DISUSUN OLEH :
Refha Rifarianie
TUGAS :
Pengertian Gharar dan 7 Macam Jual Beli Yang Termasuk Dalam Kategori Gharar
KELAS :
VD
DOSEN PENGAMPU :
Dallah, S.E., M.E
NATUNA
Gharar ( )انغ ررsecara bahasa berarti al khatr (resiko, berbahaya), dan taghrir adalah
melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar. Dikatakan gharara binafsihi wa malihi taghriran
berarti ‘aradhahuma lilhalakah min ghairi an ya‟rif (jika seseorang melibatkan diri dan hartanya
dalam wilayah gharar maka itu berarti keduanya telah dihadapkan kepada suatu kebinasaan yang
tidak diketahui olehnya). Lafadz Gharar (dari segi tata bahasa) adalah merupakan isim (kata
benda).
Maka gharar merupakan suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada
kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun
menyerahkan objek akad tersebut. Adapun defenisi gharar menurut Mazhab Imam Syafi‟i adalah
segala sesuatu yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling
mungkin muncul adalah yang paling kita takuti.
Jual beli gharar ialah semua jenis jual beli yang mengandung jahalah (kemiskinan) atau
mukhatharoh (spekulasi) qumar (permainan taruhan). Oleh sebab itu, jual beli gharar dapat
merugikan orang lain dan melanggar hak asasi jual beli yaitu suka sama suka. Orang yang tertipu
jelas tidak akan suka karena haknya dikurangi atau dilanggar. Jual beli yang mengandung
penipuan adalah jual beli sesuatu yang tidak diketahui hasilnya, atau tidak bisa diserahterimakan,
atau tidak diketahui hakikat dan kadarnya.
a. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila suatu barang belum
diserahterimakan di saat jual beli, maka barang tersebut tidak dapat dijual kepada yang lain.
Sesuatu/ barang jika belum diterima oleh si pembeli tidak boleh melakukan kesepakatan
kepada yang lain untuk bertransaksi atau jual beli, karena wujud dari barang tersebut belum
jelas, baik kriteria, bentuk dan sifatnya. Ketentuan ini didasarkan pada hadist yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saw melarang menjual barang yang sudah dibeli sebelum
barang tersebut berada dibawah penguasaan pembeli pertama (HR. Abu Dawud). Karena
dimungkinkan rusak atau hilang obyek dari akad tersebut, sehingga jual beli yang pertama
dan yang kedua menjadi batal.
b. Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Rasulullah Saw
bersabda: ”Janganlah kamu melakukan jual beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan
tersebut terlihat baik (layak konsumsi)” (HR. Ahmad bin Hambal, Muslim, an-Nasa’i, dan
Ibnu Majah). Demikian juga larangan untuk menjual benang wol yang masih berupa bulu
yang melekat pada tubuh binatang dan keju yang masih berupa susu (HR. ad-Daruqutni).
c. Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Jual beli yang dilakukan
dengan tidak menyerahkan langsung barang sebagai obyek akad. Misalnya, jual beli dengan
menyerahkan barang setelah kematian seseorang. Tampak bahwa jual beli seperti ini tidak
diketahui secara pasti kapan barang tersebut akan diserahterimakan, karena waktu yang
ditetapkan tidak jelas. Namun, jika waktunya ditentukan secara pasti dan disepakati antara
keduanya maka jual beli tersebut adalah sah.
d. Tidak adanya kepastian obyek akad. Yaitu adanya dua obyek akad yang berbeda dalam satu
transaksi. Misalnya, dalam suatu transaksi terdapat dua barang yang berbeda kriteria dan
kualitasnya, kemudian ditawarkan tanpa menyebutkan barang yang mana yang akan di jual
sebagai obyek akad. Jual beli ini merupakan suatu bentuk penafsiran atas larangan Rasulullah
Saw untuk melakukan bai’atain fi bai’ah. Termasuk di dalam jual beli gharar adalah jual beli
dengan cara melakukan undian dalam berbagai bentuknya (HR. al-Bukhari).
e. Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam
transaksi. Misalnya, transaksi/ jual beli motor dalam kondisi rusak. Jual beli seperti ini salah
satu bentuk dari gharar karena di dalamnya terkandung unsur spekulatif bagi penjual dan
pembeli, sehingga sama halnya dengan melakukan jual beli undian.
6. Bai’ Al-Mu’allāq
Bai’ Al-Mu’allāq adalah suatu transaksi jual beli dimana keberlangsungannya tergantung
pada transaksi lainnya yang disyaratkan. Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan mengikuti
instrumen-instrumen yang ada dalam tā‟liq (syarat) tersebut. Sebagai contoh adalah ketika
seorang penjual mengatakan kepada pembeli, “saya jual rumahku kepada anda dengan harga
sekian jika si Fulan menjual rumahnya kepada saya”. Kemudian pembeli menjawab, “saya
terima”. Kesepakatan dalam suatu transaksi jual beli semestinya tidak dapat menerima
pergantungan atau pernyataan tertentu yang dijadikan ikatan atau dasar berlangsungnya
transaksi. Jika hal tersebut dilakukan maka transaksi bisnis jual beli tersebut menjadi rusak,
karena ada unsur gharār.
Unsur gharār dalam jual beli muallāq adalah ketika kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) tidak mengetahui tercapai tidaknya masalah yang dijadikan ikatan sehingga dapat
melangsungkan transaksi jual beli diantara keduanya, sebagaimana kedua belah pihak tidak
mengetahui dalam kondisi yang bagaimana transaksi dapat terlaksana, karena bisa saja transaksi
semacam ini terlaksana Ketika keinginan pembeli atau penjual berubah seketika. Oleh karena itu
jelas terdapat unsur gharār baik dari aspek terlaksana tidaknya akad, aspek waktu pelaksanaan,
atau juga gharār dalam mewujudkan rasa saling rela atau tidaknya antara kedua belah pihak
ketika ada syarat yang menyertainya.
7. Bai’ al-mudhaf
Bai’ al-mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli untuk waktu yang
akan datang, contoh dari transaksi ini adalah perkataan seseorang (penjual) kepada pihak lain,
“Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan”. Kemudian orang
itu menjawab, ”Saya terima”. Unsur gharar yang ada dalam akad mudhaf adalah dari sisi pelaku
akadnya. Ketika mereka tidak dapat mengetahui kondisi pasar dan harga dimasa yang akan
datang jika dibandingkan dengan kondisi pada waktu transaksi disepakati. Dan bagaimana pula
kerelaan dan maslahah antara keduanya terbangun di saat mekanisme kesepakatan dalam
transaksi akan dilaksanakan, padahal keduanya tidak mengetahui kondisi komoditi pada masa
yang akan datang.