Istilah lain asuransi syariah juga dikenal dengan nama takaful. Kata Takaful berasal
dari takafala-yatakafalu, yang secara etimologis berarti menjamin atau saling
menanggung. Takaful dalam pengertian muamalah ialah saling memikul resiko di
antara sesama sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas
resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong
dalam kebaikan dengan cara masing- 22 masing mengeluarkan dana tabarru, dana
ibadah, sumbangan, derma yang ditunjukkan untuk menanggung resiko.
Sedangkan asuransi syariah menurut UU Nomor 40 tahun 2014 ini adalah kumpulan
perjanjian natara pemgerang polis dengan perusahaan asurasi syariah dalam rangka
pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling tolong dan
melindungi.
Unsur – unsur dalam asuransi:
a. Pihak tertanggung
b. Pihak penanggung
c. Akad (perjanjian asuransi)
d. Pembayaran iuran (premi)
e. Kerugian, kerusakan, atau kehilangan
f. Peristiwa yang tidak bisa diprediksi
2. Sejarah Berdirinya Asuransi Syariah
Perkembangan Asuransi Syariah sendiri di mulai pada tahun 1992 yaitu awal dari
berdirinya bank Muamalat Indonesia yang mempunya pemikiran di kalangan ulama
dan praktisi ekonomi syariah yang jumlahnya masih sedikit waktu itu untuk membuat
Asuransi Syariah. Pada tanggal 27 juli 1993 Tim TEPATI (Tim pembantukan Takaful
Indonesia ) yang di ketuai Rahmat Husen melakukan Study banding ke Malaysia
untuk mempelajari operasional Asuransi Syariah. Tim TEPATI memulai misi jihadnya
di bidang iqtishodiyah‟ekonomi‟ dengan modal 30 juta , modal inilah yang digunakan
untuk membiyayai tim ke Malaysia , mengadakan seminar, dan persiapanpersiapan
lain yang bersifat teknis sebagaimana layaknya jika akan mendirikan sebuah
perusahaan asuransi ke Depkeu. Setelah melakukan berbagai persiapan termasuk
melakukan seminar nasional oktober 1993 di
Hotel Indonesia yang dihadiri Purwanto Abdulcadir (ketua umum DAI), KH ahmad
Azhar Basyir, MA (Ulama) dan Mohd fadzli Yusof (CEO Syarikat Takaful malaysia),
akhirnya pada tanggal 24 februari 1994 berdirilah PT. Syarikat takaful indonesia dan
selanjutnya menganak cabang menjadi dua perusahaan Yaitu PT. Asuransi Takaful
keluarga 25 agustus 1994 Dan PT. Takaful umum 2 juni 1995 dan sampai dengan
sekarang
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-
Hasyr: 18)
Jelas sekali dalam ayat diatas Allah swt. dalam Al-Qur‟an memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok.
Selain itu, Allah SWT juga meminta perhatian kita yang sungguhsungguh untuk tidak
meninggalkan generasi (anak-anak) yang lemah baik akidah, intelektualitas, ekonomi
maupun fisiknya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa: 9
َنْٛ َنْٛ
ّٔد ًداِٚ َه َخ ُٕقا انََّهَٔ ُٕقُٕنا َْٕقال َّسِْْٛٓه ْى َفَٛ َر ًت ِض َع اًفا َخ إُفا َعِّٚ ٍَذ َْٕن َح َز ُٕك ا ٍِْي َخ ْهِِٓفْى ُذِْٚخ َش اَن
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)
Dalam Al Quran surat Yusuf: 46-49 Allah SWT juga mengajarkan kepada kita suatu
pelajaran yang luar biasa berharga dalam peristiwa mimpi Raja Mesir yang kemudian
ditafsirkan oleh Nabi Yusuf dengan sangat akurat, sebagai suatu perencanaan Negara
dalam menghadapi krisis pangan tujuh tahun mendatang. Allah menggambarkan
contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang
buruk dimasa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja mesir
tetang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor
sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga
melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah
mengering tidak berbuah. Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam
tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu
akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan
untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.
Sangat jelas dalam ayat-ayat diatas kita dianjurkan untuk berusaha menjaga
kelangsungan kehidupan dengan memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang
buruk. Dan sangat jelas ayat-ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak
bertentangan dengan takdir,bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju
kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam
mekanisme asuransi.
Pertama, Tahun 1965 Majma’ al Buhuts al Islamiah pada mu’tamar kedua di Kairo
memutuskan bahwasanya hukum asuransi islam (syariah) yang berlandaskan ta’awun
adalah boleh.
Kelima, Tahun 1977 Haiah Kibar al Ulama al Su’udiah mengharamkan asuransi tijari
dengan semua jenisnya.
Keenam, Tahun 1978 Majma’ al Fiqh al Islami al Tabi’ Lirabithah al ‘Alam al Islami
mengharamkan asuransi tijari dengan semua jenisnya dan membolehkan asuransi
ta’awuni.
Ketujuh, Tahun 1985 Majma’ al Fiqh al Islami al Dauli pada mu’tamar kedua di Jedah
tanggal tanggal 28 Desember memutuskan asuransi tijari adalah haram. Selain itu,
dalam fatwanya juga ditetapkan bahwa asuransi dan reasuransi ta’awuni yang
berdasarkan tabaru’ dan ta’awun adalah boleh.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa Kemudian dia
bersemayam di atas ´arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid)
Keadilan (justice)
Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan
(justice) antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Keadilan dalam
hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara
nasabah dan perusahaan asuransi.
Pertama, nasabah asuransi harus memposisikan pada kondisi yang
mewajibkannya untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam
jumlah tertentu pada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk
mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian.
Tolong-menolong (ta‟awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus
didasari dengan semangat tolong menolong (ta‟awun) antara anggota.
Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan
motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu
ketika mendapatkan musibah atau kerugian. Dalam hal ini Allah SWT
menegaskan dalam firman-Nya QS.Al-Maidah (5) : 2 َ
ََُٕٔا ََُٕٔا
ّٔد ُد اْنِع َقاِبَِٚحَع ا َع َٗه اْنِبِزَٔ انَخ َْٰٕٖق ۖ َٔ َنا َحَع ا َع َٗه اْنِإْثِى َٔ اْنُّع َْٔد ٌِاۚ َٔ اَح ُٕقا انََّهۖ ٌَِإ انََّه َّش
Praktik tolong menolong dalam asuransi adalah unsur utama pembentuk bisnis
asuransi. Tanpa adanya unsur ini atau hanya semata – mata untuk mengejar
keuntungan bisnis (profit oriented) berarti perusahaan asuransi itu sudah
kehilangan karakter utamanya, dan seharusnya sudah wajib terkena pinalti
untuk dibekukan operasionalnya sebagai perusahaan asuransi.
Kerja sama
Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur
ekonomi Islam. Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandat dari
Khaliqnya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi
mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu
sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.
Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang
dijadikan acuan antara kedua pihak yang terlibat, yaitu antara anggota
(nasabah) dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai
dalam bisnis asuransi dapat menggunakan konsep mudharabah atau
musyarakah. Konsep mudharabah dan musyarakah adalah dua buah konsep
dasar dalam kajian ekonomika Islami dan mempunyai nilai historis dalam
perkembangan keilmuan.
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih yang
mengharuskan pemilik modal (nasabah) menyerahkan sejumlah dana (premi)
kepada perusahaan asuransi (mudharib) untuk dikelola. Dana yang terkumpul
oleh perusahaan asuransi diinvestasikan agar memperoleh keuntungan yang
nantinya akan dibagi antara perusahaan dan nasabah asuransi.
Amanah
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai
akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan
keuangan tiap periode.
Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi
nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan
yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public.
Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang
menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar
berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi
kerugian yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah asuransi tidak
memberikan informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang
menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan
dapat dituntut secara hukum.
Kerelaan
Prinsip kerelaan dalam ekonomika Islami berdasar pada firmanAllah SWT
berikut : َُٓأَٚ
ُٰٚك ىۚ َٔ ال َح قُخ ا ََأُّفَس ُك ىۚ انََّه كٌَا ُك ى ٌَأ َُبَٛ ٍَذٚ
ِب ٌَِإ ٕه ا اَن ءإَُيا ال َح أُك ٕه ا َإٰٔي َنُك ى ُك ى ِبانٰب ِط ِم ِإّنا َح ٌَٕك ِح ٰج َز ًة ٍَع َح زاٍض ُِي
ًًح اٛ َر
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(
QS. An Nisa‟:29)
Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersikap rela dan ridha dalam
setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak
yang terikat oleh perjanjian akad. Sehingga kedua belah pihak bertransaksi
atas dasar kerelaan bukan paksaan.
Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota asuransi
agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi)
yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial.
Dana sosial memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota
asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.
Syafi‟ i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adalah salah
satu pihak yang untung, namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal
ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu
membatalkan kontraknya sebelum reversing period, biasanya tahun ketiga
maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang
dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung rugi terjadi
sebagai hasil dari ketetapan.
Masalah asuransi syariah di atas dapat selesai dengan adanya kebenaran dalam
akad. Asuransi syariah telah mengubah akadnya dan membagi dan peserta ke
dalam dua rekening khusus yang menampung dana tabarru’ yang tidak
bercampur dengan rekening peserta, maka reversing period di asuransi syariah
terjadi sejak awal. Kapan saja peserta dapat mengambil uangnya (karena pada
hakikatnya itu adalah uang mereka sendiri), dan nilai tunai sudah ada sejak
awal tahun pertama ia masuk. Karena itu, tidak ada maisir, tidak ada
gambling, karena tidak ada pihak yang dirugikan.
Prinsip ini menekankan pada usaha saling tolong menolong (ta’awuni) dan
melindungi (takaful) melalui skema pengumpulan dana (dana tabarru’).
Sementara itu, prinsip asuransi non syariah adalah indemnity (ganti rugi), utmost
good faith (kesetiaan paling tinggi), dan subrogation (subrogasi).
Dalam hal ini, perusahaan asuransi akan menanggung risiko nasabah sesuai catatan
dan persetujuan.
Akad/kontrak
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah selanjutnya adalah akad atau sistem
perjanjian antara nasabah dengan perusahaan.
Asuransi syariah menerapkan akad tabarru’ yang tujuannya tidak semata-mata untuk
profit saja, tetapi juga kebajikan dan tolong menolong (ta'awun).
Di sisi lain, asuransi non syariah menerapkan akad tabaduli, di mana pembeli, penjual,
objek jual-beli, dan harga ditetapkan sesuai persetujuan.
Pada asuransi syariah, sistem kepemilikan dananya adalah secara kolektif. Jadi, saat
seseorang mengalami risiko, maka nasabah lain memberikan santunan dana.
Sementara itu, sistem kepemilikan dana asuransi non syariah didasarkan pada
pembayaran premi dari nasabah.
Dengan demikian, perlindungan risiko murni berdasarkan pada pembayaran premi
dan persetujuan kedua belah pihak.
Surplus Underwriting
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah berikutnya berkaitan dengan adanya
surplus underwriting, yaitu dana yang diperoleh nasabah jika terdapat kelebihan dari
rekening sosial.
Namun, sistem surplus underwriting ini tidak ada dalam asuransi non syariah. Dengan
demikian, keuntungan underwriting menjadi milik pihak perusahaan asuransi.
Pengelolaan Dana
Sistem pengelolaan dana juga merupakan salah satu aspek yang menjadi perbedaan
asuransi syariah dan non syariah.
Asuransi syariah memiliki sistem pengelolaan yang mana dana merupakan milik
nasabah. Jadi, perusahaan asuransi hanya berperan sebagai pengelola tanpa adanya
hak milik.
Hal ini berbeda dengan asuransi non syariah di mana premi yang dibayarkan nasabah
akan dikelola perusahaan sesuai perjanjian kedua belah pihak.
Pengawasan Dana
Pengawasan dana juga merupakan salah satu hal yang menjadi perbedaan asuransi
syariah dan non syariah.
Pada asuransi syariah, pengawasan dana melibatkan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang bertanggung jawab kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sementara itu, tidak ada badan yang secara khusus mengawasi seluruh transaksi pada
asuransi non syariah.
Meskipun begitu, seluruh perusahaan asuransi, baik syariah maupun non syariah,
harus terdaftar dan berjalan berdasarkan peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bagi Hasil
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah selanjutnya adalah sistem bagi hasil
antara nasabah dengan perusahaan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, asuransi syariah tidak hanya bertujuan
untuk meraup keuntungan, tetapi juga harus memiliki prinsip tolong menolong.
Nah, hal inilah yang membuat keuntungan dari pengelolaan dana pada asuransi
syariah akan didistribusikan secara merata pada seluruh peserta dan perusahaan.
Sebaliknya, pada asuransi non syariah, keuntungan dari pengelolaan dana akan
sepenuhnya diberikan kepada perusahaan.
Nah, hal ini juga merupakan salah satu perbedaan asuransi syariah dan non syariah
yang perlu dipahami.
Sistem dana hangus tidak diterapkan dalam asuransi syariah. Jadi, nasabah tetap
mendapat pengembalian dana sepenuhnya.
Akan tetapi, pada asuransi non syariah, terdapat ketentuan dana hangus yang berlaku
saat periode polis berakhir.
Metode pembayaran klaim asuransi syariah adalah melalui dana tabungan bersama
yang dicairkan. Hal ini karena asuransi syariah berdasarkan pada prinsip tolong
menolong antar nasabah.
Namun, ini berbeda dengan asuransi non syariah, di mana metode pembayaran klaim
bisa langsung dicairkan dari rekening perusahaan.
Pengelolaan Risiko
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah yang terakhir terletak pada sistem
pengelolaan risiko.
Pada asuransi syariah, risiko dibebankan secara adil, baik kepada perusahaan maupun
peserta, karena adanya prinsip tolong menolong.
Sedangkan dalam asuransi syariah, prinsip yang digunakan adalah prinsip tolong
menolong. Para peserta asuransi bergotong royong saling tolong menolong antar
sesama peserta dalam menghadapi musibah. Peran perusahaan asuransi hanya
mengelola kumpulan dana tersebut sehingga risiko akan ditanggung bersama
antarsesama peserta asuransi.
Bebas riba
Menurut lifepal, asuransi konvensional dianggap mengandung riba karena
menukarkan harta dengan harta yang nominalnya tidak sepadan. PAda asuransi
syariah tidak ada penukaran premi dengan uang klaim, melainkan bergotong royong
antar sesama peserta asuransi. Jika salah satu peserta mengalami musibah, maka
iuran dari peserta lain yang telah terkumpul akan digunakan untuk menolong peserta
tersebut.
Transparan
Asuransi syariah juga memiliki pengelolaan dana yang transparan dan telah
ditentukan sejak awal. Hal ini membuat Anda akan mengetahui ke mana saja dana
iuran yang telah dibayarkan akan dialokasikan, misalnya apakah dana tersebut akan
disimpan untuk investasi, cadangan klaim asuransi, dan sebagainya.
Surplus underwriting
Dalam asuransi syariah, dikenal istilah surplus underwriting yang merupakan selisih
positif total kontribusi peserta ke dalam dana tabarru’ setelah dikurangi pembayaran
santunan/klaim, kontribusi reasuransi, dan cadangan teknis dalam satu periode
tertentu. Hal ini merupakan salah satu keunikan dari keuangan berbasis syariah.
Dalam asuransi syariah, apabila terdapat surplus underwriting maka dapat dibagikan
ke beberapa alokasi, yaitu ke dana tabarru’, pemegang polis, dan perusahaan asuransi
sesuai dengan persentase yang tercantum pada perjanjian.
Wakaf
Wakaf pada asuransi syariah adalah salah satu manfaat asuransi syariah dimana
penyerahan harta yang bertahan lama kepada lembaga wakaf dalam rangka
menggunakan manfaatnya untuk kebaikan. Oleh karena itu, ketika Anda memilih
asuransi syariah, selain tolong menolong antar peserta asuransi, Anda juga bisa tolong
menolong sesama di luar peserta asuransi.