bank pemberi fasilitas. Sehingga mengancam
keberlangsungan bisnis bank tersebut. Risiko konsentrasi ini berkaitan erat dengan
strategi diversifikasi dalam pengelolaan portofolio pembiayaan bank
Tujuan utama dalam pengelolaan risiko konsentrasi ini adalah mencegah adanya
gagal bayar yang dapar menyebabkan kerugian bank bankan kebangkrutan. Kondisi ini
bisa muncul akibat:
a. Terdapatnya debitur dengan komposisi pembiayaan yang sangat besa. misalnya total
pembiayaan mencapai 30% dari total portofolio pembiayaan bank. Dalam konteks
regulator, kondisi ini dikenal dengan istilah too big to fail.
b. Pembiayaan bank terkonsentrasi kepada sekelompok debitur dengan tingkat
kekonhesifan yang tinggi. Kegagalan pada satu debitur akan diikuti oleh debitur yang
lainnya dalam satu kelompok tersebut meskipun secara individu jumlah pembiayaannya
kecil, tetapi secara bersaman jumlahnya besar terhadap portofolio pembiayaan bank.
Risiko pembiayaan yang dihadapi oleh bank syariah sangat terkait dengan jenis
akad pembiayaannya. Berikut ini adalah risiko pembiayaan yang dihadapi bank syariah
sesuai akadnya :
a. Akad murabahah atau istishna’, risiko pembiayaan terjadi padasaat bank telah
menyerahkan aset kepada nasabah tetapi nasabahtidak melakukan pembayaran angsuran
sesuai dengan kesepakatan.

10
b. Akad salam, risiko pembiayaan terjadi apabila terjadi kegagalanoleh nasabah dalam
mengirimkan barang (komoditas) tepat padawaktu yang telah disepakati atau gagal
menyerahkan komoditassesuai dengan spesifikasi seperti yang tercantum dalam
kontraksesuai dengan kesepakatan.
c. Sedangkan pada kasus pembiayaan mudharabah, risiko pembiayaan terkait dengan
kemampuan nasabah dalam menghasilkan keuntungan atau masalah keagenan yang
muncul sebagai akibat adanya ketidaksamaan informasi. Bank syariah sebagai pemilik
(principal) dan nasabah (mudharib) sebagai agen. Ketidaksamaan informasi ini bias
mengakibatkan terjadinya moralhazard pada nasabah, seperti manipulasi laporan
keuangan yang berdampak pada jumlah keuntungan yang harus dibagi denganpihak bank.
d. Akad wadi’ah, risiko pembiayaan yang dihadapi bank adalah risiko rusaknya barang
yang disewakan atau untuk kasus tenaga kerjayang disewa bank kemudian disewakan
kepada nasabah, timbulrisiko tidak produktifnya pemberi jasa.
2. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko pasar adalah risiko kerugian yang dapat dialami bank melalui portofolio
yang dimilikinya sebagai akibat pergerakan harga pasar yang tidak menguntungkan.
Harga pasar yang dimaksud adalah risiko komoditas, resiko ekuitas dan nilai tukar
(foreign exchange rate). Satu-satunya risiko pasar yang dihadapi oleh bank konvensional
tetapi tidak dihadapi oleh bank syariah secara langsung adalah risiko tingkat suku bunga.
Meskipun bank syariah tidak adakaitannya dengan dengan tingkat suku bunga, tetapi
mayoritas nasabah bank syariah di Indonesia bukanlah nasabah yang loyal tetapi
didominasi dengannasabah yang rasional, sehingga apabila tingkat imbal hasil yang
diberikanoleh bank syariah lebih kecil, sedangkan margin pembiayaan lebih mahal
apabila dibandingkan dengan kompetitornya (bank konvensional), maka tidak menutup
kemungkinan nasabah akan berpindah ke bank lainnya. Kondisi ini akan berpengaruh
terhadap tingkat likuiditas bank syariah.
Risiko pasar hanya akan muncul apabila bank memegang aset, tetapi tidak untuk
dipegang sampai dengan jatuh tempo melainkan untuk dijual kembali. Risiko nilai tukar
terjadi apabila aset bank dinilai dalam dalam satuan mata uang asing. Apabila turunnya
aset disebabkan murni karena faktor turunnya harga di pasar, maka dikelompokkan ke
dalam risiko komoditas untuk aset non keuangan dan risiko ekuitas untuk kepemilikan

11
saham dan sukuk. Ketiga risiko pasar di atas dalam dunia perbankan tidak hanya dialami
oleh bank syariah saja melainkan juga bank konvensional. Tetapi karenakeunikan
karakteristik bank syariah sehingga dalam kenyataannya risiko pasaryang dihadapi
berbeda dengan bank konvensional. Risiko yang seringkalimuncul yang dihadapi bank
syariah dalam pemberian pembiayaan misalnya
1. Risiko mark up pada akad murabahah,
2. Risiko harga pada akad salam akibat terjadinya perubahan hargakomoditas selama
periode waktu antara akad dengan penyerahankomoditas,
3. Risiko nilai aset yang disewakan pada transaksi ijarah akibatberkurangnya nilai aset
yang disewakan pada akhir kontrak sewa.
4. Risiko nilai tukar pada penangguhan kontrak perdagangan yangtransaksinya
berdasarkan mata uang asing.
5. Risiko perdagangan sekuritas akibat perubahan harga saham atau sukuk,dimana bank
syariah menginvestasikan sejumlah dananya pada sektortersebut.
3. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Likuiditas secara umum dapat didefinisikan sebagai kemampuan bank untuk
dapat memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang
normal. Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari,
mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memenuhi permohonan pembiayaan yang
diajukan oleh nasabah, dan memberikan fleksibilitas dalam mendapatkan kesempatan
investasi yang menarik dan menguntungkan. Komposisi likuiditas yang tersedia haruslah
tepat dan cukup sehingga tidak terlalu kecil sehingga mengganggu jalannya operasional
sehari-hari ataupun terlau besar sehingga menurunkan efisiensi dan berdampak pada
rendahnya tingkat profitabilitas bank. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya bank
dapat menggunakan sumber pendanaan arus kas dan asset likuid berkualitas tinggi yang
dapat digunakan tanpa menggangguaktifitasdan kondisi keuangan bank.
Risiko likuiditas muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya perbedaan waktu
jatuh tempo antara sumber pendanaan bank yaitu dana pihak ketiga (DPK) dan akad
pembiayaan bank kepada nasabah, apalagi apabila terjadi resiko gagal bayar. Sering kali
kebangrutan bank baik bank besarmaupun bank kecil disebabkan karena ketidak
mampuan bank dalammemenuhi likuiditasnya.

12
Bagi bank syariah, risiko likuiditas ini memiliki kesulitan tersendiri. Tidak seperti
pada bank konvensional dimana kesulitan likuiditas ini dapatdiatasi dengan pinjaman
pasar uang antar bank (interbank call money market) dengan imbalan bunga. Meskipun
keadaan ini di Indonesia telah dapat diatasimelalui pembentukan Pasar Uang Antarbank
berdasarkan prinsip Syariah(PUAS) pada tahun 2000 melalui instrumen Investasi
Mudharabah Antar bank (IMA) namun dengan anggota dan volume yang relatif masih
terbatas.
4. Risiko Operasional (Operational Risk)
Risiko operasional adalah risiko akibat kurangnya (deficiencies) sistem informasi
atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak
diharapkan. Risiko ini mencakup kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem,
dan ketidakcukupan prosedur dan kontrolyang akan berpengaruh pada opersional bank,
dan/atau adanya kejadiankejadian eksternal yang berakibat pada operasional bank.
Risiko operasional melekat pada setiap kegiatan bank seperti : kegiatan
pembiayaan, treasury dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan,
pendanaan dan instrument utang, teknologi informasi dansystem informasi manajemen
serta pengelolaan SDM. Risiko operasional lainnya yang dapat terjadi adalah risiko
akibat bencana alam (force majour) yang sering disebut dengan risiko katastrofe. Bank
syariah biasa dikategorikan industry baru yang masih minim jumlah sumber daya
manusia yang berkualitas dibidangnya sehingga memungkinkan bank syariah
menghadapi banyak risiko baik dari internal maupun eksternal yang berakibat pada risiko
yang timbul dalam operasional. Sebagai contoh adalah dalam segi hukum yang dihadapi
oleh bank syariah, dimana hukum yang berlaku adalah hukum perdata, notaris yang
belum memahami transaksi-transaksi dengan akad syariah sehinga bisa menimbulkan
kesalahan dalam pembuatan perjanjian.
5. Risiko Hukum (Legal Risk)
Risiko hukum adalah terkait dengan risiko bank yang menanggung kerugian
sebagai akibat adanya tuntutan hukum, kelemahan dalam aspek legal atau yuridis.
Kelemahan ini diakibatkan antara lain oleh ketiadaan peraturan perundang-undangan
yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat-syarat

