Anda di halaman 1dari 4

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat,
dan jumlah aliran darah kolateral.
1. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) dan hemiplagia (paralisis pada
salah satu sisi tubuh) dari satu sisi tubuh dapat terjadi setelah stroke. Kekurangan
kemampuan ini biasanya disebabkan oleh stroke pada arteri serebral anterior atau
arteri serebral medial, yang menyebabkan infark pada korteks frontal. Infark di
sisi kanan otak menyebabkan hemiplegia sisi kiri dan sebaliknya, karena serabut
saraf menyeberang di saluran piramida ketika rangsangan saraf berjalan dari otak
ke korda spinalis. Akibatnya, hemiparesis dan hemiplegia sering disertai dengan
manifestasi lain dari stroke, termasuk kehilangan hemisensory, hemianopia,
apraxia, agnosia, dan aphasia.
2. Afasia, yaitu penurunan kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin melibatkan
salah satu atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara, membaca, menulis,
dan pemahaman bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa terletak di belahan otak
kiri dan diperdarahi oleh arteri serebri medial kiri.
a) Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman
komunikasi dimana kemampuan komunikasi hanya mampu mengeluarkan isi
pikiran, berbicara dengan memakai kalimat yang panjang namun yang
dibicarakan tidak mempunyai arti. Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak
mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya pada pasien tersebut terlihat tidak
nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak mampu menginterpretasikan
pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik. Afasia Wernicke
berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan infark
pada lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata, seperti
duduk! atau makan!, juga tidak dipahami. Pasien tersebut hanya mengerti
bila dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak melalui
penglihatan.
b) Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara.
Namun, penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan
gerakan tubuh sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan
kerusakan di area Broca. Area Broca adalah bagian dari otak manusia yang
terletak di gyrus frontalis superior pada lobus korteks otak besar. Area Broca
letaknya berdampingan dengan area Wernicke. Karena kerusakan terjadi

berdampingan dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh, penderita


juga lumpuh di otot-otot tubuh sebelah kanan.
3. Disfagia, menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan
beberapa fungsi saraf kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup
bibir (CN VII: N. Pachialis), dan lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus).
Mulut merasakan rasa dan banyaknya bolus makanan yang masuk (CN V dan VII)
dan mengirim pesan ke pusat menelan (CN V dan IX). Selama menelan, lidah
mengerakkan bolus makanan ke arah orofaring tersebut. Faring diangkat dan
glotis menutup. Kontraksi otot-otot faring mengangkut makanan dari faring ke
esofagus. Peristaltik menggerakkan makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah
sistem vertebrobasilar menyebabkan disfagia.
4. Dysarthria, merupakan artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan
dalam berbicara. Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia.
Dengan dysarthria klien mengerti bahasa tetapi memiliki kesulitan mengucapkan
kata-kata. Tidak ada gangguan jelas dalam tata bahasa atau dalam konstruksi
kalimat. Seorang klien dysarthric dapat memahami komunikasi verbal dan dapat
membaca dan menulis (kecuali tangan dominan adalah lumpuh, tidak ada, atau
terluka). Dysarthria disebabkan oleh gangguan fungsi nervus cranial dari
penyumbatan pembuluh darah di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan atau paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan
laring atau kehilangan sensasi. Tambahan, klien dengan dysarthria akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan karena kehilangan kontrol
otak.
5. Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik secara
kompleks. Oleh karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di beberapa area
otak. Klien apraxia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memakai
baju. Klien dengan apraxia mampu mengkonseptualisasikan isi dari pesan yang
akan disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut tidak dapat direkonstruksikan oleh
otot.
6. Perubahan Visual, penyumbatan di lobus parietal dan temporal dapat memotong
serat saraf visual di traktus optikus dalam perjalanan ke korteks oksipital dan
memnyebabkan gangguan ketajaman penglihatan. Persepsi tentang penglihatan
mungkin terganggu. Gangguan penglihatan dapat mempengaruhi terhadap
ketidakmampuan klien untuk mempelajari keterampilan motorik. Infark dapat
menyebabkan fungsi dari CN III, IV, dan VI lumpuh dan diplopia.

7. Sindrom Horners, adalah paralisis saraf simpatis mata yang dapat menyebabkan
tenggelamnya bola mata, kontriksi pupil dan penurunan produksi air mata.
8. Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mempersepsikan sensasi yang ada.
Biasanya lebih banyak terjadi tipe visual dan auditori. Agnosia mungkin dapat
disebabkan dari oklusi di arteri serebral medial dan posterior yang mensuplai
aliran darah ke lobus temporal atau oksipital. Klien dengan visual agnosia dapat
melihat objek tetapi tidak dapat mempersepsikan objek tersebut. Disorientasi
dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk mengenal lingkungan, suatu yang
familiar atau simbol-simbol tertentu. Visual agnosia dapat menigkatkan resiko
injuri karena tidak dapat mengenal tanda-tanda atau symbol-simbol bahaya. Klien
dengan agnosia auditori tidak dapat mengartikan suara yang klien dengar karena
penurunan fungsi pendengaran atau kesadaran.
9. Defisit Sensorik, beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke
dalam perubahan sensorik dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus
parietalis yang disuplai oleh arteri serebral anterior atau medial. Defisit tersebut
pada sisi kontralateral tubuh dan sering disertai dengan hemiplegia atau
hemiparesis. Sensasi rasa sakit yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan temperatur
yang mempengaruhi variasi tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai persisten,
rasa sakit terbakar berupa mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau
kepekaan yang meningkat. Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi kaki
yang salah saat berjalan.
10. Perubahan Perilaku, berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan
emosi. Korteks serebral interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal
dan limbik memodulasi tanggapan emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan
kelenjar pituitary berkerja sama dengan dengan korteks motorik dan area bahasa.
Otak dapat dilihat sebagai modulator emosi, dan ketika otak tidak berfungsi
sepenuhnya, reaksi emosional dan tanggapan kekurangan modulasi ini. Orang
dengan stroke di otak kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat, dan tidak
terorganisir. Orang dengan stroke di otak kanan, atau tidak dominan, hemisfer
sering impulsif, melebih-lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang perhatian
menurun, yang meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal dari stroke
di arteri serebral anterior atau medial dapat menyebabkan gangguan pada memori,
penilaian, berpikir abstrak, wawasan, hambatan, dan emosi. Klien mungkin
menunjukkan pengaruh yang datar, kurangnya spontanitas, dan pelupa.

11. Inkontinensia, stroke dapat menyebabkan disfungsi usus dan kandung kemih.
Salah satu jenis neurologis kandung kemih, kadang-kadang terjadi setelah stroke.
Saraf mengirim pesan untuk pengisian kandung kemih ke otak, tapi otak tidak
menafsirkan pesan tersebut dan tidak mengirimkan pesan untuk tidak buang air
kecil ke kandung kemih. Hal ini menyebabkan frekuensi, urgensi, dan
inkontinensia.

Anda mungkin juga menyukai