Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“TINJAUAN PROFESI ASURANSI DALAM HUKUM ISLAM”


MATA KULIAH AGAMA ISLAM II

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6 / KELAS L
BRILIANT AGENG A.M 041911333221
AMMAR YASIR BAHANAN 041911333226
ARDHELIA DWI INDIRA 041911333247
ALYA SUFI IKRIMA 041911333248

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa melangsungkan kehidupannya secara
individu. Dalam setiap kehidupan ada banyak hal yang tidak pasti yang mungkin saja dialami
oleh siapapun. Saat ini bahaya, kerusakan dan kerugian hal nyata yang harus dihadapi oleh
manusia terlepas dia mampu untuk menghadapi resiko atau tidak. Resiko menjadi masalah yang
harus dihadapi oleh manusia sebagai individu tapi menjadi peluang usaha untuk perusahaan
asuransi. Perusahaan asuransi yang kegiatan usahanya adalah mengambil alih resiko dari setiap
kegiatan yang dilakukan manusia. Perusahaan asuransi menawarkan berbagai macam produk
misalnya asuransi jiwa, asuransi kebakaran, asuransi pendidikan.

Perkembangan zaman yang kini semakin maju menuntut kita untuk mempersiapkan
segala macam bentuk risiko yang ada dengan berinvestasi, salah satunya dalam bidang asuransi.
Pada saat ini, risiko dapat terjadi dalam segala kemungkinan, hal tersebut menjadikan semakin
kompleksnya kebutuhan mereka yang dapat tercukupi, masyarakat dituntut untuk memiliki suatu
jaminan untuk menjamin keberlangsungan hidup bagi anak dan keluarga mereka.
PEMBAHASAN

I. Penjelasan Asuransi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asuransi adalah


pertanggungan, perjanjian antara dua pihak. Sementara pengertian asuransi dikutip
dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni perjanjian antara perusahaan asuransi dan
pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
sebagai imbalan dalam bentuk mengganti atau mengurangi kerugian. Terdapat
beberapa jenis asuransi diantaranya yaitu : Asuransi umum, asuransi jiwa, dan
perusahaan reasuransi.

Selain itu dalam suatu asuransi akan selalu terdapat agen. Agen asuransi
secara definitif tersirat dalam Pasal 1 Ayat 10 UU No.2 Tahun 1992 yang menjelaskan
bahwa agen asuransi adalah sebagai seorang atau badan hukum yang kegiatannya
memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung
(Perusahaan Asuransi). Sedangkan menurut Otoritas Jasa Keuangan Nomor
69/POJK.05/2016, Agen Asuransi merupakan orang yang bekerja sendiri atau bekerja
pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi atau
perusahaan asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan
asuransi atau perusahaan asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk
asuransi syariah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Seorang agen akan membuat kesepakatan antara pihak pengguna asuransi


dengan perusahaan asuransi, di mana kesepakatan itu akan diatur dalam sebuah
perjanjian asuransi. Pekerjaan ini memungkinkan seorang agen untuk bekerja pada
satu perusahaan asuransi saja untuk menjaga profesionalisme dan juga waktu yang
lebih luang untuk mempelajari produk asuransi dengan target capaian yang telah
ditentukan perusahaan. Seorang agen akan dibebankan tugas dan tanggung jawab
yang cukup berat untuk bisa mengembangkan karirnya, namun juga mempertahankan
kredibilitas perusahaan asuransi di mata nasabah dan kompetitor. Untuk kamu yang
bertanya-tanya apa detail tugas seorang agen asuransi, berikut ini tugas dan tanggung
jawab seorang agen yang harus dipenuhi.

II. Hukum Islam Mengenai Asuransi

Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang,
asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi
menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi), dan ghoror
(ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).

Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan
(mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror
(unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan
menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa
mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta
klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya.
Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-
tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.

Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan
diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi
sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak
jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak
mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada
spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan
ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang
mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak
mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau
mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali,
namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang
mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi),


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
(QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.

Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu
yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila
perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang
disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah
riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi yang ia terima
namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah
seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut
haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).

Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui
terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama
dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak
setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti ini
diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga
permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan
unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574,
Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga
permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti
lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi
tidak termasuk dalam hal ini.

Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang
batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik.
Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada
timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling
ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah
memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.

Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-
akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak
asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka.
Pemaksaan seperti ini jelas haramnya. [Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma
Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]

“Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”

Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah
masa depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan
anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja butuh
pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi menarik kita
untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan
benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan
kekhawatiran masa depan yang suram. Karena Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS.
Ath Tholaq: 2-3).

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah ditetapkan, yaitu:

Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Maka, perusahaan
asuransi syariah yang mengelola dana nasabah wajib berlandaskan pada prinsip syariah,
tidak boleh mengandung perjudian (maysir), ketidakpastian (gharar), riba, dan barang
yang terkandung maksiat di dalamnya terlebih lagi barang haram.

Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, Islam tidak melarang seseorang untuk
memiliki asuransi asalkan dana yang terkumpul dikelola sesuai dengan prinsip atau
syariat Islam. Hal tersebut tertuang dalam Fatwa MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001
yang berbunyi “Dalam menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi
kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu
dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.” Artinya, asuransi syariah dibutuhkan
untuk memberikan perlindungan terhadap harta serta nyawa secara finansial yang segala
risikonya sangat mungkin terjadi dan tidak dapat diprediksi.
KESIMPULAN

Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem Aqilah
pada zaman Rasulullah Saw. Takaful dapat didefiniskan dengan al-takmîn, al-ta‘âwun atau al-
takâful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi
kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang
mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing masing anggota membayar
iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat
dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi
syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk
dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolongmenolong seperti yang diajarkan
Islam.

Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi
operasional perusahaan, investasi maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Kedudukan DPS
dalam Struktur organisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.

Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya,
maka sistem asuransi Syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Muh. Fudhall; 2011; ASURANSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM; Jakarta;
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
Property, Elang. Kenapa Asuransi Tidak Boleh dalam Islam?.
https://www.elangproperty.com/kenapa-asuransi-tidak-boleh-dalam-islam/ (diakses 9
Mei 2021)
Kurnia, Riza Dian. 2021. Hukum Asuransi dalam Islam Sesuai Fatwa MUI & Al Quran.
https://www.qoala.app/id/blog/asuransi/umum/hukum-asuransi-dalam-islam/ (diakses
9 Mei 2021)

Anda mungkin juga menyukai