Anda di halaman 1dari 27

1

A. MUKODIMAH
Dalam bisnis era sekarang ini kebutuhan
akan asuransi adalah sebuah keniscayaan.
Asuransi sangat dibutuhkan oleh para
pengusaha, karena untuk memberi jaminan
perlindungan terhadap resiko bisnis yang
kemungkinan akan terjadi. Terlebih lagi untuk
pengusaha yang bergerak dalam
perdagangan ekspor dan impor, tentu
resikonya akan lebih tinggi, sehingga para
pengusaha membutuhkan perlindungan
asuransi.
Asuransi juga lazim digunakan sebagai
transaksi jual beli secara kredit, khususnya
yang menggunakan pembiayaan dari lembaga
keuangan, seperti lembaga perbankan dan
leasing.

2
Untuk melindungi barang yang
diperjualbelikan secara kredit tersebut,
umumnya lembaga keuangan mensyaratkan
penggunaan asuransi.
Misalnya kredit mobil, maka dibutuhkan
jaminan perlindungan asuransi terhadap
kemungkinan terjadinya resiko kerusakan,
cacat, bahkan kehilangan dari mobil yang
masih dalam masa ansuran tersebut.
Nah, bagaimana pandangan hukum syari’ah
terhadap penggunaan asuransi dalam
berbagai transaksi bisnis tersebut? Inilah yang
akan dibahas dalam bab ini, baik pembahasan
untuk asuransi konvensional maupun asuransi
syari’ah. Marilah kita kaji bersama.

3
B. ASURANSI KONVENSIONAL
Sebelum kita mengkaji aspek hukumnya, maka
terlebih dahulu kita harus memahami fakta dari
obyek yang akan kita nilai status hukumnya. Apa
yang dimaksud dengan asuransi itu? Dalam hal
ini yang kita bahas adalah asuransi
konvensional, yang kemudian kita sebut dengan
istilah asuransi saja.
Pengertian asuransi menurut Undang-Undang
No. 2 Th 1992 tentang usaha perasuransian
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di
mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul

4
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan (Abdurrahman, 2012a).

Gambar 1. Ilustrasi Perusahaan Asuransi di Indonesia


Sumber : mhibroker.com

Secara umum, asuransi terbagi menjadi 2 jenis:


1. Asuransi tanpa tabungan (non saving).
Seluruh premi yang dibayarkan peserta
asuransi akan masuk kepada pihak perusahaan
asuransi dan tidak dikembalikan. Peserta asuransi
hanya akan mendapatkan dana ganti rugi, apabila
peserta asuransi mengalami kerugian sebagaimana
yang tercantum dalam akad penjaminan.

5
2. Asuransi dengan tabungan (saving).
Premi yang dibayarkan peserta asuransi
akan dikembalikan kepada peserta asuransi, jika
peserta asuransi tidak mengalami kerugian,
kemudian ditambah dengan kompensasi bunga.
Apabila peserta asuransi mengalami kerugian,
maka akan mendapatkan dana ganti rugi.

C. HUKUM ASURANSI KONVENSIONAL


Mayoritas para ‘ulama Islam kontemporer
telah sepakat bahwa hukum asuransi
konvensional adalah haram.
Keharaman asuransi konvensional itu berlaku
untuk berbagai jenis asuransi, baik asuransi jiwa,
asuransi barang, asuransi dagang, asuransi
mobil, asuransi kecelakaan dan sebagainya.

6
Alasan keharaman asuransi konvensional,
disebabkan paling tidak mengandung 3 unsur
keharaman, yaitu: terdapat unsur riba, qimar
(maysir atau judi) dan ghoror (ketidakjelasan
atau spekulasi).
1. Adanya Unsur Riba
Untuk asuransi non saving, jika peserta
asuransi mendapatkan ganti rugi yang lebih
besar dari dana yang dibayarkan, maka para
‘ulama kontemporer mengkategorikan itu
sebagai pembayaran yang mengandung unsur
riba fadhal (kelebihan yang muncul karena
transaksi barang riba).
Untuk asuransi saving, jika peserta asuransi
tidak mengalami kerugian, sehingga premi yang
sudah dibayarkan akan dikembalikan semua,
ditambah dengan kompensasi bunga,

7
maka itu mengandung unsur riba nasi’ah (riba
karena penundaan waktu).

Gambar 2. Ilustrasi Riba Dalam Asuransi


Sumber : lencrypted-tbn0.gstatic.com

2. Adanya Unsur Judi


Dalam asuransi, sudah terpenuhi empat unsur
dalam perjudian:
a. Ada pihak-pihak yang terlibat dalam
perjudian. Dalam asuransi adalah para
peserta asuransi.

8
b. Adanya harta yang disetorkan oleh para
peserta. Dalam asuransi adalah berupa premi
yang dibayarkan oleh para peserta asuransi.
c. Adanya suatu permainan yang dipertaruhkan.
Dalam asuransi adalah tertimpanya musibah
atau tidak bagi para peserta asuransi.
d. Ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
Dalam asuransi, bagi mereka yang tertimpa
musibah, maka akan mendapatkan uang ganti
rugi yang diambil dari peserta asuransi
lainnya. Sedangkan yang tidak tertimpa
musibah, akan kehilangan dananya.

Gambar 3. Ilustrasi Judi Dalam Islam


Sumber : lemuslimpost.com

9
3. Adanya Unsur Gharar
Ada dua unsur gharar (ketidakpastian) yang
terdapat dalam asuransi:
a. Gharar dari segi waktu. Dalam asuransi, tidak
setiap peserta bisa mendapatkan klaim. Hanya
peserta yang mendapatkan musibah, baru bisa
meminta klaim. Padahal musibah bersifat tidak
pasti. Boleh jadi seseorang mendapatkan
musibah setiap tahunnya, boleh jadi selama
bertahun-tahun ia tidak mendapatkan musibah.
b. Gharar dari segi kuantitas. Besaran klaim yang
akan diperoleh bersifat tidak pasti, tergantung
berapa lama ia telah membayar premi dan pada
saat kapan ia tertimpa musibah.

Gambar 4. Ilustrasi Gharar (Ketidakpastian)


Sumber : static.scientificamerican.com

10
Rasul SAW melarang transaksi gharar,
sebagaimana dalam hadits:

‫صاُةه َوعَنُ بَي ُع ه‬ ‫نَهَى َرسُو ُُل ّ ه‬


َ ‫ عَنُ بَيُ ُع ه ال َح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُ‫َللا‬
‫الغَ َر هُر‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah
yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror”
(HR. Muslim).

D. ASURANSI SYARI’AH
Asuransi syari’ah hadir dalam kancah bisnis
syari’ah tentu saja untuk menjawab kebutuhan para
pengusaha muslim akan asuransi yang halal, yang
transaksinya sesuai dengan syari’ah Islam. Jika
dalam asuransi konvensional terdapat unsur-unsur
yang diharamkan, seperti adanya unsur riba,
gharar dan maysir, maka kehadiran asuransi
syari’ah adalah berusaha untuk menghilangkan
unsur-unsur yang diharamkan tersebut.

11
Gambar 5. Ilustrasi Asuransi Syariah di Indonesia
Sumber : setkab.go.id

Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah asuransi


syari’ah yang saat ini telah hadir di tengah-tengah
kita sudah benar-benar telah terbebas dari unsur-
unsur yang diharamkan? Dengan kata lain, asuransi
syari’ah yang sekarang ini ada praktiknya sudah
sesuai dengan syari’ah Islam?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut,
marilah kita mulai dengan memahami apa yang
dimaksud dengan asuransi syari’ah. Definisi dari
Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi
dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/

12
pihak melalui investasi dalam bentuk aset
dan/atau tabarru’ (hibah) yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad yang sesuai dengan
syariah, yaitu akad yang tak mengandung
gharar (penipuan), perjudian, riba,
penganiayaan/kezaliman, suap, barang haram
dan maksiat (Fatwa DSN No 21/DSN-
MUI/IX/2001, hlm. 5; Al Ma’ayir Al Syar’iyah,
AAOIFI, 2010, hlm. 376).

Para penggagas asuransi syari’ah umumnya


menyandarkan dalilnya dengan dalil dari Nabi
SAW yang dikenal dengan istilah dalil Kaum
Asy’ariyin. Dalilnya adalah sebagai berikut:

13
Nabi SAW bersabda,”Kaum Asy’ariyin jika
mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau
jika makanan keluarga mereka di Madinah
menipis, mereka mengumpulkan apa yang
mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian
mereka bagi rata di antara mereka dalam satu
wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun
bagian dari mereka” (HR Muttafaq ‘alaih).
Itulah salah satu dalil yang menjadi
sandaran utama bagi keberadaan asuransi
syari’ah. Selanjutnya, kita juga harus memahami
bahwa dalam asuransi syari’ah juga dibagi lagi
menjadi dua jenis asuransi, yaitu:
1. Asuransi syariah tanpa tabungan (non saving).
Seluruh premi yang dibayarkan peserta
asuransi menjadi dana tabarru’ (hibah), yang
dikelola oleh perusahaan asuransi berdasar
akad wakalah bil ujrah.

14
Peserta mendapat dana pertanggungan dari
dana tabarru’ tersebut.
2. Asuransi syariah dengan tabungan (saving).
Premi yang dibayarkan dibagi dua: (1)
dana untuk tabarru’ dan (2) dana untuk
investasi. Dana tabarru’ dikelola perusahaan
asuransi yang mendapat ujrah (fee)
berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta
mendapat dana pertanggungan dari dana
tabarru’ tersebut. Dana investasi dikelola
perusahaan asuransi dengan akad
mudharabah atau musyarakah.
Setelah kita memahami jenis-jenis asuransi
syari’ah, maka selanjutnya marilah kita mengkaji
aqad-aqad yang digunakan dalam asuransi
syari’ah. Ada beberapa akad yang dijadikan
sebagai sandaran dari asuransi syari’ah,

15
yaitu (Andri Soemitra, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah, hlm. 265-266; Fatwa DSN
No 21/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah):
1. Akad hibah (tabarru’) di antara sesama
pemegang polis (peserta asuransi). Para
peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain
yang terkena musibah.
2. Akad mudharabah atau musyarakah,
dimana peserta bertindak sebagai shahibul
mal (pemegang polis), sedang perusahaan
bertindak sebagai mudharib (pengelola).
Akadnya mudharabah, jika perusaan
asuransi tidak sharing modal. Akadnya
musyarakah, jika perusahaan asuransi
sharing modal.

16
3. Akad ijarah (wakalah bil ujrah), yaitu akad
wakalah (pemberian kuasa) dari peserta
kepada perusahaan asuransi untuk
mengelola dana peserta dengan
memperoleh imbalan (ujrah/fee). Akad
wakalah bil ujrah terdapat pada asuransi
yang mengandung unsur tabungan (saving),
maupun yang unsur tabarru’ (non saving)
Setelah kita memahami akad-akad yang
digunakan dalam asuransi syari’ah, selanjutnya
marilah kita kaji bersama, apakah akad-akad
yang digunakan dalam asuransi syari’ah tersebut
sudah sesuai dengan ketentuan hukum syari’ah.
Untuk mengkajinya, kita akan meninjau
dalam dua tinjauan, yaitu tinjauan dari hukum
taklifi, selanjutnya adalah tinjauan dari aspek
hukum wadh’i.

17
E. TINJAUAN HUKUM TAKLIFI
Asuransi syari’ah, jika ditinjau dari aspek
hukum taklifi, ternyata masih terdapat unsur
yang diharamkan. Apa saja unsur-unsur yang
haram tersebut ? Marilah kita lihat satu per satu:

Gambar 6. Hukum Taklifi Dalam Hukum Islam


Sumber : quizizz.com

18
1. Dalam asuransi syari’ah masih terdapat
unsur multi akad, yaitu terjadi
penggabungan dua akad menjadi satu
akad. Pada asuransi syariah tanpa saving,
terjadi penggabungan akad hibah dengan
akad ijarah. Sedangkan pada asuransi
syariah dengan saving, terjadi
penggabungan akad hibah, akad ijarah dan
akad mudharabah. Dengan demikian,
asuransi syari’ah hukumnya haram.
Keharaman tersebut berdasarkan Hadits:
َُ‫ىَُللاُُعَ َليُ ههُ َوسَ ّلم‬
ّ ‫ص ّل‬َ ُ‫َُُللاه‬
ّ ‫نَهَىُ َرسُول‬
‫صف َقةٍُ َو ه‬
ٍ‫اح َدُة‬ َ ُ‫صف َقتَي هنُفهي‬
َ ُ‫عَن‬
“Rasulullah SAW telah melarang dua
kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan
(akad)” (HR. Imam Ahmad).

19
2. Akad hibah (tabarru’) dalam asuransi
ayariah tak sesuai dengan pengertian hibah.
Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah
memberikan kepemilikan tanpa kompensasi
(tamliik bilaa ‘iwadh). Peserta asuransi
memberikan dana hibah, tapi mengharap
mendapat kompensasi (‘iwadh/ta’widh). Ini
sama saja dengan menarik kembali hibah
yang diberikan, yang hukumnya haram,
sesuai sabda Nabi SAW:
ُ‫بُيَعُوُدُُفهيُ ََيئه هه‬
ُ ‫اَلعَائهدُُفهيُ ههبَته ههُ َكال َكل‬
“Orang yang menarik kembali hibahnya,
sama dengan anjing yang menjilat kembali
muntahannya” (HR Bukhari Muslim).

20
3. Masih terdapat unsur gharar (ketidaktentuan,
uncertainty) dalam Asuransi Syariah. Sebab
peserta tidak tahu dengan jelas apakah betul
dalam akad investasi perusahaan asuransi
bertindak sebagai pengelola, ataukah sebagai
pengelola sekaligus sebagai pemodal ketika
perusahan melempar dana ke pihak ketiga, dan
seterusnya. Peserta juga tak tahu dengan jelas ke
mana perusahaan asuransi akan
menginvestasikan dana yang ada, apakah ke
bank, bank konvensional atau bank syariah,
ataukah melakukan re-asuransi ke perusahaan
asuransi berikutnya, dan seterusnya. Adanya
gharar ini berarti menegaskan keharaman
Asuransi Syariah yang ada saat ini.
Paling tidak, masih ada 3 unsur keharaman
yang terdapat dalam asuransi syari’ah dalam
tinjauan hukum taklifi. Bagaimana dengan
tinjauan hukum wadh’i-nya?

21
F. TINJAUAN HUKUM WADH’I
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya,
dalam tinjauan hukum wadh’i, asuransi syari’ah
akan dikaji dari aspek sah atau tidaknya
landasan akad yang digunakan. Landasan akad
yang digunakan dalam asuransi syari’ah adalah
akad dhaman (Penjaminan Pelunasan Hutang).

Gambar 7. Ilustrasi Penjaminan Pelunasan Hutang


Sumber : docplayer.info

Oleh karena itu, dalam akad dhaman dalil yang


digunakan adalah dari Hadis Abu Qatadah RA:

22
‫ص هلي‬ َُ َ ‫َللا ُ عَ َلي هُه َوسَ ّل ُم‬
َ ُ‫ل ُي‬ ُّ ‫ص ّلى‬ َ ‫َللا‬ ُ‫عَنُ َجاب ه ٍُر ََا َُل َكانَُ َرسُو ُُل ّه‬
ٍُ ‫ات َوعَ َلي هُه َدينُ َف ُأتهيَُ ُب ه َمي ه‬
‫ت َف َقا َُل َأعَ َلي هُه َديُنُ ََا ُلوا‬ َُ ‫عَ َلى َر ُج ٍُل َم‬
َ‫احب ه ُُك ُم َف َقا َلُ َأبُو ََتَا َدُة‬
‫ص ه‬َ ‫ص ُّلوا عَ َلى‬ َ ‫نَعَمُ دهينَا َرا هُن ََا َُل‬
ُ‫ص ّلى عَ َلي هُه َرسُو ُُل ّه‬
‫َللا‬ َ ‫َللاُ ََا َُل َف‬ ُّ ‫ي ُه َما عَ َل‬
‫ي يَا َرسُو َلُ ّ ه‬ ُُّ ‫ار‬
‫ص ه‬ َ
َ ‫اْلن‬
َ ‫َللا ُ عَ َلي هُه َوسَ ّل ُم‬
ُّ ‫ص ّلى‬
َ
“Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tidak menshalatkan seseorang yang
meninggal dalam keadaan menanggung hutang.
Kemudian beliau dihadapkan kepada seorang yang
telah meninggal, lalu beliau bertanya: "Apakah ia
memiliki tanggungan hutang?" Mereka berkata;
Iya, dua dinar. Beliau berkata: "Shalatkan sahabat
kalian!" kemudian Abu Qatadah Al Anshari
berkata; keduanya menjadi tanggunganku wahai
Rasulullah! Jabir berkata; kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menshalatkannya” (Abu
Dawud no 2902).

23
Jika kita memahami hadits di atas, maka kita
dapat menarik pemahaman bahwa dalam akad
dhaman ada 3 pihak yang terlibat, yaitu:
1. Pihak yang menjamin atau penanggung
(dhamin), yaitu Abu Qatadah.
2. Pihak yang dijamin atau tertanggung
(madhmun anhu), yaitu jenazah.
3. Pihak yang mendapat jaminan atau
tanggungan (madhmun lahu), yaitu orang
yang memberi utang kepada jenazah.
Itulah 3 pihak yang harus ada dalam akad
dhaman. Bagaimana dengan asuransi syari’ah?
Jika akad asuransi syari’ah disamakan dengan
akad dhaman, maka kita dapat menilai kembali
pihak-pihak yang terlibat dalam asuransi
syari’ah. Pihak-pihak yang terlibat dalam
Asuransi Syariah adalah:

24
1. Pihak yang menjamin atau penanggung
(dhamin), yaitu para peserta.
2. Pihak yang mendapat jaminan atau
tanggungan (madhmun lahu) yaitu para
peserta.
3. Pihak yang dijamin atau tertanggung
(madhmun anhu), dalam asuransi syari’ah
ternyata tidak ada.
Dari penilaian terhadap pihak yang terlibat
dalam asuransi syari’ah, maka kesimpulan hukum
dari asuransi syari’ah adalah tidak sah (bathil),
karena ada rukun dhaman yang tidak terpenuhi.
Selain peninjauan pada pihak-pihak yang
terlibat dalam asuransi syari’ah, maka kita
dapat meninjau juga pada obyek aqadnya
(ma’quud alaihi).

25
Sebagaimana telah kita fahami, bahwa obyek
aqad yang sah dalam Islam hanya dua, yaitu:
barang atau jasa (manfa’at). Bagaimana
dengan obyek akad dalam asuransi syari’ah?
Apakah termasuk barang atau jasa?
Obyek aqad yang ada dalam asuransi
syari’ah ternyata tidak masuk dalam obyek
barang maupun jasa. Lantas masuk dalam
kategori obyek akad apa? Ternnyata obyek
akad dalam asuransi syari’ah adalah janji untuk
memberi ganti rugi. Padahal janji tidak dapat
dikategorikan sebagai barang maupun jasa.
Janji tidak dapat dimasukkan dalam aqad yang
sah dalam tijariyah Islam.
Kesimpulannya, janji dalam asuransi syari’ah
tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.

26
Lantas, bagaimana dengan dalil hadis
Asy’ariyin, sebagaimana yang digunakan
sebagai dalil dari asuransi syari’ah? Penggunaan
dalil hadis Asy’ariyin dapat dianggap sebagai
penggunaan dalil yang tidak tepat. Mengapa?
Sebab, dalam hadis tersebut bahaya terjadi
lebih dahulu, baru terjadi proses ta’awun (tolong
menolong). Sedangkan pada asuransi syariah,
ta’awun dilakukan lebih dahulu, padahal
bahayanya belum terjadi sama sekali.
Kesimpulannya, menggunakan hadis
Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah
istidlal yang tidak tepat.

27

Anda mungkin juga menyukai