Anda di halaman 1dari 2

Pengertian Buyuk (Jual Beli)

Ketika mushannif telah selesai menjelaskan interaksi dengan Sang Pencipta yaitu ibadah, maka
beliau bergegas menjelaskan tentang interaksi sesama makhluk. Beliau berkata,

dan selainnya dari bentuk-bentuk transaksi seperti qiradl (investasi) dan syirkah (kerjasama).

Lafadz “al buyu’” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “bai’”.

Bai’ / jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Maka
mencakup sesuatu yang bukan harta seperti khamr.

Adapun bai’ secara syara’, maka keterangan paling baik yang digunakan untuk mendefinisikan
adalah sesungguhnya bai’ adalah memberikan milik berupa benda yang berharga dengan cara
barter (tukar) dengan izin syara’, atau memberikan milik berupa manfaat yang mubah untuk
selamanya dengan harga berupa benda yang bernilai.

Dengan bahasa “barter/tukar”, mengecualikan hutang. Dan dengan bahasa “izin syar’i”,
mengecualikan riba.

Termasuk di dalam manfaat adalah memberikan milik hak untuk membangun.

Dengan bahasa “tsaman/harga”, mengecualikan ongkos di dalam akad sewa, karena


sesungguhnya ujrah / ongkos tidak disebut tsanam.

Pembagian Jual Beli

Jual beli ada tiga perkara.

Salah satunya adalah menjual barang yang terlihat, maksudnya hadir -di tempat transaksi-, maka
hukumnya boleh.

Ketika syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu mabi’ (barang yang dijual) berupa barang yang suci,
memiliki manfaat, mampu diserahkan, dan orang yang melakukan transaksi memiliki hak untuk
menguasai barang tersebut.

Di dalam akan jual beli harus ada ijab (serah) dan qabul (terima).

Yang pertama (ijab) seperti ucapan penjual atau orang yang menempati posisinya, “aku menjual
padamu” dan “aku memberikan hak milik padamu dengan harga sekian.”

Yang ke dua (qabul) seperti ucapan pembeli atau orang yang menempati posisinya, “aku
membelinya”, dan ucapan, “aku menerima kepemilikan” dan kata-kata yang semakna dengan
keduanya.

Yang kedua dari tiga macamnya jual beli adalah menjual barang yang diberi sifat yang masih
menjadi tanggungan. Dan bentuk ini disebut dengan akad salam.
Maka hukumnya boleh ketika di dalam akad salam tersebut telah ditemukan sifat-sifat yang
digunakan untuk mensifati, yaitu sifat-sifat akad salam yang akan dijelaskan di fasal “Salam”.

Bentuk yang ke tiga adalah menjual barang samar yang tidak terlihat oleh kedua orang yang
melakukan akad. Maka menjual barang tersebut tidak boleh.

Yang dikehendaki dengan jawaz / boleh di dalam ke tiga bentuk ini adalah sah.

Sesungguhnya perkataan mushannif, “tidak terlihat”, menunjukkan bahwa sesungguhnya jika


barang yang akan dijual sudah dilihat kemudian tidak ada saat akad berlangsung, maka
hukumnya diperbolehkan, akan tetapi hal ini bila terjadi pada barang yang biasanya tidak sampai
berubah pada masa di antara melihat dan membelinya.

Syarat Barang Yang Dijual

Hukumnya sah menjual setiap barang yang suci, memiliki manfaat dan dimiliki.

Mushannif menjelaskan mafhum dari perkara-perkara ini di dalam perkataan beliau,

Tidak sah menjual barang najis dan barang yang terkena najis seperti khamr, minyak, cuka yang
terkena najis dan sesamanya yaitu barang-barang yang tidak mungkin untuk disucikan lagi.

Tidak sah menjual barang yang tidak ada manfaatnya seperti kalajengking, semut, binatang buas
yang tidak bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai