Disusun oleh :
Kelompok 10 kelas F
1. Khairani Azizah Novrin (144221044)
2. Niswatul Fisnainy (144221076)
3. Muhammad Naufal Jad (144221087)
4. Anisa Aska Utsula (144221096)
5. Muhammad Afif Muqsith (144221209)
1.2.1 Bagaimana sejarah terbentuknya asuransi syariah dan definisi asuransi syariah?
1.2.2 Apa dasar hukum yang menaungi asuransi syariah dan akad yang digunakan?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu kriteria penilaian dalam mata kuliah
Lembaga Keuangan Syariah & Regulator. Selain itu, kami berharap makalah ini dapat
menjadi salah satu tinjaun dan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait yang hendak mengkaji
dan mendalami lembaga asuransi syariah. Kami juga berharap makalah ini dapat menjadi
rujukan dan pengetahuan baru khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Asuransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu insurance, yang dalam bahasa Indonesia
berarti jaminan dan telah diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata
“pertanggungan”. Asuransi merupakan suatu kontrak pertanggungan risiko antara nasabah
sebagai pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Pertanggungan risiko dilakukan dengan
mengalihkan risiko yang mungkin diderita oleh nasabah pemegang polis kepada perusahaan
asuransi. Terdapat tiga unsur utama yang terdapat dalam asuransi. Pertama, adanya bahaya
atau risiko yang dipertanggungkan. Kedua, adanya premi pertanggungan yang dibayarkan
nasabah. Ketiga, adanya sejumlah uang ganti kerugian atas tanggungan.
Asuransi syariah dalam Islam dikenal dengan istilah takaful yang secara sederhana
berarti saling memikul risiko di antara sesama orang, sehingga antara satu anggota dengan
anggota yang lainnya menjadi penanggung atas risiko anggota yang lain. Sedangkan
pengertian asuransi syariah dalam Fatwa DSN MUI Nomor 21 tahun 2002 adalah usaha
saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/atau Tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Sejarah asuransi syariah di Indonesia, tidak terlepas dari sejarah asuransi di dunia.
Konsep asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan sebutan Al-Aqilah hingga
zaman Nabi Muhammad. Sejak zaman Rasulullah, hingga saat ini kaum muslimin memiliki
peran penting dalam mengenalkan sistem asuransi kepada dunia. Pada tahun 200 H., banyak
pengusaha muslim yang memulai merintis sistem takaful, sebuah sistem pengumpulan dana
yang akan digunakan untuk menolong para pengusaha satu sama lain yang sedang menderita
kerugian. Istilah tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama “Shaking of Risk”.
Para ahli ekonomi dan masyarakat muslim menyadari bahwa dalam islam terdapat
sistem ekonomi yang terbaik untuk seluruh umat manusia, mereka mencoba membangkitkan
kembali semangat tolong menolong dalam bidang ekonomi. Di antaranya dengan mendirikan
perusahaan asuransi syariah. Pada sekitar dekade 70-an, Asuransi syariah pertama kali
didirikan di Bahrain, lalu diikuti oleh negara islam lain, termasuk Indonesia. Berdasarkan
pemikiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 juli 1993 melalui
Yayasan Abadi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi
Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful, membentuk Tim
Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI, yang dipimpin oleh direktur utama
PT Syariah Takaful Indonesia (STI), Rahmat Saleh. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak
perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful
Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT
Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995.
1. Prinsip tauhid. Prinsip ini memposisikan niat dasar tidak hanya meraup keuntungan saja,
melainkan untuk memperoleh perlindungan dari Allah SWT
Asuransi syariah memiliki nilai-nilai spiritual harus dipahami dan dilaksanakan secara
bersama-sama oleh peserta asuransi syariah dan perusahaan pengelola asuransi syariah
sehingga harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh secara komprehensif, akuntabel,
transparansi dan kredibilitas penuh. Dasar hukum asuransi syariah, dengan Alquran sebagai
sumber hukum tertinggi, disusul oleh As Sunnah, Ijma dan Qiyas serta landasan Fikih.
هّٰللا هّٰللا
ِ ان ۖ َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا
ب ِ َوتَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َو
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2).
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitan Asuransi Syariah 32 darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa
menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
۟ ُت لِ َغ ٍد ۖ َوٱتَّق
َوا ٱهَّلل َ ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َخبِي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُون ۟ ُٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن
۟ ُوا ٱتَّق
ْ وا ٱهَّلل َ َو ْلتَنظُرْ نَ ْفسٌ َّما قَ َّد َم َ
“Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah ia buat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. al Hasyr [59]:
18).
Selain itu, dalam hukum konstitusi pada Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana disebutkan dalam : Pasal 28 D (1) : Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Undang – Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dalam
pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 31 ayat (2). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No.69/POJK.05/2016 tentang Pra Penjualan, Keagenan dan Pialang dalam Pasal (14) yakni :
Perusahaan atau unit syariah wajib menyediakan dan atau menyampaikan informasi mengenai
produk dan atau layanan yang akurat, jelas dan tidak menyesatkan kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, Peserta atau Perusahaan Ceding terkait produk asuransi atau produk asuransi
syariah yang dipasarkan. Untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum kepada peserta
asuransi syariah, maka dibentuklah Permen yakni Peraturan Menteri Keuangan No.
18/PMK.010/2010 tentang prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi
dengan prinsip syariah yang diantaranya bertujuan untuk memenuhi prinsip syariah dan
kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah.
1. Bebas riba
2. Dibangun dengan prinsip tolong-menolong
3. Tidak ada skema dana investasi
4. Tidak ada unsur spekulasi
5. Tidak ada unsur gharar (ketidakpastian)
6. Tidak ada unsur maisir (perjudian)
Sedangkan Ulama yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan
dalam Islam dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf (pengarang Ilmu Ushul al-Fiqh),
Mustafa Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria),
Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam di Universitas Cairo Mesir), Muhammad
Nejatullah Siddiq, dan Abdurahman Isa (pengarang kitab al-Muamallah al-Haditsah wa
Ahkamuha). Adupun beberapa alasan yang mereka kemukakan yaitu:
● Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang secara jelas dan tegas melarang kegiatan
asuransi.
● Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak baik penanggung maupun
tertanggung. Saling menguntungkan kedua belah pihak
● Asuransi dapat berguna bagi kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Atau dengan
kata lain lemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari pada mudharatnya.
● Asuransi dikelola berdasarkan akad mudharabah (bagi hasil).
● Asuransi termasuk kategori koperasi (Syirkah Taawuniyah), usaha bersama yang
didasarkan pada prinsip tolong-menolong.
● Asuransi dianologikan (diqiyaskan) dengan dana pensiunan seperi Taspen. (Anshori,
2008:11-12)
Sedangkan menurut pendapat Ormas Islam, Nahdhatul Ulama memutuskan bahwa Asuransi
Jiwa hukumnya haram kecuali memenuhi syarat-syarat berikut: (1) Asuransi tersebut harus
mengandung tabungan (saving). (2) Peserta yang ikut program asuransi harus berniat
menabung. (3) Pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta dengan cara-cara
yang dibenarkan oleh syariat Islam ( bebas dari gharar, maisir dan riba). (4) Apabila peserta
mengundurkan diri sebelum jatuh tempo dana yang telah dibayarkan kepada pihak asuransi
tidak hangus.
Lain halnya untuk Asuransi kerugian hal itu menurut NU diperbolehkan dengan ketentuan
sebagai berikut: Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek
yang menjadi agunan bank. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena
terkait dengan ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang ekspor
dan impor (Anwar, 2007:27-28).
Banyak perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional. Dari segi konsep,
asuransi syariah memiliki konsep “Berbagi risiko” sedangkan konvensional berkonsep
“Transfer risiko”. Lalu dari segi Akadnya, asuransi syariah menerapkan Akad Tabarru’
(hibah) dan Akad Tijarah (Wakalah bil ujrah, Mudharabah, Mudharabah Musytarakah)
sedangkan asuransi konvensional menerapkan Akad jual beli. Selanjutnya untuk Kepemilikan
dana, asuransi syariah menetapkan Dana kontribusi, sebagian merupakan milik peserta, dan
sebagian milik perusahaan sedangkan asuransi konvensional menetapkan Dana premi
seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sumber pembayaran klaim dalam asuransi syariah
bersumber pembayaran klaim dari dana Tabarru sedangkan asuransi konvensional Sumber
pembayaran klaim dari dana perusahaan. Surplus underwriting pada asuransi syariah dapat
dibagikan antara cadangan dana tabarru, perusahaan dan peserta. Sedangkan pada asuransi
konvensional Surplus underwriting seluruhnya menjadi milik perusahaan. Asuransi syariah
juga memiliki dewan pengawas yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS) sedangkan asuransi
konvensional tidak memiliki dewan pengawas
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asuransi Syariah merupakan salah satu dari keberagaman produk dalam sistem ekonomi
syariah. Asuransi syariah adalah sebuah usaha untuk saling melindungi dan saling tolong
menolong di antara para pemegang polis (peserta), yang dilakukan melalui pengumpulan dan
pengelolaan dana tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan prinsip syariah. Asuransi syariah
menggunakan prinsip sharing of risk, dimana risiko dari satu orang/pihak dibebankan kepada
seluruh orang/pihak yang menjadi pemegang polis, sedangkan asuransi konvensional
menggunakan sistem transfer of risk dimana risiko dari pemegang polis dialihkan kepada
perusahaan asuransi. Dapat dikatakan bahwa peran perusahaan asuransi syariah adalah
melakukan pengelolaan operasional dan investasi dari sejumlah dana yang diterima dari
pemegang polis, berbeda dengan perusahaan asuransi konvensional yang bertindak sebagai
penanggung risiko. Akad yang digunakan dalam asuransi syariah menggunakan prinsip
tolong-menolong antara sesama pemegang polis dan perwakilan/kerja sama pemegang polis
dengan perusahaan asuransi syariah, sedangkan akad yang digunakan oleh asuransi
konvensional berdasarkan prinsip pertukaran (jual-beli). Pada dasarnya, baik asuransi
konvensional maupun asuransi syariah memiliki keunggulan atau kekurangan masing-masing
sehingga pemilihan produk asuransi dikembalikan kepada konsumen sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan masing-masing.
3.2 Kasus
Sejauh ini, tidak ada kasus yang berarti atau kasus besar terkait lembaga asuransi syariah. Hal
ini disebabkan oleh pengawasan ketat OJK terhadap lembaga bersangkutan. Jika pun terjadi
beberapa sengketa, hal tersebut dikarenakan para nasabah yang tidak memahami dengan
benar skema dalam lembaga asuransi syariah yang berakibat pada terjadinya sengketa.
Lembaga asuransi syariah sendiri bekerja dengan transparansi dan memiliki kredibilitas yang
baik dimata masyarakat. Masyarakat kini juga banyak beralih ke asuransi syariah karena
dinilai lebih aman dengan segala regulasi didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA