Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MATA KULIAH

“FIQH MUAMALAH (FIQH PERDAGANGAN)”

DISUSUN OLEH :
Refha Rifarianie

TUGAS :
Pengertian Gharar dan 7 Macam Jual Beli Yang Termasuk Dalam Kategori Gharar

KELAS :
VD
DOSEN PENGAMPU :
Dallah, S.E., M.E

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’ AH (EKIS)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

NATUNA

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


PENGERTIAN GHARAR

Gharar (‫ )انغ رر‬secara bahasa berarti al khatr (resiko, berbahaya), dan taghrir adalah
melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar. Dikatakan gharara binafsihi wa malihi taghriran
berarti ‘aradhahuma lilhalakah min ghairi an ya‟rif (jika seseorang melibatkan diri dan hartanya
dalam wilayah gharar maka itu berarti keduanya telah dihadapkan kepada suatu kebinasaan yang
tidak diketahui olehnya). Lafadz Gharar (dari segi tata bahasa) adalah merupakan isim (kata
benda).
Maka gharar merupakan suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada
kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun
menyerahkan objek akad tersebut. Adapun defenisi gharar menurut Mazhab Imam Syafi‟i adalah
segala sesuatu yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling
mungkin muncul adalah yang paling kita takuti.
Jual beli gharar ialah semua jenis jual beli yang mengandung jahalah (kemiskinan) atau
mukhatharoh (spekulasi) qumar (permainan taruhan). Oleh sebab itu, jual beli gharar dapat
merugikan orang lain dan melanggar hak asasi jual beli yaitu suka sama suka. Orang yang tertipu
jelas tidak akan suka karena haknya dikurangi atau dilanggar. Jual beli yang mengandung
penipuan adalah jual beli sesuatu yang tidak diketahui hasilnya, atau tidak bisa diserahterimakan,
atau tidak diketahui hakikat dan kadarnya.

7 MACAM JUAL BELI YANG TERMASUK DALAM KATEGORI GHARAR

1. Bai barang yang belum ada (ma’dum)


Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi
akad, baik obyek akad tersebut sudah ada ataupun belum ada (bai’ al-ma’dum). Misalnya
menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa bermaksud menjual induknya, atau
menjual janin dari janin binatang yang belum lahir dari induknya (habal al-habalah), kecuali
dengan cara ditimbang sekaligus atau setelah anak binatang itu lahir (HR. Abu Dawud). Contoh
lain adalah menjual ikan yang masih di dalam laut atau burung yang masih di udara. Hal ini
didasarkan atas hadist Rasulullah Saw, ”Janganlah kamu menjual ikan yang masih di dalam air,
karena itu adalah gharar”. (HR. Ahmad bin Hambal). Demikian juga dengan menjual budak yang
melarikan diri, harta rampasan perang yang belum dibagi, harta sedekah yang belum diterima,
dan hasil menyelam yang di dalam air (HR. Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah).
2. Bai barang yang tidak jelas (Majhul)

a. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila suatu barang belum
diserahterimakan di saat jual beli, maka barang tersebut tidak dapat dijual kepada yang lain.
Sesuatu/ barang jika belum diterima oleh si pembeli tidak boleh melakukan kesepakatan
kepada yang lain untuk bertransaksi atau jual beli, karena wujud dari barang tersebut belum
jelas, baik kriteria, bentuk dan sifatnya. Ketentuan ini didasarkan pada hadist yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saw melarang menjual barang yang sudah dibeli sebelum
barang tersebut berada dibawah penguasaan pembeli pertama (HR. Abu Dawud). Karena
dimungkinkan rusak atau hilang obyek dari akad tersebut, sehingga jual beli yang pertama
dan yang kedua menjadi batal.
b. Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Rasulullah Saw
bersabda: ”Janganlah kamu melakukan jual beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan
tersebut terlihat baik (layak konsumsi)” (HR. Ahmad bin Hambal, Muslim, an-Nasa’i, dan
Ibnu Majah). Demikian juga larangan untuk menjual benang wol yang masih berupa bulu
yang melekat pada tubuh binatang dan keju yang masih berupa susu (HR. ad-Daruqutni).
c. Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Jual beli yang dilakukan
dengan tidak menyerahkan langsung barang sebagai obyek akad. Misalnya, jual beli dengan
menyerahkan barang setelah kematian seseorang. Tampak bahwa jual beli seperti ini tidak
diketahui secara pasti kapan barang tersebut akan diserahterimakan, karena waktu yang
ditetapkan tidak jelas. Namun, jika waktunya ditentukan secara pasti dan disepakati antara
keduanya maka jual beli tersebut adalah sah.
d. Tidak adanya kepastian obyek akad. Yaitu adanya dua obyek akad yang berbeda dalam satu
transaksi. Misalnya, dalam suatu transaksi terdapat dua barang yang berbeda kriteria dan
kualitasnya, kemudian ditawarkan tanpa menyebutkan barang yang mana yang akan di jual
sebagai obyek akad. Jual beli ini merupakan suatu bentuk penafsiran atas larangan Rasulullah
Saw untuk melakukan bai’atain fi bai’ah. Termasuk di dalam jual beli gharar adalah jual beli
dengan cara melakukan undian dalam berbagai bentuknya (HR. al-Bukhari).
e. Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam
transaksi. Misalnya, transaksi/ jual beli motor dalam kondisi rusak. Jual beli seperti ini salah
satu bentuk dari gharar karena di dalamnya terkandung unsur spekulatif bagi penjual dan
pembeli, sehingga sama halnya dengan melakukan jual beli undian.

3. Bai ‘ataini Fiī Bai’ah


Rasulullah melarang melakukan dua kesepakatan dalam satu transaksi (bai ‘ataini fiī
bai’ah). Para ulama ahli fiqh sepakat dengan hadist ini secara umum dan mereka melarang
seorang untuk mengadakan dua transaksi dalam satu kesepakatan. Sebagai contoh ketika seorang
penjual mengatakan: “Saya jual komoditi ini kepada anda seharga seratus secara tunai dan
seratus sepuluh dengan cara kredit”. Kemudian pembeli menjawab: “Saya terima”, akan tetapi si
pembeli tidak menentukan akad (kesepakatan) atau harga mana yang ia pilih untuk dibeli, yang
semestinya salah satu dari kedua kesepakatan atau harga tersebut harus diputuskan oleh pembeli.
Bentuk lain dari bai‟atani fii bai‟ah dapat juga berlaku dengan terlaksananya kedua kesepakatan
atau harga tersebut, seperti pernyataan pihak penjual: ”Saya jual rumahku kepada anda seharga
sekian dengan syarat anda menjual mobil anda kepada saya dengan harga sekian”. Jadi unsur
gharar dalam kedua komoditi tersebut relative ada, baik dalam penentuan transaksi seperti
contoh yang pertama, maupun contoh komoditi yang kedua, dengan begitu transaksi bisnis dalam
bai’ataini fii bai’dah jelas mengandung unsur gharar, hal ini karena kalimat transaksi yang
disepakati dan bukan objeknya yang disepakati.
4. Bai ‘Arbun
Bai ‘Arbun adalah seorang membeli sebuah komoditi dan sebagian pembayaran diserahkan
kepada penjual sebagai uang muka. Jika pembeli jadi mengambil komoditi maka uang
pembayaran tersebut termasuk dalam perhitungan harga. Akan tetapi jika pembeli tidak
mengambil komoditi tersebut maka uang muka tersebut menjadi milik penjual. Larangan bai
‘Arbun yang dilakukan oleh jumhur ulama sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Bidāyatul
Mujtahid adalah karena adanya unsur gharār dan resiko serta memakan harta tanpa adanya iwādh
(pengganti) yang sepadan dalam pandangan syari’ah. Adanya unsur gharār tersebut juga karena
masing-masing pihak, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui apakah transaksi jual beli
yang telah disepakati dapat berlangsung secara sempurna atau tidak.
5. Jual Beli Jahiliyah (dengan batu, sentuhan dan lemparan)
Bai ‘Al-Hāshah (jual beli dengan batu) adalah suatu transaksi bisnis di mana penjual dan
pembeli bersepakat atas jual beli suatu komoditi pada harga tertentu dengan hashah (batu kecil)
yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang dijadikan pedoman atas
berlangsung tidaknya transaksi tersebut, atau juga dengan meletakkan batu kecil tersebut di atas
komoditi, dan juga jatuhnya batu di pihak manapun yang mengharuskan orang tersebut
melakukan transaksi.
Bai ‘al-Mulāmasah (jual beli dengan sentuhan) adalah ketika kedua pihak (penjual dan
pembeli) melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu komoditi, kemudian apabila calon
pembeli menyentuh komoditi tersebut (baik sengaja maupun tidak) maka dia harus membelinya
baik sang pemilik komoditi tersebut rela atau tidak. Atau seorang penjual berkata kepada
pembeli, “Jika anda menyentuh baju ini maka itu berarti anda harus membelinya dengan harga
sekian”. Sehingga mereka menjadikan sentuhan terhadap obyek bisnis sebagai alasan untuk
berlangsungnya transaksi jual beli. Jual beli ini bāthil dan tidak diketahui adanya khilaf
(perbedaan pendapat) para ulama akan rusaknya jual beli seperti ini. Imam Muslim
meriwayatkan dalam Shahīh-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “(jual beli
mulāmasah), yaitu masing-masing dari dua orang menyentuh pakaian milik temannya tanpa ia
perhatikan dengan seksama.”
Bai ‘Al-Munabāzāh (jual beli dengan lemparan) adalah seorang penjual berkata kepada
calon pembeli, “Jika saya lemparkan sesuatu kepada anda maka transaksi jual beli harus
berlangsung di antara kita”. Atau juga ketika pihak penjual dan calon pembeli melakukan tawar
menawar komoditi kemudian penjual melemparkan sesuatu kepada pembeli maka ia harus
membeli komoditi tersebut dan ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima transaksi
tersebut, atau dengan gambaran lain seorang penjual berkata kepada calon pembeli, “Jika saya
melemparkan komoditi ini kepada anda maka itu berarti saya jual komoditi ini kepada anda
dengan harga sekian”.

