Anda di halaman 1dari 73

Terapi Retardasi Mental

Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai berikut :
1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori)
Guru atau orang tua tidak secara langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba
memberi peluang pada anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang
dewasa. Tujuan ini bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien.
2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untuk memilih kebutuhan yang sesuai dengan
minatnya)
Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian dari kurikulum yang
diberikan.
3. Terapi perilaku
Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak tersebut, misalnya tidak
mau bermain games, cara pandang terhadap sesuatu dan lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk
mengubah perilaku yang cenderung agresif dan menciptakan self injury.
4. Terapi bicara
Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena pada dasarnya, anak retardasi
mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah kata-kata
5. Terapi sosialisasi
Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, yaitu tetap menjalin komunikasi
dengan orang lain atau individu di sekitarnya dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi
secara verbal sehingga disini akan menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh
lingkungan, dan motivasi pada diri pasien agar tetap survive dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari.
6. Terapi bermain
Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa hasil karya, atau sebuah
permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah kemampuan pasien di bidang kognitif
yaitu dengan cara merangsang proses berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga
disini pasien diajak untuk dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian dapat
meningkatkan imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi tentang sesuatu hal
yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara meningkatkan
dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk yang berbeda-beda
sehingga pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan keanekaragaman tentang macammacam jenis permainan atau hasil karya yang dia temui.
7. Terapi menulis
Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya terapi yaitu dengan cara
pasien diajak untuk menulis di selembar kertas berupa serangkaian kata-kata. Tujuan daripada
terapi ini adalah untuk melemaskan otot atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh
pasien tidak kaku dan lebih fleksibel dalam menanggapi respon atau stimulus yang berada di
sampingnya.

8. Terapi okupasi
Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf anak tersebut seperti pada
bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat
pasien berusia muda, karena pada masa muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat
elastis dan dapat menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan.
9. Terapi musik
Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat mendengarkan dan memaknai
sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah fungsi auditory pasien akan
stimulus suara yang di dengarkannya.

Peran Terapi Permainan untuk


Tunagrahita
by on April 29, 2011
Memberi layanan pembelajaran pada anak dengan hendaya perkembanga (tunagrahita)
banyak menemui hambatan. Namun, ada banyak cara yang bisa dicoba untuk memudahkan
hal yanng sulit tersebut. Salah satu cara adalah memaksimalkan terapi permainan.

Terapi permainan ialah penggunaan media permainan (alat dan cara bermain) dalam
pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus. Tujuannya adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan gangguan-gangguanatau penyimpangan-penyimpangan. Seperti gangguan
dan penyimpanga pada fisik, mental, sosial, sensorik, dan komunikasi.
Ada beberapa peran terapi permainan dalam pembelajaran, yaitu :

Terapi permaina sebagai sarana pencegahan. Mencegah kesulitan, menambah


masalah, dan menghambat proses pembelajaran.

Terapi permaina sebagai sarana penyembuhan. Dalam hal ini terapi permainan dapat
mengembalikan fungsi fisik, psiko-terapi, fungsi sosial, melatih komunikasi, dll.

Terapi permainan sebagai sarana penyesuaian diri. Aktivitas permainan yang


dilakukan secara berkelompok dapat membantu anak yang berkelainan untuk lebih
mudah beradaptasi dengan lingkungan.

Terapi permaina sebagai sarana untuk mempertajam pengindraan. Misalnya


permainan warna membantu anak yang berkelainan pada mata.

Terapi permainan sebagai sarana untuk mengembangkan kepribadian.

Terapi permainan sebagai saran untuk melatih aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Khususnya untuk anak perempuan.

Terapi permainan ini harus disesuaikan dengan komposisi bahan ajar apa yang akan diberikan
kepada anak. Misalnya untuk belajar berhitung, membaca, menulis, pemberian penghargaan
atas sebuah jerih payah, kehidupan sehari-hari, dll.
TERAPI PEMAINAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA
A.

Pengertian
1. Terapi
Terapi berasal dari kata therapy atau therapeutics yang berarti

menyembuhkan

atau

pengobatan

(Prof.

Drs.

S.

Wojowasito-W.J.S.

Poerwadarminta,1991;232).
Terapi secara umum berkaitan erat dengan masalah kesehatan,
sehingga orang yang mengalami gangguan kesehatan mencari alternatif
penyembuhan dari penyakitnya dengan melakukan terapi.
Dalam kamus psikologi disebutkan bahwa terapi adalah therapy atau
theurapeutics yang merupakan cabang ilmu kedokteran ysng membahas
perlakuan dengan maksud untuk mengobati atau menghindarkan penyakit;
istilah terapi digunakan juga dengan pengertian yang serupa, walaupun titik
berat diletakkan pada sarana-sarana praktis yang digunakan, ketimbang basis
ilmiahnya.
Dari pengertian tadi maka dapat dipastikan bahwa terapi dilakukan
ketika orang mengalami masalah dalam tubuhnya baik yang dirasakan dari
dalam maupun yang nampak dari luar atau tampilan.
Pada saat ini istilah terapi semakin banyak digunakan bukan hanya dalam
proses gangguan kesehatan secara fisik, tetapi juga dalam usaha mengobati
gangguan perilaku, atau masalah psikologis.
Kaitannya dengan anak Tunagrahita Ringan, terapi dibutuhkan untuk
memperbaiki hal-hal yang ditimbulkan akibat dari ketunagrahitaannya, sehingga
mereka mengalami ketidaksesuaian dalam beberapa aspek perkembangannya.

2. Permainan
Ketika

kita menyebutkan kata permainan maka secara otomatis kita

membicarakan juga kegiatan bermain.


Permainan (Play) merupakan suatu bentuk dari kegiatan bermain yang
memiliki aturan yang sudah ditetapkan dengan segala kelengkapannya, mulai
dari aturan main, jumlah pemain sampai ke tahap penilaian.
Sementara itu kalau kita membicarakan tentang bermain maka dapat
diartikan

sebagai

suatu

kegiatan

yang

menggembirakan

tanpa

terlalu

memperhatikan tentang aturan, tetapi didalamnya tetap memiliki unsur yang


positif bagi anak, khususnya bagi anak tunagrahita.
Elizabeth B. Hurlock, (1993;320), menyatakan bahwa arti yang paling
tepat dari bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan secara sukarela dan
tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Menurut Bettelheim
kegiatan bermain adalah kegiatan yang tidak mempunyai peraturan lain kecuali
yang ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan
dalam realitas luar. Bermain terbagi ke dalam dua kategori yaitu bermain aktif
dan pasif (hiburan).

3.

Terapi Permainan
Terapi Permainan atau dalam istilah psikologi disebut juga Play Therapy

merupakan teknik psikoterapi yang didasarkan pada asumsi, bahwa keinginankeinginan tak sadar seorang anak, konflik dan rasa ketakutannya akan sering
diketahui dengan melihat aktivitas bermainnya; atau permainan yang dirancang
membantu pasien, biasanya seorang anak, guna melepaskan tegangan atau
mempelajari penyesuaian yang memadai kepada situasi yang mengganggunya
(A. R. Henry Sitanggang, S.H. , 1994;333).

Dari pengertian Terapi Permainan, maka jelas dikatakan bahwa perilaku


anak akan terlihat jelas sampai sejauh mana mereka menanggapi setiap
permainan yang ditawarkan kepadanya sehingga setiap ekfresi yang ditampilkan
bisa dianggap sebagai reaksi atas apa yang mereka rasakan ketika terlibat
dalam setiap permainan.

Dengan mengamati reaksi anak maka dapat ditemukan permainan yang


tepat untuk digunakan sebagai terapi.

B.

Manfaat Terapi Permainan


Sesuai dengan tujuan sebuah terapi, tentunya Terapi Permainan pun

memiliki sasaran dan diharapkan memberikan manfaat yang mengarah pada


perbaikan bagi anak yang diterapi, dalam hal ini Anak Tunagrahita Ringan.
Dalam permainan terjadi beberapa proses pembentukan pada anak, baik
dari segi fisik dengan bergerak, kognitif dengan mengikuti setiap langkah
permainan, sosial dengan mengenal teman bermain, maupun emosi anak
dengan merasakan sensasi dan kegembiraan. Ini semua akan sangat bermanfaat
apabila diterapkan pada anak tunagrahita yang secara fisik, sosial dan emosinya
mengalami gangguan.
Ada beberapa teori yang menyatakan tentang pengaruh yang baik dari
permainan dalam membantu anak mengatasi setiap tahap perkembangannya.
Dr. Benyamin Spock (2004;59), memberikan pendapatnya tentang
keuntungan yang diperoleh ketika anak bermain dalam kelompoknya, mereka
akan mempelajari bagaimana caranya untuk mengembangkan keahlian yang
dikandung dalam tubuh mereka, kreativitas mereka dan kecerdikan mereka
serta sikap sosial mereka.
Sementara itu Deborah K. Parker M. Ed. (2006;45) menyatakan, melalui
permainan, anak akan memahami siapa diri mereka, memahami apa yang bisa
mereka lakukan dan menyadari bahwa mereka bisa mengurus kepentingan diri
mereka sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas tadi terdapat kesamaan pandangan,
bahwa melalui permainan anak akan mengenal dirinya, potensi yang dimilikinya
serta memacu mereka untuk lebih kreatif serta berani bersikap dalam mengikuti
alur permainan yang tanpa mereka sadari telah membawanya ke dalam satu
proses yang telah dapat meningkatkan kemampuannya.
Selain itu melalui permainan, anak dilatih untuk mengenal karakter orang
lain, lalu memahami alur permaian serta melatih mereka untuk bersikap sportif

ketika megalami kegagalan. Dengan mengenal karakater orang lain dalam hal ini
teman bermainnya, sudah mengarahkan anak pada kehidupan sosial, kemudian
memahami alur permainan, jelas ini membantu anak dalam proses berpikir
sedangkan bersikap sportif, tentunya ini berkaitan erat dengan pengendalian
emosi, melatih anak untuk mampu bersikap lapang dada.

PELAKSANAAN TERAPI PERMAINAN

A.

Karakteristik Anak
Terapi permainan ini diberikan pada Anak Tunagrahita Ringan, Kelas I, II

dan III SDLB, yang memiliki karakteristik sebagai berikut :


1.

Fisik

Kemampuan motoriknya kurang baik


Sebagian anak mengalami hiperaktif
Sikap tubuh yang tidak serasi
2.

Kognitif

Kurang semangat belajar


Tidak dapat berkonsentrasi
Lambat dalam membaca dan menulis
3.

Sosial

Tidak mampu menyesuaikan diri


Kurang mengenal lingkungan sekitar
Kurang bertoleransi
4.

Emosi

Kurang mampu mengontrol emosi


Kurang peka dengan situasi yang terjadi
Tidak berani untuk melakukan hal-hal yang baru.

B.

Tujuan Terapi
Terapi Permainan memiliki tujuan untuk mengatasi setiap hambatan yang

dialami oleh Anak Tunagrahita Ringan, yaitu :


Melatih motorik anak melalui gerakan dalam permainan
Mengarahkan energi yang berlebihan pada anak yang hiperaktif, menjadi lebih
terarah dan efektif
Membentuk sikap tubuh yang baik
Melatih konsentrasi anak
Mengenal pola hitungan

Menanamkan rasa percaya diri pada anak


Melatih kepedulian anak pada lingkungan sekitarnya
Melatih anak untuk mampu mengendalikan emosi

C.

Bentuk Terapi Permainan


Pada kesempatan ini dibuat tiga jenis permainan yang semuanya

memuat unsur-unsur yang dapat merangsang dan melatih anak dalam setiap
aspek yang diterapi.
1.

Menebak Nama
a. Jumlah Pemain 3 5 orang

b. Lama Permainan 15 menit


c.

Indikator :

Anak dapat melatih indra pendengaran, dengan mengetahui arah suara


Anak dapat melatih daya ingatnya dengan menebak nama dari suaranya
d. Jalannya Permainan :
Dilakukan pengundian untuk menentukan posisi anak penebak dan yang ditebak
(penebak 1 orang, yang ditebak 2 atau 4 orang)
Anak yang menjadi penebak ditutup matanya, anak yang akan ditebak berdiri di
sekeliling penebak
Satu orang anak yang ditebak memanggil penebak
Penebak mendatangi anak yang memanggil dan menebak namanya, kalau tidak
tertebak dilanjutkan oleh anak yang lain memanggil penebak, kemudian
penebak mendatangi anak tersebut, kalau tertebak maka posisi penebak diganti
oleh anak yang tertebak
Begitu terus sampai semua anak mendapat giliran.
Guru mengatur jalannya permainan.

2.

Memasukkan paku ke dalam botol


a. Jumlah Pemain 2 6 orang
b. Lama Permainan 15 menit
c.

Indikator :

Anak dapat mengendalikan emosinya


Anak dapat berkonsentrasi
d.

Jalannya Permainan :

Anak dibagi dua kelompok.

Guru mengikat paku dengan tali, kemudian diikatkan di pinggang setiap anak
(posisi paku ada di tengah dan agak menjuntai)
Anak berdiri sejajar, setelah guru memberi aba-aba mulai, anak berjalan ke arah
botol
Posisi anak membelakangi botol, selanjutnya berusaha memasukkan paku ke
dalam botol
Anak yang pertama dapat memasukkan paku, menjadi pemenangnya
Selanjutnya diteruskan dengan kelompok kedua.

3.

Mengendalikan Kuda
a. Jumlah Pemain 4 8 orang (setiap peserta terdiri dari 2
orang)
b. Lama Permainan 30 menit
c.

Indikator :

Anak dapat bekerjasama dengan teman mainnya


Anak dapat bersikap sportif
Anak dapat berlari sesuai arah
d.

Jalannya Permainan :

Setiap peserta terdiri dari 2 orang, satu orang berperan sebagai kuda dan yang
satu lagi berperan menjadi joki
Guru membuat garis start dan finish
Peserta dibagi menjadi dua, tiga atau empat kelompok
Guru memasangkan tali (sebagai kendali) di badan anak yang berperan sebagai
kuda.
Ujung tali ditarik ke belakang lalu dipegang oleh anak yang berperan sebagai joki
Setiap peserta berdiri di garis start

Guru memberi aba-aba mulai


Setiap peserta berlomba berlari ke arah garis finish
Lakukan beberapa kali dengan bergantian peran
Terapi Untuk Tunagrahita

Pengertian
Tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk anak atau individu yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata
Klasifikasi:
1. Tuna grahita ringan(mampu didik).
Kelompok ini mempunyai IQ 68-52.Mereka masih dapat belajar
membaca,menulis dan berhitung sederhana.Mereka juga masih bisa dididik
menjadi tenaga kerja semi skilled seperti pekerjaan laundry,bertani,peternakan
dan pekerjaan rumah tangga.
2. Tuna grahita sedang(mampu latih)
Kelompok ini mempunyai IQ 51-36.Mereka masih dapat menulis sendiri secara
socia nama dan alamatnya .Dapat dididik dalam hal bina diri seperti
mandi,makan,berpakaian dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan
seperti menyapu,membersihkan perabot rumah tangga lainya.
3. Tuna grahita berat
Kelompok ini mempunyai IQ 39-25.Anak grahita berat membutuhkan bantuan
perawatan secara total dalam hal berpakaian ,mandi,makan dll.bahkan merekan
membutuhkan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.

Jenis-jenis Terapy yang dibutuhkan untuk anak tunagrahita


Fisioterapi : Suatu terapi awal yang diperlukan oleh anak tuna grahita

dikarenakan tuna grahita terlahir dengan tonus yang lemah, dengan terapi awal
ini berguna untuk menguatkan otot-otot mereka sehingga kelemahannya dapat
di atasi dengan latihan-latihan penguatan otot.
Terapi Wicara
Suatu terapi yang di pelukan untuk anak tuna grahita atau anak bermasalah
dengan keterlambatan bicara, dengan deteksi dini di perlukan untuk mengetahui
seawal mungkin menemukan gangguan kemampuan berkomunikasi, sebagai
dasar untuk memberikan pelayanan terapi wicara.
Terapi Okupasi
Terapi ini di berikan untuk dasar anak dalam hal kemandirian,
kognitif/pemahaman, dan kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian
diberikan kerena pada dasarnya anak "bermasalah" tergantung pada orang lain
atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa komunikasi dan
memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan
dan koordinasi, dengan atau tanpa menggunakan alat.
Terapi Remedial
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan akademis skill, jadi
bahan bahan dari sekolah bias dijadikan acuan program.
Terapi kognitif
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan perceptual,
missal anak yang tidak bias berkonsentrasi, anak yang mengalami gangguan
pemahaman, dll.
Terapi sensori integrasi
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan pengintegrasian
sensori, misalnya sensori visual, sensori taktil, sensori pendengaran, sensori
keseimbangan, pengintegrasian antara otak kanan dan otak kiri, dll.
Anak di ajarkan berprilaku umum dengan pemberian system reward dan
punishment. Bilan anak melakukan apa yang di perintahkan dengan benar,
makan diberikan pujian. Jika sebaliknya anak dapat hukuman jika anak
melakukan hal yang tidak benar. Dengan perintah sederhana dan yang mudah di
mengerti anak.
Terapi snoezelen
Snoezelen adalah suatu aktifitas terapi yang dilakukan untuk mempengaruhi
CNS melalui pemberian stimulasi pada system sensori primer seperti visual,
auditori, taktil. Taste, dan smell serta system sensori internal seperti vestibular
dan proprioceptif dengan tujuan untuk mencapai relaksasi dan atau aktifiti.
Snoezelen merupakan metode terapi multisensories.
Terapi ini di berikan pada anak yang mengalami gangguan perkembangan
motorik, misalnya anak yang mengalami keterlambatan berjalan.

Penanganan Terkini Retardasi Mental Pada Anak


Posted on Mei 5, 2013 by The Doctor Indonesia Tinggalkan komentar

Retardasi mental adalah kondisi sebelum usia 18 tahun yang ditandai dengan
rendahnya kecerdasan biasanya nilai IQ-nya di bawah 70 dan sulit beradaptasi dengan
kehidupan sehari-hari. Retardasi mental tertuju pada sekelompok kelainan pada fungsi
intelektual dan defisit pada kemampuan adaptif yang terjadi sebelum usia dewasa.
Akan tetapi, klasifikasi retardasi mental lebih bergantung pada hasil penilaian IQ dari
pada kemampuan adaptif.
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkem-bangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
Menurut The American Association on Mental Deficiency (AAMD), definisi retardasi mental
mencakup dua dimensi utama yaitu perilaku adaptif dan kecerdasan. Retardasi mental
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana fungsi intelektual umum dibawah rerata normal
disertai dengan kekurangan atau hendaya dalam perilaku adaptif yang muncul pada periode
perkembangan.
Terdapat dua model pendekatan yang dipakai yaitu model pendekatan biomedik dan
pendekatan sosiokultural. Dari pendekatan biomedik lebih menitikberatkan pada perubahanperubahan dasar pada sistem otak, sedangkan pendekatan sosiokultural menyotroti fungsifungsi sosial dan adaptasi secara umum untuk mengikuti norma-norma yang berlaku.
Beberapa istilah yang dipakai untuk retardasi mental adalah keterbelakangan mental, lemah
ingatan, cacat mental, tuna mental. Istilah asing yang sering digunakan adalah mental
deficiency, oligophrenia, amentia, dan mental subnormality
Prevalensi retardasi mental dari dari populasi umum sekitar 1-3%. Rasio laki-laki dan
perempuan yaitu 1,5:1. Sekitar 85% dari seluruh kasus merupakan kasus Ringan.
Klasifikasi
1. Retardasi mental ringan. Antara IQ 50-55 hingga 70. Mereka tidak
selalu dapat dibedakan dengan anak-anak normal sebelum mulai
bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari
keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan level 6. Mereka
dapat bekerja ketika dewasa, pekerjaan yang tidak memerlukan
keterampilan yang rumit dan mereka bisa mempunyai anak
2. Retardasi mental sedang. Antara IQ 35-40 hingga 50-55. Orang yang
mengalami retardasi mental sedang dapat memiliki kelemahan fisik dan
disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang
normal, seperti memegang dan mewarnai dalam garis, dan keterampilan
motorik kasar, seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu, dengan
banyak bimbingan dan latihan, berpergian sendiri di daerah lokal yang
tidak asing bagi mereka. Banyak yang tinggal di institusi penampungan,
namun sebagian besar hidup bergantung bersama keluarga atau rumahrumah bersama yang disupervisi

3. Retardasi mental berat . Antara IQ 20-25 hingga 35-40. Umumnya


mereka memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam
pengendalian sensori motor. Sebagian besar tinggal di institusi
penampungan dan membutuhkan bantuan supervisi terus menerus.

Menurut PPDGJ III (1993) kriteria diagnosis untuk retardasi mental meliputi:
1. Fungsi intelektual umum secara bermakna dibawah rata-rata IQ 70 atau
lebih rendah pada tes yang dilakukan individual (pada bayi karena tes
intelegensi yang tersedia tidak dapat dinilai dengan angka, fungsi
intelektual rata-rata dapat dibuat berdasarkan pertimbangan klinik).
2. Bersamaan dengan itu, terdapat kekurangan atau hendaya dalam perilaku
adaptif yang dipertimbangkan menurut umur dan budaya.
3. Timbul sebelum usia 18 tahun

Dalam PPDGJ III (1993), retardasi mental diberi nomor kode F70-F73, F78 dan F79.
Karakter keempat digunakan untuk menentukan luasnya hendaya perilaku, bila hal ini bukan
disebabkan oleh suatu gangguan lain yang menyertai:

F7x.0 = Tidak ada, atau terdapat hendaya perilaku minimalF7x.1 =


Terdapatnya hendaya perilaku yang bermakna dan memerlukan perhatian
atau terapi

F7x.8 =

Hendaya perilaku lainnya

F7x.9 =

Tanpa penyebutan dari hendaya perilaku

Bila penyebab retardasi mental diketahui, maka suatu kode tambahan dari ICD-10 harus
digunakan (misalnya F72 Retardasi Mental Berat ditambah E00 Sindroma Defisiensi Yodium
Kongenital).
Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
F70

Ringan

Taraf IQ

50-69

F71

Sedang

Taraf IQ

35-49

F72

Berat

Taraf IQ

20-34

F73

Sangat Berat

Taraf IQ

dibawah 20

F78
:
Lainnya, bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan memakai
prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
gangguan sensorik atau fisik misalnya buta, bisu tuli dan penderita yang
perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
F79
:
Yang Tidak Tergolongkan (unspecified), bila jelas terdapat retardasi
mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk menggolongkannya dalam
salah satu kategori tersebut diatas.

Untuk klasifikasi yang tidak tergolongkan dipakai apabila terdapat dugaan kuat
adanya retardasi mental tetapi individu tidak dapat dites dengan tes intelegensi
standar karena gangguannya terlalu berat atau mereka tidak kooperatif untuk
dites. Keadaan ini dapat terjadi pada anak, remaja atau dewasa. Pada bayi
karena tes yang tersedia tidak menghasilkan nilai IQ menurut angka, maka
penggolongan kedalam diagnosis ini dapat juga dilakukan bila terdapat
pertimbangan klinik yang menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata.

Pada umumnya, makin muda seseorang makin sulit untuk menegakkan diagnosis retardasi
mental kecuali terdapat retardasi mental yang sangat berat. Kategori ini tidak boleh
digunakan bila fungsi intelektual diduga diatas 70.
Klasifikasi menurut faktor sosial dan pendidikan sebagai berikut

Bodoh atau bebal, bila IQ 65-85, taraf perbatasan, tidak sanggup


bersaing mencari nafkah dan beberapa kali tidak naik kelas di SD.

Debilitas (keadaan tolol), bila IQ 52-64, termasuk kategori retardasi


mental ringan, dapat mencari nafkah secara sederhana dalam keadaan
baik, dapat dididik dan dilatih di sekolah khusus.

Imbisilitas (keadaan dungu), bila IQ 35-51 (retardasi mental sedang)


atau IQ 20-35 (retardasi mental berat), mengenal bahaya, ridak bisa
mencari nafkah, tidak dapat dididik dan dilatih.

Idiosi (keadaan pandir) jika IQ kurang dari 20, termasuk golongan


retardasi mental sangat berat, tidak mengenal bahaya, tidak dapat
mengurus diri sendiri, tidak dapat dididik dan dilatih.

Penyebab:
Dua puluh lima persen dari penderita retardasi mental disebabkan oleh faktor biologik. Yang
paling sering terdapat adalah kelainan kromosom atau metabolisme seperti pada sindroma
down, phenil keton uria dan ibu yang banyak minum alkohol sewaktu hamil. Pada retardasi
mental yang etiologinya faktor biologik, perbandingan jumlah penderita antara golongan
sosial ekonomi tinggi dan rendah adalah sama, tidak ada peningkatan prevalensi pada
anggota keluarga kecuali bila disebabkan oleh karena kelainan genetik seperti
phenilketonuria. Untuk 75% sisanya tidak didapatkan faktor biologik. Retardasi mental tanpa
etiologi biologik dapat dikaitkan dengan berbagai jenis deprivasi psikososial seperti deprivasi
stimulasi, sosial, bahasa dan intelektual (PPDGJ II, 1983). Taraf kekurangan intelektual
biasanya ringan, diagnosis biasanya ditegakkan pada waktu masuk sekolah, lebih banyak
terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah dan sering terdapat pola keluarga dengan taraf
retardasi mental yang sama dengan orang tua atau sauda

Kelainan kromosom meliputi down syndrom,fragile x syndrome , prader


willi syndrome dan cat-cry syndrom. A)Wanita yang terserang virus rubella
ketika hamil akan mengalami infeksi maternal, sehingga akan
menyebabkan malformasi kongental. B) Penyakit inklusi sitomeganik pada

ibu > kematian anak,kalsifikasi sereberal, hidrosefalus >RM. C) Sifilis pada


wanita hamil akan menimbulkan neuropatologis pada bayi yang
menyebabkan RM. D) Taxoplasma menyebabkan RM ringan dan berat
pada anakMengatasi bukan lahmudah,,makanya lebih baik menghindari
RM tesebut. E) Klasifikasi retardasi mental menurut DSM-IV-TR yaitu :

Kelainan genetika = fenilketonuria, gangguan RET

Faktor Penyebab berdasarkan periode janin dan anak


Faktor prenatal:

Inborn error of metabolisme (Gangguan metabolisme asam amino yaitu


Phenyl Keton Uria (PKU), Maple Syrup Urine Disease, gangguan siklus urea,
histidiemia, homosistinuria, Distrofia okulorenal Lowe, hiperprolinemia,
tirosinosis dan hiperlisinemia. Gangguan metabolisme lemak yaitu
degenerasi serebromakuler dan lekoensefalopati progresif. Gangguan
metabolisme karbohidrat yaitu galaktosemia dan glycogen storabe
disease. Gangguan metabolik lain yaitu hiperkalsemia idiopatik,
hipoparatiroidisme, sindroma Criggler-Najjar, piridoksin dependensi,
penyakit Wilson, mukopolisakaridosis.

Aberasi Kromosom (Gangguan Autosom yaitu Sindroma Down, Cat cry


sindrom, sindroma kromosom trisomi 13, 18, 22, distrofia miotonika,
epiloia (tuberous sclerosis), neurofibromatosis, sindroma Sturge-Weber
(angiomatosis ensefalofasial), penyakit Lindau (angiomatosis
retinoserebeler), sindroma Marfan (arakhnodaktili), sindroma Sjorgen,
ichtyosis kongenital, akhondroplasia, kraniosinostosis, hipertelorisme,
diabetes insifidus nefrogenik. Gangguan kromosom kelamin yaitu
sindroma Klinefelter, sindroma Turner. Gangguan perkembangan lainnya
yaitu anensefali, parensefali, mikrosefali, agiria, hidrosefalus agenesis
korpus kalosum, sindroma Laurence-Biedl, sindroma Prader-Willi, ataksia
teleangiektasia, penyakit Norrie, penyakit Kinky-hair.

Infeksi maternal selama kehamilan, yaitu infeksi TORCH dan Sifilis.


Cytomegali inclusion body disease merupakan penyakit infeksi virus yang
paling sering menyebabkan retardasi mental. Infeksi virus ringan atau
subklinik pada ibu hamil dapat menyebabkan kerusakan otak janin yang
bersifat fatal. Penyakit Rubella kongenital juga dapat menyebabkan defisit
mental. Terdapat hubungan antara lama ibu hamil terinfeksi dengan
kejadian abnormalitas pada janin. Bayi baru lahir dengan toksoplasmosis
menunjukkan kelemahan, spastisitas, hidrosefalus atau mikrosefalus, yang
kemudian bermanifestasi sebagai defisit mental.

Komplikasi kehamilan meliputi toksemia gravidarum, Diabetes Mellitus


pada ibu hamil yang tak terkontrol, malnutrisi, anoksia janin akibat
plasenta previa dan solutio plasenta serta penggunaan sitostatika selama
hamil.

Faktor perinatal

Prematuritas. Dengan kemajuan teknik obstetri dan kemajuan perinatologi


menyebabkan meningkatnya keselamatan bayi dengan berat badan lahir
rendah sedangkan bayi-bayi tersebut mempunyai resiko besar untuk
mengalami kerusakan otak, sehingga akan didapatkan lebih banyak anak
dengan retardasi mental.

Intra Uterine Growth Retardation Bayi-bayi yang kecil untuk masa


kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya kerusakan otak.

Trauma kelahiran Yang meliputi trauma fisik 9trauma jalan lahir) dan
asfiksia neonatorum.

Kernikterus Terjadi karena eritroblastosis fetalis, sepsis neonatorum,


defisiensi G-6-PD, pemberian sulfonamid, salisilat dan sodium benzoat.

Faktor postnatal

Infeksi intrakranial, meliputi meningitis purulenta, meningoensefalitis dan


ensefalitis.

Keracunan timbal

Trauma kapitis

Gangguan kejang, termasuk kejang epileptik, kejang demam dan spasmus


infantil.

Cerebral palsy

Penyakit Heller

Malnutrisi.

Faktor Risiko

Prenatal : Malnutrition, terinfeks penyakit ketika dalam kandungan, atau


penggunaan obat-obatan serta komunikasi alkohol pada wanita hamil.

Perinatal : Kesulitan dalam proses kelahiran,kekurangan oksigen selama


proses persalinan.

Posnatal : Infeksi atau mengalami cedera kepala

Genetik : kelainan biologis yang memungkinkan terjadinya retardasi


mental seperti sindroma Down, sindroma Fragile-X

Sosioekonomik : pendidikan orang tua yang rendah ditambah dengan


buruknya nutrisi atau kemiskinan yang dapat berisiko menyebabkan
retardasi mental.

Pengaruh lingkungan.

Kelainan Metabolik

Maternal substance abuse

Trauma atau penyakit (illness)

Idiopatik, kurang lebih 40%.

Infeksi maternal seperti infeksi Rubela, Cytomegalovirus, Sifilis genital.

Ciri-ciri retardasi mental

Ciri utama retardasi mental adalah lemahnya fungsi intelektual. [7] Lama
sebelum muncul tes formal untuk menilai kecerdasan, orang dengan
retardasi mental dianggap sebagai orang yang tidak dapat menguasai
keahlian yang sesuai dengan umurnya dan tidak bisa merawat dirinya
sendiri.

Selain intelegensinya rendah, anak dengan retardasi mental juga sulit


menyesuaikan diri dan susah berkembang.Keterampilan adaptif antara
lain adalah keahlian memperhatikan dan merawat diri sendiri dan
mengemban tanggung jawab sosial seperti berpakaian, buang air, makan,
kontrol diri, dan berinteraksi dengan kawan sebaya.

Manifestasi Klinis
Pasien anak biasanya datang dengan keluhan dismorfisme seperti mikrosefali disertai dengan
gagal tumbuh sesuai usia, tidak ada tanda-tanda khusus secara fisik yang menunjukan
kelainan intelektual. Kebanyakan anak dengan gangguan intelektual sulit bersosialisasi
dengan anak seumurnya, tidak berkembang sesuai umurnya misalnya kurangnya pendengaran
atau penglihatan, postur yang tidak sesuai, atau sulit untuk duduk atau berjalan pada anak
usia 6-18 bulan. Gangguan bicara dan bahasa paling banyak terjadi setelah usia 18 bulan.
Retardasi mental banyak teridentifikasi pada usia 3 tahun.
Diagnosis banding

Retardasi mental brain damage Retardasi mental akibat brain


damage ialah retardasi mental yang disebabkan oleh kerusakan difus
serebral karena encephalitis, meningitis, encephalopati, perdarahan,
kontusio, hipoglikemia, hipoksia serebri dalam masa bayi termasuk bayi
prematur, hidrosefalus sekunder dan penyakit serebral akibat intoksikasi
serta infestasi parasit (toksoplasmosis). Di antara anak-anak cacat
neurologik yang tampaknya terbelakang mental, ada juga anak-anak yang
sebenarnya tidak terbelakang, melainkan perkembangan ekspresinya saja
yang terhambat. Adanya gangguan neurologik yang menghambat daya
dan kelincahan ekspresi itu adalah disleksia, sindroma Ertzam, sindroma
Gertman, sindroma diskontrol, afasi dan problem sekitar dominasi serebral

Disleksia Anak mempunyai kesukaran dalam berbicara dan


mengucapkan kata-kata segera setelah disekolahkan. Kerusakan terletak

di lintasan integratif antara sirkuit visual dan sirkuit auditorik, mereka


dapat berpikir tetapi mewujudkan pikirannya dalam bentuk kata-kata atau
tulisan dirasa sangat sulit.

Sindroma Ertzam Gangguan dalam berhitung dan menulis. Motorik


mereka terganggu dalam melaksanakan gerakan komplek dimana gerakan
diperlukanseperti dalam hal menulis. Namun demikian ia dapat membaca
dengan lancar.

Sindroma Gertsman Tidak dapat mengenal benda-benda dengan


sensibilitasnya. Mereka mendapat banyak kesukaran dalam menulis
karena tidak mampu menyusun pemikiran. Juga berhitung adalah sukar
bagi mereka. Lesi serebral yang bertanggung jawab atas gangguan
tersebut adalah girus angularis.

Sindroma diskontrol Lambat sekali dalam mengekspresikan


kehendaknya dan lambat bereaksi trerhadap stimulus dunia luar. Mereka
dapat berbahasa, penglihatannya tidak terganggu dan pendengarannya
baik. Namun mereka lambat diperintah atau tidak bereaksi bila diperintah.
Lesi serebral yang mendasari gangguan ini tidak diketahui, tetapi
pengobatannya dengan perangsang amphetamine dapat memperbaiki
keadaan.

Afasia dan Afonia Afasia timbul sebagai akibat manifestasi lesi serebral
di area brocca dan atau wernicke. Afonia adalah bisu tidak dapat
mengeluarkan kata-kata karena anak ini tuli sebelum ia belajar berbahasa.
Afasia motorik akibat lesi di area brocca dengan gejala tidak mampu
mengeluarkan kata-kata untuk mengutarakan pikirannya dan afasia
sensoris akibat lesi di area wernicke dengan gejala tidak mampu untuk
mengerti bahasa lisan atau tulisan.

Retardasi mental fungsional Anak yang menderita retardasi mental


fungsional adalah anak terbelakang mental karena gangguan psikososial
atau kultural. Contoh yang paling sederhana untuk melukiskan pengaruh
lingkungan terhadap perkembangan mental yang abnormal adalah
autisme

Penanganan

Pemeriksaan fisik anak secara lengkap dan mengobati kelainan/penyakit


yang mungkin ada.

Psikolog untuk menilai perkembangan mental terutama kognitif anak.

Pekerja sosial untuk menilai situasi keluarga bila dianggap perlu.

Setelah dilakukan penilaian, dirancang strategi terapi, mungkin perlu


dilibatkan lebih banyak ahli. Misalnya ahli saraf anak bila menderita
epilepsy, palsi serebral dll. psikiater bila anak tersebut menderita kelainan
tingkah laku ; fisioterapis untuk merangsang perkembangan motorik dan
sensorik ; ahli terapi bicara serta guru pendidikan luar biasa.

Pencegahan

Preventif primer : Memberikan perlindungan spesifik terhadap penyakit


tertentu (imunisasi). Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi
yang baik, mengajarkan cara hidup sehat

Preventif Sekunder : Mendeteksi penyakit sedini mungkin. Diagnosis dini


PKU (fenilketonuria) dan hipotiroid ditanggulangi (untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut). Koreksi defek sensoris kemudian dilakukan
stimulasi dini (stimulasi sensoris, speech therapist)

Usaha pencegahan dapat dilakukan melaui pendidikan kesehatan jiwa di


masyarakat, konseling genetik dan tindakan kedokteran misalnya
perawatan prenatal yang baik, kehamilan pada wanita yang berumur lebih
dari 40 tahun dikurangi. Konseling terhadap orang tua penderita dilakukan
secara itensif, dengan tujuan antara lain membantu mereka dalam
menghadapi frustasi karena mempunyai anak yang menderita retardasi
mental. Selain itu juga untuk memantau kemajuan perkembangan anak
serta membantu orang tua anak jika mereka menghadapi kesulitankesulitan sehubungan dengan upaya mereka mendidik anak retardasi
mental.Orang tua hendaknya memperhatikan benar perawatan diri anak
retardasi mental, sehubungan dengan fungsi peran anak dalam merawat
diri kurang. Orang tua perlu mengetahui bahwa anak yang menderita
retardasi mental bukanlah kesalahan dari mereka, tetapi merupakan
kesalahan orang tua seandainya tidak mau berusaha mengatasi keadaan
anak yang retardasi mental. Menyarankan kepada orang tua anak
retardasi mental, agar anak tersebut dimasukkan di dalam pendidikan
atau latihan khusus yaitu di Sekolah Luar Biasa agar mendapat
perkembangan yang optimal.

Prognosis

Seorang anak yang mengalami retardasi mental yang berat, prognosis


kedepannya ditentukan oleh keadaan anak tersebut pada masa awal
kanak-kanaknya. Retardasi mental yang ringan bisa jadi terjadi hanya
sementara. Anak-anak mungkin akan didiagnosa sebagai retardasi mental
pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia berikutnya, mungkin
kelainannya akan dapat lebih dispesifikan, contohnya gangguan
komunikasi dan autism.

Efek jangka panjang dari setiap individu berbeda-beda, bergantung pada


derajat deficit kognitif dan adaptif, gangguan perkembangan pada masa
embrionik, dan dukungan keluarga serta lingkungan.

tuna grahita dan layanan pendidikannya


dalam setting inklusi
October 30, 2012 by phierquinn
1. A.

Pengertian Tunagrahita

Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki


tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti
tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam
program pendidikannya (Branata dalam Effendi, 2006:88). Penafsiran yang salah seringkali
terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan mental subnormal atau tunagrahita dianggap
seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan
khusus, anak diharapkan dapat normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar
sebab anak tunagrahita dalam jenjang manapun sama sekali tidak ada hubungannya dengan
penyakit, Mental retarded is not disease but condition (Kirk dalam Efendi, 2006:88). Jadi
kondisi tunagrahita tidak bias disembuhkan atau diobati dengan obat apapun.
Dalam kasus tertentu ada anak yang menderita tunagrahita semu (pseudofeebleminded),
dimana anak normal menyerupai keadaan anak tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah
mendapat perawatan ia akan berangsur-angsur normal kembali. Hendeschee dalam Efendi
(2006:89) memberikan batasan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang tidak cukup daya
pikirnya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam masyarakat.
Doll dalam Efendi (2006:89) berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika: (1) secara
sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak
lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat.
Somantri (2005) berpendapat anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh
dibawah rata-rata yang ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial. Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena
keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara
klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara
khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Untuk memahami anak tunagrahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih
dahulu konsep Mental Age (MA). Mental age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh
seorang anak pada usia tertentu. Sebagai contoh anak yang berumur 6 tahun akan memiliki
MA 6 tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya (Cronology Age),
maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan diatas rata rata. Anak
tunagrahita selalu memiliki MA lebih rendah CA-nya secara jelas. Misalnya anak normal
mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami
keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut. Penyesuaian perilaku maksudnya
saat ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat
sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi bila anak ini dapat menyesuaikan
diri maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada masa
perkembangan maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa maka ia tidak
tergolong tunagrahita.
1. B.

Klasifikasi Tunagrahita

Effendi (2006:90) mengklasifikasikan anak tunagrahita berdasarkan tingkat intelegensinya,


sebagai berikut:
1. Idiot (IQ: 0-25)

Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan
sangat rendah dan membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak
mampu terus hidup tanpa bantuan orange lain.
1. Imbecil (IQ: 25-50)
Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalu aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial
kemasyarakatan menurut kemampuannya.
1. Debil atau moron (IQ: 50-75)
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang dapat dididik secara
minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.
Klasifikasi yang dikemukakan oleh AAMD (Hallahan dalam Wardani, 2008:6.6) sebagai
berikut:
1. Mild mental retardation (tunagrahita ringan) IQ-nya 70-55
2. Moderate mental retardation (tunagrahita sedang) IQ-nya 55-40
3. Severe mental retardation (tunagrahita berat) IQ-nya 40-25
4. Profound mental retardation (tunagrahita sangat berat) IQ-nya 25 ke bawah
Klasifikasi menurut Wardani (2008:6.9) berdasarkan kelainan jasmani (klinis) sebagai
berikut:
1. Down Syndrome (Mongoloid) yaitu anak tunagrahita yang memiliki raut muka
menyerupai otang mongol. Ciri-cirinya antara lain:
a. Mata sipit dan miring
b.Lidah tebal suka menjulur ke luar
c. Telinga kecil
1. Kulit kasar
e. Susunan gigi kurang baik.
1. Kretin (Cebol) yaitu anak tunagrahita yang memiliki ciri-ciri:
a. Badan gemuk dan pendek
b.Kaki dan tangan bengkok
c. Kulit kering, tebal dan keriput

1. Rambut kering
e. Lidah, bibir, kelopak mata, telapak tangan, dan kaki tebal
f. Pertumbuhan gigi terlambat
1. Hydrocephal yaitu anak tunagrahita yang memiliki ciri-ciri:
a. Kepala besar
b.Raut muka kecil
c. Pandangan dan pendengaran tidak sempurna
1. Mata kadang-kadang juling
2. Mikrocephal yaitu anak tunagrahita yang memiliki ciri-ciri ukuran kepala yang kecil.
3. Macrocephal yaitu anak tunagrahita yang memiliki ciri-ciri ukuran kepala yang besar
dari ukuran normal.
1. C.

Etiologi Tunagrahita

Kirk dalam Efendi (2006:91) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena faktor endogen,
yaitu faktor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen (hereditary
transmission of psycho-biological insuffiency). Sedangkan faktor eksogen, yaitu faktor yang
terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan jasmani.
Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenport
dalam Efendi (2006:91) dapat dirinci sebagai berikut: (1) kelainan atau keturunan yang
timbul pada benih plasma, (2) kelainan atau keturunan yang dihasilkan selama peleburan
telur, (3) kelainan atau keturunan yang dikaitkan dengan implantasi, (4) kelainan atau
keturunan yang timbul dalam embrio, (5) kelainan atau keturunan yang timbul dari luka saat
melahirkan, (6) kelainan atau keturunan yang timbul dalam janin, dan (7) kelainan atau
keturunan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
Selain itu Kirk dan Johnson dalam Efendi (2006:92) berpendapat bahwa ketunagrahitaan
dapat terjadi karena radang otak (kerusakan pada area otak tertentu yang terjadi pada saat
kelahiran), gangguan fisiologis (berasall dari virus rubella, rhesus factor, mongoloid, dan
cretinisme), faktor hereditas (keturunan), dan faktor kebudayaan (berkaitan dengan
periehidupan lingkungan psikososial).
Menurut Wardani (2008:6.10) penyebab ketunagrahitaan antara lain:
1. 1.

Faktor keturunan

a. Kelainan kromosom
Kelainan ini dapat dilihat dari bentuk dan nomornya, antara lain dapat berupa inversi
(kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gen karena melilitnya kromosom), delesi

(kegagalan meiosis, yaitu satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan
kromosom pada salah satu sel), duplikasi (kromosom tidak berhasil memisahkan diri
sehingga terjadi kromosom pada salah satu sel yang lain), dan translokasi (adanya kromosom
yang patah dan patahnya menempel pada kromosom lain).
b.Gangguan metabolisme dan gizi
Gangguan ini dapat menyebabkan phenylketonuria (gangguan metabolisme asam amino),
gargoylism (kerusakan metabolisme saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam
mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak),dan cretinism (keadaan
hypohydraidism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat dilahirkan)
c. Infeksi dan keracunan
Keadaan ini disebabkan penyakit selama janin masih dalam kandungan. Penyakit itu antara
lain rubella,syphilis bawaan, dan syndrome gravidity.
1. Trauma dan zat radioaktif
Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan dengan menggunakan alat bantu
atau terkena radiasi zat radioaktif (sinar X) saat hamil.
e. Masalah pada kelahiran
Masalah yang terjadi misalnya kelahiran disertai hypoxia yang dipastikan bayi akan
menderita kerusakan otak, kejang, dan napas pendek.
1. 2.

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain (1) pengalaman negatif atau kegagalan dalam
melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan, (2) tingkat sosial-ekonomi
rendah, (3) latar belakang pendidikan orangtua, dan (4) kurangnya rangsang intelektual yang
memadai.
1. D.

Dampak Ketunagrahitaan

Efendi (2006:96) berpendapat bahwa gangguan fungsi kognitif pada anak tunagrahita terjadi
pada kelemahan salah satu atau lebih dalam proses tertentu (proses persepsi, ingatan,
pengembangan ide, penilaian, dan penalaran). Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak
tunagrahita sama dengan anak normal, namun prestasi yang diraih berbeda dengan anak
normal.
Inhelder dalam Efendi (2006:98) dalam penelitiannya menemukan: (1) penyandang
tunagrahita berat perkembangan kognitifnya terhambat pada tingkat perkembangan
sensorimotorik, (2) pada penyandang tunagrahita ringan perkembangan kognitifnya terhenti
pada perkembangan operasional konkret. Kesimpulannya, keterlambatan perkembangan
kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar baginya ketika menit tugas
perkembangannya.

Seringkali stimulasi verbal maupun non verbal dari lingkunganya gagal ditransfer dengan
baik oleh anak tunagrahita. Bahkan hal-hal yang tampaknya sederhana terkadang tidak
mampu dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi di sekitarnya
menimbulkan keanehan bagi dirinya (Efendi, 2006:99). Pada anak tunagrahita agak berat
(mampu latih), kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, seringkali
diikuti gangguan artikulasi bicara. Hal-hal yang tampak yaitu struktur kalimat yang
disampaikan tidak teratur (aphasia conceptual), pengucapannya sering terjadi omisi
(pengurangan kata), dan distorsi (kekacauan dalam pengucapan).
1. E.

Karakteristik Tunagrahita

Menurut Efendi (2006:98) karakteristik anak tunagrahita antara lain:


1. Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir.
2. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.
3. Kamampuan sosialisasinya terbatas.
4. Tidak mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi.
5. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi bidang baca, tulis, dan hitung tidak
lebih dari anak normal setingkat kelas III dan IV Sekolah Dasar.
Berikut ini akan dikemukakan karakteristik anak tunagrahita secara umum dan khusus
berdasarkan adaptasi dari Page dalam Wardani (2008:6.19).
1. 1.

Karakteristik Umum

a. Akademik
Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas, lebih-lebih kapasitasnya mengenai
hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (rote learning) dari
pada dengan pengertian. Dari hari ke hari mereka membuat kesalahan yang sama. Mereka
mengalami kesukaran memusatkan perhatian, dan minatnya sedikit. Mereka juga
cenderung cepat lupa, sukar membuat kreasi baru, serta rentang perhatiannya pendek.
Karakteristik tersebut dapat Anda kaji lebih cermat dalam contoh berikut ini.
1). Apabila mereka diberikan pelajaran berhitung hanya berkisar beberapa menit, setelah
itu mereka langsung mengatakan bosan, susah, mengantuk. Tetapi bila diberikan
pelajaran kesenian, olahraga atau keterampilan mereka menunjukkan minat belajar yang
baik dan perhatian berlangsung dalam waktu yang lama. Mereka meminta ingin belajar lagi.
2). Apabila anak normal mendapatkan mainan baru ia langsung memainkannya dengan
memeriksa mainan itu. Tetapi sebaliknya, tidak jarang anak tunagrahita hanya diam
saja menatap mainan itu tanpa mencoba menggerakkannya.
b. Sosial/Emosional

Dalam pergaulan, anak tunagrahita tidak dapat mengurus diri, memelihara dan memimpin
diri. Ketika masih muda mereka harus dibantu terus karena mereka mudah terperosok ke
dalam tingkah laku yang kurang baik. Mereka cenderung bergaul atau bermain bersama
dengan anak yang lebih muda darinya. Kehidupan penghayatannya terbatas. Mereka juga
tidak mampu menyatakan rasa bangga atau kagum. Mereka mempunyai kepribadian yang
kurang dinamis, mudah goyah, kurang menawan, dan tidak berpandangan luas. Mereka juga
mudah disugesti atau dipengaruhi sehingga tidak jarang dari mereka mudah terperosok ke
hal-hal yang tidak baik, seperti mencuri, merusak, dan pelanggaran seksual.
Namun, dibalik itu semua mereka menunjukkan ketekunan dan rasa empati yang baik
asalkan mereka mendapatkan layanan atau perlakukan dan lingkungan yang kondusif,
contohnya antara lain:
1)
Saat orang tuanya sakit, anaknya yang tunagrahita selalu berada di sampingnya
menunggu dengan setia. Sementara anak-anaknya yang normal pergi meninggalkannya
karena urusannya sendiri-sendiri. Anaknya itu rupanya memperhatikan perawat yang
melayani ibunya, kemudian ia berusaha menggantikan peran perawat. Ia mengelap keringat
ibunya, kemudian memijit-mijit tangan atau kaki ibunya.
2)
Jika ada gurunya yang sakit, tidak jarang murid-murid tunagrahita langsung mendekati,
kemudian memijit-mijitnya, mengambilkan air minum atau ia memberi tahu guru lain.
3)
Penyandang tunagrahita tidak jarang menunjukkan ketekunan yang baik pada saat
bekerja. Contohnya, pada minggu pertama pekerja tunagrahita bekerja bersama-sama dengan
orang berbakat dalam membuat dus. Hasilnya penyandang tunagrahita tidak menghasilkan
apa pun, malahan bahan banyak yang rusak; sebaliknya anak berbakat langsung
menghasilkan dus yang bagus. Minggu berikutnya penyandang tunagrahita hanya berhasil
membuat 2 buah dus dengan masih membutuhkan perhatian dari instruktur, sedangkan yang
berbakat langsung menghasilkan puluhan dus. Pada minggu ketiga penyandang tunagrahita
telah dapat membuat 5 dus tanpa bantuan, sedangkan pekerja yang berbakat (gifted) mulai
menurun semangat kerja, yang pada akhirnya tidak mau melakukan pekerjaan seperti itu lagi.
1. c.

Fisik/Kesehatan

Anak tunagrahita baru dapat berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari anak
normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan diantaranya banyak yang mengalami
cacat bicara. Pendengaran dan penglihatannya banyak yang kurang sempurna. Kelainan ini
bukan pada organ tetapi pada pusat pengolahan di otak sehingga mereka melihat, tetapi tidak
memahami apa yang dilihatnya, mendengar, tetapi tidak memahami apa yang didengarnya.
Bagi anak tunagrahita yang berat dan sangat berat kurang merasakan sakit, bau badan tidak
enak, badannya tidak segar, tenaganya kurang mempunyai daya tahan dan banyak yang
meninggal pada usia muda. Mereka mudah terserang penyakit karena keterbatasan dalam
memelihara diri, serta tidak memahami cara hidup sehat.
2. Karakteristik Khusus
a. Karakteristik Tunagrahita Ringan
Meskipun tidak dapat menyamai anak normal yang seusia dengannya, mereka masih dapat
belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Pada usia 16 tahun atau lebih mereka

dapat mempelajari bahan yang tingkat kesukarannya sama dengan kelas 3 dan kelas 5 SD.
Kematangan belajar membaca baru dicapainya pada umur 9 tahun dan 12 tahun sesuai
dengan berat dan ringannya kelainan. Kecerdasannya berkembang dengan kecepatan antara
setengah dan tiga per empat kecepatan anak normal dan berhenti pada usia muda.
Perbendaharaan katanya terbatas, tetapi penguasaan bahasanya memadai dalam situasi
tertentu. Sesudah dewasa banyak di antara mereka yang mampu berdiri sendiri. Pada usia
dewasa kecerdasannya mencapai tingkat usia anak normal 9 dan 12 tahun.
1. b.

Karakteristik Tunagrahita Sedang

Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik.


Perkembangan bahasanya lebih terbatas daripada anak tunagrahita ringan. Mereka
berkomunikasi dengan beberapa kata. Mereka dapat membaca dan menulis, seperti namanya
sendiri, alamatnya, nama orang tuanya, dan lain-lain. Mereka mengenal angka-angka tanpa
pengertian. Namun demikian, mereka masih memiliki potensi untuk mengurus diri sendiri.
Mereka dapat dilatih untuk mengerjakan sesuatu secara rutin, dapat dilatih berkawan,
mengikuti kegiatan dan menghargai hak milik orang lain. Sampai batas tertentu mereka
selalu membutuhkan pengawasan, pemeliharaan, dan bantuan orang lain. Tetapi mereka dapat
membedakan bahaya dan bukan bahaya. Setelah dewasa kecerdasan mereka tidak lebih dari
anak normal usia 6 tahun. Mereka dapat mengerjakan sesuatu dengan pengawasan.
1. c.

Karakteristik Anak Tunagrahita Berat dan Sangat Berat

Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu tergantung pada
pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri. Mereka
tidak dapat membedakan bahaya dan bukan bahaya. Ia juga tidak dapat bicara kalaupun
bicara hanya mampu mengucapkan kata-kata atau tanda sederhana saja. Kecerdasannya
walaupun mencapai usia dewasa berkisar, seperti anak normal usia paling tinggi 4 tahun.
Untuk menjaga kestabilan fisik dan kesehatannya mereka perlu diberikan kegiatan yang
bermanfaat, seperti mengampelas, memindahkan benda, mengisi karung dengan beras
sampai penuh
Beberapa karakteristik dan ciri-ciri perkembangan yang dapat dijadikan indikator adanya
kecurigaan berbeda dengan anak pada umumnya menurut Prasadio dalam Wardani
(2008:6.22) adalah sebagai berikut.
1. Masa Bayi
Walaupun saat ini sulit untuk segera membedakannya tetapi para ahli mengemukakan bahwa
ciri-ciri bayi tunagrahita adalah tampak mengantuk saja, apatis, tidak pernah sadar, jarang
menangis, kalau menangis terus-menerus, terlambat duduk, bicara, dan berjalan.
2. Masa Kanak-kanak
Pada masa ini anak tunagrahita sedang lebih mudah dikenal daripada tunagrahita ringan. Oleh
karena tunagrahita sedang mulai memperlihatkan ciri-ciri klinis, seperti mongoloid, kepala
besar, dan kepala kecil. Tetapi anak tunagrahita ringan (yang lambat) memperlihatkan ciriciri: sukar memulai sesuatu, sukar untuk melanjutkan sesuatu, mengerjakan sesuatu berulangulang, tetapi tidak ada variasi, tampak penglihatannya kosong, melamun, ekspresi muka
tanpa ada pengertian. Selanjutnya tunagrahita ringan (yang cepat) memperlihatkan ciri-ciri:

mereaksi cepat, tetapi tidak tepat, tampak aktif sehingga memberi kesan bahwa anak ini
pintar, pemusatan perhatian sedikit, hyperactive, bermain dengan tangannya sendiri, cepat
bergerak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
3. Masa Sekolah
Masa ini merupakan masa yang penting diperhatikan karena biasanya anak tunagrahita
langsung masuk sekolah dan ada di kelas-kelas SD biasa. Ciri-ciri yang mereka munculkan
adalah sebagai berikut.
1. Adanya kesulitan belajar pada hampir semua mata pelajaran (membaca, menulis, dan
berhitung). Ia tidak dapat melihat perbedaan antara dua hal yang mirip bentuknya
ataupun ukurannya. Ia sukar membedakan arah dan posisi, seperti huruf d dan b, n
dan m, ikan dan kain. Ia juga sulit atas perintah dan melokalisasi suara. Dapat
disimpulkan bahwa anak tunagrahita mengalami kelainan dalam persepsi, asosiasi,
mengingat kembali, kekurangmatangan motorik, dan gangguan koordinasi
sensomotorik.
b. Prestasi yang kurang
Hal ini mulai tampak jelas bila ia mulai menduduki kelas 4 SD karena di kelas tersebut mulai
mempelajari konsep abstrak. Biasanya mereka berprestasi biasa di kelas 1, 2, 3 SD.
c. Kebiasaan kerja yang tidak baik
Biasanya kebiasaan ini muncul karena mereka bingung dengan tugas yang ia rasakan sulit
dan banyak. Reaksi penolakan ini bermacam-macam, seperti duduk diam sambil melamun,
mengganggu teman, memainkan alat tulis, sering menghapus tulisannya, dan sering
meninggalkan pekerjaan.
d. Perhatian yang mudah beralih
Perhatian anak tunagrahita hanya berlangsung sebentar. Ia mudah merasa lelah, bosan dan
akhirnya mengalihkan perhatiannya ke hal-hal yang lain. Ia mudah terangsang oleh sesuatu
yang ada di sekitarnya sehingga mengganggu anak lain.
e. Kemampuan motorik yang kurang
Oleh karena kerusakan otak banyak, anak tunagrahita mengalami gangguan motorik. Ia tidak
dapat bergerak dengan tepat, kaku, koordinasi motorik tidak baik. Kekurangan ini dapat
terlihat pada cara berjalan, lari, lompat, melempar, menulis, memotong, dan pekerjaan
lainnya.
f. Perkembangan bahasa yang jelek
Hal ini terjadi karena perkembangan bahasa yang miskin dan kekurangan kemampuan
berkomunikasi verbal, kurangnya perbendaharaan kata, dan kelemahan artikulasi.
Kekurangan ini semakin bertambah karena lingkungan tidak merangsangnya untuk
perkembangan bahasa atau adanya gangguan emosi dari anak itu sendiri.

g. Kesulitan menyesuaikan diri.


Manifestasi dari kesulitan tersebut adalah adanya sikap agresif, acuh tak acuh, menarik diri,
menerima secara pasif atau tidak menaruh perhatian atas nasihat atau merasa tidak dianggap
oleh lingkungan.
4. Masa Puber
Perubahan yang dimiliki remaja tunagrahita sama halnya dengan remaja biasa. Pertumbuhan
fisik berkembang normal, tetapi perkembangan berpikir dan kepribadian berada di bawah
usianya. Akibatnya ia mengalami kesulitan dalam pergaulan dan mengendalikan diri. Setelah
tamat sekolah ia belum siap untuk bekerja, sedangkan ia tidak mungkin untuk melanjutkan
pendidikan. Akibatnya ia hanya tinggal diam di rumah yang pada akhirnya ia merasa
frustrasi. Kalau diterima bekerja, mereka bekerja sangat lamban, dan tidak terarah. Hal ini
tidak memenuhi tuntutan dunia usaha.
Menurut Somantri (2005) ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita
pelajari, sebagai berikut :
1. 1.

Keterbelakangan Intelegensi

Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
mempelajari informasi dan ketrampilan ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah
masalah dan situasi situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir
abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesal;ahn kesalahan, mengatasi
kesulitan kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tunagrahita
memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama
yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan membaca juga terbatas,
kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
1. 2.

Keterbatasan Sosial

Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya,
ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab
sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga
mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
1. 3.

Keterbatasan Fungsi-Fungsi Mental Lainnya

Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi yang
baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal rutin yang
secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi
sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu lama. Anak tunagrahita memiliki
keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi
akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana
mestinya). Oleh karena itu mereka membutuhkan kata-kata konkrit dan sering didengarnya.
Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan
sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan
terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit.

Secara umum perkembangan bahasa digambarkan oleh Myklebust dalam Somantri (2005),
meliputi 5 tahap perkembangan, seperti dapat dilihat dalam gambar berikut :
1. 1.

Inerlanguage

Inerlanguage adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira- kira pada usia 6
bulan. Karakteristik perilaku yang muncul pada tahap ini yaitu pembentukan konsep-konsep
sederhana, seperti anak mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana
antara satu objek dengan objek yang lainnya. Tahap berikut dari perkembangan
innerlanguage adalah anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan
dapat bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun perabot
didalam rumah-rumahan.
1. 2.

Receptive Language

Pada kira-kira umur 8 bulan anak mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa yang dikatakan
orang lain kepadanya, anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai mengerti
perintah. Menjelang kira-kira umur 4 tahunan anak lebih menguasai kemahiran mendengar
dan setelah itu proses penerimaan (receptive process) memberikan perluasan kepada sistim
bahasa verbal. Terhadap hubungan timbal balik antara innerlanguage dengan receptive
language. Perkembangan innerlanguage, melewati fase pembentukan konsep-konsep
sederhana menjadi tergantung kepada receptive language.
1. 3.

Ekspressive Language

Menurut Myklebust dalam Somantri (2005) ekspressive language berkembang setelah


pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira-kira 1 tahun.
Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognitif, keduanya mempunyai
hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tugrahita mengalami hambatan,
karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat. Anak tunagrahita pada umumnya
tidak bias menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari mereka lebih
banyak menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak
normal pada CA yang sama, anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan
artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam
perkembangan bicara (ekspresive auditori language). Dalam perkembangan morfologi anak
normal menguasai peningkatan sejumlah morfem sejalan dengan perkembangan umum.
Demikian juga anak tunagrahita dan anak normal yang memiliki MA yang sama
memperlihatkan level yang sama dalam perkembangan morfologi. Akan tetapi anak
tunagrahita yang memiliki CA yang sama dengan anak normal, anak tunagrahita memiliki
tahap lebih rendah dengan perkembangan morfologinya.
Ada penelitian yang menarik yang dilakukan oleh Endang Rochyadi (1983) mengenai
kemampuan berbahasa anak tunagrahita khususnya berkaitan dengan sintaksis dan
perbendaharaan kata. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa MA berkolerasi dengan
kemampuan tata bahasa (sintaksis), sedangkan CA berkolerasi dengan perbendaharaan kata.
Ini berarti bahwa sintaksis memerlukan kemampuan kecerdasan yang baik. Hal terakhir dari
perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan bahasa yang disebut semantik. Anak
tunagrahita menunjukkan perkembangan semantik lebih lambat dari pada anak normal. Tetapi
tidak ada bukti bahwa mereka memiliki perbedaan pola perkembangan sistaksis.

Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri.
Mereka tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya.
Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya
terbatas pada emosi-emosi yang sederhana.
Pada anak terbelakang ringan kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal.
Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan
suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan, tetapi sulit untuk
mengungkapkan kekaguman. Kepribaian dan penyesuaian sosial merupakan proses yang
saling berkaitan.
Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi, jika kebutuhannya
terhalangi. Emosi-emosi yang positif adalah cinta, girang, simpatik. Sedangkan emosi-emosi
yang negatif adalah perasaan takut, giris, marah, dan benci. Anak terbelakang yang masih
muda takut kepada hal hal yang mengancam keselamatannya. Anak tunagrahita yang lebih
tua takut terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hubungan sosial.
Dengan bertambahnya umur keterkaitan anak tunagrahita dengan orang dewasa dialihkan
kepada teman sebaya. Ketergantungan yang tadinya bersifat satu pihak menjadai hubungan
yang timbal balik. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang tempat
bergantung, kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal,
anak tunagrahita lebih banyak bersifat bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh
oleh bantuan sosial. Dalam hubungan kesebayaan seperti halnya dengan anak kecil menolak
anak yang lain, tetapi setelah bertambah umur, mereka mengadakan kontak dan melakukan
kegiatan-kegiatan yang bersifat kerjasama. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita
jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok serta jarang menyadari posisi diri dalam
kelompok
1. F.

Layanan Pendidikan untuk Tunagrahita dalam Seting Inklusif

Irianto (2010) mengemukakan beberapa bidang pengembangan yang diperlukan bagi siswa
terbelakang mental di sekolah yang harus diperhatikan oleh guru, antara lain:
1. Pengembangan Kemampuan Kognitif
Anak-anak terbelakang mental pada umumnya memiliki keterlambatan dalam aspek
kognitif. Untuk itu dalam pengembangan kognitif anak perlu dipertimbangkan beberapa hal
diantaranya: (1) The Pace of Learning, siswa-siswa terbelakang mental dalam belajar
memerlukan waktu lebih banyak dalam mempelajari materi/mata pelajaran tertentu bila
dibandingkan dengan teman sebayanya yang normal, (2) Levels of Learning, anak-anak
terbelakang mental tidak dapat memahami sejauh pemahaman siswa lainnya dalam beberapa
kemampuan/mata pelajaran sehingga mereka memerlukan dorongan untuk dapat memahami
materi tertentu yang disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, (3) Levels of
Comprehention, pada umumnya siswa terbelakang mental mengalami kesulitan dalam
mempelajari materi yang bersifat abstrak. Penggunaan media benda-benda konkrit dalam
pembelajaran sangat dibutuhkan oleh anak memperoleh pemahaman yang kuat dan tidak
verbalistik.
1. Pengembangan Kemampuan Berbahasa

Keterlambatan dalam bidang bahasa (delayed language) merupakan salah satu ciri anak
terbelakang mental. Keterlambatan dan kesulitan anak di bidang akademis pada umumnya
juga bersumber dari keterlambatan dalam bahasa. Agar perolehan bahasa anak menjadi lebih
memadai sangat diperlukan usaha-usaha bimbingan berbahasa. Dalam beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jika anak-anak mendapatkan bimbingan berbahasa secara tepat maka
anak-anak terbelakang mental mampu menyusun cerita yang menunjukkan suatu tingkatan
kreativitas dan kepekaan yang nyata (Warren, 1999). Adalah tugas guru-guru di sekolah
untuk dapat memberikan pembinaan agar anak memiliki kemampuan berbahasa yang
memadai yang dapat dijadikan sebagai bekal dan sarana memahami dunia sekitarnya.
1. Pengembangan Kemampuan Sosial
Masalah utama yang dialami anak penyandang terbelakang mental adalah tiadanya
kemampuan social (social disability). Hambatan ini akan berakibat pada ketidakmampuan
anak dalam memahami kode atau aturan-aturan sosial di sekolah, di keluarga maupun di
masyarakat. dalam upaya pengembangan kemampuan sosial diperlukan beberapa kebutuhan
anak berkebelakangan mental yang meliputi : (1) kebutuhan untuk merasa menjadi bagian
dari yang lain, (2) kebutuhan untuk menemukan perlindungan dari sikap dan label yang
negative, (3) kebutuhan akan dukungan dan kenyamanan sosial, dan (4) kebutuhan untuk
menghilangkan kebosanan dan menemukan stimulasi sosial (Turner, 1983).
Kebutuhan sosial ini mengarah langsung pada pentingnya daya dorong interaksi social yang
positif antara siswa terbelakang mental dengan teman-teman lainnya di sekolah. Untuk
mendukung suasana demikian diperlukan lingkungan inklusif bagi anak-anak terbelakang
mental.
Berikut ini akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan jenis layanan anak tunagrahita
(Wardani, 2008:6.33).
1. Tempat dan Sistem Layanan
a. Tempat khusus atau sistem segregasi
Sistem segregasi hanya menyelenggarakan pendidikan untuk anak luar biasanya saja, dalam
hal ini tunagrahita. Biasanya di tempat ini telah disediakan tim ahli (dokter, psikolog, ahli
terapi bicara, dan lain-lain). Sampai saat ini, tempat pendidikan ini telah memiliki kurikulum
sendiri. Dari kurikulum itu, guru membuat program khusus yang disesuaikan dengan
kebutuhan anak. Tempat pendidikan yang termasuk sistem segregasi, adalah sebagai berikut.
1) Sekolah khusus
Sekolah khusus untuk anak tunagrahita disebut Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) dan Sekolah
Pendidikan Luar Biasa C (SPLB-C). Murid yang ditampung di tempat ini khusus satu jenis
kelainan atau ada juga khusus melihat berat dan ringannya kelainan, seperti sekolah untuk
tunagrahita ringan.
Sekolah khusus ada yang menyediakan asrama sehingga murid sekolah itu langsung tinggal
di asrama sekolah tersebut. Dengan demikian, anak mendapat pendidikan dan pengawasan
selama 24 jam. Tetapi ada juga sekolah khusus harian maksudnya anak berada di sekolah itu
hanya selama jam sekolah. Jenjang pendidikan yang ada di sekolah khusus ialah Taman

Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB, lamanya 3 tahun), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB,
lamanya 6 tahun), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTPLB, lamanya 3 tahun), Sekolah
Menengah Luar Biasa (SMLB, lamanya 3 tahun). Jumlah murid tiap kelas rata-rata 8 orang,
paling banyak 12 orang dan paling sedikit 5 orang. Penerimaan murid dilakukan setiap saat
sepanjang fasilitas masih memungkinkan. Pengelompokan murid didasarkan pada usia
kronologisnya dan usia mentalnya diperhatikan pada saat kegiatan belajar berlangsung.
Model seperti ini tidak menyulitkan guru karena setiap anak mempunyai program sendiri.
Penyusunan program menggunakan model Individualized Educational Program (IEP) atau
program pendidikan yang diindividualisasikan; maksudnya program disusun berdasarkan
kebutuhan tiap individu. Kenaikan kelas pun dapat diadakan setiap saat karena kemampuan
dan kemajuan anak berbeda-beda sehingga dikenal ada kenaikan kelas bidang studi
maksudnya anak dapat mempelajari bahan kelas berikut sementara ia tetap berada di kelasnya
semula. Jadi, ia tidak perlu pindah kelas karena mengalami kemajuan dalam satu bidang
studi. Di samping itu, ada kenaikan kelas biasa, ia naik tingkat karena telah mampu
mempelajari bahan di kelas kira-kira 75%.
2) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB berdiri sendiri dan hanya menampung anak tunagrahita usia sekolah dasar. Model ini
dibentuk agar mempercepat pemerataan kesempatan belajar bagi anak luar biasa sehingga
berdiri pada tiap ibu kota kabupaten di Indonesia. Di sini anak luar biasa ditempatkan dalam
satu lokasi khusus dan tiap jenis kelainan menempati satu kelas atau lokal. Apabila anak
tamat dari sekolah ini maka ia harus mencari sekolah lain yang menyelenggarakan SLTPLB.
Pelayanan, penempatan, penyusunan program biasanya sama dengan sistem yang berlaku di
SLB.
3) Kelas jauh
Kelas jauh adalah kelas yang dibentuk jauh dari sekolah induk karena di daerah tersebut
banyak anak luar biasa. Biasanya anak yang tinggal jauh dari kota tidak dapat mengunjungi
sekolah khusus karena sekolah khusus umumnya hanya ada di kota-kota besar. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan transportasi, biaya, dan beratnya kelainan anak. Anak luar biasa
yang ditampung adalah dari semua jenis dan masih dalam usia sekolah. Administrasi kelas
jauh banyak dikerjakan di sekolah khusus (induknya), sedangkan administrasi kegiatan
belajar mengajar dikerjakan oleh guru pada kelas jauh tersebut.
4) Guru kunjung
Di antara anak tunagrahita terdapat yang mengalami kelainan berat sehingga tidak
memungkinkan untuk berkunjung ke sekolah khusus. Oleh karena itu, guru berkunjung ke
tempat anak tersebut dan memberi pelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
5) Lembaga Perawatan (Institusi Khusus)
Disediakan khusus anak tunagrahita yang tergolong berat dan sangat berat. Di sana mereka
mendapat layanan pendidikan dan perawatan sebab tidak jarang anak tunagrahita berat dan
sangat berat menderita penyakit di samping ketunagrahitaan.
b. Di sekolah umum dengan sistem integrasi (terpadu)

Sistem integrasi memberikan kesempatan kepada anak tunagrahita belajar, bermain atau
bekerja bersama dengan anak normal. Pelaksanaan sistem terpadu bervariasi sesuai dengan
taraf ketunagrahitaan. Berikut ini beberapa tempat pendidikan yang termasuk sistem
integrasi.
1) Di kelas biasa tanpa kekhususan baik bahan pelajaran maupun guru.
Anak tunagrahita yang dimasukkan dalam kelas ini adalah yang paling ringan
ketunagrahitaannya. Ia tidak memerlukan bahan khusus ataupun guru khusus. Anak ini
mungkin hanya memerlukan waktu belajar untuk bahan tertentu lebih lama dari rekanrekannya yang normal. Mereka memerlukan perhatian khusus dari guru kelas (guru umum),
misalnya penempatan tempat duduknya, pengelompokan dengan teman-temannya, dan
kebiasaan bertanggung jawab.
2) Di kelas biasa dengan guru konsultan
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak normal di bawah pimpinan guru
kelasnya. Sekali-sekali guru konsultan datang untuk membantu guru kelas dalam memahami
masalah anak tunagrahita dan cara menanganinya, memberi petunjuk mengenai bahan
pelajaran dan metode yang sesuai dengan keadaan anak tunagrahita.
3) Di kelas biasa dengan guru kunjung
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak normal di kelas biasa dan diajar oleh
guru kelasnya. Guru kunjung mengajar anak tunagrahita apabila guru kelas mengalami
kesulitan dan juga memberi petunjuk atau saran kepada guru kelas. Guru kunjung memiliki
jadwal tertentu.
4) Di kelas biasa dengan ruang sumber
Ruang sumber adalah ruangan khusus yang menyediakan berbagai fasilitas untuk mengatasi
kesulitan belajar anak tunagrahita. Anak tunagrahita dididik di kelas biasa dengan bantuan
guru pendidikan luar biasa di ruang sumber. Biasanya anak tunagrahita datang ke ruang
sumber.
5) Di kelas khusus sebagian waktu
Kelas ini berada di sekolah biasa dan menampung anak tunagrahita ringan tingkat bawah atau
tunagrahita sedang tingkat atas. Dalam beberapa hal, anak tunagrahita mengikuti pelajaran di
kelas biasa bersama dengan anak normal. Apabila menyulitkan, mereka belajar di kelas
khusus dengan bimbingan guru pendidikan luar biasa.
6) Kelas khusus
Kelas ini juga berada di sekolah biasa yang berupa ruangan khusus untuk anak tunagrahita.
Biasanya anak tunagrahita sedang lebih efektif ditempatkan di kelas ini. Mereka berintegrasi
dengan anak yang normal pada waktu upacara, mengikuti pelajaran olahraga, perayaan, dan
penggunaan kantin.

2. Ciri Khas Pelayanan


Anak tunagrahita walaupun mengalami hambatan intelektual, dapat mengaktualisasikan
potensinya asalkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan dengan pelayanan
khusus. Melalui pelayanan ini mereka akan mampu melaksanakan tugasnya sehingga dapat
memiliki rasa percaya diri dan harga diri. Hal yang paling penting dalam pendidikan anak
tunagrahita adalah memunculkan harga diri sehingga mereka tidak menarik diri dan
masyarakat tidak mengisolasi anak tunagrahita karena mereka terbukti mampu melakukan
sesuatu. Pada akhirnya anak tunagrahita mendapat tempat di hati masyarakat, seperti anggota
masyarakat umumnya.
Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan pelayanan yang memiliki ciri-ciri khusus dan
prinsip khusus, sebagai berikut.
a. Ciri-ciri khusus
1) Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak tunagrahita adalah bahasa sederhana,
tidak berbelit, jelas, dan gunakan kata-kata yang sering didengar oleh anak.
2) Penempatan anak tunagrahita di kelas
Anak tunagrahita ditempatkan di bagian depan kelas dan berdekatan dengan anak yang kirakira hampir sama kemampuannya. Apabila ia di kelas anak normal maka ia ditempatkan
dekat anak yang dapat menimbulkan sikap keakraban.
3) Ketersediaan program khusus
Di samping ada program umum yang diperkirakan semua anak di kelas itu dapat
mempelajarinya perlu disediakan program khusus untuk anak tunagrahita yang kemungkinan
mengalami kesulitan.
b. Prinsip khusus
1)

Prinsip skala perkembangan mental

Prinsip ini menekankan pada pemahaman guru mengenai usia kecerdasan anak tunagrahita.
Dengan memahami usia ini guru dapat menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan usia
mental anak tunagrahita tersebut. Dengan demikian, anak tunagrahita dapat mempelajari
materi yang diberikan guru. Melalui prinsip ini dapat diketahui perbedaan antar dan
intraindividu. Sebagai contoh: A belajar berhitung tentang penjumlahan 1 sampai 5.
Sementara B telah mempelajari penjumlahan 6 sampai 10. Ini menandakan adanya perbedaan
antarindividu. Contoh berikut adalah perbedaan intraindividu, yaitu C mengalami kemajuan
berhitung penjumlahan sampai dengan 20. Tetapi dalam pelajaran membaca mengalami
kesulitan dalam membedakan bentuk huruf.
2) Prinsip kecekatan motorik

Melalui prinsip ini anak tunagrahita dapat mempelajari sesuatu dengan melakukannya. Di
samping itu, dapat melatih motorik anak terutama untuk gerakan yang kurang mereka kuasai.
3) Prinsip keperagaan
Prinsip ini digunakan dalam mengajar anak tunagrahita mengingat keterbatasan anak
tunagrahita dalam berpikir abstrak. Oleh karena sangat penting, dalam mengajar anak
tunagrahita dapat menggunakan alat peraga. Dengan alat peraga anak tunagrahita tidak
verbalisme atau memiliki tanggapan mengenai apa yang dipelajarinya. Dalam menentukan
alat peraga hendaknya tidak abstrak dan menonjolkan pokok materi yang diajarkan.
Contohnya, anak belajar membaca kata bebek, alat peraganya adalah tulisan kata bebek
harus tebal sementara gambar bebek harus tipis. Maksudnya, gambar bebek hanyalah untuk
membantu pengertian anak.
4) Prinsip pengulangan
Berhubung anak tunagrahita cepat lupa mengenai apa yang dipelajarinya maka dalam
mengajar mereka membutuhkan pengulangan-pengulangan disertai contoh yang bervariasi.
Oleh karena itu, dalam mengajar anak tunagrahita janganlah cepat-cepat maju atau pindah ke
bahan berikutnya sebelum guru yakin betul bahwa anak telah memahami betul bahan yang
dipelajarinya. Contohnya, C belajar perkalian 2 (1 x 2, 2 x 2,). Guru harus mengulang
pelajaran itu sampai anak memahami betul arti perkalian. Barulah kemudian menambah
kesulitan materi pelajaran, yakni 3 x 2, 4 x 2, dan seterusnya.Pengulangan-pengulangan
seperti itu, sangat menguntungkan anak tunagrahita karena informasi itu akan sampai pada
pusat penyimpanan memori dan bertahan dalam waktu yang lama.
5) Prinsip korelasi
Maksud prinsip ini adalah bahan pelajaran dalam bidang tertentu hendaknya berhubungan
dengan bidang lainnya atau berkaitan langsung dengan kegiatan kehidupan sehari-hari anak
tunagrahita.
6) Prinsip maju berkelanjutan
Walaupun anak tunagrahita menunjukkan keterlambatan dalam belajar dan perlu
pengulangan, tetapi harus diberi kesempatan untuk mempelajari bahan berikutnya dengan
melalui tahapan yang sederhana. Jadi, maksud prinsip ini adalah pelajaran diulangi dahulu
dan apabila anak menunjukkan kemajuan, segera diberi bahan berikutnya. Contohnya,
menyebut nama-nama hari mulai Senin, Selasa, dan Rabu. Ulangi dahulu nama hari Senin,
Selasa, Rabu, kemudian lanjutkan menyebut Kamis, Jumat Sabtu, Minggu.
7) Prinsip individualisasi
Prinsip ini menekankan perhatian pada perbedaan individual anak tunagrahita. Anak
tunagrahita belajar sesuai dengan iramanya sendiri. Namun, ia harus berinteraksi dengan
teman atau dengan lingkungannya. Jadi, ia tetap belajar bersama dalam satu ruangan dengan
kedalaman dan keluasan materi yang berbeda. Contohnya, pada jam 8.00 murid kelas 3
SDLB belajar berhitung. Materi pelajaran anak-anak itu berbeda-beda sehingga terdiri dari 3
kelompok. Kelompok 1 harus ditunggui barulah ia akan belajar, sedangkan kelompok 2
cukup diberi penjelasan dan langsung mengerjakan tugasnya.

3. Strategi dan Media


a. Strategi
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunagrahita pada prinsipnya tidak berbeda
dengan pendidikan pada umumnya. Pada prinsipnya menentukan strategi pembelajaran harus
memperhatikan tujuan pelajaran, karakteristik murid dan ketersediaan sumber (fasilitas).
Strategi yang efektif pada anak tunagrahita belum tentu akan baik bagi anak normal dan anak
berinteligensi tinggi.
Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda
dengan strategi pembelajaran bagi mereka yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang
biasa digunakan dalam pembelajaran, seperti klasikal atau kelompok tidak dibahas dalam
tulisan ini. Strategi yang dikemukakan di sini hanyalah strategi yang dapat digunakan dalam
mengajar anak tunagrahita.
1)Strategi pengajaran yang diindividualisasikan
Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan berbeda maknanya dengan pengajaran
individual. Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan kepada seorang demi
seorang dalam waktu tertentu dan ruang tertentu pula, sedangkan pengajaran yang
diindividualisasikan diberikan kepada tiap murid meskipun mereka belajar bersama dengan
bidang studi yang sama, tetapi kedalaman dan keluasan materi pelajaran disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan tiap anak. Strategi ini tidak menolak sistem klasikal atau
kelompok. Strategi ini memelihara individualitas.
Dalam pelaksanaannya guru perlu melakukan hal-hal berikut ini:
a) Pengelompokan murid yang memungkinkan murid dapat berinteraksi, bekerja sama, dan
bekerja selaku anggota kelompok dan tidak menjadi anggota tetap dalam kelompok tertentu.
Kedudukan murid dalam kelompok sesuai dengan minat, dan kemampuan belajar yang
hampir sama.
b) Pengaturan lingkungan belajar yang memungkinkan murid melakukan kegiatan yang
beraneka ragam, dapat berpindah tempat sesuai dengan kebutuhan murid tersebut, serta
adanya keseimbangan antara bagian yang sunyi dan gaduh dalam pekerjaan di kelas. Adanya
petunjuk tentang penggunaan tiap bagian, adanya pengaturan agar memudahkan bantuan dari
orang yang dibutuhkan. Posisi tempat duduk (kursi & meja) dapat berubah-ubah, ukuran
barang dan tata letaknya hendaknya dapat dijangkau oleh murid sehingga memungkinkan
murid dapat mengatur sendiri kebutuhan belajarnya.
c) Mengadakan pusat belajar (learning centre)
Pusat belajar ini dibentuk pada sudut-sudut ruangan kelas, misalnya sudut bahasa, sudut IPA,
berhitung. Pembagian seperti ini, memungkinkan anak belajar sesuai dengan pilihannya
sendiri. Di pusat belajar itu tersedia pelajaran yang akan dilakukan, tersedianya tujuan
Pembelajaran Khusus sehingga mengarahkan kegiatan belajar yang lebih banyak bernuansa
aplikasi, seperti mengisi, mengatur, menyusun, mengumpulkan, memisahkan,
mengklasifikasi, menggunting, membuat bagan, menyetel, mendengarkan, mengobservasi.
Selain itu, pada tiap pusat belajar tersedia bahan yang dapat dipilih dan digunakan oleh anak

itu sendiri. Melalui strategi ini anak akan maju sesuai dengan irama belajarnya sendiri dengan
tidak terlepas dari interaksi sosial.
2) Strategi kooperatif
Strategi ini relevan dengan kebutuhan anak tunagrahita di mana kecepatan belajarnya
tertinggal dari anak normal. Strategi ini bertitik tolak pada semangat kerja di mana mereka
yang lebih pandai dapat membantu temannya yang lemah (mengalami kesulitan) dalam
suasana kekeluargaan dan keakraban.
Strategi kooperatif memiliki keunggulan, seperti meningkatkan sosialisasi antara anak
tunagrahita dengan anak normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap positif anak normal
terhadap prestasi belajar anak tunagrahita sehingga memungkinkan harga diri anak
tunagrahita meningkat, dan memberi kesempatan pada anak tunagrahita untuk
mengembangkan potensinya seoptimal mungkin.
Dalam pelaksanaannya guru harus memiliki kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran,
seperti untuk meningkatkan kemampuan akademik dan lebih-lebih untuk meningkatkan
keterampilan bekerja-sama. Selain itu guru dituntut mempunyai keterampilan untuk mengatur
tempat duduk, pengelompokan anak dan besarnya anggota kelompok. Jonshon D.W (1984)
mengemukakan bahwa guru harus mampu merancang bahan pelajaran dan peran tiap anak
yang dapat menunjang terciptanya ketergantungan positif antara anak tunagrahita ringan
dengan anak normal.
Namun, perlu disadari bahwa pengalaman, kesungguhan, dan kecintaan guru terhadap
profesinya merupakan modal utama yang ikut menentukan keberhasilan pembelajaran anak
tunagrahita ringan dengan anak normal.
3) Strategi modifikasi tingkah laku
Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang ke bawah atau anak
tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini adalah mengubah, menghilangkan atau
mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku yang baik. Dalam pelaksanaannya
guru harus terampil memilih tingkah laku yang harus dihilangkan. Sementara itu perlu pula
teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku tersebut, seperti reinforcement.
Reinforcement ini merupakan hadiah untuk mendorong anak agar berperilaku baik.
Reinforcement dapat berupa pujian, hadiah atau elusan. Pujian diberikan apabila siswa
menunjukkan perilaku yang dikehendaki oleh guru. Dan pemberian reinforcement itu makin
hari makin dikurangi agar tidak terjadi ketergantungan.
Menurut Irianto (2010) gurudi sekolah inklusi dikenal dengan istilah guru yang mendidik
yakni guru yang mampu menerapkan program pembelajaran yang tidak mementingkan mata
pelajaran apa yang diajarkan atau di kelas berapa dia mengajar. Dengan demikian guru yang
mendidik adalah guru yang dapat bertindak sebagai guru kelas professional yang berhadapan
dengan semua mata pelajaran dan dapat melayani dan membelajarkan semua siswa tanpa
terkecuali. Guru yang mendidik juga ditandai dengan sikap professional yang selalu belajar
dan mempelajari berbagai informasi dasar yang berkaitan dengan hambatan/kelainan anak
dan yang mampu memberikan pengajaran mendidik yang disesuaikan dengan kateristik dan
kebutuhan anak.

Wong, Kauffan dan Lloyd (1991:108-115) memberikan gambaran tentang guru yang
mendidik bagi siswa penyandang tunagrahita di sekolah regular/inklusi, diantaranya adalah:
(1) Punya harapan bahwa siswa akan berhasil, (2) Fleksibel dalam menangani para siswa, (3)
Mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap siswa secara terbuka, (4) melakukan
pendekatan tersusun dengan baik dalam pengajaran, (5) Bersikap hangat, sabar, humoris
kepada siswa, (6) bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan anak-anak
dan orang dewasa, (7) mempunyai kemampuan bekerjasama dengan guru pendidikan khusus
dan bersiat responsive dalam membantu orang lain, (8) mampu memberikan penjelasan yang
dapat diterima oleh semula anak dengan menggunakan penalaran-penalaran yang logis, (9)
mempunyai sikap percaya diri dan kompetensi sebagai seorang guru, (10) punya rasa
keterlibatan professional yang tinggi serta pemuasan professional, (11) tidak gampang
menyerah dan putus asa dalam menghadapi anak, tetapi selalu berfikir kreatif dan inovatif
guna mencari solusi pembelajran yang tepat dan bermartabat yang berlandaskan sendi-sendi
kemanusiaan yang humanistik.
b. Media
Media pembelajaran yang digunakan pada pendidikan anak tunagrahita tidak berbeda dengan
media yang digunakan pada pendidikan anak biasa. Hanya saja pendidikan anak tunagrahita
membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak mengingat keterbatasan
kecerdasan intelektualnya. Alat-alat khusus yang ada diantaranya adalah alat latihan
kematangan motorik berupa form board, puzzle; latihan kematangan indra, seperti latihan
perabaan, penciuman; alat latihan untuk mengurus diri sendiri, seperti latihan memasang
kancing, memasang retsluiting; alat latihan konsentrasi, seperti papan keseimbangan, alat
latihan membaca, berhitung, dan lain-lain.
Dalam menciptakan media pendidikan anak tunagrahita, guru perlu memperhatikan beberapa
ketentuan, antara lain (1) bahan tidak berbahaya bagi anak, mudah diperoleh, dapat
digunakan oleh anak; (2) warna tidak mencolok dan tidak abstrak; serta (3) ukurannya harus
dapat digunakan atau diatur penggunaannya oleh anak itu sendiri (ukuran meja dan kursi).
4. Evaluasi
Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan khusus dalam melaksanakan evaluasi
belajar anak tunagrahita.
a. Waktu mengadakan evaluasi
Evaluasi belajar anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar
berakhir atau pada waktu yang telah ditetapkan, seperti waktu tes prestasi belajar atau tes
hasil belajar, tetapi tidak kalah pentingnya evaluasi selama proses belajar mengajar
berlangsung. Pada saat itu dapat dilihat bagaimana reaksi anak, sikap anak, kecepatan atau
kelambatan setiap anak. Apabila ditemukan anak yang lebih cepat dari temannya maka ia
segera diberi bahan pelajaran berikutnya tanpa harus menunggu teman-temanya, sedangkan
anak yang lebih lambat, mendapatkan pengulangan atau penyederhanaan materi pelajaran.
b. Alat evaluasi
Sama halnya dengan alat evaluasi yang digunakan pada pendidikan anak normal maka alat
evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita tidak berbeda, kecuali

dalam bentuk dan urutan penggunaannya. Penggunaan alat evaluasi, seperti tulisan, lisan dan
perbuatan bagi anak tunagrahita harus ditinjau lebih dahulu bagaimana keadaan anak
tunagrahita yang akan dievaluasi. Misalnya, anak tunagrahita sedang tidak mungkin
diberikan alat evaluasi tulisan. Mereka diberikan alat evaluasi perbuatan dan bagi anak
tunagrahita ringan dapat diberikan alat evaluasi tulisan maupun lisan karena anak tunagrahita
ringan masih memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca serta berhitung walaupun
tidak seperti anak normal pada umumnya. Kemudian, kata tanya yang digunakan adalah kata
yang tidak menuntut uraian (bagaimana, mengapa), tetapi kata apa, siapa atau di mana.
c. Kriteria keberhasilan
Keberhasilan belajar anak tunagrahita agar tidak dibandingkan dengan teman sekelasnya,
tetapi dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh anak itu sendiri dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, penilaian pada anak tunagrahita adalah longitudinal maksudnya penilaian
yang mengacu pada perbandingan prestasi individu atas dirinya sendiri yang dicapainya
kemarin dan hari ini.
d. Pencatatan hasil evaluasi
Pencatatan evaluasi yang telah kita kenal berbentuk kuantitatif, artinya kemampuan anak
dinyatakan dengan angka. Tetapi bentuk seperti ini, bagi anak tunagrahita tidak cukup.
Jadi, harus menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan kualitatif. Misalnya, dalam
pelajaran Berhitung, si Ano mendapat nilai angka 8. Sebaiknya diikuti dengan penjelasan,
seperti nilai 8 berarti dapat mempelajari penjumlahan 1 sampai 5, pengurangan 1 sampai 3.
1. G.

Rehabilitasi Tunagrahita

Menurut Somantri (2005) beberapa model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai
pendukung dalam pengembangan kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai
berikut.
1. Latihan pernapasan.
Latihan ini dapat dilakukan meniup lilin pada jarak tertentu, meniup harmonica, dan lain-lain.
1. Latihan otot bicara seperti lidah, bibir dan rahang.
Dalam latihan ini, anak tunagrahita disuruh mengunyah, menelan, batuk-batuk, atau
menggerakkan bibir, lidah, dan rahanggnya. Saranya dapat menggunakan permen karet yang
dikunyah dan dipindah-pindahkan dari kenan ke kiri.
1. Latihan pita suara.
Latihan ini diarahkan untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekitar dengan
menggunakan kata lembaga, yaitu daftar kata yang disusun sesuai dengan tingkat kesulitan
konsonan tertentu, dapat dimasukkan pula menirukan suara macam-macam binatang dan
benda-benda lain disekitarnya sebagai improvisasi, seperti suara kucing, anjing, bebek, dan
lain-lain.

Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang terapis harus memiliki
sikap sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pendidikan humanistic, yaitu penerimaan
secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi
terhadap kondisi anak tunagrahita. Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan tekhnik
modifikasi perilaku pada anak tunagrahita tidak banyak memberikan hasil yang berarti.
Apabila dalam pelaksanaannya mereka mampu memahami dan melakukan dengan baik,
dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau minuman, atau
penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan dan lain-lain. Secara bertahap
kondisinya terus ditingkatkan sesuai dengan tahapan yang diperlukan, dengan memerhatikan
usia mental dan usia kalendernya.
Jenis terapi perilaku yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita yaitu melalui kegiatan
bermain (kegiatan fisik dan/atau psikis yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh).
Mengingat urgensinya bermain bagi anak tunagrahita, dewasa ini aktivitas bermain
dikembangkan menjadi play therapy.
Terapi permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan,
tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain: (1) setiap permainan hendaknya memiliki
nilai terapi yang berbeda, (2)sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk
dicerna anak tunagrahita (Prasedio, 1976).
Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita, anatara lain
sebagai berikut.
1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, pertukaran zat, peredaran darah,
dan pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan melalui kegiatan bermain, baik
bantuan pada satu aspek funsi fisik ataupun lebih.
2. Pengembangan sensomotorik, artinya melalui bermain melatih pengindraan (sensoris)
seperti ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan atau penciuman, di samping
melatih otot dan kemampuan gerak, seperti tangan, kaki, dan gerak tubuh lainnya.
Oleh karena itu, bertambahnya koordinasi aspek sensoris dan aspek motoris dalam
bermain, semakin baik bagi perkembangan anak tunagrahita.
3. Pengembanagan daya khayal, maksudnya melalui bermain, anak tunagrahita diberikan
kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan sebagai sarana yang
diperlukan untuk pengembangan daya khayal dan krasinya.
4. Pembinaan pribadi, maksudnya dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih
memperkuat kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan, percaya
diri, dan lainnya.
5. Pengembangan sosialisasi, yaitu anak harus berbesar hati menunggu giliran, setia, dan
jujur.
6. Pengembangan intelektual, Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam
permainan. Secara tidak langsung cara ini sebenarnya merupakan bagian dari
pengembangan intelektual anak tunagrahita.

Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik
halus yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut.
1. Latihan menuangkan air
2. Bermain pasir
3. Bermain tanah liat
4. Meronce manic manic
5. Latihan melipat
6. Mengelem dan menempel
7. Menggunting dan memotong
8. Latihan menyobek
9. Jarum dan benang.
Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak
tunagrahita, yaitu bermain mengandung unsur olahraga. Misalnya, berjalan diatas bangku dan
latihan lain yang menggunakan alat, misalnya menendang bola.
Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak tunagrahita
materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional, pendidikan olahraga, atau
kombinasi keduanya. Misalnya bermain jala ikan, kucing dan tikus, dan lainnya.

1. H.

Pencegahan Ketunagrahitaan

Berbagai alternatif upaya pencegahan yang disarankan Wardani (2008:6.13) antara lain:
1. Penyuluhan genetik
2. Diagnostik prenatal
3. Imunisasi
4. Tes darah
5. Program KB
6. Tindakan operasi saat kelahiran beresiko tinggi
7. Sanitasi lingkungan
8. Pemeliharaan kesehatan

9. Intervensi diri
BAB III
PENUTUP

1. A.

Kesimpulan

Somantri (2005) berpendapat anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh
dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam
interaksi sosial.
Kalsifikasi menurut Wardani (2008:6.9) berdasarkan kelainan jasmani (klinis) sebagai
berikut: (1) Down Syndrome (Mongoloid), (2) Kretin (Cebol) , (3) Hydrocephal, (4)
Mikrocephal, dan (5) Macrocephal.
Selain itu Kirk dan Johnson dalam Efendi (2006:92) berpendapat bahwa ketunagrahitaan
dapat terjadi karena radang otak (kerusakan pada area otak tertentu yang terjadi pada saat
kelahiran), gangguan fisiologis (berasall dari virus rubella, rhesus factor, mongoloid, dan
cretinisme), faktor hereditas (keturunan), dan faktor kebudayaan (berkaitan dengan
periehidupan lingkungan psikososial).
Efendi (2006:96) berpendapat bahwa gangguan fungsi kognitif pada anak tunagrahita terjadi
pada kelemahan salah satu atau lebih dalam proses tertentu (proses persepsi, ingatan,
pengembangan ide, penilaian, dan penalaran). Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak
tunagrahita sama dengan anak normal, namun prestasi yang diraih berbeda dengan anak
normal.
Menurut Efendi (2006:98) karakteristik anak tunagrahita antara lain: (1) cenderung memiliki
kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir, (2) mengalami kesulitan dalam konsentrasi,
(3) kemampuan sosialisasinya terbatas, (4) tidak mampu menganalisis dan menilai kejadian
yang dihadapi.
Jenis layanan anak tunagrahita menurut Wardani (2008:6.33) yaitu mencakup penyediaan
sekolah khusus (segregasi) dan sekolah umum dengan sistem integrasi (terpadu). Selain itu
penyediaan fasilitas dan penerapan strategi pada sekolah juga harus menunjang dan
membantu anak tunagrahita selama pembelajaran berlangsung.
Proses rehabilitasi yang dapat dilakukan pada anak tunagrahita yaitu dengan menggunakan
latihan pernapasan, latihan otot bicara, latihan pita, dan terapi bermain. Berbagai alternatif
upaya pencegahan yang disarankan Wardani (2008:6.13) antara lain enyuluhan genetik,
diagnostik prenatal, imunisasi, tes darah, program KB, tindakan operasi saat kelahiran
beresiko tinggi, sanitasi lingkungan, dan pemeliharaan kesehatan.
1. B.

Saran

Anak tunagrahita memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. Tidak sepatutnya
mereka diejek atau dikucilkan oleh anak normal. Anak tunagrahita berhak mendapatkan

layanan pendidikan di sekolah inklusi, dimana mereka mendapatkan fasilitas yang dapat
memudahkan proses pembelajarannya dan dapat berbaur dengan anak normal. Anak
tunagrahita merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mulia yang harus dihargai oleh orang
lain.

MODEL STRATEGI TERAPI KELUARGA MELALUI PENDEKATAN


OUTREACH KONSELING ANAK TUNAGRAHITA
MODEL STRATEGI TERAPI KELUARGA MELALUI PENDEKATAN OUTREACH
KONSELING PERKEMBANGAN LAYANAN DASAR DALAM MENINGKATKAN
KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN
Disusun Oleh:
JON EFENDI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini bertolak dari hasil observasi yang menunjukkan bahwa kemandirian bagi anak
tunagrahita merupakan kemampuan yang harus dimiliki berhubungan dengan kemampuan
menolong diri sendiri (self-help) dengan mengurangi ketergantungan dari bantuan orang lain
terutama oleh orang-orang lingkungan terdekat seperti keluarga.
Berkenaan dengan program bimbingan kemandirian bagi siswa tunagrahita ringan guna
membantu pencapaian kemandirian siswa secara optimal melalui pembelajaran di sekolah.
Untuk itu dilakukan diskusi dengan guru-guru, melakukan pengamatan, dan observasi tentang
layanan kemandirian yang dilakukan guru di SLB.
Tesis Jon Efendi (1999) menyatakan bahwa layanan bimbingan yang dilakukan guru dalam
membantu kemandirian anak tunagrahita ringan melalui layanan dasar bimbingan diberikan
berupa: 1) pengenalan terhadap ciri-ciri diri sendiri, 2) layanan mengurus diri sendiri, 3)
layanan perencanaan kegiatan harian, 4) bimbingan melaksanakan kegiatan secara
konsekuen, 5) bimbingan menentukan keputusan, dan 6) latihan berpikir positif. Ditemukan
bahwa upaya meningkatkan kemandirian siswa tunagrahita ringan diperlukan latihan-latihan
yang dimulai sejak dari kelas kecil, berulang-ulang, memberi petunjuk, dorongan serta
pengawasan yang menuntut keikutsertaan dan kerjasama orang tua, guru dan para tenaga ahli
profesi lain sebagai upaya referal.
Selanjutnya juga dilakukan observasi terstruktur terhadap layanan bimbingan yang di berikan
oleh sekolah dengan melibatkan guru-guru kelas di SLB, orang tua dan beberapa pihak
keluarga yang memiliki anak tunagrahita di lingkungan terdekat dengan anak-anak
tunagrahita. Melakukan diskusi dengan para orang tua anak tunagrahita dan lingkungan
keluarga anak tunagrahita tersebut. Adapun okok materi diskusi diarahkan pada peranan
keluarga terhadap pemecahan kemandirian anak tungrahita di rumah masing-masing. Dari
diskusi awal dan dilanjutkan dengan onservasi di lingkiungan keluarga yang memiliki anak
tunagrahita, maka diperoleh gambaran sementara bahwa keluarga terlalu banyak melakukan
intervensi dan bersikap over protektif terhadap anak tunagrahita, terutama dalam kegiatan
mengurus diri sendiri di rumah. Misalnya dalam kegiatan makan dan minum, mandi dan cuci,

berpakaian dan lainnya. Akibatnya anak tunagrahita yang terlalu dibantu dalam kegiatan
mengurus diri sendiri tersebut kelihatan bahwa kebanyak anak tunagrahita kurang mandiri
dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun disekolah. Jika hal in dibiarkan berlarutlarut akibatnya anak-anak tunagrahita akan lambat mencapai kemandirian dan kurang mampu
mengurus diri sendiri. Pada kenyataannya akan menyulitkan bagi guru dalam membantu
perkembangan anak yang semestinya sudah mampu dilakukannya.
Kondisi-kondisi tersebut akan menjadi masalah oleh guru di sekolah ataupun di tengahtengah keluarga. Jika dibiarkan akibatnya orang lain akan merasa terbebani oleh keberadaan
anak tunagrahita, atau sebaliknya anak tunagrahita akan selalu merasa ketergantungan kepada
bantuan dan intervensi dari orang lain.
Menyikapi tulisan tersebut bahwa diperlukan suatu bentuk bimbingan yang menyeluruh guna
meningkatkan kemandirian anak tungrahita melalui lingkungan terdekat seperti anggota
keluarganya. Bimbingan yang selama ini dilakukan hanya masih sebatas memberikan layanan
disekolah melalui pelajaran khusus. Sementara aspek yang mesti terlibat seperti orang tua,
keluarga, dan lingkungan terdekat masih belum terlibat secara maksimal. Dengan demikian
kemandirian yang dicapai siswa hanya masih sebatas waktu belajar di sekolah saja.
Maka dipandang perlu suatu usaha yang menyatu dari konselor, guru, dan orang tua untuk
menindaklanjuti program bimbingan dalam rangka membantu kemandirian anak tunagrahita.
Dengan memberikan kesempatan pada siswa tunagrahita untuk mencoba melaksanakan
kegiatan demi mempersiapkan kemandiriannya, tentu dengan lebih melibatkan lingkungan
terdekat siswa. Kemandirian yang penulis maksudkan pada aspek bimbingan perkembangan
belajar menjadi pribadi yang mandiri (self-help skills) dan akan dilakukan melalui
komponen layanan dasar bimbingan yang berpusat pada bimbingan pribadi dengan
pendekatan outreach counseling.
Tujuan bimbingan di SLB-C adalah agar murid dapat: (a) mengatasi kesulitan dalam
mengurus diri sendiri, (b) mengatasi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekolah, keluarga/masyarakat dan lingkungan kerja/karier, (c) mengatasi kesulitan dalam
menyalurkan kemampuan yang masih ada untuk mengikuti pendidikan/latihan dan
pekerjaan/karier, (d) menggunakan kemampuan yang masih ada untuk mendapatkan
keterampilan dan kesanggupan kerja secara maksimal. (Depdikbud; 1987-7)
Sejalan dengan tujuan bimbingan bagi anak tunagrahita maka aspek keluarga dalam
melaksanakan bimbingan tidak bisa dilepaskan begitu saja oleh guru sebagai pembimbing di
sekolah, dan juga melibatkan peranan orang tua sebagai pembimbingan dan memberikan
intervensi secara langsung kepada anak tunagrahita. Hal ini dikemukakan sebagai
perpanjangan tangan pihak pembimbing atau guru dalam membantu perkembangan
kemandirian anak tunagrahita di sekolah dan di ligkungan keluarga.
Pendekatan outreach counseling selama ini di SLB belum dilaksanakan secara profesional
oleh guru sebagai pembimbing. Keterlibatan guru selama ini dalam menangani anak
tunagrahita masih sering terfokus pada layanan pengajaran saja, namun pada layanan
bimbingan dalam mengurus diri sendiri disekolah masih jarang dilakukan. Berkenaan dengan
itu guru memberikan jawaban bahwa hal itu dikarenakan waktu di sekolah sangat terbatas.
Sebagai guru sulit untuk melaksanakannya karena kebanyakan dari anak-anak tunagrahita
datang dan pulang kerumah masing-masing setelah jam pelajaran selesai. Dijelaskan juga
bahwa kadang orang tua hanya menyerahkan bimbingannya kepada sekolah, dan

beranggapan bahwa disekolah akan dilaksanakan semuanya secara penuh oleh guru.
Melalui pendekatan outreach counseling semestinya guru sebagai pembimbing dapat
menggunakan perpanjangan dalam melaksanakan bimbingan. Dengan Outreach conseling
mestinya guru pembimbing lebih mampu mengikutkan dan melibatkan proses bimbingan
dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunagrahita. Artinya melalui kegitan outreach
pada orang tua dan anggota keluraga terdekat dapat dilibatkan secara optimal. Alasanya
karena anak tunagrahita waktunya lebihbanyak bersama anggota keluarga daripada bersama
guru-guru di sekolah. Pedekatan outreach conseling diharapkan akan dapat memmbatu
pemecahan masalah anak tunagrahita baik dalam mengurus diri sendiri maupun dalam
kegiatan sehari-hari di tengah lingkungan terdekatnya. Hal ini dimungkinkan untuk
memaksimalkan layanan bimbingan yang selama ini kurang diperhatikan oleh guru dan juga
orang tua. Mestinya bila pendekatan outreach conseling ddilaksanakan secara maksimal dan
mampu melibatkan orang-orang terkait seperti lingkungan keluarga maka diharapkan akan
dapat lebih mempercepat peningkatan kemandirian bagi anak tunagrahita.
Jika dilihat dari segi kerjasama antara guru dan orang tua masih sangat terbatas pada proses
belajar akademik, dan untuk kemampuan perkembangan mengurus dir sendiri masih sangat
jarang menjadi bahan pembicaraan antara guru dan orang tua. Terutama dalam hal
perkembangan mengurus diri sendiri bagi anaknya yang menyandang tunagrahita.
Berkenaan dengan data dan hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, maka peneliti ingin
menemukan Model strategi terapi keluarga melalui pendekatan outreach counseling
perkembangan layanan dasar dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita ringan.
Penelitian ini akan lebih mengoptimalkan lingkungan sosial terdekat anak tunagrahita
meliputi; orang tua, keluarga, dan lingkungan sekolah.
B. Fokus dan Rumusan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada penemuan model strategi terapi keluarga melalui pendekatan
outreach konseling perkembangan layanan dasar yang selama ini dipandang belum berhasil
membantu kemandirian anak tunagrahita ringan.
Bagaimanakah model strategi terapi keluarga melalui pendekatan outreach konseling layanan
dasar yang dapat digunakan untuk membantu kemandirian anak tunagrahita ringan?.
C. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan permasalahan yang telah diuraikan maka penelitian ini bertujuan untuk
merumuskan model strategi terapi keluarga melalui pendekatan outreach konseling layanan
dasar untuk meningkatkan kemandirian anak tunagrahita yang sesuai dengan
karakteristiknya.
Untuk mewujudkan tujuan penelitian ini diperlukan kegiatan sebagai berikut.
1. Memotret kondisi aktual kemandirian anak tunagrahita dalam mengurus diri sendiri di
sekolah.
2. Menghimpun data tentang layanan aktual bimbingan kemandirian yang dilakukan oleh
guru disekolah.
3. Merancang model strategi terapi keluarga yang menggunakan pendekatan outreach
conseling
4. Merancang kondisi-kondisi atau setting yang diperlukan dalam outreach konseling.
5. Mengujicoba model outreach konseling yang dapat meningkatkan kemandirian anak

tunagrahita.
6. Menentukan perubahan yang dialami anak tunagrahita setelah diberikan perlakuan dengan
pendekatan outrech konseling.
7. Menyusun Model outreach konseling yang dapat meningkatkan kemandirian anak
tunagrahita.
8. Membuat rekomendasi penggunaan model strategi terapi keluarga melalui pendekatan
outreach konseling dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita, sebagai panduan bagi
guru di sekolah.
Untuk merumuskan model strategi terapi keluarga menggunakan pendekatan outreach
konseling yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak tunagrahita ringan,
diperlukan usaha kerja sama (kolaborasi) antara peneliti dengan guru-guru, dan orang tua,
serta anggota keluarga dari anak tunagrahita yang terlibat dalam setting penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Terbentuk suatu model strategi terapi keluarga melalui pendekatan outreach konseling
layanan dasar bimbingan dalam meningkatkan kemandirian bagi anak tunagrahita ringan.
2. Guru-guru dilibatkan secara langsung dalam kegiatan menyusun model outreach konseling
layanan dasar bimbingan untuk meningkatkan kemandirian bagi anak tunagrahita ringan.
3. Menyusun strategi dan medel pendekatan yang melibatkan seluruh komponen keluarga
anak tunagrahita.
4. Membuat program bimbingan kemandirian yang sesua dengan anak tunagrahita melalui
outreach conseling.
5. Menemukan indikator-indikator yang akurat tentang peningkatan kemandirian anak
tunagrahita ringan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu ditelaah secara cermat upaya apa yang perlu
dilakukan konselor dalam membantu kemandirian anak tunagrahita ringan di SLB kota
Padang.

E. HIPOTESIS
Hipotesis yang dugunakan dalam renacana penelitian ini dirumuskan masalah sebagai
berikut.
1. Model strategi terapi keluarga melalui pendekatan outreach conseling efektif dalam
meningkatkan kemandirian anak tunagrahita?
2. Model strategi terapi keluarga efektif dugunakan untuk pendekatan outreach konseling
dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita ringan.
3. Model strategi terapi keluarga efektif dugunakan untuk pendekatan outreach konseling
dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita sedang.
4. Model strategi terapi keluarga efektif dugunakan untuk pendekatan outreach konseling
dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita berat.
F. Definisi Operasional
1. Model Strategi Terapi Keluarga
Strategis terapi keluarga, memiliki pendekatan untuk mengatasi perlawanan dalam sistem
keluarga. Harapan perlawanan, terutama sebagai respon terhadap intervensi, membutuhkan
metode inovatif. Salah satu teknik ( paradoksal intervensi) upaya untuk mengurangi

hambatan dan membawa perubahan dalam struktur keluarga interaksi dengan mengecilkan
hati gersang perubahan. Pendekatan strategis dari Haley (1973) dan Madanes (1981)
menekankan pentingnya memperkuat aliansi orangtua untuk menangani secara efektif dengan
gejala dan sering menantang perilaku anak-anak. Mental Research Institute (Stanton 1986)
menekankan pengobatan singkat dan penggunaan sangat kreatif intervensi paradoksal.
Sekolah sistemik dari Milan menggunakan metode pengambilan sejarah untuk mengungkap
fungsi gejala dan mengubah interaksi keluarga melalui konotasi positif, menahan diri,
arahan, dan paradoks intervensi.
2. Pendekatan Outreach Konseling
Berkenaan dengan outrech konseling bagi anak-nak tunagrahita ringan tentunya sangat
penting untuk melibatkan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekatnya.
Keterlibatan orang-orang dalam proses konseling bagi anak tunagrahita sangat berhubungan
dengan kemampuan inteligensi yang rendah dan sesuai dengan karakteristik mereka. Oleh
karena itu pendekatan outreach konseling dalam membantu meningkatkan kemandiriannya
dirasakan sangat diperlukan melalui cara melibatkan orang-orang sebagai lingkungan
terdekat dapat berperan serta dalam proses konseling untuk meningkatkan kemandirian anak
tunagrahita.
3. Layanan Dasar Bimbingan
Layanan dasar bimbingan yang dimaksud dalam penelitian ini berkenaan dengan program
bimbingan bagi anak pada jenjang pendidikan dasar yang menitik beratkan pada
pengembangan keterampilan dasar, dan berhubungan dengan program belajar menjadi pribadi
yang mandiri. Bentuk kegiatannya adalah merupakan integrasi materi bimbingan dalam
kegiatan belajar mengajar pada bidang bimbingan sosial pribadi, antara lain: 1) mengenal
ciri-ciri dirinya, 2) cara mengurus diri sendiri, 3) merencanakan kegiatan, 4) melaksanakan
kegiatan secara konsekuen, 5) mengambil keputusan, dan 6) cara berpikir positif.
Pada penelitian ini layanan dasar bimbingan ditekankan pada kegiatan mengurus diri sendiri
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa tunagrahita ringan. Penyesuaian
dimaksud terletak pada kekhasan layanan dan kedalaman materi.
4. Kemandirian Anak Tunagrahita Ringan
Keberhasilan proses belajar mengajar sebagai upaya mewujudkan kemandirian dalam
menguus diri sendiri dipengaruhi oleh berbagai factor. Lingkungan sosial anak seperti guru,
teman sebaya, dan keluarga dipandang sebagai sesuatu yang sangat berpengaruh dalam
proses perubahan peningkatan kemandirian anak tunagrahita.
Bailey, (1982: 19), menyebutkan bahwa; aspek kemandirian bagi anak tunagrahita
berhubungan dengan kemampuan menolong diri sendiri (Self-help) berupa kemampuan
minum dan makan, kemampuan mobilitas, menggunakan WC, mandi, berpakaian serta
berhias. Sedangkan Wehman, (1981 : 185) menyebutkan wilayah kemampuan merawat diri
The self-care domain involves eating, dressing, toileting, grooming, safety, and healt skills.
Dalam penelitian ini kemandirian anak tunagrahita ringan selaras dengan tujuan program
pengajaran kemampuan merawat diri antara lain.
1. menanamkan pengetahuan tentang tata cara mengurus diri sendiri.
2. meningkatkan keterampilan mengurus diri sendiri.
3. mengembangkan kebiasaan mengurus diri sendiri.
4. mengembangkan kemampuan dalam penyesuaian diri.

(Depdikbud, 1997: 1)
Berdasarkan dua pendapat di atas dan tujuan program pengajaran kemampuan merawat diri
tersebut, maka anak tunagrahita dikatakan mandiri apabila ia dapat melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan kemampuan menolong diri sendiri (self-help) tanpa bantuan orang lain.
Selain itu siswa terampil mengurus diri sendiri melalui pembiasaan serta dapat menyesuaikan
diri dengan budaya atau lingkungannya secara optimal.
G. Studi yang Relevan
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjajaki pentingnya penelitian ini dilakukan, maka
penulis berusaha mengumpulkan penelitian terdahulu yang relevan. Jon Efendi (tesis 1999)
menyebutkan bahwa upaya meningkatkan kemandirian siswa tunagrahita ringan diperlukan
latihan-latihan yang dimulai sejak dari kelas kecil, berulang-ulang, memberi petunjuk,
memberi dorongan serta pengawasan yang menuntut keikutsertaan dan kerjasama orang tua,
guru dan para tenaga ahli profesi lain sebagai upaya referal.
Kemandirian adalah kemampuan siswa tuna grahita ringan dalam aspek ADL (membersihkan
diri, berpakaian, makan, menyimpan barang, menggunakan uang, membersihkan dan
mengatur, sekolah, pergaulan) bermain, dan bekerja.
Kartadinata (disertasi, 1988) menyatakan, dilihat dari sudut wilayah konseling, kemandirian
adalah menjadi tujuan yang esensinya ialah berupa tanggung jawab dan pada hakekatnya
bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan sebagai pengetahuan melainkan sebagai sesuatu yang
harus dialami dan diwujudkan dalam tindakan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemampuan
berpikir menjadi instrumen untuk mencapai kemandirian apabila dilandasi dan dipadukan
dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Bahwa masalah kemandirian sebagai
tujuan konseling tidak bisa bertolak dari pandangan manusia secara parsial tapi harus bertolak
dari pandangan yang utuh melihat sumber dan muara tujuan hidup manusia itu.
Winarti (Tesis,1994) kemandirian pada anak diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas orang tua
yang dilakukan sejak anak berusia di bawah lima tahun, bahkan sejak dini secara tegas anakanak sudah dilibatkan dalam kehidupan sehari hari. Peristiwa pembinaan pada anak dilakukan
secara bertahap sesuai perkembangan anak. Pembinaan kemandirian dilakukan dengan
melibatkan anak dalam kehidupan sehari-hari, upaya bimbingan dilakukan dengan memberi
contoh, melakukan bersama dan menekan pada pengembangan potensi yang telah ada sampai
anak mampu melakukan untuk kepentingan diri sendiri.
Ahman (disertasi, 1998) menyimpulkan penelitiannya yang dilakukan terhadap anak Sekolah
Dasar di Jawa Barat bahwa kemampuan anak dalam hal kemandirian menunjukkan
presentase yang paling rendah dari pada aspek perkembangan lainnya. Rendahnya
kemampuan anak disebabkan karena adanya kekhawatiran orang tua (over protection) yang
kurang memberikan kesempatan bagi anak untuk mencoba melakukan sendiri. Kekhawatiran
orang tua tersebut seperti siswa selalu diantar ke sekolah dengan alasan tidak bisa
menyeberang sendiri, orang tua selalu menyediakan keperluan anak sebelum berangkat
sekolah antara lain menyiapkan tas dan alat tulis, pakaian, sarapan. Sesuai dengan tugas-tugas
yang bisa direncanakan dan dikerjakan sendiri belum bisa dilaksanakan anak dengan penuh
kesadaran sendiri tanpa adanya keterlibatan orang tua.
Endah Noorjanah (2009) hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian anak tunagrahita
meliputi: bina diri, sensomotorik, interaksi sosial dan pengembangan karya. Sedangkan
metode bimbingan konseling berupa metode Group Guidance (metode kelompok) meliputi:

metode ceramah/bercerita, karya wisata, demonstrasi, menghafal dan menyanyi.


Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka guru SLB dituntut untuk lebih memahami
aspek-aspek kemandirian siswa tunagrahita berserta kemungkinan-kemungkinan
perkembangan individu yang berbeda. Ini mengandung implikasi bahwa bimbingan di SLB
bagi anak tunagrahita sangat memerlukan suatu upaya kepedulian guru terhadap kelainankelainan perkembangan baik internal maupun fisik agar anak mampu meningkatkan
kemandirian melalui latihan dan bimbingan yang berulang-ulang.
Berdasarkan studi di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan model outreach
konseling layanan dasar dalam peningkatkan kemandirian pada anak tunagrahita ringan di
SLB Kota Padang.
H. KERANGKA BERPIKIR
Penelitian ini diselenggarakan dalam dua tahap yaitu:
Tahap I: Menentukan adaptasi model terapi teori keluarga melalui pendekatan outreach
konseling dengan langkah sebagai berikut:
1. Melakukan studi awal dengan mengidentifikaasi pelaksanaan kegiatan profesional guru
sebagai pembimbing di SLB dalam meningkatkan kemandirian anak tunagrahita.
2. Melakukan identifikasi lingkungan keluarga anak tunagrahita meliputi; orang tua dan
anggota keluarga terdekat.
3. Mengadaptasi dan mengembangkan model hipotetik outreach conseling yang sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan anak tunagrahita.
4. Melakukan uji rasional dan revisi model teori terapi keluarga melalui pendekatan outreach
konseling.
Tahap II: Pelaksanaan uji lapangan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
5. Uji efektivitas model teori terapi keluarga hipotetik melalui outreach conseling.
6. Revisi dan desiminasi
Kerangka pikir yang direncanakan dalam kegiatan penemuan model penelitian tersebut dapat
digambarkan seperti gambar di bawah ini.

Tahapan kerangka berpikir penelitian ini adalah:

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Tentang Anak Tunagrahita
1. Definisi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi dibawah
intelegensi normal. Menurut Standford-Binet Score dan Wiscr-R Score, apabila ditinjau dari
kurva normal, anak tunagrahita berada di sebelah kiri kurva yaitu pada posisi -2, dengan skor
inteligensi yang merentang dari 30 sampai 78. Ketunagrahitaan bermanifestasi dalam:
Kesulitan dalam Adaptive Behavior atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti anak
tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran (standard)
kemandirian dan tanggung jawab sosial; Mengalami masalah dalam keterampilan akademik
dan berpartisipasi dengan kelompok usia sebaya.

Difinisi tentang tunagrahita (terbelakang mental) pada abad ke-dua puluhan bervariasi jika
dilihat dari berbagai disiplin profesi. Pandangan yang terbuka dibuat oleh American
Association on Mental Retardation (AAMR) yaitu suatu organisasi yang terdiri atas banyak
latar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti
berikut:
mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning
existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the
developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)
Makna yang lebih esensial dibuat oleh asosiasi psikiatri Amerika yang mendukung definisi
dari AAMR tersebut terdiri atas tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior,
and the developmental period.
Kemampuan inteligensi, berdasarkan rata-rata tes IQ normal adalah 100, sedangkan untuk
anak terbelakang mental menunjukan angka tes IQ di bawah 100. Dalam hal penyesuaian
tingkah laku kelihatan sangat kurang dan sedikit sekali kemampuannya dalam hal menolong
diri sendiri. Keterbelakangan mental ini terjadi pada periode perkembangan yang dimulai
sejak lahir sampai usia 18 tahun. Definisi anak tunagrahita menurut American Association on
Mental Deficiency (AAMD) sebagai berikut.
mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning
resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested
during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)
In this definition significantly subaverage general intellectual functioning refers to an IQ of
70 or below on a standardized tes of intelligence such as the Stanford-Binet Intelligence
Scales for Children or one of the Wecshler intelligence scales. (Terman & Merrill, 1973) or
one of the Wechsler intelligence scales. This score represents performance that is two
standard deviations below the mean, or average score, on these tests. The AAMD Manual
states that an IQ of 70 should be viewed only as a guideline; in some school placement
decicions it minght be extended upward to 70. (Linch, W. Eleanor. 1992:99)
Definisi-definisi tersebut lebih lanjut ditambahkan AAMD sebagai berikut:
Mental retardation refers to a level of functioning which requires from society significantly
above average training procedures and superior assets in adaptive behavior, manifested
throughout life. The mentally retarded person is characterized by the level of power needed in
the training process for (the person) to learn, and not by limitations on what (the person) can
learn. The height of a retarded persons level of functioning is determined by the availability
of training technology, and the amount of resources society is willing to allocate and not by
significant limitations in biological potential (P. 148 dalam Linch, W. Eleanor. 1992:102)
Senada dengan definisi yang dikemukakan di atas Amin (1995:18) menyatakan seperti
berikut. Anak terbelakang mental atau anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya
jelas berada di bawah rata-rata. Mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit
dan berbelit-belit. Mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus agar mereka dapat
berkembang optimal.

Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita
sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally
handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang
umum dipakai ialah yang digunakan oleh AAMD yaitu mental retardation. Sedangkan PBB
menggunakan istilah mentally retarded atau intellectually disabled yang dicanangkan pada
tahun penderita cacat 1981 dengan thema The Year of Disable Person. Sedangkan istilah
yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental, dan tunagrahita.
2. Klasifikasi dan Pre-valensi Anak Tunagrahita
Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti
merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded)
berarti terbelakang mental.
Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: 1. Lemah fikiran
(feeble-minded); 2. Terbelakang mental (Mentally Retarded); 3. Bodoh atau dungu (Idiot); 4.
Pandir (Imbecile); 5. Tolol (moron); 6. Oligofrenia (Oligophrenia); 7. Mampu Didik
(Educable); 8. Mampu Latih (Trainable); 9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau
Butuh Rawat; 10. Mental Subnormal; 11. Defisit Mental; 12. Defisit Kognitif; 13. Cacat
Mental; 14. Defisiensi Mental; 15. Gangguan Intelektual
American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian
Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata
(Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun;
yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita
menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22)
sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes
inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu
anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Pengklasifikasian/penggolongan Anak
Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental
Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut: Educable
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak
reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.
Pengklasifikasian anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang ilmu masingmasing. Ada yang berdasarkan etiologi, kemampuan belajar, ciri-ciri klinis, dan sebagainya.
Pengelompokan diperlukan untuk memudahkan guru membuat program dan memberikan
bantuan dan layanan yang lebih efektif.
a. Klasifikasi menurut AAMD dan PP No. 72 Tahun 1991
1) Anak Tunagrahita Ringan
Anak tunagrahita ringan yang disebut dalam penelitian ini memiliki IQ antara 50-70.
Meskipun dalam hal kecerdasan dan sosialnya terhambat, tapi mereka masih mempunyai
kemampuan untuk berkembang dalam mata pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan
kemampuan bekerja. Dalam hal akademiknya menggunakan program khusus sesuai dengan
berat ringannya ketunagrahitaan yang disandanngnya. Mereka masih dapat bergaul, dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan dapat hidup mandiri di masyarakat. Dapat
melakukan pekerjaan yang bersifat semi keahlian dan pekerjaan sosial sederhana. Prevalensinya adalah 75% dari jumlah seluruh anak tunagrahita.
2) Anak Tunagrahita Sedang

Anak tunagrahita sedang memiliki IQ 40-55. Masih mempunyai kemampuan intelektual


umum dan adabtasi prilaku di bawah tunagrahita ringan. Mereka dapat belajar keterampilan
untuk tujuan fungsional, mencapai suatu tingkat tanggung jawab sosial, dan penyesuaian
sebagai pekerja dengan bantuan. Pada umumnya anak tunagrahita sedang dapat diketahui
sejak dari bayi atau sejak dari kecil karena keterlambatan perkembangannya dan kadangkadang terlihat dari penampilan fisiknya. Pre-valensi anak tunagrahita sedang kira-kira 20%
dari seluruh jumlah anak tunagrahita.
3) Anak Tunagrahita Berat dan Sangat Berat
Anak tunagrahita berat memilki IQ antara 25-40. Anak ini pada umumnya hampir tidak
mempunyai kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri, melakukan sosialisasi dan
bekerja. Mereka sepanjang hidupnya akan selalu tergantung pada bantuan dan perawatan
orang lain. Hampir semua anak tunagrahita berat dan sangat berat ini menderita cacat ganda.
Umpamanya anak juga menderita lumpuh, tuli atau cacat lainnya. Pre-valensi anak
tunagrahita berat dan sangat berat 5% dari jumlah seluruh anak tunagrahita.
Anak tunagrahita sangat berat (profound) dengan IQ 25 ke bawah. Anak kelompok ini
sepanjang hidupnya selalu mengandalkan bantuan orang lain dan kebanyakan hanya
memerlukan / tergantung pada perawatan dari orang lain. Hebert (1977), berdasarkan skala
sistem penilaian WISC (Payne & Patton, 1981:49) mengemukakan klasifikasi sebagai
berikut. Ringan (mild) IQ 55 70, sedang (moderate) IQ 40 55, berat-sangat berat (severeprofound) IQ 0 40.
Sedangkan Grossman, (1983), membuat pengklasifikasian sebagai berikut.
Educable, IQ 55 to about 70: Second to fifth-grade achivement in school academic areas.
Social adjusment will permit some degree of independence in the community. Occupational
sufficienc will permit partial or total self support.
Trainable, IQ 40 to 55: Learning primarily in the area of self-help skills, some achivement in
areas considered academic. Social adjusment is often limited to home and closely
surrounding area. Vocational proviciencies include supperted work in a community job or
shelterred workshop.
Custodial, IQ below 40: May be unable to achieve even sufficient skills to care for basic
needs. Will usually require significant level of care and supervision during lifetime.
(Hardman, L Michael. 1995:94)
Linch, W. Eleanor (1992:101), Terminology Used in Several Definitions of Mental
Retardation.
TABEL 2:1
KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITA
Organization Generic Term Levels IQ Range for Level
American Association on Mental Deficiency (Grossman, 1983) Mental Retardation Mild
Moderate
Severe
Profound 50-55 to approx 70
35-40 to 50-55
20-25 to 35-40
Below 20 or 25

American Psychiatric Association DSM III (1980) Mental Retardation


Mild Moderate
Severe
Profound 50 70
35 49
20 34
Below 20
World Health Organization (1975) Mental Subnormality Mild
Moderate
Severe
Profound 50 70
35 49
20 34
Under 20
3. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan
Secara umum karakteristik tunagrahita dapat dikatakan sebagai berikut : Terlambat atau
terbelakang dalam perkembangan mental dan sosial, Mengalami kesulitan dalam mengingat
apa yang dilihat, didengar sehingga menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Mengalami
masalah persepsi yang menyebabkan tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat
berbagai bentuk benda (visual perception) dan suara (audiotary perception). Keterlambatan
atau keterbelakangan mental yang dialami tunagrahita menyebabkan mereka tidak dapat
berperilaku sesuai dengan usianya. catt : anak menunjukkan lebih dari 2 karakteristik di atas.
Berkenaan dengan itu Bloom, (1974) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 88) menyebutkan.
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial,
terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat
dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk
bersosialisasi).
Polloway, Epstein dan Cullinan (1985) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 89) menyebutkan
berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan lebih banyak masalah kekurangan perhatian
dibanding teman seusianya yang tidak cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh,
mudah bingung dan mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.
Karakteristik anak tunagrahita ringan di antaranya banyak yang lancar berbicara tetapi kurang
perbendaharaan kata, sukar berfikir abstrak, tapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik.
Usia 16 tahun baru mencapai usia kecerdasan usia 12 tahun, tetapi tidak berlaku untuk semua
anak atau dengan arti kata kecerdasan anak tunagrahita ringan ini paling tinggi sama dengan
kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
4. Tujuan Pendidikan Anak Tunagrahita Ringan
Secara umum tujuan pendidikan nasional juga merupakan tujuan pendidikan anak tunagrahita
ringan. Tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab 2 pasal 3 adalah
sebagai berikut.

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta


peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan tujuan pendidikan anak tunagrahita secara khusus tertuang dalam PP 72/1991 bab
2. Amin (1995:157-158) menyebutkan tujuan pendidikan anak tunagrahita seperti di bawah
ini.
1. Dapat mengembangkan potensinya dengan sebaik-baiknya. Mereka harus dibantu untuk
mencapai tingkat tersebut, sehingga ia dapat mengembangkan potensinya, dan memiliki
kecakapan yang berarti dan berguna untuk bekal hidupnya
2. Dapat menolong diri (makan, mandi, berpakaian dan sebagainya) untuk itu mereka harus
dilatih secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, berdiri sendiri dan berguna bagi
masyarakat (memiliki penghasilan sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam tingkatan
yang sederhana).
3. Memiliki kehidupan lahir bathin yang layak seperti memiliki rasa kepercayaan diri, dapat
membaca dan menulis secara sederhana, mempuyai hoby sesuai dengan kemampuan, bergaul
dengan teman sebaya dan orang lain.
Pendapat lain juga oleh Samuel Kirk dalam Astati (2003:11) bahwa tujuan pendidikan bagi
anak tunagrahita ringan adalah : a) Dapat mengurus dan membina diri, b) Agar dapat bergaul
di masyarakat, c) Agar dapat mengerjakan sesuatu untuk bekal hidupnya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan dari pendidikan anak
tunagrahita ringan adalah agar anak bisa mengurus diri sendiri serta mandiri dan dapat hidup
layak dalam pergaulan bermasyarakat.Sesuai dengan tujuan pendidikan anak tunagrahita di
atas diharapkan melalui pendidikan mereka dapat berkembang sesuai potensi yang
dimilikinya. Melalui pendidikan mereka diharapkan dapat melakukan kegiatan sehari-hari
tanpa bantuan orang lain, dan dapat hidup layak bersama masyarakat sesuai dengan normanorma yang berlaku.
5. Pentingnya Layanan Bimbingan Bagi Anak Tunagrahita Ringan
Pengertian bimbingan menurut Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1990 Bab X, Pasal 25,
bimbingan dirumuskan sebagai bantuan yang diberikan kepada siswa dalam upaya
menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan yang akan
dilaluinya.
Bila kita amati pelayanan dan pelaksanaan bimbingan di Sekolah Luar Biasa (SLB), maka
kegiatan itu tidak bisa terlepas dari kegiatan rehabilitasi yang merupakan upaya bantuan
medik, sosial, dan keterampilan kepada peserta didik agar mampu mengikuti pendidikan.
Rehabilitasi medik meliputi usaha penyembuhan kesehatan penyandang kelainan serta
pemberian alat pengganti dan/atau alat pembantu tubuh.
Rehabilitasi sosial meliputi usaha pemberian bimbingan sosial kepada peserta didik yang
mencakup pengarahan pada penyesuaian diri dan pengembangan pribadi secara wajar.
Rehabilitasi diberikan oleh ahli terapi fisik, ahli terapi bicara, dokter umum, dokter spesialis,
ahli psikologi, ahli pendidikan luar biasa, perawat, dan pekerja sosial.

Keberhasilan dalam mencapai perkembangan yang optimal apabila ia dapat menggunakan


sisa kemampuannya secara optimal sesuai dengan derajat ketunaan. Tetapi tidak semua anak
dapat berhasil mencapai perkembangan yang optimal, dan bukanlah semata-mata karena
ketunaan yang disandang siswa, tetapi ada juga karena ketidak mampuan pelaksana
pendidikan untuk mendekati secara individu sehingga dapat mengetahui berbagai hambatan
yang mereka hadapi.
Agar anak tunagrahita dapat menjadi pribadi yang berkembang, maka kegiatan pendidikan
hendaknya bersifat menyeluruh, tidak hanya kegiatan-kegiatan administrasi, tetapi juga
meliputi kegiatan yang menjamin bahwa setiap anak didik secara pribadi mendapat layanan,
sehingga perkembangan yang optimal dapat terwujud.
Surya, (1988:4) menyatakan bahwa guru pembimbing dituntut untuk menguasai keterampilan
antara lain: (1) keterampilan intelektual adalah penguasaan sejumlah kaidah-kaidah keilmuan
yang menunjang pelaksanaan kehidupan sehari-hari, (2) keterampilan sosial yaitu perangkat
perilaku tertentu yang merupakan dasar bagi tercapainya interaksi sosial secara efektif
meliputi keterampilan memahami dan mengelola diri sendiri, interaktif, dan keterampilan
memecahkan masalah, (3) keterampilan sensomotorik adalah penguasaan sejumlah
keterampilan untuk mengembangkan syaraf dan otot sensomotorik.
Kebutuhan yang bersifat sosial-psikologis bertujuan untuk mengurangi rasa ketunaan yang
disandang. Untuk itu pengenalan terhadap jenis dan tingkat kebutuhan siswa sangat
diperlukan bagi usaha membantu mereka. Program bimbingan konseling merupakan salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan.
B. Outreach Konseling Perkembangan
1. Definisi Outreach Konseling
Outreach adalah pendekatan total untuk layanan kesehatan mental yang menawarkan
alternatif untuk pertumbuhan dan pembangunan yang tidak mungkin dalam kerangka model
tradisional. Para pendukung pendekatan penjangkauan telah menyerukan konselor untuk
mengurangi keterlibatan mereka dalam memperlakukan masalah dan untuk
menginvestasikan kembali energi yang tersimpan dalam fasilitasi proses perkembangan dan
masalah hidup produktif. Pendekatan outreach mensyaratkan bahwa konselor mengambil
sikap aktif dan tidak membatasi karyanya bagi orang yang mencari bantuan. Outreach
konselor meningkatkan kesadaran akan isu-isu masyarakat dan berbicara dengan orang-orang
beresiko untuk masalah-masalah sosial tertentu atau penyakit.
Perkembangan Kegiatan Outreach
Model ini pada dasarnya pasif-reaktif, dengan format layanan standar. Fokusnya pada
pemulihan gangguan yang lebih parah yag membuat seseorang tidak efektif.
Untuk menerima bantuan terapis model pasif-reaktif, seseorang yang mengalami kekacauan
atau ketidaknyamanan termotivasi untuk mencari bantuan. Dengan kata lain, masalah yang
telah memburuk menjadi kekuatan memotivasi, untuk memaksa mengakui bahwa hidupnya
berada di luar kendalinya. Model pasif-reaktif sangat sedikit untuk mendukung pertumbuhan
yang normal dan kebutuhan pembangunan, terang-terangan mengabaikan pencegahan, dan,
pada kenyataannya, tergantung pada penurunan kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya.

Evolusi Praktek Outreach berkembang melalui empat tahapan:


Tahap 1. Tujuan pertama diidentifikasikan pada jangkauan yang sangat terbatas dan spesifik.
Ini adalah untuk meningkatkan dampak dan pemanfaatan layanan kesehatan mental dengan
membuat mereka lebih terlihat. Psikolog bekerja di lingkungan perguruan tinggi yang
menjangkau dengan menawarkan layanan dalam pengaturan naturalistik (serikat mahasiswa,
asrama, dan sebagainya), mendidik agen kampus arahan tentang program dan layanan yang
ditawarkan, dan membuat bahan-bahan dan informasi tentang program konseling lebih
mudah diakses.
Fokus pertama outreach adalah pada saat pemindahan modus intervensi dan layanan yang
ada. Hal ini memiliki pengaruh yang cukup besar, meruntuhkan mitos bahwa layanan
terapeutik hanya dapat ditawarkan di bawah kontrol ketat aman.
Tahap 2. Jenis kegiatan outreach ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan tradisional,
dan menambah layanan tersebut dengan bahan yang mendukung personil lebih baik.
Sebagian dari dampak upaya penjangkauan sebelumnya, menjadi jelas bahwa layanan perlu
dibuat lebih elastis untuk memenuhi kebutuhan beberapa orang. Ketika terapis mulai
berfungsi dalam pengaturan naturalistik, mereka lebih cepat belajar bahwa ada sub kelompok
orang di komunitas mereka yang memboikot layanan yang mereka tawarkan.
Beberapa alternatif yang diberikan oleh pelayanan outreach termasuk penggunaan
pendekatan media untuk mengatasi masalah. Klien bisa mendengarkan serangkaian kaset
audio dirancang untuk mengatasi atau mengendalikan perasaan cemas, bisa berpartisipasi
dalam pemimpin-kurang atau rekan-dipimpin pengalaman kelompok, atau dapat
meningkatkan harga diri dan membuat keputusan karir dengan menggunakan bahan
diprogram yang disediakan oleh kantor kesehatan mental setempat.
Sebagai hasil dari kedua bentuk pertama kegiatan outreach, menjadi sangat jelas bahwa setiap
komunitas atau sekolah dihuni oleh orang-orang yang memiliki kebutuhan kesehatan mental
atau masalah penting. Dengan menjadi lebih terlihat dan membuat layanan yang lebih
relevan, konselor meningkatkan jumlah konsumen yang menginginkan untuk menggunakan
layanan tersebut dan juga meningkatkan tingkat kesadaran mereka sendiri bahwa beberapa
layanan mereka tidak sesuai untuk konsumen potensial tertentu. Hal ini mulai menjadi jelas
bahwa ada masalah yang jauh lebih yang harus diselesaikan daripada jumlah sumber daya
kesehatan mental yang tersedia untuk membantu bekerja untuk mencapai tujuan itu.
Tahap 3. Masalah berpusat model layanan berupa keinginan untuk menemukan cara yang
efektif untuk mendukung pertumbuhan yang positif. Bentuk ketiga mewakili suatu terobosan
konseptual dan mengisyaratkan beralih ke pendekatan yang menekankan perkembangan aktif
memulai perilaku pada bagian profesional.
Dalam bentuk baru dari jangkauan, tujuan untuk menciptakan intervensi awal dalam proses
perkembangan untuk memastikan bahwa tugas-tugas perkembangan yang normal dan
kebutuhan pertumbuhan tidak membentuk fondasi untuk masalah yang lebih serius di
kemudian hari. Penekanannya bergeser dari masalah remediasi untuk mendukung
pengembangan orang tersebut. Ivey (1975, hal 529-530).
Dampak revolusioner menjadi terpusat pada orang daripada terpusat pada masalah ini
baru mulai dialami. Di mana kemampuan konselor benar-benar diperlukan dalam ruang
kehidupan orang-orang yang tidak pergi ke kantor dan yang tinggal terisolasi di mana
masalah-masalah mereka benar-benar ada: di rumah, di pabrik-pabrik, di ghetto, di bar-bar ,

kereta bawah tanah, jalan-jalan, bantalan kecelakaan, di kafetaria, toilet, dan bahkan ruang
kelas.
Sebagai akibat dari pergeseran dalam penekanan untuk menjadi orang terpusat, kita
memunculkan berbagai macam program-program inovatif. Program-program ini berusaha
untuk memberikan kesempatan bagi intervensi ketika orang tersebut berada di persimpangan
jalan perkembangan.
Munculnya ketiga bentuk outreach mengakibatkan kegiatan membantu layanan menjadi
benar-benar multidimensi. Mungkin mengidentifikasi dua gol penting untuk membantu:
melakukan remediasi permasalahan yang ada, dan memfasilitasi proses perkembangan. Gaya
intervensi yang tepat untuk intervensi perbaikan relevansi adalah hanya terbatas untuk
memfasilitasi pengembangan, dan karena itu gaya baru memberikan layanan harus
dikembangkan. Diantara beberapa metode intervensi baru meningkatkan penggunaan
paraprofessionals, menawarkan program dalam pengaturan, pengurangan durasi proses
membantu, dan penggunaan pendekatan pendidikan dan bahan.
Tahap 4. Outreach merupakan upaya pencegahan untuk memberikan intervensi sebelum
kesadaran kebutuhan bantuan. Agar preventif, intervensi harus mendahului munculnya
kebutuhan atau masalah jika tidak maka tidak dapat preventif, tetapi hanya berorientasi
pengobatan. Setelah kebutuhan atau masalah timbul, intervensi harus diklasifikasikan sebagai
tahapan berorientasi perkembangan atau berorientasi remedially.
Penawaran teratur layanan program outreach merupakan indikasi bahwa hal itu tidak hanya
diterima tetapi dianggap sebagai bagian dari inti keterampilan dasar yang seharusnya agar
layanan profesional.
Devinisi Outreach
Mencakup serangkaian layanan dan program yang dirancang untuk memperluas dampak
layanan kesehatan mental di luar remediasi langsung terhadap masalah. Secara harfiah,
berarti penjangkauan untuk menjangkau baik secara fisik dan psikologis untuk mencari caracara tambahan untuk impactive pada populasi. Ini adalah istilah deskriptif global digunakan
untuk mencakup serangkaian pendekatan yang spesifik dan unik untuk menawarkan layanan
kesehatan mental.
Meskipun bentuk kegiatan outreach tidak berkembang menjadi gerakan yang lebih besar,
namun, mereka tetap memberikan kontribusi penting sebagai program individual. Termasuk
dalam kategori ini adalah intervensi yang berfokus pada transaksi individu dengan kehidupan
dan lingkungan belajar, seperti pemetaan eko-sistem, psychoecology, dan teknik lingkungan;
intervensi yang terutama pencegahan di alam, dan intervensi bahwa mencari lingkungan baru
yang membantu dapat dilakukan, seperti konseling naturalistik.
Pola keseluruhan outreach yang muncul biasanya tergantung pada tingkat mana keinginan
konselor: untuk memvariasikan waktu intervensi itu, untuk menambah jumlah pembantu
yang terlibat, untuk diversifikasi metode yang digunakan untuk intervensi, untuk mengubah
fokus dari intervensi, dan untuk mengubah pengaturan dan derajat keterlibatannya dalam
jasa.

Alasan melakukan Outreach Counseling;


pertama jumlah jangkauan yang disediakan relatif kecil, dan penekanan substansial
ditempatkan pada prioritas untuk satu-ke-satu layanan konseling secara langsung. Baik
variasi dan kedalaman pendekatan penjangkauan sangat dibatasi
kedua menggambarkan situasi dimana lebih dari setengah sumber daya (waktu dan energi)
yang dikhususkan untuk kegiatan outreach dan karena kedalaman dan rentang jangkauan
pendekatan yang lebih besar.
ketiga menggambarkan suatu kasus di mana salah satu dimensi jangkauan sebenarnya lebih
besar dari penekanan pada penyediaan konseling. Dalam hal ini, badan konseling
menempatkan penekanan yang lebih tinggi pada kelompok perkembangan terstruktur dari
pada setiap variabel jasa lainnya.
Outreach dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa semua modus intervensi bergerak
melampaui model pelayanan praktek. (Drum dan Figler, 1973; Morrill, Oetting, dan Hurst,
1972) dengan jelas menunjukkan pendekatan yang beragam terhadap layanan manusia dan
harus terjalin menjadi sebuah sistem pelayanan yang lengkap.
Model Tujuh-Dimensi
1. Problem awarness; Soal Kesadaran. Waktu intervensi kesehatan mental dalam kaitannya
dengan kebutuhan originasi adalah sebuah variabel layanan yang kritis. Selama perjalanan
hidup seseorang, banyak tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar orang tumbuh
dan berkembang dengan beberapa kompetensi diri. Jika seseorang tidak berhasil
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan, tugas-tugas yang belum terselesaikan sering
menjadi dasar masalah yang lebih parah.
2. Intervention target; Sebuah model layanan lengkap harus memberikan kerangka kerja
untuk menawarkan beberapa poin kunci: sebelum seseorang memiliki kesadaran akan
kebutuhan untuk bantuan (pencegahan), ketika ia mengakui bahwa masalah atau tugas yang
harus diselesaikan dalam masa depan (perkembangan perlu), dan setelah ia dihadapkan
dengan masalah akut (masalah perbaikan).
Masalah kesadaran adalah salah satu dimensi grafis dalam model outreach. Lingkungan
sangat mendukung dan membuatnya mudah untuk mendapatkan teman dan merasa menjadi
bagian dari segalanya.
3. Setting; Ketika konselor mulai menyediakan jasa membangun dan pencegahan serta
perawatan dan perbaikan, bahwa setting layanan harus diperluas.
Keterusterangan Layanan. Model peran khas untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi
penolong adalah seorang terapis yang menyediakan layanan pada satu-ke-satu atau secara
kelompok terapi dengan klien yang mengalami kekacauan besar.
4. Direcness of service; Outreach pendukung menekankan bahwa kita harus menggunakan
pendekatan yang meningkatkan rasio klien yang dilayani per jam dari waktu terapis luar klien
satu per rasio jam. Terapis bisa memperbaiki rasio oleh:
1. Menyediakan self-help program dan bahan-bahan yang klien dapat menggunakan tanpa
perlu keterlibatan terus menerus dengan orang membantu.
2. Penawaran untuk melayani sebagai konsultan lembaga, kelompok, atau lembaga agar

mereka lebih responsif terhadap kebutuhan kesehatan mental anggotanya.


3. Bekerja untuk mengidentifikasi elemen-elemen positif dan negatif dalam masyarakat yang
sangat baik meningkatkan atau sangat membatasi pertumbuhan dan perkembangan individu.
Setelah mengidentifikasi unsur-unsur positif dan negatif, terapis dapat bekerja untuk
menghilangkan hal-hal negatif dan mendorong kegiatan bermanfaat positif.
5. Jumlah Helpers. Pembimbing profesional harus bekerja ke arah mencari cara untuk
melibatkan non-profesional sebagai pembantu sebanyak mungkin dalam proses membantu.
Selama lima tahun terakhir, kita menyaksikan ekspansi yang luar biasa dalam penggunaan
rekan helper dan para professional. Dengan memberikan pelatihan dan kemudian
memanfaatkan keterampilan membantu dari paraprofessionals, konselor dapat mempengaruhi
sejumlah besar orang.
6. Metode konseling. Metode dirancang untuk melatih orang lain untuk membantu memiliki
beberapa manfaat pengobatan yang tak terduga. Konselor harus mulai menyadari bahwa
metode yang digunakan untuk melatih paraprofessionals berguna untuk membantu orang
memperoleh keterampilan hidup, seperti kemampuan berkomunikasi, berhubungan
interpersonal, dan untuk menegaskan diri sendiri.
7. Durasi Konseling. Pendekatan tradisional mendorong terapis untuk melihat pekerjaannya
diselesaikan ketika masalah telah direhabilitasi. Outreach pendukung yang mendorong
pembantu klien untuk melihat sebagai orang yang memiliki profil kebutuhan bukan masalah
tunggal. Jika seorang konselor dilihat seseorang sebagai memiliki profil kebutuhan, maka
ia akan fokus pada cara dia bisa campur tangan setelah resolusi masalah yang diberikan
(postvention) dan seluruh rentang perkembangan hidup seseorang.
Makna outreach konseling dapat dimaksudkan kedalam setting konseling yang memerlukan
keterlibatan orang-orang terkait dalam rangka membantu memecahkan permasalah klien.
Banyak diantara klien yang dalam pemecahan masalahnya memerlukan keterlibatan orang
lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Keterlibatan pihak lain dilakukan
atas dasar izin dari klien, dan juga berdasarkan kebutuhan konselor untuk memberikan
layanan secara profesional pada kliennya.
Orang-orang terkait yang mungkin dapat dilibatkan seperti; orang yang termasuk dalam
keluarga, orang-orang yang termasuk dalam lingkungan sekolah, orang yang termasuk dalam
lingkungan bermain atau teman dekat. Orang-orang yang dimaksud diperkirakan dapat
membantu dalam rangka memperlancar proses pemberian bantuan, sehingga diharapkan klien
bisa mandiri dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
Berkenaan dengan outrech konseling bagi anak-nak tunagrahita ringan tentunya sangat
penting untuk melibatkan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekatnya.
Keterlibatan orang-orang dalam proses konseling bagi anak tunagrahita sangat berhubungan
dengan kemampuan inteligensi yang rendah dan sesuai dengan karakteristik mereka. Oleh
karena itu pendekatan outreach konseling dalam membantu meningkatkan kemandiriannya
dirasakan sangat diperlukan melalui cara melibatkan orang-orang sebagai lingkungan
terdekat dapat berperan serta dalam proses konseling untuk meningkatkan kemandirian anak
tunagrahita.
2. Perkembangan
Menurut Muro dan Kottman (1995:50-53) menyebutkan bimbingan dan konseling

perkembangan merupakan program yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip seperti di


bawah ini.
a. Guidance and counseling are needed by all children.
b. Developmental guidance and counseling has a focus on childrens learning.
c. Counselors and teachers are cofunctionaries in developmental guidance programs.
d. An organized and planed curriculum is a vital part of developmental guidance.
e. Developmental guidance is concerned with self-acceptance, self-understanding, and selfenhancement.
f. Developmental guidance and counseling focus on the encouragement process.
g. Developmental guidance acknowledges directional development rather than definitive
ends.
h. Developmental guidance, while team oriented, requires the services of a trained
professional counselor.
i. Developmental guidance is concerned with early identification of special needs.
j. Developmental guidance is concerned with the psychology of use.
k. Developmental guidance has foundations in child psychology, child development, and
learning theory
l. Developmental guidance is both sequential and flexible.
Berdasarkan pendapat Muro dan Kottman maka dapat diperoleh maknanya sebagai berikut di
bawah ini.
Program perkembangan kegiatan bimbingan dan konseling diasumsikan diperlukan oleh
seluruh siswa, termasuk siswa yang memiliki kesulitan dalam pemahaman diri, meningkatkan
tanggung jawab terhadap kontrol diri, memahami lingkungan, dan kesulitan membuat
keputusan.
Kebutuhan siswa sebagaimana tersirat di dalam kesulitan dan beban tanggungjawabnya
pemenuhannya diupayakan konselor melalui perancangan dan pengembangan kurikulum
yang menitik beratkan pada pembelajaran manusia dan pemanusiaan peserta didik. Tugas
mereka adalah membantu anak untuk belajar, dan tujuan sekolah adalah pembelajaran.
Sedangkan tujuan bimbingan dan konseling perkembangan adalah membantu siswa untuk
belajar.
Konselor membantu guru dalam menelusuri pemahaman siswa, mendengarkan sungguhsungguh perasaan yang dicurahkan guru, memperjelas, menentukan pendekatan yang akan
digunakan, dan membantu mengevaluasi kegiatan pengajaran yang baru.
Seluruh program bimbingan perkembangan hendaknya berisi perencanaan dan
pengorganisasian kurikulum yang matang. Kurikulum menekankan pada aspek kognitif,
afektif, dan pertumbuhan yang normal. Kegiatan bimbingan perkembangan dirancang untuk
membantu siswa mengetahui lebih banyak tentang diri, penerimaan diri, serta memahami
kekuatan-kekuatan diri.
Pengupayaan agar siswa mencapai perkembangan, maka bimbingan dan konseling diarahkan
untuk: (1) menempatkan nilai pada diri anak sebagai diri sendiri, (2) percaya pada diri, (3)
percaya akan kemampuan diri anak, membangun penghargaan terhadap diri, (4) pengakuan
untuk bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh, (5) memanfaatkan kelompok untuk
mempermudah dan meningkatkan perkembangan anak, (6) memadukan kelompok sehingga

anak merasa memiliki tempat dalam kelompok, (7) membantu pengembangan keterampilan
secara berurutan dan secara psikologis memungkinkan untuk sukses, (8) mengakui dan
memfokuskan pada kekuatan asset anak, dan (9) memanfaatkan minat anak sebagai energi
dalam pengajaran.
Konselor perkembangan menyadari perkembangan anak sebagai suatu proses menjadi,
sehingga pertumbuhan fisik dan psikologis memiliki berbagai kemungkinan sebelum
mencapai masa dewasa. Bimbingan perkembangan sebagai team oriented, menuntut
pelayanan dari konselor profesional.
Bimbingan perkembangan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus anak. Konselor
bekerja sama dengan guru untuk menemukan kebutuhan siswa yang jika tidak terpenuhi akan
menjadi kendala dalam kehidupan siswa selanjutnya. Menjalin hubungan yang erat dengan
orang tua merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan identifikasi
kebutuhan siswa.
Bimbingan perkembangan mendasarkan penerapan psikologi anak, psikologi perkembangan,
dan teori-teori pembelajaran.. Konselor perkembangan tidak sekedar peduli pada asesmen
kemampuan anak untuk belajar, melainkan pada bagaimana anak menggunakan
kemampuannya. Bimbingan perkembangan mempunyai sifat mengikuti urutan dan lentur.
Program hendaknya disesuaikan dengan perbedaan individual. Berurutan berarti bahwa
program bimbingan dirancang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Bertolak dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa outreach konseling perkembangan adalah
upaya bantuan yang dapat melibatkan orang-orang lingkungan terdekat klien seperti keluarga,
guru dan teman sekolah, serta teman sebaya dengan cara lebih memfokuskan pada kebutuhan,
kekuatan minat, dan isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan anak merupakan
bagian penting dan integral dari keseluruhan program bimbingan.
3. Unsur-unsur Bimbingan dan Konseling Perkembangan
a. Visi dan Misi Bimbingan dan Konseling di SLB
Bertolak dari dasar formal, konseptual dan kontekstual, maka visi dan misi bimbingan dan
konseling adalah edukatif, preventif dan developmental. Oleh karena itu model layanan
bimbingan di SD adalah bimbingan dan konseling perkembangan. Layanan bimbingan dan
konseling di SLB memiliki misi penting dalam peningkatan mutu pendidikan, sekaligus
mensukseskan Wajar Dikdas 9 tahun. Di sisi lain keberhasilan pelaksanaan bimbingan di SLB
sangat bergantung pada dukungan guru sebagai pelaksana dan kebijakan pimpinan sekolah.
b. Tugas-tugas Pekembangan dan Kebutuhan Anak SLB Sebagai Dasar Pengembangan
Program Bimbingan
Bimbingan dan konseling melalui pencapaian penguasaan tugas-tugas perkembangan siswa,
menjembatani tugas-tugas yang muncul, menjembatani tugas-tugas yang muncul pada saat
tertetu, dan meningkatkan sumber daya dan kompetensi dalam memberikan bantuan terhadap
pola perkembangan yang optimal bagi klien.
4. Strategi Terapi Keluarga
Lima teori yang dibahas dalam bab ini adalah;
1) Strategis / Penyelesaian Soal; Jay Haley dan Cloe Madanes;
2) Brief Strategic/Interactional; Mental Research Institute (MRI);
3) Solusi-Terfokus; Steve de Shazer dan Milwaukee Group ;

4) Milan sistemik;The Milan Associates; dan


5) Narasi; Michael White dan David Epston.
Perbedaan utama antara lima model terapi keluarga yang akan diuraikan dalam bab ini;
Tanggung jawab terapis untuk mengarahkan perubahan. Terapis umumnya juga mendukung
gagasan bahwa mereka bekerja untuk mempromosikan perubahan perilaku melalui saran
langsung atau bahwa mereka membantu klien mereka dalam mengembangkan pandangan
alternatif dari yang berubah berikut. Dikotomi antara perubahan perilaku dan pemahaman
adalah perbedaan penting antara terapis sebagai direktur menggunakan teknik dan
konstruksi teoretis yang menempatkan mereka di jalan tengah antara sutradara dan
nonintervenrionist ekstrem.
Tingkat masalah yang diidentifikasi adalah fokus pengobatan teknik khusus dan asumsi
tentang bagaimana perubahan terjadi. Tulisan Bateson dan Erickson mewakili ekstrem yang
berlawanan dari skisma antara pemahaman klinis dan mengarahkan perubahan, antara kontrol
hirarkis oleh terapis dan terapis-klien kesetaraan. Sedangkan Erickson jelas mendukung
penggunaan metode petunjuk-Nya dalam pengaturan klinis, Bateson menyesali
penggabungan ide-idenya ke dalam mempromosikan perubahan strategi.
IDE ESSENSIAL
Tidak satupun model terapi didasari teori yang komprehensif tentang perilaku manusia dan
pembangunan. Sebaliknya, mereka bergantung pada fungsi sebagai landasan perawatan,
perhatian utamanya adalah masalah hidup sehari-hari (Erickson dan Bateson).
1. Milton Erickson; Percaya bahwa kliennya memiliki pengetahuan untuk memecahkan
masalah mereka sendiri dan bahwa mereka hanya kekurangan kemampuan untuk mengakses
pengetahuan itu. Membuka solusi klien hingga mereka sendiri terlibat membantu mereka
untuk mengubah perilaku mereka dalam rangka menciptakan konteks baru untuk memahami
perilaku ini. Erick sering menyarankan langkah-langkah kecil untuk klien sebagai PR
antara sesi.
Erickson menemukan cara untuk mengubah kepercayaan klien dan interaksi. Metode
resistensi berbeda dari model terapi tradisional. Erickson memilih untuk menggunakannya
dalam rangka mencapai tujuan klinis. Penggunaan arahan reframes paradoks dan positif,
fitur-fitur umum pada awal model strategis, berasal dari praktik Erickson menggunakan
hipnosis dengan resistensi klien (Haley 1981).
2. Gregory Bateson; Bateson memperkenalkan konsep sibernetika ke bidang terapi keluarga.
Yang menarik adalah bagaimana umpan balik yang memungkinkan sebuah sistem untuk
mengoreksi diri, diaplikasikan pada keluarga, pekerjaan ini meneliti bagaimana pola
komunikasi yang homeostatik, memantapkan interaksi keluarga dan gejala individu.
Fokus Bateson pada peran dalam memproduksi umpan balik perubahan dalam sistem
keluarga. Ia mengusulkan konsep melingkar, bukan linier, kausalitas. Fokus pada lingkaran
terapis keluarga pindah jauh dari sejarah, linear, sebab-akibat mentalitas dari sebagian besar
model terapeutik lainnya (paling jelas, psikoanalitik) ke dalam wilayah sistem yang sekarang.

C. TEORI DAN TERAPI KELUARGA


GAMBARAN UMUM
Sistem non sumatif meliputi individu-individu serta interaksi anggota keluarga (Olson 1970).
Masalah seseorang tidak dapat dievaluasi atau diperlakukan terpisah dari konteks di mana
mereka terjadi dan fungsi-fungsi yang mereka layani. Oleh karena itu, alamat pengobatan
disfungsi perilaku sebagai manifestasi dari gangguan di dalam keseluruhan sistem relasional
keluarga.
Tujuan terapi keluarga sebagai berikut (Steinglass 1995):
1. Menjelajahi dinamika interaksional keluarga dan hubungannya dengan psikopatologi
2. Keluarga menggerakkan kekuatan internal dan sumber daya fungsional
3. Restrukturisasi interaksional maladaptive gaya keluarga
4. Memperkuat keluarga pemecahan masalah perilaku
Pada 1970-an dan 1980-an, bidang terapi keluarga dipandang sebagai terapi unggul di antara
beragam pendekatan. Pada 1990-an, lapangan mencapai tingkat kematangan yang juga
mengakui kontribusi unik dari model intervensi lain, kompleksitas perilaku manusia dan
adaptasi, dan keterbatasan pendekatan keluarga.
SEJARAH
Akar terapi keluarga didirikan di awal 1900-an dengan munculnya gerakan bimbingan anak
(1909) dan konseling perkawinan (1920). Pengobatan psikoanalitik diterapkan dalam sesi
rahasia sejajar dengan pasangan dan menyediakan landasan teoritis yang kuat untuk keluarga
dan perkawinan di awal penyelidikan. Pengembangan secara formal di akhir 1940-an atau
awal tahun 1950. Perintis awal terapi keluarga Ackerman; Bowen; Wynne; Bell; Bateson,
Jackson, Haley, dan Satir; Lidz dan Flick dan semi-independen akar terapi keluarga yang
muncul di Milan, Italia. Sejumlah tokoh penting lainnya, Carl Whitaker, Salvador M.nuchin,
dan Ivan Boszormenyi-Nagy, telah mengembangan terapi keluarga.
Kepentingan dalam hubungan ibu-anak diperluas melalui karya David Levy (1943) mengenai
overprotection dan juga Fromm-Reichmann Friedas (1948) konseptualisasi dari gangguan
dalam hubungan ibu-anak dalam asal-usul skizofrenia.
Munculnya teori belajar dan terapi perilaku menekankan interkoneksi antara gejala perilaku
dan kemungkinan lingkungan keluarga Ketidakpuasan dengan praktek-praktek tradisional
psikoterapi anak diilhami sejumlah kontributor awal terapi keluarga, terutama John Bell
(1975) dan Nathan Ackerman (1954 ).
Murray Bowen (1961, 1966, 1978) adalah seorang tokoh awal utama dan tetap independen di
bidang terapi keluarga, ia merintis penyelidikan dan pengamatan anggota keluarga dirawat di
rumah sakit bersama-sama dengan pasien skizofrenia. Penyelidikannya mengakibatkan
pengakuan atas undifferentiation fenomena dan hubungannya dengan transmisi
kecemasan di dalam sistem keluarga.
(Ryckoff et al. 1959; Wynne, et al. 1958). Konsep dari dua fenomena pseudo-mutualitas
dan pseudo-permusuhan. Pseudo-mutualitas didasarkan pada kebutuhan yang kuat untuk
kebersamaan, pada biaya tidak memungkinkan diferensiasi identitas orang-orang dalam
hubungan dan penyangkalan perbedaan dalam persepsi orang.
Tipe keluarga yang skismatik (ditandai dengan permusuhan perkawinan terang-terangan)
dapat mengakibatkan gangguan skizofrenia akut, dan proses jenis skizofrenia adalah

produk dari keluarga dihindari (dicirikan oleh akomodasi rahasia kepada pasangan
disfungsional).
Grup Palo Alto memulai penyelidikan pada tahun 1950 melalui upaya Bateson, Jackson,
Haley, Weakland. Mereka menggambarkan pola komunikasi, sibernetika, teori sistem, dan
fenomena ganda mengikat pada awal dan situasi kehidupan saat ini pasien skizofrenia. Studi
mengenai karya Milton Erickson oleh Haley dan Weakland mengakibatkan berbagai
pengamatan terkait dijelaskan dalam Strategi Psikoterapi (Haley 1963).
Mental Research Institute (MRI), didirikan oleh Jackson pada tahun 1959 dan diperkaya
dengan penambahan Virginia Satir dan Jay Haley pada tahun 1962. Mendirikan sekolah
strategis terapi singkat berdasarkan intervensi paradoks (Stanton 1980).
INDIKASI DAN KONTRA
Terapi keluarga juga dapat diterapkan pada masalah-masalah rahasia dalam hubungan dalam
keluarga, yang dapat menimbulkan perilaku disfungsional pada bagian dari satu atau lebih
anggota keluarga. Terapi keluarga juga dapat ditunjukkan ketika anggota keluarga lain
mendorong pelestarian dan kelanjutan dari gangguan. Aplikasi terbaru perawatan keluarga ke
rumah sakit, psikotik, dan depresi pasien telah menunjukkan efek yang menguntungkan,
terutama dengan psychopharmaco-therapy.
Kontraindikasi terapi keluarga bersifat relatif, termasuk diskusi masalah-masalah keluarga
sebelum membuat suatu komitmen pengobatan.
MODEL-MODEL THERAPY KELUARGA
Bahwa model terapi keluarga memiliki aplikasi diferensial untuk berbagai populasi pasien.
Terapi keluarga antargenerasi model Bowen dan Boszormenyi-Nagy, berlaku untuk anggota
keluarga yang sudah kronis. Terapi keluarga berlaku untuk terapi perkawinan dan anak-anak
dengan gangguan perilaku kronis. Psikodinamik terapi keluarga dan pengalaman yang sangat
berguna untuk keluarga dengan kerentanan narsisistik; anggota keluarga tersebut sering
memiliki berbagai kepribadian dan neurotik gangguan tetapi juga berhasil mempertahankan
tingkat yang relatif cukup berfungsi, meskipun dengan sedikit kenikmatan dalam hidup
mereka . Terapi jaringan sosial terutama berlaku untuk cacat serius dan kronis dengan
disintegrasi keluarga dan jaringan sosial mereka.
1. Terapi Keluarga Psikodinamik
Terapi Psikodinamik keluarga menekankan pematangan individu, pengembangan
kepribadian, pengalaman anak usia dini, dan resolusi gejala dan konflik dalam konteks sistem
keluarga. Ini memberikan perhatian khusus kepada kesadaran kehidupan anggota keluarga
dan resolusi yang tidak memadai sebelum perkembangan bagian oleh keluarga atau
anggotanya. Peristiwa traumatik dalam kehidupan keluarga saat ini atau yang sebelumnya
dianggap sebagai sumber penting umpan disfungsional yang mengakibatkan gejala,
hambatan, kurangnya kenikmatan, atau immaturities. Konsep lingkungan memegang dalam
teori hubungan-hubungan objek sangat relevan dalam pembentukan hubungan yang sangat
empatik antara terapis dan anggota keluarga untuk memungkinkan munculnya konflik dari
masa lalu (Scharff 1995; Scharff dan Scharff 1987).
Para model psikodinamik paling berlaku dengan beberapa lama tapi halus perilaku gejala
yang rumit terjalin dengan ciri kepribadian. Perilaku seperti ketidakmampuan untuk

menikmati hidup, narsisistik kerentanan, dan kepribadian constrictions. Hubungan narsisistik


menunjukkan diri dengan saling menyalahkan, keasyikan, dan kepekaan terhadap rasa malu
dan rasa bersalah, untuk keluarga psikodinamik terapi (Lansky 1981, 1986).
Percobaan Terapi Keluarga
Pengalaman terapi keluarga berfokus pada ekspresi perasaan, sadar atau prasadar fantasi,
reaksi-reaksi transferensi intrafamilial, dan terapis penggunaan pengalaman dalam keluarga
untuk memperluas jangkauan perasaan keluarga. Jelas komunikasi, peran fleksibilitas,
eksplorasi, dan spontanitas yang sangat dianjurkan. Carl Whitaker dan Virginia Satir adalah
pelopor utama dari pendekatan ini (Gurman dan Kniskern 1981b).
2. Teori Sistem Keluarga (Bowen)
Konsep mendasar Bowen adalah diferensiasi dari keluarga asal dan pembentukan diri sejati
dalam menghadapi keluarga triangulasi. Diferensiasi dan kedewasaan orang dilakukan ketika
seseorang bisa mendefinisikan dirinya sendiri dalam konteks hubungan keluarga. Kegagalan
proses ini terjadi dalam kasus undifferentiation dan cut off fenomena. Kontributor dasar
undifferentiation adalah triangulasi oleh orang tua yang bercerai dan posisi emosional anak
mereka di antara mereka sendiri untuk mengurangi kecemasan dalam hubungan mereka.
konsep utama diferensiasi, kecemasan di dalam sistem, triangulasi, penularan
penyakit di seluruh generasi.
Intervensi dari Bowen didasarkan pada teknik menyalurkan terapis (Bowen 1978), di mana
terapis menanggapi undifferentiation keluarga dan usaha mereka untuk melakukan pelacakan.
3. Kontekstual Therapy (Boszormenyi-Nagy)
Antargenerasi ini model terapi keluarga yang dikembangkan oleh Ivan Boszormenyi-Nagy
(1987c, 1987d) membahas konsep-konsep kesetiaan, utang, hak, dan etika dasar hubungan
keluarga. Gejala dilihat sebagai produk sampingan dari gangguan di atas dimensi
Kontekstual Therapy).
Pendekatan sistem terapi keluarga mengkombinasikan prinsip-prinsip teori sistem umum dan
sibernetika, yang bersama-sama menekankan lingkaran kausalitas dan mekanisme umpan
balik untuk mempertahankan homeostasis keluarga. Keluarga kaku upaya untuk
mempertahankan homeostasis dengan segala cara, yang mengakibatkan kurangnya
kemampuan beradaptasi lingkungan.
4. Structural Family Therapy
Terapi keluarga struktural dikembangkan oleh Salvador Minuchin dan rekan-rekannya
(Minuchin 1974a). Model struktural menekankan intervensi keluarga pembentukan batasbatas dalam keluarga melalui tindakan tegas dan sensitif dari terapis, lebih dipaksakan oleh
keluarga tugas tugas dan pekerjaan rumah. Terapis membuat beberapa manuver untuk
bergabung dengan keluarga dan anggota keluarga pergeseran posisi dalam rangka untuk
mengganggu pola disfungsional dan memperkuat hierarki orangtua. Batas-batas yang jelas
dan fleksibel ditetapkan dalam sesi, dan keluarga didorong untuk mencari jenis interaksi baru.
5. Strategi Terapi Keluarga
Strategis terapi keluarga, memiliki pendekatan untuk mengatasi perlawanan dalam sistem
keluarga. Harapan perlawanan, terutama sebagai respon terhadap intervensi, membutuhkan
metode inovatif. Salah satu teknik ( paradoksal intervensi) upaya untuk mengurangi

hambatan dan membawa perubahan dalam struktur keluarga interaksi dengan mengecilkan
hati gersang perubahan.
Intervensi paradoksal memfasilitasi bergabung dengan terapis keluarga dengan sedikit
perlawanan untuk merestrukturisasi sistem interaksional keluarga. Intervensi yang diterapkan
melalui petunjuk dan penugasan pekerjaan rumah yang perlu dilakukan antara sesi. PR bisa
menjadi logis dan langsung pendekatan terhadap perilaku gejala, atau dapat menjadi
paradoks dengan merekomendasikan sesuatu yang keluarga telah melakukan semua
bersama.
Pendekatan strategis dari Haley (1973) dan Madanes (1981) menekankan pentingnya
memperkuat aliansi orangtua untuk menangani secara efektif dengan gejala dan sering
menantang perilaku anak-anak. Mental Research Institute (Stanton 1986) menekankan
pengobatan singkat dan penggunaan sangat kreatif intervensi paradoksal. Sekolah sistemik
dari Milan menggunakan metode pengambilan sejarah untuk mengungkap fungsi gejala dan
mengubah interaksi keluarga melalui konotasi positif, menahan diri, arahan, dan
paradoks intervensi.
6. Behavioral Family Therapy
Terapi keluarga behavioral menerapkan prinsip-prinsip positif dan penguatan negatif untuk
unit keluarga dengan tujuan meningkatkan timbal-balik dan meminimalkan proses keluarga
memaksa. Memaksa proses keluarga umumnya mengasumsikan bentuk hukuman,
penghindaran, dan kekuasaan bermain. Peningkatan komunikasi dan kemampuan
memecahkan masalah dalam keluarga, dan keluarga berkecil hati dari kecenderungan untuk
menghukum satu sama lain.
7. Intervensi Keluarga Psychoeducational
Intervensi Psychoeducational diathesis-stres menggunakan teori sebagai konsep dasar dan
upaya untuk meningkatkan adaptasi keluarga terutama melalui menginformasikan kepada
keluarga dan pasien secara rinci mengenai hakikat psikopatologi dalam gangguan kejiwaan.
Terdiri dari serangkaian instruksional mendalam sesi oleh para ahli di fenomenologi, etiologi,
dan diagnosa dari gangguan.
Psychoeducational terapi keluarga dapat dengan mudah digabungkan dengan modalitas
pengobatan lain, khususnya Pharmacotherapy, krisis intervensi, rawat inap, rawat inap
parsial, perawatan perumahan, dan perilaku dan kognitif psychotherapies.
8. Gender-Sensitive Terapi Keluarga
Ini memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu gender, uang, dan pembagian tugas rumah
tangga dalam melaksanakan terapi keluarga. Bias seperti itu umumnya menunjukkan diri
mereka sendiri dengan ketidakpekaan terapis terhadap ketidakadilan dalam peran keluarga
dan masalah yang umumnya mendasari disfungsi keluarga.
9. Jaringan Sosial Therapy
Dikembangkan oleh Ross Speck (Speck dan Attneave 1971; Speck dan Rueveni 1969), dapat
diterapkan untuk keluarga di mana keluarga disfungsi dan disintegrasi berkaitan erat dengan
disfungsi dan disintegrasi jaringan sosial keluarga. Ini menilai kesehatan dan efektivitas
jaringan sosial, terutama yang lebih baru constrictions dalam jaringan keluarga segera
sebelum krisis. Ukuran, homogenitas, dan heterogenitas dari jaringan sosial dinilai. Teknik-

teknik intervensi memfasilitasi munculnya aktivis dalam keluarga jaringan sosial untuk
meningkatkan kepemimpinan, komunikasi, keterkaitan, berfungsi, dan perluasan jaringan.
SIKLUS KEHIDUPAN KELUARGA
Terkelson (1980) dan Carter dan McGoldrick (1980b) telah menetapkan masalah-masalah
emosional kritis untuk keluarga pada berbagai tahap siklus kehidupan. Zilbachs (1988)
menyajikan model perkawinan sebagai tahap pertama dalam siklus kehidupan keluarga. Yang
diantisipasi delapan tahap siklus kehidupan keluarga; 1) perkawinan, 2) keluarga awal, 3)
keluarga yang melahirkan anak, 4) keluarga dengan anak-anak usia sekolah, 5) keluarga
dengan remaja, 6) keluarga sebagai pusat peluncuran , 7) keluarga dalam tengah tahun, dan 8)
keluarga penuaan. Dalam terapi keluarga, siklus hidup mengasumsikan posisi utama dalam
penjelasan tentang pola-pola keluarga yang disfungsional. Terapis keluarga psikodinamik
fokus pada halus, kompleks, timbal balik, dan saling terkait gaya dalam perkembangan
individu dan keluarga.
TERAPI KELUARGA, ANAK DAN REMAJA
Keterlibatan antara anak dan orangtua, mekanisme keluarga proyektif, dan triangulasi
adalah sumber utama kurangnya diferensiasi di mana immaturities dan penyakit yang
ditransfer di seluruh generasi. Identifikasi proyektif menggambarkan proyeksi penyelesaian
konflik orangtua dengan anak yang menganggap identitas berdasarkan perannya secara
historis mengganggu pembentukan identitas. Parentification peran orangtua kepada anakanak dan mereka menghalangi dari pengalaman sesuai dengan usianya. Helm Stierlin (1974)
menggambarkan cara-cara mengikat, mendelegasikan, dan pengusiran sebagai tiga cara, agar
keluarga merundingkan pemisahan patologis untuk mengatasi rasa takut yang
berkepanjangan.
KELAHIRAN PSYCHIATRY KELUARGA
Di antara temuan-temuan diathesis-teori stres (Rosenthal, 1970) dan studi adopsi Finlandia
(Tienari 1987) memberikan data signifikan yang menekankan peran gabungan biologis dan
interpersonal variabel.
1. Diathesis-Stress Theory
The diathesis-stres atau kerentanan-teori stres pertama kali diusulkan oleh Rosenthal (1970)
dan disempurnakan oleh Zubin dan Spring (1977). Kerentanan didapat dari hasil faktor
genetik dan biologis, walaupun kerentanan psikologis dan interpersonal dapat berfungsi
dengan cara yang sama.
2. Adopsi Studi Finlandia
Studi adopsi Finlandia (Tienari 1987) meneliti tingkat fungsi keluarga, beradaptasi, dan
organisasi dari keluarga angkatnya dengan membagi mereka ke dalam lima kelompok, mulai
dari berfungsi optimal untuk tidak cukup berfungsi. Walaupun semua keluarga anak yang
diadopsi dengan kerentanan genetik yang sebanding, hasil dari anak-anak itu secara
signifikan berkorelasi dengan tingkat fungsi keluarga.
3. Tidak Membagi Lingkungan dalam Pengembangan Anak Remaja
(Reiss et al. 1994; Reiss et al. 2000). Studi ini termasuk beberapa ratus keluarga, yang telah
dibagi menjadi enam kelompok sebagai berikut: 1) keluarga dengan monozigotik kembar,
yang 100% secara genetik serupa; 2) Keluarga dengan dizigotik kembar; 3) biasa

nondivorced saudaranya di keluarga; 4) penuh saudaranya di stepfamilies (semua 50%


terkait); 5) saudara kandung dalam stepfamilies setengah (25% genetik yang terkait); dan 6)
yang tidak berhubungan saudaranya stepfamilies (0%) related; Tidak bisa membagi variabel
sosial apapun, biologis, atau faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perkembangan kejiwaan.
4. Variabel Keluarga Skizofrenia
Studi keluarga telah menyelidiki variabel-variabel yang membedakan anggota keluarga
dengan penderita skizofrenia dari mereka yang tidak menderita skizofrenia. Penelitian telah
melihat indikator risiko dan telah terutama difokuskan pada tiga variabel yang diekspresikan
emosi, komunikasi penyimpangan, dan gaya afektif (Goldstein 1987). Dinyatakan emosi
mengkritik mengacu pada komunikasi dan sikap negatif dalam keluarga. Penyimpangan
komunikasi mengacu pada kurangnya kejelasan komunikasi.
a. Ekspresi Emosi (EE)
Intervensi dengan keluarga EE, dengan tujuan mengurangi permusuhan dan kekeluargaan
overinvolvement, eksperiment memberikan bukti bahwa memang EE kausal berkaitan
dengan perjalanan penyakit dan penurunan tingkat hasil EE dalam pengurangan kekambuhan
(Hahlweg et al. 1989).
b. Penyimpangan Komunikasi (CD)
Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa CD terkait dengan beratnya psikopatologi pada
keturunan, walaupun beberapa gangguan yang nonschizophrenic di alam. Studi lebih lanjut
mengindikasikan CD yang tinggi, bersama-sama dengan EE tinggi atau gaya afektif negatif,
bisa menjadi penanda risiko gangguan spektrum skizofrenia (Wynne 1987).
c. Afektif Style (AS)
Gaya afektif (AS) merujuk pada perilaku verbal emosional anggota keluarga keluarga selama
diskusi dengan pasien. Hal ini diukur dengan menghitung jumlah krisis, induksi rasa
bersalah, gangguan, dan mendukung pernyataan yang dibuat oleh kerabat.
Intervensi Keluarga Depresi
Pasien depresi cenderung permusuhan dengan orang lain dan juga untuk merasa menjadi
korban oleh mereka. Mereka sering terlibat dalam pertukaran negatif meningkat dengan
pasangan mereka. Depresi pasien dan pasangan mereka mereka cenderung memverbalisasi
negatif, perasaan subjektif dari pasangan biasa lebih sering. Perkawinan perempuan dan lakilaki depresi ditandai oleh; gesekan, komunikasi yang buruk, ketergantungan, kurangnya kasih
sayang, permusuhan terbuka, diam, menarik diri, dan kecenderungan untuk para suami untuk
melihat pasangan mereka tak terucapkan sebagai sebuah tuduhan (Coyne, 1987; Haas et al.
1985 ). Hubungan intim dengan pasangan dapat menjadi faktor protektif terhadap depresi,
dan hubungan perkawinan yang baik tampaknya membantu menetralisir efek situasi stres
(Brown dan Harris 1978).
Intervensi Keluarga Psychoeducational
Intervensi Psychoeducational meningkatkan kapasitas keluarga untuk mengatasi penyakit
pada anak-anak dengan memberitahukan keluarga tentang etiologi, phenomenonology, dan
proses pengobatan dengan, misalnya, penderita skizofrenia dan depresi pasien. Pada saat
yang sama, psychoeducational terapi keluarga telah memungkinkan para profesional
kesehatan mental untuk campur tangan dengan keluarga dengan cara-cara yang mencegah
krisis emosional dalam keluarga. (Brent 1997; Brent et al. 1997; Goldman dan Beardslee
1999).

Intervensi Dengan Keluarga Alkoholisme


Identitas keluarga ini terbentuk ketika alkohol datang untuk memainkan peran penting dalam
sehari-hari perilaku keluarga. Alkohol menjadi pusat prinsip pengorganisasian dalam
keluarga, keluarga membatasi fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan
krisis, dan mempengaruhi mekanisme regulasi keluarga seperti ritual, rutinitas, dan perayaan.
Keluarga adalah sebuah contoh dari suara mengintegrasikan konsep-konsep teoretis, seperti
penularan penyakit di seluruh generasi dan siklus kehidupan keluarga, dalam kerangka
pencegahan.
Diagnosis dan Klasifikasi Keluarga
Sistem klasifikasi keluarga telah diusulkan oleh Kelompok untuk Kemajuan of Psychiatry
(GAP). The GAP (1991) Komite Keluarga telah mengusulkan sebuah dokumen sesuai dengan
DSM-IV untuk menetapkan kriteria diagnostik untuk keluarga dan beberapa gangguan
relasional. Kriteria mereka fokus di sekitar masalah keluarga tertentu seperti pelecehan
seksual atau fisik, perceraian, gangguan seksual, kegagalan untuk berkembang, dan
pemisahan kecemasan.
Intervensi Keluarga di Rumah Sakit Jiwa
Berdasarkan model stres diathesis oleh riset terbaru mengenai EE, yang relatif penyebab
faktor biologis ditempatkan dalam perspektif bersama dengan keluarga dan pengaruh
lingkungan. Obat dianggap sebagai intervensi keluarga (Glide et al. 1985b, 1993). Sebuah
model psychoeducational IFI telah diusulkan oleh Glick et al. (1985b, 1993). Sholevar (1983,
1986b).
Penelitian dalam Terapi Keluarga
Baru-baru ini kemajuan dalam terapi perkawinan dan penelitian terapi keluarga telah
diringkas oleh Johnson (Bab 37, Pasangan Terapi Penelitian: Status dan Arah) dan oleh
Clarkin, Carpenter, dan Fertuck. Penelitian menjembatani antara pasangan yang berbeda dan
model terapi secara empiris dan klinis berdasarkan inisiatif. Mereka juga menggarisbawahi
perlunya mendefinisikan dan menjelaskan sifat dari hubungan intim untuk membantu
menyempurnakan metodologi penelitian (Johnson dan Lebow 2000).

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh model outreach konseling kemandirian siswa
tunagrahita melalui layanan dasar bimbingan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan collaborative action research. Berkenaan dengan
pendekatan ini, Carr & Kemmis (1986), dalam Natawidjaja (1997), merumuskan penelitian
tindakan sebagai berikut.
Penelitian tindakan (Action Research) adalah suatu bentuk penelaahan atau inkuiri melalui
refleksi diri yang dilakukan oleh peserta kegiatan pendidikan tertentu (misalnya guru, siswa,
dan atau kepala sekolah dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki
rasionalitas dan kebenaran serta keabsahan dari (a) praktek-praktek sosial atau kependidikan
yang mereka lakukan sendiri, (b) pemahaman mereka mengenai praktek-praktek tersebut, dan
(c) situasi kelembagaan tempat praktek-praktek itu dilaksanakan.

Sejalan dengan pendapat diatas, Elliott (1993 : 54) menyebutkan penelitian tindakan sebagai
berikut.
Action research integrates teaching and teacher development, curriculum development and
evaluation, reasearch and philisophical reflection, into a unified conception of a reflective
educational practice.
It is shaped by structures which transcend the power of any single individual to effect change.
This struction is manifest in the selection, sequencing and organization of curriculum content;
in the programes of learning task which govern how that content is handled; in the ways
pupils are socially organized, and time and resources are allocated and distributed, in relation
to learning task.
Berdasarkan pendapat di atas maka penelitian tindakan bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan yang menyangkut suatu pemecahan terhadap persoalan antara teori dan praktek
yang dihadapi oleh para guru di sekolah. Penelitian tindakan benar-benar menggambarkan
suatu proses dimana gagasan-gagasan diuji dan dikembangkan dalam suatu bentuk tindakan.
Makna kolaborasi dalam penelitian ini merupakan suatu kerja sama dalam penelitian tindakan
pada kegiatan yang diteliti. Peneliti berada di lapangan sejak awal penelitian dan bersamasama dengan guru melaksanakan penelitian dan menganalisis kesenjangan serta menyusun
program hipotetik yang sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita ringan.
Kejelasan pelaksanaan penelitian ini dapat penulis uraikan pada langkah-langkah yang akan
dilakukan di bawah ini.
1. Memotret kondisi aktual kemandirian anak tunagrahita dalam mengurus diri sendiri di
sekolah.
2. Menghimpun data tentang layanan aktual bimbingan kemandirian yang dilakukan oleh
guru disekolah.
3. Merancang kondisi-kondisi atau setting yang diperlukan dalam outreach konseling.
4. Mengujicoba model outreach konseling yang dapat meningkatkan kemandirian anak
tunagrahita.
5. Menentukan perubahan yang dialami anak tunagrahita setelah diberikan perlakuan dengan
pendekatan outrech konseling.
6. Menyusun Model outreach konseling yang dapat meningkatkan kemandirian anak
tunagrahita.
7. Membuat rekomendasi penggunaan model outreach konseling dalam meningkatkan
kemandirian anak tunagrahita, sebagai panduan bagi guru di sekolah.
B. Deskripsi Tempat Penelitian
Sekolah tempat penelitian ini adalah 10 SLB Kota Padang. Sekolah Pendidikan Luar Biasa
yang menampung anak-anak berkelainan khususnya tunagrahita untuk mendapatkan
pendidikan agar mereka mampu mandiri, tidak terlalu bergantung pada bantuan orang lain
dan mau berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara melalui sosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya.
C. Sumber Informasi
Informasi dalam penelitian ini akan diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas, dan
kepala sekolah, orang tua dan melakukan observasi tentang layanan bimbingan terhadap anak
tunagrahita ringan di kelas, di luar kelas, yang mencakup situasi sosial, kondisi dan fasilitas.

Seperti ruangan tempat pelaksanaan bimbingan, ruang kelas yang sesuai dengan kebutuhan
pengajaran anak tunagrahita, perabot, alat atau sarana yang digunakan.
D. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Tehnik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi wawancara, observasi, diskusi, daftar
chek, dan studi dokumentasi.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab, dilakukan dengan
sistematik dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Nasution (1992) mengemukakan, dalam
wawancara kita dihadapkan kepada dua hal. Pertama, kita harus mengadakan interaksi
dengan responden. Kedua, kita menghadapi kenyataan, adanya pandangan orang lain yang
mungkin berbeda dengan pandangan kita sendiri.
Observasi yang dilakukan bersifat partisipatif yaitu ikut mengambil bagian dalam kegiatan
yang dilakukan oleh orang yang diobservasi. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui dari
dekat kegiatan dan peristiwa tertentu yang dilakukan oleh kasus sehingga dapat memberikan
informasi yang berguna sesuai dengan tujuan penelitian.
Studi dokumentasi dilakukan untuk mengungkap data yang bersifat administratif dan data
kegiatan yang terdokumentasikan. Menurut Nasution (1992 : 85), dalam penelitian kualitatif,
dokumen termasuk sumber non human resources yang dapat dimanfaatkan karena
memberikan beberapa keuntungan, yaitu bahannya telah ada, telah tersedia, siap pakai, dan
tidak memakai biaya. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa: data pribadi
keadaan siswa, hasil tes psikologi dari psikolog yang menggambarkan keadaan IQ, dan
kemampuan yang dapat dikembangkan pada siswa, foto pelaksanaan bimbingan kemandirian,
dan rekaman wawancara.
2. Pengolahan data
Kegiatan mengolah data merupakan langkah penting dalam penelitian. Di sini peneliti
dimungkinkan untuk memberikan makna terhadap data yang dikumpulkan.
Menurut Patton (1980), pengolahan data adalah proses mengatur data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran
yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola urutan, dan
mencari hubungan di antara dimensi uraian.
Sedangkan Bogdan dan Biklen (1982), mendefinisikan pengolahan data sebagai proses yang
merinci upaya secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) sebagai
yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema atau
hipotesis.
Dalam penelitian ini data yang diperlukan dikumpulkan melalui wawancara, observasi,
diskusi, dan studi dokumentasi. Data penelitian disusun dan dirangkum untuk menemukan
hal-hal inti sesuai dengan permasalahan penelitian secara sistematis dalam lembaran
rangkuman sehingga lebih mudah mengolahnya.
Langkah selanjutnya membuat rancangan model awal outreach konseling dan mengadakan
ferifikasi terhadap setiap kesimpulan yang telah dibuat. Langkah tersebut dilakukan secara
berurutan sejak awal penelitian, sehingga diperoleh temuan-temuan yang dapat
dipertanggung jawabkan.
E. Pelaksanaan Penelitian
Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan, Elliott (1993 : 69) menyebutkan

langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian tindakan adalah: The basic cycle of
activities is identifying a general idea, reconnaissance, general planning, developing the first
action step, implementing the first action step, evaluation, revising the general plan.
Keseluruhan kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap kegiatan, yakni tahap
orientasi, tahap eksplorasi, tahap wawancara ulang (member check), tahap triangulasi dan
tahap audit trail, tahap kolaborasi, tahap perumusan model, dan tahap uji konsensional.
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini penulis mengamati perilaku dan tingkahlaku siswa dalam mengurus diri
sendiri baik saat belajar di dalam kelas dan juga saat istirahat. Berdasarkan penjajakan
diperoleh berbagai informasi tentang kemandirian siswa, program yang dilaksanakan untuk
membantu kemandirian siswa. Informasi data diperoleh dari pengamatan terhadap siswa yang
bersangkutan, wawancara dengan guru kelas, kepala sekolah dan orang tua atau pengantar
siswa yang tahu tentang keadaan siswa.
2. Tahap Eksplorasi
Pada tahap ini dilakukan penggalian informasi secara bertahap dan mendalam yang meliputi
kegiatan seperti berikut.
a. Penyusunan instrumen, dengan mempersiapkan kisi-kisi guna menyusun pedoman
wawancara dan observasi yang dapat dikembangkan pada waktu dilapangan.
b. Menentukan sumber data yakni guru-guru yang mengajar di kelas dasar luar biasa, guru
yang pernah mengajar di kelas dasar, dan kepala sekolah.
c. Melaksanakan wawancara, apabila hasil pengamatan belum memuaskan.
d. Melaksanakan diskusi bersama kolaborator penelitian yang terlibat
3. Tahap Member Check
Pada tahap member check ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan mencakup:
a. penyusunan laporan penelitian yang diperoleh pada tahap eksplorasi,
b. penyampaian laporan tersebut kepada guru kelas untuk di chek kebenarannya sesuai
dengan pendapat guru yang bersangkutan,
c. perbaikan laporan sesuai dengan saran dan maksud guru-guru yang dilibatkan dalam
penelitian.
d. Seminar bersama orang tua dan guru-guru SLB kota Padang
4. Tahap Triangulasi
Tahap triangulasi menurut pendapat Moeleong (1989:195) Merupakan tahap pemeriksaan
keabsahan data yang diperoleh dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.
Tahap triangulasi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Membandingkan hasil observasi layanan bimbingan dengan hasil wawancara guru-guru.
b. Membandingkan informasi masing-masing guru terhadap masalah yang sama.
c. Membandingkan hasil observasi dengan wawancara terhadap dukungan sistem.
Trianggulasi dilakukan terhadap data observasi, dan hasil wawancara dengan memperhatikan
dukungan sistem yang diperlukan. Kegiatan ini ditujukan untuk menjaga data tetap terfokus
pada permasalahan yang diteliti. Penulis menyiapkan pokok-pokok pertanyaan dan observasi

sebagai pedoman dalam pengumpulan data.


5. Tahap Audit Trail
Tahap ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran data yang ditampilkan. Setiap data yang
ditampilkan disertai dengan keterangan yang merujuk pada sumber yang dapat
mempermudah dalam menelusuri kebenaran data yang ada.
6. Tahap Kolaborasi
Tujuan kolaborasi adalah untuk menyusun model outreach konseling kemandirian yang
sesuai dengan kebutuhan siswa dengan melibatkan guru-guru kelas, orang tua, kepala sekolah
tingkat sekolah dasar luar biasa.
Cakupan pembahasan yang dilakukan meliputi landasan dasar program, visi dan misi
bimbingan, tujuan bimbingan di SLB-C, tujuan bimbingan kemandirian yang meliputi tujuan
umum dan khusus, ruang lingkup program, dan rambu-rambu pelaksanaan model outreach
konseling kemandirian anak tunagrahita. Tahapan kolaborasi selanjutnya menentukan materi
program, alokasi waktu, metode pendekatan, alat bantu yang digunakan, cara melaksanakan
dalam proses belajar mengajar, dan mengevaluasi kegiatan.
7. Tahap Uji Validasi
Pesertanya yakni guru-guru SLB-C Kota Padang. Berdasarkan masukan-masukan melalui
seminar maka peneliti berusaha menyusun kembali model outreach konseling untuk
meningkatkan kemandirian yang dirasakan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa
tunagrahita ringan

Anda mungkin juga menyukai