13
sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Risiko ini tidak hanya
dihadapi oleh bank syariah saja tetapi bank konvensional juga menghadapinya.
6. Risiko Reputasi (Reputation Risk)
Risiko reputasi timbul karena adanya penurunan tingkat kepercayaan para
stakeholder (nasabah, debitur, investor, regulator dan masyarakat umum meskipun belum
menjadi nasabah bank) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank adalah risiko
yang timbul akibat adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau
karena adanya persepsi negatif terhadap bank. Hal-hal yang sangat berpengaruh pada
reputasi bank antara lain adalah; manajemen, pelayanan, ketaatan pada aturan,
kompetensi, fraud dan sebagainya.
Publikasi negatif terhadap salah satu bank syariah dapat berpengaruh terhadap
reputasi bank syariah lainnya. Dampak negatif dari publikasi negative dapat juga
berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang dipeoleh oleh bank, likuiditas, dan
mempengaruhi harga saham bank syariah yang bersangkutan apabila sudah go public.
Risiko reputasi bank syariah lebih tinggi dari pada bank konvensional, hal ini dipengaruhi
oleh ekspektasi masyarakat yang lebih terhadap bank syariah, sebagai contoh masyarakat
mengharapkan bank syariah mempunyai pelayanan yang lebih, bagi hasil lebih, margin
lebih murah, biayabiaya lebih murah, lebih adil dan sebagainya. Kondisi ini
mengharuskan bank syariah untuk lebih berhati hati dalam menjalankan bisnisnya agar
prinsip syariah yang dianut tetap seimbang dengan tujuan bisnis yang akan dicapaisecara
bersama-sama.
7. Risiko Strategis (Strategic Risk)
Risiko strategis muncul sebagai akibat tidak tepatnya keputusan yang diambil
dalam menghadapi ketidakpastian dalam perubahan lingkungan bisnis. Keputusan yang
kurang tepat untuk menghadapi fluktuasi pasar seperti perubahan teknologi, perubahan
kondisi ekonomi secara makro, dinamika kompetisi dalam pasar maupun prubahan
kebijakan otoritas terkait. Strategi yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari resiko
kerugian dan untuk tetap menjamin kelancaran bisnis bank syariah dalam mencapai visi
dan misi yang telah ditetapkan.

14
8. Risiko Kepatuhan (Compliance Risk)
Risiko kepatuhan dapat terjadi karena bank syariah tidak memenuhi atau
melanggar peraturan perundang-undangan, ketentuan yang berlaku dan prinsip syariah.
Bank konvensional maupun bank syariah keduanya sama-sama menghadapi risiko
kepatuhan. Perbedaan antara bank konvensional danbank syariah dalam risiko kepatuhan
adalah prinsip syariah. Bank syariah menghadapi risiko dalam prinsip syariah sedangkan
bank konvensional tidak. Kepatuhan terhadap prinsip syariah (syariah compliance)
menjadi fitur utama bank syariah dalam menjalankan operasionalnya. Ketidakpatuhan
bank syariah terhadap prinsip syariah dapat membawa dampak negatif dari bank syariah
itu sendiri. Dampak negative tersebut antara lain, bank syariah dapat ditinggalkan oleh
nasabah loyalnya, bank syariah bisa berhadapan dengan hukum, selain itu juga risiko
reputasi. Untuk menjamin kepatuhan bank syariah terhadap prinsip syariah, diperlukan
adanya Dewan Pengawas Syariah(DPS) yang salah satu fungsinya adalah meyakinkan
bahwa bank syariah telah menerapkan dan mentaati prinsip-prinsip islam dalam setiap
kegiatan bisnisnya. Apabila bank syariah gagal memenuhi atau mentaati prinsip
syariahnya maka segala akad yang telah dijalankan bank syariah dapat dianggap cacat
hukum sehingga menjadi batal.
Kajian Bank Indonesia (2003) menyimpulkan disamping risiko perbankan secara
umum perbankan syariah memiliki keunikan dalam hal:
a. Potensi adanya risiko investasi (income risk/equity investment risk)
b. Risiko likuiditas yang spesifik terkait dengan perbedaan return (rate of return
risk)
c. Market risk yang spesifik dari perubahan harga persediaan
d. Legal risk yang spesifik terkait dengan transaksi menggunakan prinsip
syariahe. Risiko reputasi yang dikaitkan juga dengan pemenuhan prinsip syariah
dalam operasional bank.
9. Risiko Imbal Hasil
Risiko imbal hasil dapat dihadapi bank syariah karena adanyaperubahan besarnya
imbal hasil yang diberikan bank kepada nasabah. Kondisi ini dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian dimana besarnya imbal hasil nasabah pembiayaan mengalami perubahan
atau berkurang apabila kondisi perekonomian menurun, sehingga besarnya imbal hasil

15
tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh nasabah. Risiko imbal hasil dalam bank syariah
dapat memicu perubahan perilaku nasabah karena apabila nasabah adalah nasabah
rasional, mereka akan membandingkan dengan bank lainnya, apabila bank lain
mempunya imbal hasil yang lebih tinggi mereka dapat meninggalkan bank lama dan
memindahkan dananya ke bank yang mempunyai penawaran lebih tinggi imbal hasilnya
baik bank syariah maupun bank konvensional.
10. Risiko Investasi
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia(DSN MUI)
perhitungan bagi hasil tidak hanya didasarkan pada jumlahpendapatan atau penjualan
yang diperoleh debitur, tetapi setelah dikurangidengan biaya pokoknya. Risiko investasi
ini dapat menjadi lebih besar perhitungannya berdasarkan pada keuntungan bersih yang
diperoleh nasabah atau laba operasi usaha nasabah. Bahkan apabila usaha nasabah
bangkrut maka bank dapat kehilangan pokok pembiayaan yang diberikan
kepadanasabah. 5

E. Ayat dan Hadist tentang larangan jual beli Gharar

1. QS. Al-Maidah 5: 90
َ‫ان فَاجْ ت َ ِنبُو ُه لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْف ِلحُون‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ٌ ْ‫اب َو ْاْل َ ْز ََل ُم ِرج‬
َّ ‫س ِم ْن َع َم ِل ال‬ ُ ‫ص‬َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َم ُنوا ِإنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن‬
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan" (Al-Maidah/5:90)
2. QS. Al-Isra: 36
‫ع ْنه ُ َمس ُْٔـ ْو ًَل‬ َ ‫ص َر َوا ْلفُ َؤا َد ُك ُّل اُول ِٕى‬
َ ‫ك َكا َن‬ َ ‫ك ب ِ ٖه ِع ْل ٌم ۗاِ َّن ال َّس ْم َع َوا ْل َب‬
َ َ‫ْس ل‬
َ ‫ف َما لَي‬
ُ ‫َو ََل ت َ ْق‬
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.

5
(Macam-macam risiko dalam bank syaria h, 2016)

16
3. Sunan Abu Dawud ( Tentang jual beli gharar ) hadist nomor: 2932

َ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ ِّ ْ َ ‫يس َع ْن ُع َب ْيد ه‬ َ ‫ان ْاب َنا َأب َش ْي َب َة َق َاَل َح َّد َث َنا ْاب ُن إ ْدر‬
ُ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َ َ َّ َ ‫َ َّ َّ َّ َ ه‬
‫أب الزن ِاد ع ْن اْلع َر ِج ع ْن أ ِ يب ه َر ْي َرة‬
‫اَّلل عن ي‬
ِ ِ ِ ِ ‫ِي‬ ‫أن الن ِ يب صَّل حدثنا أبو بك ٍر وعثم‬
ْ ُ ُْ َ َ َْ َ َ َ ‫ه‬ ََ ُ‫ه‬
‫اَّلل عل ْي ِه َو َسل َم نَه ع ْن َب ْي ِع الغ َر ِر زاد عث َمان َوال َح َص ِاة‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr dan Utsman dua anak Abu Syaibah, mereka
berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris dari 'Ubaidullah dari Abu Az Zinad
dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang
menjual secara gharar (transaksi jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan,
penipuan, pertaruhan, dan hal-hal yang merugikan), sedang Utsman menambahkan dan
hashah (transaksi jual beli yang dilakukan oleh dua orang tetapi barangnya belum jelas,
kemudian untuk menentukannya salah satu dari mereka melempar hashat (kerikil), maka
barang yang terkena kerikil itulah yang dijual).
4. Sunan Ibnu Majah. Bab ( Larangan jual beli Hashah dan jual beli Gharar) Hadist
nomor:2185.
َ ‫ج َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة‬
ِ ‫َّللا َع ْن أبي الزنَا ِد َع ْن ْاْلَع َْر‬ ِ َّ ‫يز ْب ُن ُم َح َّم ٍد َع ْن ُعب َ ْي ِد‬ ِ ‫ع ْب ُد ا ْل َع ِز‬
َ ‫قَا َل نَ َهى َح َّدثَنَا ُمح ِْر ُز ْب ُن َسلَ َمة َ ا ْل َع َدنِي َح َّدثَنَا‬
َ ‫َّللا ُ َع َل ْيهِ َو َس َّل َم َع ْن بَي ِْع ا ْلغ ََر ِر َو َع ْن بَي ِْع ا ْل َح‬
ِ ‫صاة‬ َّ ‫ص َّلى‬َ ِ ‫َّللا‬
َّ ‫َر ُسو ُل‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhriz bin Salamah Al 'Adani berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Ubaidullah dari Abu Az
Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang jual beli gharar dan jual beli hashah." (santoso, 2015)6

6
(santoso, 2015)

17
Kesimpulan

Dalam keuangan syariah, konsep gharar dan ketidakpastian sangat penting karena
transaksi harus memenuhi prinsip keadilan, kejelasan, dan ketepatan. Gharar mengacu pada
ketidakpastian yang tidak dapat diterima dalam suatu transaksi, sementara ketidakpastian adalah
keadaan di mana hasil atau akibat dari suatu tindakan tidak dapat dengan pasti diketahui.
Dalam konteks keuangan syariah, gharar dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti
ketidakjelasan dalam kontrak, penipuan, atau spekulasi yang tidak sehat. Ketidakpastian di sisi
lain, adalah bagian alamiah dari investasi dan bisnis. Namun, dalam keuangan syariah, upaya
dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian sebisa mungkin melalui prinsip-prinsip seperti
transparansi, pengungkapan informasi yang jelas, dan penghindaran dari spekulasi berlebihan.
Penting untuk memahami bahwa tidak semua ketidakpastian dianggap sebagai gharar
dalam keuangan syariah. Ketidakpastian yang wajar dalam bisnis atau investasi masih dapat
diterima asalkan tidak melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian, pengelolaan gharar dan ketidakpastian menjadi salah satu aspek kunci dalam
praktik keuangan syariah yang bertujuan untuk menciptakan transaksi yang adil dan sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam.
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia menuju trend positif. Artinya
lembaga keuangan syariah mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia. Lembaga keuangan syariah
yang berupa bank syariah akan secara langsung bersaing dengan lembaga keuangan bank
konvensional. Persaingan dipasar akan menunjukkan daya tahan suatu bank syariah terhadap
tantangan, peluang, maupun ancaman yang terjadi pada perbankan secara global di indonesia.
Hal yang pasti dan tidak bisa dihindari oleh bank syariah adalah menghadapi risiko yang ada.
Risiko yang dialami oleh bank syariah berbeda dengan risiko yang dialami oleh bank
konvensional. Risiko pada umumnya yaitu risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional dan
risiko likuidtas. Sedangkan risiko yang dialami oleh bank syariah tidak hanya risiko sebagaimana
umumnya.Terdapat risiko lain seperti risiko kepatuhan syariah, risiko pembiayaan, risiko imbal
hasil, risiko investasi sesuai syariah.

18
Daftar pustaka

Analisis bentuk gharar dalam transaksi ekonomi. Nadratuzzaman, Hosen. 2009. 2009, garuda,
pp. 2-3.

Gharar ; konsep dan penghindarannya pada regulasi . Agus, Triyanta. 2010. 5, jakarta : jurnal
hukum, 2010, Vol. v.

Macam-macam risiko dalam bank syaria h. Binti, Mutafarida. 2016. 3-14, kediri : ikatan bankir
indonesia, 2016.

problematika gharar dalam keuangan syariah. lutfi. 2020. 2020, garuda, p. 4.

santoso, purbayu budi. 2015. LARANGAN JUAL BELI GHARAR:TELA’AH TERHADAP


HADIS DARI MUSNAD AHMAD BIN HANBAL. equilibrium. 2015, Vol. 3, 1.

Uncertainty (Ketidakpastian) dan Antisipasinya Dalam Perspektif Keuangan Islam. Afdawaiza.


2011. 5-6, yogyakarta : asy-syira, 2011.

19

Anda mungkin juga menyukai