6. Bai’ Al-Mu’allāq
Bai’ Al-Mu’allāq adalah suatu transaksi jual beli dimana keberlangsungannya tergantung
pada transaksi lainnya yang disyaratkan. Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan mengikuti
instrumen-instrumen yang ada dalam tā‟liq (syarat) tersebut. Sebagai contoh adalah ketika
seorang penjual mengatakan kepada pembeli, “saya jual rumahku kepada anda dengan harga
sekian jika si Fulan menjual rumahnya kepada saya”. Kemudian pembeli menjawab, “saya
terima”. Kesepakatan dalam suatu transaksi jual beli semestinya tidak dapat menerima
pergantungan atau pernyataan tertentu yang dijadikan ikatan atau dasar berlangsungnya
transaksi. Jika hal tersebut dilakukan maka transaksi bisnis jual beli tersebut menjadi rusak,
karena ada unsur gharār.
Unsur gharār dalam jual beli muallāq adalah ketika kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) tidak mengetahui tercapai tidaknya masalah yang dijadikan ikatan sehingga dapat
melangsungkan transaksi jual beli diantara keduanya, sebagaimana kedua belah pihak tidak
mengetahui dalam kondisi yang bagaimana transaksi dapat terlaksana, karena bisa saja transaksi
semacam ini terlaksana Ketika keinginan pembeli atau penjual berubah seketika. Oleh karena itu
jelas terdapat unsur gharār baik dari aspek terlaksana tidaknya akad, aspek waktu pelaksanaan,
atau juga gharār dalam mewujudkan rasa saling rela atau tidaknya antara kedua belah pihak
ketika ada syarat yang menyertainya.
7. Bai’ al-mudhaf
Bai’ al-mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli untuk waktu yang
akan datang, contoh dari transaksi ini adalah perkataan seseorang (penjual) kepada pihak lain,
“Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan”. Kemudian orang
itu menjawab, ”Saya terima”. Unsur gharar yang ada dalam akad mudhaf adalah dari sisi pelaku
akadnya. Ketika mereka tidak dapat mengetahui kondisi pasar dan harga dimasa yang akan
datang jika dibandingkan dengan kondisi pada waktu transaksi disepakati. Dan bagaimana pula
kerelaan dan maslahah antara keduanya terbangun di saat mekanisme kesepakatan dalam
transaksi akan dilaksanakan, padahal keduanya tidak mengetahui kondisi komoditi pada masa
yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai