Anda di halaman 1dari 14

ASURANSI SYARIAH

1. Definisi Asuransi Syariah


Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie yang dalam hukum Belanda
disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie
kemudian timbul istilah Assuradeur bagi penanggung. Dan geassureerde bagi
tertanggung. Sedangkan dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta’min, penanggung
disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.

Berdasarkan pada UU Nomor 40 tahun 2014 tentang perasuransian, asuransi


merupakan perjanjian anatara dua belah pihak yaitu pemegang polis dan perusahaan
asuransi, yang menjadi landasan bagi perusahaan asuransi untuk penerimaan premi
yang kegunaannya untuk:
a. Memberikan kompensasi kepada pemegang polis karena kerusakan, kerugian,
kehilangan keuntungan, biaya yang timbul dan tanggungjawab hukum kepada
pihak ketiga ynag mungkin ditanggung oleh pemegang polis karena terjadinya
sesuatu yang tidak pasti (tidak bisa diprediksi)
b. Memberikan pembayaran karena pemegang polis meninggal dunia atau
pembayaran yang didasarkan pada hidup pemegang polis dengan manfaat yang
jumlahnya ditetapkan pada pengelolaan dana

Istilah lain asuransi syariah juga dikenal dengan nama takaful. Kata Takaful berasal
dari takafala-yatakafalu, yang secara etimologis berarti menjamin atau saling
menanggung. Takaful dalam pengertian muamalah ialah saling memikul resiko di
antara sesama sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas
resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong
dalam kebaikan dengan cara masing- 22 masing mengeluarkan dana tabarru, dana
ibadah, sumbangan, derma yang ditunjukkan untuk menanggung resiko.
Sedangkan asuransi syariah menurut UU Nomor 40 tahun 2014 ini adalah kumpulan
perjanjian natara pemgerang polis dengan perusahaan asurasi syariah dalam rangka
pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling tolong dan
melindungi.
Unsur – unsur dalam asuransi:
a. Pihak tertanggung
b. Pihak penanggung
c. Akad (perjanjian asuransi)
d. Pembayaran iuran (premi)
e. Kerugian, kerusakan, atau kehilangan
f. Peristiwa yang tidak bisa diprediksi
2. Sejarah Berdirinya Asuransi Syariah

Perkembangan Asuransi Syariah sendiri di mulai pada tahun 1992 yaitu awal dari
berdirinya bank Muamalat Indonesia yang mempunya pemikiran di kalangan ulama
dan praktisi ekonomi syariah yang jumlahnya masih sedikit waktu itu untuk membuat
Asuransi Syariah. Pada tanggal 27 juli 1993 Tim TEPATI (Tim pembantukan Takaful
Indonesia ) yang di ketuai Rahmat Husen melakukan Study banding ke Malaysia
untuk mempelajari operasional Asuransi Syariah. Tim TEPATI memulai misi jihadnya
di bidang iqtishodiyah‟ekonomi‟ dengan modal 30 juta , modal inilah yang digunakan
untuk membiyayai tim ke Malaysia , mengadakan seminar, dan persiapanpersiapan
lain yang bersifat teknis sebagaimana layaknya jika akan mendirikan sebuah
perusahaan asuransi ke Depkeu. Setelah melakukan berbagai persiapan termasuk
melakukan seminar nasional oktober 1993 di

Hotel Indonesia yang dihadiri Purwanto Abdulcadir (ketua umum DAI), KH ahmad
Azhar Basyir, MA (Ulama) dan Mohd fadzli Yusof (CEO Syarikat Takaful malaysia),
akhirnya pada tanggal 24 februari 1994 berdirilah PT. Syarikat takaful indonesia dan
selanjutnya menganak cabang menjadi dua perusahaan Yaitu PT. Asuransi Takaful
keluarga 25 agustus 1994 Dan PT. Takaful umum 2 juni 1995 dan sampai dengan
sekarang

3. Hukum Asuransi Syariah Berdasarkan Al Quran


Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa Asuransi sama dengan menentang qodlo
dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa
kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat
ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat
perencanaan untuk menghadapi masa depan.

Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18.


‫َُٓأ‬َٚ
َٚ ‫ب ٌز ًَِبا َح‬ِٛ‫ٍَذ إَُُٓيا اَح ُٕقا انََّهَٔ ْنَُخُظْز ََ ْفٌس َيا َّقَد َيْج ِنَّغ ٍد َۖٔ اَح ُٕقاانََّهۚ ٌَِإ انََّه َخ‬ِٚ‫ا ااَن‬
‫ًَْعٌَُٕه‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-
Hasyr: 18)

Jelas sekali dalam ayat diatas Allah swt. dalam Al-Qur‟an memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok.

Selain itu, Allah SWT juga meminta perhatian kita yang sungguhsungguh untuk tidak
meninggalkan generasi (anak-anak) yang lemah baik akidah, intelektualitas, ekonomi
maupun fisiknya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa: 9
‫َن‬ْٛ ‫َن‬ْٛ
ٔ‫ّد ًدا‬ِٚ ‫َه َخ ُٕقا انََّهَٔ ُٕقُٕنا َْٕقال َّس‬ْٛ‫ِْٓه ْى َف‬َٛ ‫َر ًت ِض َع اًفا َخ إُفا َع‬ِّٚ ‫ٍَذ َْٕن َح َز ُٕك ا ٍِْي َخ ْهِِٓفْى ُذ‬ِٚ‫ْخ َش اَن‬
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)

Dalam Al Quran surat Yusuf: 46-49 Allah SWT juga mengajarkan kepada kita suatu
pelajaran yang luar biasa berharga dalam peristiwa mimpi Raja Mesir yang kemudian
ditafsirkan oleh Nabi Yusuf dengan sangat akurat, sebagai suatu perencanaan Negara
dalam menghadapi krisis pangan tujuh tahun mendatang. Allah menggambarkan
contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang
buruk dimasa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja mesir
tetang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor
sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga
melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah
mengering tidak berbuah. Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam
tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu
akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan
untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.

Sangat jelas dalam ayat-ayat diatas kita dianjurkan untuk berusaha menjaga
kelangsungan kehidupan dengan memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang
buruk. Dan sangat jelas ayat-ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak
bertentangan dengan takdir,bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju
kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam
mekanisme asuransi.

4. Hukum Asuransi Menurut Fuqaha


Mayoritas fuqaha kontemporer membolehkan asuransi ta’awuni yang berdasarkan
tolong menolong (Qurahdaghi, 2009: 13). Ketetapan tersebut berdasarkan fatwa
lembaga-lembaga fatwa baik skala lokal maupun skala internasional disamping
pendapat ulama terkemuka seperti Muhamad Abu Zahrah. Berikut beberapa lembaga
yang menetapkan kebolehan asuransi ta’awuni:

Pertama, Tahun 1965 Majma’ al Buhuts al Islamiah pada mu’tamar kedua di Kairo
memutuskan bahwasanya hukum asuransi islam (syariah) yang berlandaskan ta’awun
adalah boleh.

Kedua, Tahun 1966 majma’ al Buhuts al Islamiah mempertegas kembali keputusannya


tentang bolehnya asuransi islam. Keputusan tersebut disertai dengan detail bidang
asuransi yang dibolehkan, yaitu asuransi kesehatan, jaminan pengangguran, jaminan
hari tua dan asuransi kecelakaan kerja.

Ketiga, Tahun 1972 Nadwah al Tasyri’ al Islami memutuskan akad asuransi


hukumnya boleh kecuali asuransi jiwa hukumnya haram atau asuransi yang sifatnya
ta’awuni hukumnya halal dan asuransi jiwa hukumnya haram. Kehalalan tersebut
sifatnya temporer atau masih terbukanya pintu perbedaan seputar hukum asuransi.
Keempat, Tahun 1976 al Mu’tamar al ‘Alami al Awal Liliqtishad al Islami yang
dilaksanakan di Makkah. Keputusan mu’tamar tersebut adalah bahwasanya asuransi
tijari (konvensional) tidak sesuai dengan syariah karena karakternya bukan ta’awun
(tolong menolong) serta tidak terpenuhinya ketetapan syariah yang terkait dengan hal
tersebut. Selain itu, mu’tamar memberi masukan agar dibentuk sebuah komite yang
terdiri dari ulama syariah dan ekonom muslim untuk merumuskan pembentukan
asuransi yang bebas riba dan gharar.

Kelima, Tahun 1977 Haiah Kibar al Ulama al Su’udiah mengharamkan asuransi tijari
dengan semua jenisnya.

Keenam, Tahun 1978 Majma’ al Fiqh al Islami al Tabi’ Lirabithah al ‘Alam al Islami
mengharamkan asuransi tijari dengan semua jenisnya dan membolehkan asuransi
ta’awuni.

Ketujuh, Tahun 1985 Majma’ al Fiqh al Islami al Dauli pada mu’tamar kedua di Jedah
tanggal tanggal 28 Desember memutuskan asuransi tijari adalah haram. Selain itu,
dalam fatwanya juga ditetapkan bahwa asuransi dan reasuransi ta’awuni yang
berdasarkan tabaru’ dan ta’awun adalah boleh.

5. Hukum Asuransi Syariah Di Indonesia

Pemerintah telah mengeluarkan perundang-undangan untukmengatur pelaksanaan


sistem asuransi syariah di Indonesia, yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor426/KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan KelembagaanPerusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransidan Perusahaan Reasuransi
3. DSN-Mui No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman Asuransi Syariah.

6. Rukun, Syarat, dan Larangan Asuransi Syariah


Menurut Imam Hanafi, rukun asuransi hanya ada satu yaitu ijab dan kabul. Adapun
menurut ulama fikih yang lain, rukun asuransi terdiri atas 4 hal, yaitu:
 Kafil
Orang yang menjamin (baligh, berakal, bebas berkehendak, tidak tercegah
membelanjakan hartanya)
 Makful lah
Orang yang berpiutang disarankan kenal dengan kafil
 Makful ‘anhu
Orang yang berpiutang
 Makful bih
Utang, baik barang maupun uang yang disyaratkan diketahui dan jumlahnya
tetap
Adapun syarat dan larangan bagi yang hendak melaksanakan asuransi syariah adalah:
 Baligh dan berakal
 Bebas berkehendak
 Tidak sah transaksi atas sesuatu yang tidak diketahui (gharar)
 Tidak sah transaksi jika mengandung riba
 Tidak sah transaksi jika mengandung praktik perjudian (maisir)

7. Tujuan dan Prinsip Asuransi Syariah


 Tauhid ( unity )
Prinsip tauhid (unity) adalah dasar utama dari setiap bangunan yang ada dalam
syariah Islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus
didasarkan pada nilai-nilai tauhid. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah
serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai nilai ketuhanan. Tauhid
sendiri dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Manusia dengan atribut yang melekat pada dirinya adalah fenomena sendiri
yang realitanya tidak dapat dipisahkan dari penciptanya (sang Khaliq).
Sehingga dalam tingkatan tertentu dapat dipahami bahwa semua gerak yang
ada di alam semesta merupakan gerak dari Allah SWT. Dalam hal ini Allah
SWT berfirman dalam Qs al-Hadid (57):4
‫ُُْك‬ ‫َأ‬َٚ
َُْٕ ‫َ ْخ ُز ُج َُِْٓي أَ َيا‬ٚ‫ٍَْأَأْر ِضَٔ َيا‬َٚ ‫ف ََُْٕٔ ُخ ْى اْن‬ِٙ ‫َ ِهُج‬ٚ‫َ ْع َهُى َيا‬ٚ ۚ‫ف ِس َخ ِت اٍو ُثَى اْس َع َٗه اْنَع ْز ِش‬ِٙ ‫اَنِ٘ذ َخ َهَق اّنًََسَٔااِثَٔ اْنَأْر َض‬
‫ََٰٕٖخ‬
‫ص ٌز‬ِٛ‫َٓف اۖ َيَع ُك ْى َياۚ َٔ انَُّه ًَِبا َح ًَْعٌَُٕه َب‬ِٛ ‫َ ْعُز ُج‬ٚ‫َُِْش ُل ٍَِي اّنًََس اِء َٔ َيا‬ٚ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa Kemudian dia
bersemayam di atas ´arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid)

Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya


menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai
ketuhanan. Paling tidak dalam melakukan setiap aktivitas berasuransi ada
semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh
gerak langkah kita dan selalu bersama kita. Jika pemahaman semacam ini
terbentuk dalam setiap “pemain” yang terlihat dalam perusahaan asuransi
maka tahap awal masalah yang sangat urgensi telah terlalui dan dapat
melangsungkan perjalanan bermuamalah.

 Keadilan (justice)
Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan
(justice) antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Keadilan dalam
hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara
nasabah dan perusahaan asuransi.
Pertama, nasabah asuransi harus memposisikan pada kondisi yang
mewajibkannya untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam
jumlah tertentu pada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk
mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian.

Kedua, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana


mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah. Di
sisi lain keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dan
hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati
sejak awal. Jika nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka
realitanya pembagian keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan
tersebut.

 Tolong-menolong (ta‟awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus
didasari dengan semangat tolong menolong (ta‟awun) antara anggota.
Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan
motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu
ketika mendapatkan musibah atau kerugian. Dalam hal ini Allah SWT
menegaskan dalam firman-Nya QS.Al-Maidah (5) : 2 َ
‫ََُٕٔا‬ ‫ََُٕٔا‬
ٔ‫ّد ُد اْنِع َقاِب‬ِٚ‫َحَع ا َع َٗه اْنِبِزَٔ انَخ َْٰٕٖق ۖ َٔ َنا َحَع ا َع َٗه اْنِإْثِى َٔ اْنُّع َْٔد ٌِاۚ َٔ اَح ُٕقا انََّهۖ ٌَِإ انََّه َّش‬

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
(QS. Al- Maidah:2)

Praktik tolong menolong dalam asuransi adalah unsur utama pembentuk bisnis
asuransi. Tanpa adanya unsur ini atau hanya semata – mata untuk mengejar
keuntungan bisnis (profit oriented) berarti perusahaan asuransi itu sudah
kehilangan karakter utamanya, dan seharusnya sudah wajib terkena pinalti
untuk dibekukan operasionalnya sebagai perusahaan asuransi.

 Kerja sama
Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur
ekonomi Islam. Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandat dari
Khaliqnya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi
mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu
sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.

Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang
dijadikan acuan antara kedua pihak yang terlibat, yaitu antara anggota
(nasabah) dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai
dalam bisnis asuransi dapat menggunakan konsep mudharabah atau
musyarakah. Konsep mudharabah dan musyarakah adalah dua buah konsep
dasar dalam kajian ekonomika Islami dan mempunyai nilai historis dalam
perkembangan keilmuan.

Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih yang
mengharuskan pemilik modal (nasabah) menyerahkan sejumlah dana (premi)
kepada perusahaan asuransi (mudharib) untuk dikelola. Dana yang terkumpul
oleh perusahaan asuransi diinvestasikan agar memperoleh keuntungan yang
nantinya akan dibagi antara perusahaan dan nasabah asuransi.

Jika akadnya menyebutkan pembagian nisbah keuntungan antara kedua pihak


70:30, yaitu 70% untuk nasabah dan 30% untuk perusahaan, maka pembagian
profit dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan juga harus mengacu pada
ketentuan akad tersebut.

Sedangkan akad musyarakah dapat terwujud antara nasabah dan perusahaan


asuransi, jika kedua pihak bekerjasama dengan sama - sama menyerahkan
modalnya untuk diinvestasikan pada bidangbidang yang menguntungkan.
Keuntungan yang diperoleh dari investasi dibagi sesuai porsi kesepakatan
nisbah.

 Amanah
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai
akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan
keuangan tiap periode.

Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi
nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan
yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public.

Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang
menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar
berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi
kerugian yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah asuransi tidak
memberikan informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang
menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan
dapat dituntut secara hukum.

 Kerelaan
Prinsip kerelaan dalam ekonomika Islami berdasar pada firmanAllah SWT
berikut : ‫َُٓأ‬َٚ
ٰٚ‫ُك ىۚ َٔ ال َح قُخ ا ََأُّفَس ُك ىۚ انََّه كٌَا ُك ى‬ ‫ٌَأ‬ ‫َُب‬َٛ ‫ٍَذ‬ٚ
‫ِب‬ ‫ٌَِإ‬ ‫ٕه‬ ‫ا اَن ءإَُيا ال َح أُك ٕه ا َإٰٔي َنُك ى ُك ى ِبانٰب ِط ِم ِإّنا َح ٌَٕك ِح ٰج َز ًة ٍَع َح زاٍض ُِي‬
‫ًًح ا‬ٛ ‫َر‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(
QS. An Nisa‟:29)

Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersikap rela dan ridha dalam
setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak
yang terikat oleh perjanjian akad. Sehingga kedua belah pihak bertransaksi
atas dasar kerelaan bukan paksaan.

Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota asuransi
agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi)
yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial.
Dana sosial memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota
asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.

 Tidak mengandung riba


Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara umum terdapat benang merah dalam menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam. Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri
dengan cara yang tidak dibenarkan, salah satu adalah riba. Firman Allah
SWT :
‫َُٓأ‬َٚ
َٚ‫ٍَذ إَُُٓيْا اَل َح ْأُك ُٕهْا انِز َبا َأْض َع افًا ُيَض اَع َفًت َٔ اَح ُٕقْا اَّّن َنَعَهُك ْى ُح ْفِه ََُٕح م‬ِٚ‫ا ا اَن‬

Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan


Ribadengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan”.( QS al-Imran: 130 ).

Pada asuransi syariah, masalah riba dieliminir dengan konsep mudharabah


(bagi hasil). Seluruh bagian dari proses operasional asuransi yang di dalamnya
menganut sistem riba, digantikannya dengan akad mudharabah atau akad
lainnya yang dibenarkan secara syar‟i. Baik dalam penentuan bunga teknik,
investasi, maupun penempatan dana ke pihak ketiga, semua menggunakan
instrumen akad syar‟i yang bebas dari riba

 Tidak mengandung perjudian


Allah SWT telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas
ekonomi yang mempunyai unsur judi (maisir). Firman Allah SWT dalam QS.
Al-Maidah (5): 90
‫َُّٓأ‬َٚ
‫ٌُٕح‬ ‫ْف‬ ‫ُك‬ ‫َف‬ ‫َط‬ ‫ْش‬َّٛ ‫ًََع‬ ‫َأ‬ ‫ْن‬ َٔ ‫ّْن ُز َٔ ْنََْأ‬ًَْٛ َٔ ‫ٍَذ َإَُُٓي ْنًَْخ ُز‬ِٚ‫َّن‬
‫َّه‬ ‫َن‬ ‫اْج‬
َٚ ‫ِم ان ٌِا َُِخُِٕب َع ْى ُح ِه‬ ‫ٍِْي‬ ‫ْج‬
‫ا ِس ا َص اُب ا ْسَناُو ِر ٌس‬ ‫ا ا ا ا ًَََِّإا ا‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapatkeberuntungan”. (QS. Al-Maidah : 90).

Syafi‟ i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adalah salah
satu pihak yang untung, namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal
ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu
membatalkan kontraknya sebelum reversing period, biasanya tahun ketiga
maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang
dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung rugi terjadi
sebagai hasil dari ketetapan.

Dalam asuransi syariah (misalnya di Takaful), Reversing Priod, bermula dari


awal akad di mana setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash
value, kapan saja, dan mendapatkan semua uang yang telah dibayarkannya
kecuali sebagian kecil saja. Yaitu, yang telah diniatkan untuk dana tabarru’
yang sudah dimasukkan ke dalam rekening khusus peserta dalam bentuk
tabarru’ atau dana kebajikan

Masalah asuransi syariah di atas dapat selesai dengan adanya kebenaran dalam
akad. Asuransi syariah telah mengubah akadnya dan membagi dan peserta ke
dalam dua rekening khusus yang menampung dana tabarru’ yang tidak
bercampur dengan rekening peserta, maka reversing period di asuransi syariah
terjadi sejak awal. Kapan saja peserta dapat mengambil uangnya (karena pada
hakikatnya itu adalah uang mereka sendiri), dan nilai tunai sudah ada sejak
awal tahun pertama ia masuk. Karena itu, tidak ada maisir, tidak ada
gambling, karena tidak ada pihak yang dirugikan.

 Tidak mengandung gharar (Ketidakpastian)


Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida’ (penipuan), yaitu suatu
tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Wahbah al-
Zuhaili memberi pengertiuan tentang gharar sebagai al-khatar dan al-taghrir,
yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu
yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
Oleh karena itu, dikatakan ad-dunya mata’ul ghuruur artinya dunia adalah
kesenangan yang menipu.

Sesuai dengan syarat-syarat akad pertukaran, maka harus jelas berapa


pembayaran premi dan berapa uang pertanggungan yang akan diterima.
Masalah hukum syariah disini muncul karena kita tidak bisa menentukan
secara tepat jumlah premi yang akan dibayarkan, sekalipun syarat-syarat
lainnya, penjual, pembeli, ijab kabul, dan jumlah uang pertanggungan (barang)
dapat dihitung. Jumlah premi yang akan dibayarkan amat tergantung pada
takdir, tahun berapa kita meninggal atau mungkin sampai akhir kontrak kita
tetap hidup. Disinilah gharar terjadi.
Dalam Asuransi Syariah, masalah gharar ini dapat diatasi dengan mengganti
akad tabaduli dengan akad takafuli (tolong menolong) atau akad tabarru’ dan
akad mudharabah (bagi hasil). Dengan akad tabarru’, persyaratan dalam akad
pertukaran tidak perlu lagi atau gugur. Sebagai gantinya, maka asuransi
syariah menyiapkan rekening khusus sebagai rekening dana tolong-menolong
atau rekening tabarru yang telah diniatkan (diakadkan) secara ikhlas setiap
peserta masuk asuransi syariah.

8. Perbedaan Asuransi Non Syariah dengan Asuransi Syariah


 Prinsip Dasar
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah yang paling utama terletak pada prinsip
dasarnya dalam pengelolaannya.

Sesuai namanya, asuransi syariah dijalankan berdasarkan prinsip syariah atau


berpegang pada syariat Islam.

Prinsip ini menekankan pada usaha saling tolong menolong (ta’awuni) dan
melindungi (takaful) melalui skema pengumpulan dana (dana tabarru’).

Sementara itu, prinsip asuransi non syariah adalah indemnity (ganti rugi), utmost
good faith (kesetiaan paling tinggi), dan subrogation (subrogasi).

Dalam hal ini, perusahaan asuransi akan menanggung risiko nasabah sesuai catatan
dan persetujuan.

 Akad/kontrak
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah selanjutnya adalah akad atau sistem
perjanjian antara nasabah dengan perusahaan.

Asuransi syariah menerapkan akad tabarru’ yang tujuannya tidak semata-mata untuk
profit saja, tetapi juga kebajikan dan tolong menolong (ta'awun).

Di sisi lain, asuransi non syariah menerapkan akad tabaduli, di mana pembeli, penjual,
objek jual-beli, dan harga ditetapkan sesuai persetujuan.

 Sistem Kepemilikan Dana


Sistem kepemilikan dana juga merupakan salah satu perbedaan asuransi syariah dan
non syariah.

Pada asuransi syariah, sistem kepemilikan dananya adalah secara kolektif. Jadi, saat
seseorang mengalami risiko, maka nasabah lain memberikan santunan dana.

Sementara itu, sistem kepemilikan dana asuransi non syariah didasarkan pada
pembayaran premi dari nasabah.
Dengan demikian, perlindungan risiko murni berdasarkan pada pembayaran premi
dan persetujuan kedua belah pihak.

 Surplus Underwriting
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah berikutnya berkaitan dengan adanya
surplus underwriting, yaitu dana yang diperoleh nasabah jika terdapat kelebihan dari
rekening sosial.

Asuransi syariah sendiri menerapkan sistem surplus underwriting yang dikalkulasikan


dalam periode tertentu.

Namun, sistem surplus underwriting ini tidak ada dalam asuransi non syariah. Dengan
demikian, keuntungan underwriting menjadi milik pihak perusahaan asuransi.

 Pengelolaan Dana
Sistem pengelolaan dana juga merupakan salah satu aspek yang menjadi perbedaan
asuransi syariah dan non syariah.

Asuransi syariah memiliki sistem pengelolaan yang mana dana merupakan milik
nasabah. Jadi, perusahaan asuransi hanya berperan sebagai pengelola tanpa adanya
hak milik.

Hal ini berbeda dengan asuransi non syariah di mana premi yang dibayarkan nasabah
akan dikelola perusahaan sesuai perjanjian kedua belah pihak.

 Pengawasan Dana
Pengawasan dana juga merupakan salah satu hal yang menjadi perbedaan asuransi
syariah dan non syariah.

Pada asuransi syariah, pengawasan dana melibatkan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang bertanggung jawab kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sementara itu, tidak ada badan yang secara khusus mengawasi seluruh transaksi pada
asuransi non syariah.

Meskipun begitu, seluruh perusahaan asuransi, baik syariah maupun non syariah,
harus terdaftar dan berjalan berdasarkan peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 Bagi Hasil
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah selanjutnya adalah sistem bagi hasil
antara nasabah dengan perusahaan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, asuransi syariah tidak hanya bertujuan
untuk meraup keuntungan, tetapi juga harus memiliki prinsip tolong menolong.
Nah, hal inilah yang membuat keuntungan dari pengelolaan dana pada asuransi
syariah akan didistribusikan secara merata pada seluruh peserta dan perusahaan.

Sebaliknya, pada asuransi non syariah, keuntungan dari pengelolaan dana akan
sepenuhnya diberikan kepada perusahaan.

Baca juga: Klausul Asuransi: Pengertian, Jenis-Jenis, dan Contohnya

 Sistem Dana Hangus


Pada asuransi, terdapat istilah dana hangus. Dana hangus adalah kejadian saat tidak
ada klaim dalam jangka waktu periode asuransi.

Nah, hal ini juga merupakan salah satu perbedaan asuransi syariah dan non syariah
yang perlu dipahami.

Sistem dana hangus tidak diterapkan dalam asuransi syariah. Jadi, nasabah tetap
mendapat pengembalian dana sepenuhnya.

Akan tetapi, pada asuransi non syariah, terdapat ketentuan dana hangus yang berlaku
saat periode polis berakhir.

 Metode Pembayaran Klaim


Perbedaan asuransi syariah dan non syariah selanjutnya terletak pada metode
pembayaran klaim.

Metode pembayaran klaim asuransi syariah adalah melalui dana tabungan bersama
yang dicairkan. Hal ini karena asuransi syariah berdasarkan pada prinsip tolong
menolong antar nasabah.

Namun, ini berbeda dengan asuransi non syariah, di mana metode pembayaran klaim
bisa langsung dicairkan dari rekening perusahaan.

 Pengelolaan Risiko
Perbedaan asuransi syariah dan non syariah yang terakhir terletak pada sistem
pengelolaan risiko.

Pada asuransi syariah, risiko dibebankan secara adil, baik kepada perusahaan maupun
peserta, karena adanya prinsip tolong menolong.

Sementara itu, risiko pada asuransi konvensional dibebankan kepada perusahaan


asuransi sebagai penanggung.

9. Manfaat Asuransi Syariah bagi Umat


 Menggunakan prinsip tolong-menolong
Ketika Anda memilih produk asuransi konvensional, maka Anda akan membayar
premi kepada perusahaan asuransi agar bisa mendapatkan ganti rugi jika terjadi risiko
yang tertanggung sesuai syarat dan ketentuan polis asuransi. Prinsip ini dikenal
dengan pengalihan risiko, di mana risiko yang awalnya milik nasabah akan
ditanggung oleh perusahaan asuransi.

Sedangkan dalam asuransi syariah, prinsip yang digunakan adalah prinsip tolong
menolong. Para peserta asuransi bergotong royong saling tolong menolong antar
sesama peserta dalam menghadapi musibah. Peran perusahaan asuransi hanya
mengelola kumpulan dana tersebut sehingga risiko akan ditanggung bersama
antarsesama peserta asuransi.

 Bebas riba
Menurut lifepal, asuransi konvensional dianggap mengandung riba karena
menukarkan harta dengan harta yang nominalnya tidak sepadan. PAda asuransi
syariah tidak ada penukaran premi dengan uang klaim, melainkan bergotong royong
antar sesama peserta asuransi. Jika salah satu peserta mengalami musibah, maka
iuran dari peserta lain yang telah terkumpul akan digunakan untuk menolong peserta
tersebut.

 Transparan
Asuransi syariah juga memiliki pengelolaan dana yang transparan dan telah
ditentukan sejak awal. Hal ini membuat Anda akan mengetahui ke mana saja dana
iuran yang telah dibayarkan akan dialokasikan, misalnya apakah dana tersebut akan
disimpan untuk investasi, cadangan klaim asuransi, dan sebagainya.

 Pengelolaan berdasarkan syariat Islam


Kumpulan dana dari peserta asuransi syariah akan dikelola berdasarkan syariat Islam.
Tidak akan ada dana yang diinvestasikan ke perusahaan yang tidak sesuai prinsip
Islam seperti perusahaan alkohol, judi, dan sebagainya. Perusahaan asuransi sebagai
pengelola atas asuransi syariah juga akan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah
(DPS) agar setiap transaksi sesuai dengan prinsip syariah. Anggota DPS ini
merupakan rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional MUI.

 Surplus underwriting
Dalam asuransi syariah, dikenal istilah surplus underwriting yang merupakan selisih
positif total kontribusi peserta ke dalam dana tabarru’ setelah dikurangi pembayaran
santunan/klaim, kontribusi reasuransi, dan cadangan teknis dalam satu periode
tertentu. Hal ini merupakan salah satu keunikan dari keuangan berbasis syariah.

Dalam asuransi syariah, apabila terdapat surplus underwriting maka dapat dibagikan
ke beberapa alokasi, yaitu ke dana tabarru’, pemegang polis, dan perusahaan asuransi
sesuai dengan persentase yang tercantum pada perjanjian.

 Wakaf
Wakaf pada asuransi syariah adalah salah satu manfaat asuransi syariah dimana
penyerahan harta yang bertahan lama kepada lembaga wakaf dalam rangka
menggunakan manfaatnya untuk kebaikan. Oleh karena itu, ketika Anda memilih
asuransi syariah, selain tolong menolong antar peserta asuransi, Anda juga bisa tolong
menolong sesama di luar peserta asuransi.

Anda mungkin juga menyukai