Anda di halaman 1dari 30

Mitologi Yunani

http://id.wikipedia.org/wiki/Mitologi_Yunani
Mitologi Yunani adalah sekumpulan mitos dan legenda yang berasal dari Yunani Kuno dan
berisi kisah-kisah mengenai dewa dan pahlawan, sifat dunia, dan asal usul serta makna dari
praktik ritual dan kultus orang Yunani Kuno. Mitologi Yunani merupakan bagian dari agama di
Yunani Kuno. Para sejarawan modern mempelajari mitologi Yunani untuk mengetahui keadaan
politik, agama, dan peradaban di Yunani Kuno, serta untuk memperoleh pemahaman mengenai
pembentukan mitos itu sendiri.[1]
Kebanyakan dewa Yunani digambarkan seperti manusia, dilahirkan namun tak akan tua, kebal
terhadap apapun, bisa tak terlihat, dan tiap dewa mempunyai karakteristik tersendiri. Karena itu,
para dewa juga memiliki nama-nama gelar untuk tiap karakternya, yang mungkin lebih dari satu.
Dewa-dewi ini kadang-kadang membantu manusia, dan bahkan menjalin hubungan cinta dengan
manusia yang menghasilkan anak, yang merupakan setengah manusia setengah dewa. Anak-anak
itulah yang kemudian dikenal sebagai pahlawan.
Mitologi Yunani secara eksplisit terdapat dalam kumpulan cerita dan karya seni Yunani Kuno,
seperti pada lukisan vas dan benda-benda ritual untuk dewa. Mitologi Yunani menjelaskan asal
mula dunia serta menceritakan kehidupan dan petualangan berbagai dewa, dewi, pahlawan, dan
makhluk-makhluk mitologi. Mitologi Yunani pada awalnya disebarkan melalui tradisi lisan. Saat
ini sebagian besar informasi mengenai mitologi Yunani diperoleh dari sastra Yunani.
Sumber literatur Yunani tertuayakni wiracarita Iliad dan Odisseiaberisi kisah yang berpusat
pada peristiwa mengenai Perang Troya. Sementara, dua puisi karya HesiodosTheogonia dan
Erga kai Hemeraimenceritakan mengenai penciptaan dunia, pergantian kekuasaan dewa,
pergantian zaman manusia, asal mula kesengsaraan manusia, dan asal mula ritual kurban.
Mitologi Yunani juga terdapat dalam Himne Homeros, potongan-potongan wiracarita dari Siklus
Epik, karya seni tragedi dari abad kelima, tulisan-tulisan para sejarawan dan penyair dari zaman
Yunani Kuno, serta naskah kuno dari Kekaisaran Romawi karya penulis-penulis seperti
Plutarkhos dan Pausanias.
Penemuan-penemuan arkeologi telah menunjukkan sumber-sumber penting mengenai rincian
mitologi Yunani, di mana para dewa dan pahlawan banyak muncul dalam dekorasi pada banyak
sekali artefak. Desain geometris pada tembikar dari abad kedelapan SM menggambarkan
adegan-adegan dari siklus Troya selain daripada petualangan Herakles. Pada masa-masa yang
saling berkelanjutanyaitu periode Arkais, Klasik, dan Hellenistikmuncul berbagai sumber

mitologi Yunani, seperti dari Homeros. Sumber-sumber itu menambah berbagai bukti yang sudah
ada.[2]
Mitologi Yunani telah banyak memengaruhi budaya, seni, dan sastra dunia Barat dan terus
menjadi bagian dari warisan dan bahasa Barat. Sejak masa kuno hingga sekarang, banyak
penyair dan seniman yang mengambil inspirasi dari mitologi Yunani, dan menemukan banyak
relevansi dan makna kontemporer dalam tema-tema mitologi Yunani.[3]

Sumber
Informasi mengenai mitologi Yunani yang diketahui pada masa sekarang sebagian besar
diperoleh dari karya sastra Yunani dan penggambaran pada media visual yang berasal dari
Periode Geometrik, yaitu sekitar abad 900-800 SM.[4]
Sastra

Kiri: Sampul depan Iliad edisi bahasa


Katala (1879), diterjemahkan oleh Conrad
Roure. Kanan: Sampul depan Iliad edisi
bahasa Indonesia (2011), diterjemahkan
oleh Asep Rachmatullah. Iliad karya
Homeros merupakan salah satu naskah
kuno mengenai mitologi Yunani yang
paling terkenal.

Narasi mitis memainkan peranan penting dalam hampir setiap genre sastra Yunani. Meskipun
demikian, satu-satunya buku pedoman mitografi umum yang masih bertahan dari masa antikuitas
Yunani hanyalah Bibliotheke buatan Pseudo-Apollodoros. Karya itu berusaha mendamaikan
kisah-kisah kontradiktif dari para penyair serta menyediakan ikhtisar lengkap mengenai legenda
kepahlawanan dan mitologi Yunani tradisional.[5] Apollodoros hidup pada tahun 180120 SM dan
banyak menulis mengenai topik tersebut. Tulisan-tulisannya kemungkinan membentuk dasar
bagi karya-karya selanjutnya. Akan tetapi Bibliotheke menceritakan peristiwa-peristiwa yang
terjadi lama setelah Apollodoros meninggal, karena itulah pembuatnya dinamai PseudoApollodoros.

Di antara sumber-sumber sastra terawal adalah dua wiracarita karya Homeros, yaitu Iliad dan
Odisseia. Para penyair lainnya ikut membuat wiracarita yang melengkapi Siklus Epik, namun
sajak-sajak ini hampir keseluruhannya telah hilang. Ada pula kumpulan sajak yang dinamai
Himne Homeros. Akan tetapi, terlepas dari namanya, Himne Homeros tidak punya kaitan
langsung dengan Homeros. Sajak-sajak dalam Himne Homeros adalah himne-himne paduan
suara yang berasal dari bagian yang lebih awal dari apa yang disebut sebagai Zaman Lira.[6]
Hesiodos, yang diperkirakan hidup sezaman dengan Homeros, menulis karya berjudul
Theogonia ("Asal-usul Para Dewa). Wiracarita tersebut merupakan salah satu naskah terlengkap
mengenai mitos Yunani awal dan menceritakan tentang penciptaan dunia; asal muasal para dewa,
Titan, dan Gigant; selain juga menguraikan silsilah, folklor, dan mitos etiologi. Karya Hesiodos
lainnya, yaitu Erga kai Hemerai, merupakan puisi didaktik yang bercerita mengenai kehidupan
bertani, selain juga meliputi mitos Prometheus, Pandora, serta Lima Zaman Manusia. Hesiodos
juga memberi nasehat bagaimana cara supaya dapat berhasil dalam menjalani hidup di dunia
yang berbahaya ini, yang oleh para dewa dibuat menjadi lebih berbahaya.[2]
Para penyair lira sering mengambil tema-tema dari mitologi dan memasukkannya ke dalam
sajak-sajak mereka. Namun mereka menyampaikannya dengan cara yang kurang naratif dan
cenderung lebih alusif. Para penyair lira Yunani di antaranya adalah Pindaros, Bakkhylides,
Simonides dan penyair pedesaan semacam Theokritos atau Bion. Masing-masing mengisahkan
insiden-insiden mitologi secara individual.[7] Selain digunakan dalam sajak lira, tema-tema dalam
mitologi Yunani juga sangat sentral bagi drama-drama Athena. Penulis drama tragedi seperti
Aiskhilos, Sofokles, dan Euripides mengambil sebagian besar plot cerita mereka dari mitosmitos mengenai zaman kepahlawanan dan Perang Troya. Banyak cerita tragedi (misalnya cerita
Agamemnon dan anak-anaknya, Oidipus, Iason, Medeia, dll) yang bentuk klasiknya muncul
dalam drama-drama tragedi itu. Penulis drama Aristofanes juga menggunakan mitos Yunani
dalam dramanya, di antaranya dalam drama yang berjudul Ornithes ("Burung") dan Batrakhoi
("Katak").[8]
Sejarawan Herodotos dan Diodoros Sikolos, serta geografer Pausanias dan Strabo, melakukan
perjalanan keliling dunia Yunani dan mencatat cerita-cerita yang mereka dengar. Sebagai hasil
dari perjalanannya, mereka berhasil menjabarkan banyak sekali legenda dan mitos lokal dalam
tulisan-tulisan mereka, kadang mereka memberikan versi alternatif yang kurang dikenal.[7]
Herodotos secara khusus mempelajari berbagai tradisi yang dia kenal dan menyimpulkan bahwa
banyak kisah mitologis yang sebenarnya memiliki asal usul historis dari perseturuan antara
Yunani dan Dunia Timur.[9][10] Herodotos berupaya untuk mempertemukan asal usul dan
pencampuran konsep budaya yang berbeda itu.
Sajak-sajak dari zaman Hellenistik dan Romawi kuno kebanyakan disusun untuk tujuan sastra
ketimbang untuk kultus pemujaan. Meskipun demikian, semua itu mengandung banyak rincian
penting yang mungkin saja dapat hilang. Dalam kategori ini, terdapat karya-karya dari :
1. Para penyair Romawi, contohnya Ovidius, Statius, Valerius Flaccus, Seneca,
dan Virgilus dengan uraian dari Servius.

2. Para penyair Yunani dari periode Antik Akhir, yaitu Nonnos, Antoninos
Liberalis, dan Kointos Smyrnaios.
3. Para penyair Yunani dari periode Hellenistik, antara lain Apollonios dari Rodos,
Kallimakhos, Pseudo-Eratosthenes, dand Parthenios.
4. Para penulis novel dari Yunani dan Romawi, di antaranya adalah Apuleius,
Petronius, Lollianus, dan Heliodoros.

Naskah kuno Fabulae dan Astronomica buatan penulis Romawi, Pseudo-Hyginus, adalah dua
kompendium mitos non-puitis yang sangat penting. Eikones buatan Filostratos Tua dan
Filostratos Muda serta Ekhpraseis buatan Kallistratos adalah dua sumber sastra lainnya yang
juga mengambil tema dari mitologi.

Amphora di Museum Arkeologi Nasional Athena yang menggambarkan dewi Athena.

Pada akhirnya, Arnobius dan sejumlah penulis Yunani Bizantium menyediakan rincian penting
mitos, kebanyakan diambil dari karya-karya Yunani lebih awal yang kini telah hilang. Naskah
kuno yang memelihhara mitos itu di antaranya adalah leksikon buatan Hesikhios, Suda, dan
risalah-risalah buatan Yohanes Tzetzes dan Eustathios. Pandangan moral Kristen terhadap
mitologi Yunani terangkum dalam perkataan,

/ en
panti muthi kai to Daidalou musos ("Dalam setiap mitos ada pencemaran Daidalos"). Dalam
gaya ini, Suda yang ensiklopedis menceritakan peran Daidalos dalam rangka memuaskan "nafsu
berahi" Pasifae yang "tak wajar" kepada banteng kiriman Poseidon: "Karena asal mula dan
kesalahan dialamatkan kepada Daidalos dan dia dibenci untuk itu, dia pun menjadi subyek
pepatah itu."[11]

Arkeologi
Penemuan Peradaban Mykenai oleh arkeolog amatir Jerman, Heinrich Schliemann, pada abad
kesembilan belas, serta penemuan Peradaban Minoa di Kreta oleh arkeolog Britania, Sir Arthur
Evans, pada abad kedua puluh, banyak membantu dalam menjelaskan beragam pertanyaan
tentang epik Homeros dan menyediakan bukti-bukti arkeologis bagi banyak rincian mitologis
mengenai para dewa dan pahlawan Yunani. Sayangnya, bukti tentang mitos dan ritual di situssitus arkeologi Mykenai seluruhnya bersifat monumental, seperti misalnya naskah Linear B yang
digunakan terutama untuk mencatat invantaris, meskipun pada naskah tersebut ditemukan juga
nama-nama dewa dan pahlawan. Linear B sendiri merupakan suatu bentuk tulisan Yunani yang
sangat kuno yang ditemukan di Kreta dan di Yunani daratan.[2]
Desain geometris pada tembikar dan gerabah dari abad kedelapan SM menggambakan adeganadegan dari siklus Troya, selain juga petualangan Herakles.[2] Penggambaran mitos secara visual
menjadi penting karena dua alasan. Alasan pertama adalah bahwa banyak mitos Yunani yang
diceritakan melalui vas lebih dulu daripada melalui karya sastra; dari dua belas tugas Herakles,
misalnya, hanya tugas menangkap Kerberos saja yang diceritakan dalam karya sastra
kontemporer.[12] Alasan lainnya adalah bahwa sumber-sumber visual seringkali menggambarkan
adegan mitos dan mitis yang tidak dikisahkan dalam sumber sastra manapun. Dalam beberapa
kasus, penggambaran awal mitos dalam seni geometris lebih dulu muncul daripada
penggambarannya pada sajak arkais akhir, dan perbedaan waktunya bisa mencapai beberapa
abad.[4] Pada periode Arkais (750500 SM), Klasik (480323 SM), dan Hellenistik (323146
SM), banyak bermunculan penggambaran pada tembikar yang memperlihatkan adegan-adegan
dari karya Homeros dan adegan-adegan mitologis lainnya, yang ikut melengkapi bukti sastra
yang sudah ada.[2]

Sejarah
Mitologi Yunani telah berkembang seiring waktu demi menyesuaikan dengan perkembangan
budaya Yunani itu sendiri, yang mana mitologi, baik secara terang-terangan maupun dalam
asumsi-asumsi tak terucapkan, merupakan suatu indeks perubahan. Dalam bentuk sastra mitologi
Yunani yang masih tersisa, seperti dapat ditemukan kebanyakan pada akhir perubahan yang
progresif, pada dasarnya bersifat politik, seperti yang dikemukakan oleh Gilbert Cuthbertson.[13]
Penghuni Semenanjung Balkan yang lebih awal merupakan masyarakat agraris yang menganut
Animisme dan mempercayai keberadaan roh pada setiap unsur alam. Dalam perkembangan
selanjutnya, roh-roh yang samar-samar itu diberikan wujud manusia dan terlibat dalam mitologi
lokal sebagai dewa.[14] Kemudian muncul suku-suku dari sebelah utara semenanjung Balkan yang
datang menyerang. Dalam invasinya, mereka membawa serta kepercayaan baru yang di
dalamnya terdapat pantheon dewa-dewa baru, yang didasarkan pada penaklukan, keberanian
dalam perang, dan kepahlawanan yang kejam. Dewa-dewa yang telah lebih dulu ada kemudian
menyatu dengan dewa sembahan para penyerang yang lebih kuat. Semantara dewa-dewa yang
tidak terasimilasi akhirnya menghilang dan tak lagi dianggap penting.[15]

Zeus Mencium Ganimede (1758-59) oleh Anton Raphael Mengs. Kisah Zeus dan
Ganimede adalah salah satu contoh hubungan antarlelaki dalam mitologi Yunani.

Setelah pertengahan periode Arkais, mitos mengenai hubungan cinta dan seksual antara dewa
pria dengan manusia pria muncul lebih sering, mengindikasikan adanya perkembangan yang
paralel dengan pejantanan pedagogis (Eros paidikos, ), yang dpercaya telah
diperkenalkan sekitar tahun 630 SM. Pada akhir abad kelima SM, para penyair telah memberikan
setidaknya satu eromenos (pemuda remaja yang menjadi pasangan untuk hubungan seksual)
untuk setiap dewa yang penting kecuali dewa Ares. Kekasih pria juga dimiliki oleh para tokohtokoh manusia yang legendaris.[16] Mitos yang telah ada sebelumnya, seperti misalnya hubungan
persahabatan antara Akhilles dan Patroklos, juga dijadikan hubungan cinta sesama jenis.[17]
Fenomena ini dimulai oleh para penyair Iskandariyah, dan kemudian dilakukan juga oleh para
mitografer yang lebih umum di Kekaisaran Romawi awal. Mereka sering mengadaptasi ulang
cerita-cerita mitologi Yunani dengan gaya itu.
Pencapaian dibuatnya wiracarita adalah untuk menciptakan siklus cerita dan, sebagai akibatnya,
untuk mengembangkan pemahaman baru mengenai kronologi mitologis. Jadi mitologi Yunani
terungkap sebagai fase dalam perkembangan dunia dan manusia.[18] Sementara kontradiksi-diri
dalam cerita-ceritanya menjadikan tidak mungkin untuk adanya garis waktu yang mutlak, namun
suatu kronologi yang mendekati itu dapat dilihat. "Sejarah dunia" mitologi yang dihasilkan
kemudian, dapat dibagi menjadi tiga atau empat periode yang cakupannya cukup luas, yaitu:
1. Mitos asal usul atau zaman para dewa (Theogonia, "kelahiran para dewa"):
mitos tentang asal mula dunia, para dewa, dan umat manusa.
2. Zaman ketika dewa dan manusia hidup bersama-sama: kisah-kisah mengenai
interaksi awal antara para dewa, setengah dewa, dan manusia.
3. Zaman para pahlawan (zaman kepahlawanan), ketika intervensi para dewa
mulai berkurang. Kisah yang terakhir dan terhebat dari legenda
kepahlawanan adalah cerita Perang Troya dan kisah-kisah setelahnya, yang

oleh beberapa sejarawan dipisahkan menjadi periode keempat yang terpisah.


[19]

Walaupun zaman para dewa banyak menarik minat para para pelajar kontemporer untuk
mempelajari mitologi Yunani, namun para penulis Yunani Kuno pada masa Arkais dan Klasik
jelas-jelas lebih menyukai zaman kepahlawanan. Mereka juga membuat suatu kronologi dan
catatan pencapaian manusia setelah pertanyaan mengenai bagaimana dunia ini berwujud,
terjelaskan. Sebagai contoh, Iliad dan Odisseia yang heroik jauh lebih panjang dan terkenal
daripada Theogonia dan Himne Homeros, yang lebih berfokus pada kisah para dewa. Di bawah
pengaruh Homeros, "pemujaan pahlawan" berujung pada penataan ulang kehidupan spiritual,
yang ditunjukkan dengan adanya pemisahan ranah kekuasaan para dewa dari ranah kekuasaan
para pahlawan yang telah meninggal, serta pemisahan ranah Khthonik dari ranah Olimpus.[20]
Dalam Erga kai hemerai. Hesiodos menggunakan skema Empat Zaman (atau Ras) Manusia.
Keempat zaman yang disebutkan olehnya yaitu Zaman Emas, Zaman Perak, Zaman Perunggu,
dan Zaman Besi. Semua zaman atau ras tersebut merupaan ciptaan dewa yang berbeda-beda,
Zaman Emas berlangsung selama kekuasaan Kronos, sedangkan Zaman Perak terjadi di bawah
pemerintahan Zeus. Hesiodos kemudian menambahkan Zaman (atau Ras) Pahlawan tepat setelah
Zaman Perunggu. Zaman terakhir adalah Zaman Besi, yang merupakan periode kontemporer
dimana Hesiodos hidup. Hesiodos menceritakan bahwa Zaman Besi adalah masa yang terburuk.
Kejahatan yang ada di dunia dijelaskan melalui mitos Pandora, ketika semua hal buruk, seperti
misalnya penyakit, kejahatan, kesengsaraan, dll, yang tersimpan dalam Kotak Pandora berhasil
keluar dan menjangkiti umat manusia. Namun di dalam kotak tersebut masih tersisa satu benda
yang sulit untuk keluar, yakni harapan.[21] Sementara itu dalam karyanya, Metamorphoses,
Ovidius juga mengikuti konsep Hesiodos dan mengisahkan empat zaman yang dialami oleh umat
manusia.[22]
Menurut Edith Hamilton, karakteristik mitologi Yunani adalah adanya upaya orang Yunanii kuno
untuk mengurangi tingkat kebiadaban dalam mitologi mereka. Selain itu mitologi Yunani tidak
banyak berisi hal-hal supranatural; tidak ada penyihir pria dan hanya ada dua orang penyihir
wanita, juga tidak ada cerita mengenai hantu yang menakutkan atau astrologi yang
mempengaruhi nasib manusia.[23]

Mitologi
Zaman para dewa

Pengebirian Uranus: lukisan dinding oleh Vasari & Cristofano Gherardi (c. 1560, Sala
di Cosimo I, Palazzo Vecchio, Firenze).
Kosmogoni dan kosmologi
Lihat pula: Dewa awal Yunani dan Silsilah Dewa-Dewi Yunani

"Mitos asal-usul" atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam
semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal manusia.[24] Versi
yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun merupakan suatu kisah filosofis mengenai
asal usul segala sesuatu, diceritakan oleh Hesiodos, dalam karyanya Theogonia. Dia mulai
dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan msterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia
atau G (dewi bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros
(Cinta), Tartaros (Perut bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). Niks bercinta dengan
Erebos dan melahirkan Aither (Langit atas) dan Hemera (Siang).[25] Tanpa pasangan pria, Gaia
melahirkan Uranus (dewa langit) dan Pontos (dewa laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia.
Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu
Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu
Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dand Tethis. Setelah Kronos lahir, Gaia dan Uranus
memutuskan bahwa tidak ada Titan lagi yang boleh lahir. Anak-anak Gaia dan Uranus yang lahir
kemudian adalah para Kiklops (raksasa bermata satu) dan Hekatonkheire (raksasa bertangan
seratus). Karena memiliki rupa yang mengerikan, para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh
Uranus.[26] Gaia marah atas tindakan Uranus dan mengajak para Titan untuk memberontak
melawan Uranus. Kronos, anak Gaia yang "paling cerdik, muda, dan mengerikan",[25]
melaksanakan perintah Gaia dan dia pun memotong alat kelamin ayahnya sendiri. Setelah itu
Kronos menjadi penguasa para dewa dengan Rea, yang merupakan kakak sekaligus istrinya,
sebagai pasangannya, dan para Titan yang lain menjadi anak buahnya.

Kronos Menelan Anaknya, menggambarkan Kronos yang sedang memakan bayi


Poseidon. Lukisan oleh Peter Paul Rubens.

Kisah mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos dikonfrontasi oleh
putranya, Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah mengkhianati ayahnya,
dia takut bahwa keturunannya akan melakukan hal yang sama. Jadi tiap kali Rea melahirkan,
Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea marah atas tindakan suaminya dan memutuskan
untuk melakukan suatu tipuan. Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung menyembunyikannya dan
memberikan batu yang terbungkus kain pada Kronos, yang langsung saja menelannya. Setelah
dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk meminum suatu ramuan yang mengakibatkan
Kronos memuntahkan semua anak-anak yang pernah ditelannya. Zeus lalu menyatakan
perlawanan terhadap Kronos untuk merebut kepemimpinan para dewa. Pada akhirnya, dengan
bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire (yang dibebaskan oleh Zeus) serta melalui
Titanomakhia (perang Titan) selama sepuluh tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh
kemenangan. Sementara itu Kronos dan para Titan pria, kecuali Atlas, dikurung di Tartaros.[27]
Atlas sendiri memperoleh hukuman khusus, yakni dia mesti memikul langit.

Amphora berfigur hitam yang menggambarkan dewi Athena sedang "lahir" dari
kepala Zeus, yang sudah menelan Metis, sementara itu dewi kelahiran, Eileithiia,
berada di bagian kanan, 550525 SM (Museum Louvre, Paris).

Zeus juga dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahwa putra dari
istri pertamanya, Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka Zeus pun menelan
Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah menelan Metis, Zeus mengalami
sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari kepala Zeus terlahirlah dewi Athena yang sudah
mengenakan baju perang lengkap. "Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai alasan mengapa
Zeus tidak "digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus tetap tercatat sebagai
asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahwa ketika kisah ini muncul, perubahan
kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang sudah berjalan lama mengenai
pemujaan dewi Athena di kota Athena. Pemujaan itu kemudian berubah menjadi pantheon dewadewa Olimpus, dan proses perubahnnya sendiri terjadi tanpa konflik.
Orang Yunani yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahwa theogonia (cerita kelahiran
para dewa) sebagai genre puitis prototipe-mythos prototipikaldan menghubungkan banyak
kekuasaan di dalamnya. Orfeus, seorang penyair arketipal, juga merupakan seorang penyanyi
arketipal theogonia. Dalam Argonautika buatan Apollonios, dikisahkan bahwa Orfeus
menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan lautan dan badai, juga untuk
menggerakkan hati keras milik para dewa dunia bawah dalam perjalanannya ke dunia bawah.
Dalam Himne Homeros untuk Hermes, ketika Hermes menciptakan lira, hal yang pertama kali
dia lakukan adalah bernyanyi tentang kelahiran para dewa.[28] Theogonia buatan Hesiodos bukan
hanya naskah yang masih bertahan yang menceritakan mengenai para dewa, namun juga naskah
terlengkap yang masih ada yang menggambarkan fungsi penyair arkais. Theogonia sendiri
diawali dengan doa pembuka yang ditujukan untuk para Mousai. Cerita theogonia merupakan
subjek dari banyak sajak yang hilang, termasuk sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus,
Mousaios, Epimenides, Abaris, dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang
theogonia diyakini pernah digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan ritus-ritus misteri. Ada
indikasi bahwa Plato tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.[29] Namun, informasi
mengenai kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit, selain itu ciri-ciri budaya tersebut
tidak akan dibeberkan secaa terbuka oleh para anggotanya ketika kepercayaannya sedang
dilakukan. Setelah banyak kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang

masih mengetahui ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang muncul
pada aspek-aspek yang cukup umum.
Penggambaran yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih
mungkin disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bagian dari karya-karya ini
masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf Neoplatonis dan baru-baru ini
terungkap melalui potongan-potongan papirus. Salah satu adalah Papirus Derveni, yang kini
membuktikan bahwa setidaknya pada abad kelima SM ada sebuah sajak theogonia-kosmogoni
buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan Theogonia buatan Hesiodos. Dalam sajak
tersebut, silsilah para dewanya dapat ditarik kembali sampai kepada Niks (dewi malam) sebagai
perempuan permulaan utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan Zeus.[30] Disebutkan
pula bahwa Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.
Para kosmolog filsafat dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun
pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk beberapa waktu
tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat dari sajak-sajak Homeros dan
Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah piringan datar yang terapung di samudra
luas yang disebut Okeanos dan di bagian atasnya ada langit hemisferikal yang diisi oleh mathari,
bulan, dan bintang. Matahari (Helios) mengarungi langit dengan kereta perangnya pada siang
hari dan berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam hari. Matahari, bumi, langit,
sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil untuk mengawasi sumpah.
Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai jalan masuk ke dunia bawah,
yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang dipimpin oleh dewa Hades.[31] Sementara
itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya yang masuk ke Yunani juga selalu menghadirkan tematema baru.
Pantheon Yunani
Lihat pula: Agama di Yunani Kuno dan Dewa Olimpus

Patung Poseidon di Museum Arkeologi Nasional Athena. Poseidon merupakan salah


dewa Olimpus.

Berdasarkan mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan, Pantheon dewa dan
dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah para dewa
Olimpus, yang tinggal di puncak Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan Zeus. Gagasan yang
membatasi bahwa jumlahnya harus dua belas kemungkinan berasal dari masa modern.[32] Selain
para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga menyembah berbagai dewa pedesaan, misalnya dewasatir Pan dan para nimfa (peri alam), para dewa laut, para satir, dan banyak lagi yang lainnya.
Nimfa sendiri terdiri dari para Naiad (nimfa mata air), Driad (nimfa pohon), dan Nereid (nimfa
laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya para Erinyes (dewa angkara
murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap keluarga
sendiri.[33] Untuk menghormati Pantheon Yunani Kuno, para penyair menyusun Himne Homeros
(tiga belas sajak untuk para dewa).[34] Gregory Nagy menganggap bahwa "Himne Homeros
adalah suatu pembuka sederhana (dibandingkan dengan Theogonia), yang masing-masingnya
ditujukan untuk satu dewa yang berbeda-beda'.[35]
Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi
Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani
namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri penting dari
antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah
sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[36] Menurut Edith Hamilton, penampakan visual
sangat penting bagi orang Yunani kuno, jadi penggambaran para dewa yang ideal berasal dari
penampakan "keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah diketahui oleh orang Yunani
kuno.[23] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak
sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahwa para dewa tidak dapat
terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang
Yunani menganggap bahwa keabadian adalah karakteristik yang paling unik dari dewa mereka.
Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumsi nektar dan ambrosia
secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa terusmenerus diperbaharui.[37] Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang Yunani tetap
menjadikan para dewa itu memiliki beberapa ciri yang manusiawi. Dalam beberapa kasus, ada
manusia yang disebut lebih mulia dari pada dewa.[23]
Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan,
keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para dewa muncul
dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya.
Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan
gabungan nama serta julukannya, yang membedakan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan
itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo Mousagetes, yang
artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi
aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa
dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.

Patung Dionisos dan satir. Dibuat dari marmer. Salinan Romawi (abad ke-2 M) dari
patung asli Yunani. Dionisos adalah dewa anggur dan merupakan salah satu dewa
yang memiliki karakteristik yang kompleks.

Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi
Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani
namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri penting dari
antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah
sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[36] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para
dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting
adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan
yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian adalah karakteristik paling
unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumis
nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh para
dewa terus-menerus diperbaharui.[37]
Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan,
keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi penggambaran para dewa muncul
dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya.
Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan
gabungan nama serta julukannya, yang mengidentifikasikan mereka berdasarkan perbedaanperbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo
Mousagetes, yang artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga dapat
mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukanjulukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.
Sebagian besar dewa diasosiasikan dengan apek tertentu dalam kehidupan manusia. Contohnya,
Afrodit adalah dewi cinta dan kecantikan, Ares adalah dewa perang, Hades dewa orang mati, dan
Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.[38] Beberapa dewa, misalnya Apollo dan

Dionisos, menunjukkan gabungan fungsi dan kepribadian yang kompleks, sedangkan yang
lainnya, seperti Hestia (secara harfiah bermakna "perapian") dan Helios (secara harfiah
bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi. kuil-kuil yang paling megah
cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja, yaitu dewa-dewa yang menjadi pusat
pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan tetapi, cukup lazim pula bahwa daerahdaerah dan desa-desa tertentu memiliki pemujaan tersendiri untuk dewa-dewa minor. Banyak
pula kota yang menyembah para dewa yang lebih terkenal, dan para dewa itu disembah dengan
ritus-ritus lokal serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan mereka dan tidak diketahui di
daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan pahlawan (atau setengah dewa) menjadi
pelengkap pemujaan para dewa.
Zaman para dewa dan manusia
Ada masa ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur
tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa itu, ada
masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa tersebut adalah masamasa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat bergaul lebih bebas daripada masamasa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai tema tersebut muncul dalam Metamorphoses
karya Ovidius. Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita tematik, yaitu cerita
cinta, dan cerita hukuman.[39]

Seorang Mainad yang sedang marah, membawa sebuah thirsos dan sekor macan
tutul, dengan seekor ular membelit di kepalanya. Tondo dari Kylix Attika Yunani Kuno
berlatar putih, 490-480 SM.

Kisah cinta seringkali melibatkan hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau perkosaan yang
dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari hubungan antara dewa dan
manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering disebut pahlawan. Kisah-kisah yang
ada secara umum menunjukkan bahwa hubungan antara dewa dan manusia adalah sesuatu yang
perlu dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir bahagia.[40] Dalam
beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia pria, seperti misalnya
dalam Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan bahwa dewi Afrodit berhubungan
seksual dengan Ankhises dan melahirkan Aineias.[41]

Kisah jenis kedua adalah kisah hukuman, yaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau
penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika Prometheus mencuri
api dari para dewa, ketika Tantalos mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan Zeus dan
memberikannya pada anak buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan rahasia para
dewa, ketika Prometheus atau Likaon menciptakan ritual kurban, ketika Demeter mengajarkan
pertanian dan Misteri kepada Triptolemos, atau ketika Marsias menciptakan aulos dan mengikuti
kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahwa kisah Prometheus merupakan
"suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah manusia".[42] Suatu fragmen papirus tanpa
nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas menggambarkan hukuman dari Dionisos kepada raja
Thrakia, Likurgos. Sang raja terlambat menyadari bahwa Dionisos adalah seorang dewa.
Akibatnya dia harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai berujung kematian.[43] Kisah
mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya sendiri di Thrakia, juga merupakan
subjek dari triologi Aiskhilos.[44] Dalam drama tragedi lainnya, yaitu Bakkhai gubahan Euripides,
dikisahkan bahwa raja Thebes, Pentheus, dihukum oleh Dionisos karena dia tidak menghormati
sang dewa dan mengintai para Mainad, sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.[45]
Dalam cerita lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,[46] serta mengulangi tema yang
sama, dikisahkan bahwa Demeter berusaha mencari putrinya, Persefone. Dalam pencariannya,
Demeter menyamar menjadi seorang perempuan tua bernama Doso, dan menerima perlakukan
yang ramah dari Keleus, Raja Eleusis di Attika. Sebagai balasan atas kebaikan Keleus, Demeter
berencana menjadikan bayi lelaki mereka, Demofon, sebagai dewa. Untuk melakukannya,
Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan tetapi Demeter tidak sempat
menyelesaikan ritualnya karena ibu sang anak, Metaneira, melihat Demeter sedang menaruh
bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan Demeter pun marah. Akibatnya sang bayi tidak jadi
diubah menjadi dewa.[47]
Zaman Pahlawan

Lukisan dinding di Pompeii yang menggambarkan Perseus dan Andromeda. Perseus


adalah pahlawan Yunani dari generasi awal.

Periode ketika para pahlawan hidup disebut dengan istilah Zaman Pahlawan.[48] Sajak-sajak epik
dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar pahlawan atau peristiwa tertentu,
serta memunculkan hubungan antara para pahlawan dari cerita yang berbeda-beda; ceita-cerita
itu kemudian disusun secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek saga: kita dapat
mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling berurutan".[18]
Setelah munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan
disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan juga disebut
bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.[20] Berlawanan dengan zaman
para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan tidak dibatasi dan tidak ada daftar
tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi dewa besar yang dilahirkan, namun pahlawan-pahlawan
baru selalu ada saja yang muncul. Perbedaan lainnya antara kultus pemujaan pahlawan dan dewa
adalah bahwa pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok lokal.[20]
Peristiwa-peristiwa monumental dalam kisah Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir dari
Zaman Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar, yaitu ekspedisi
para Argonaut, Siklus Thebes dan Perang Troya.[49]
Herakles dan para Heraklid
Lihat pula: Herakles dan Heraklid

Beberapa sejarawan percaya[50] bahwa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin
terdapat manusia sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan Argos.
Beberapa sejarawan lainnya berpendapat bahwa kisah Herakles adalah alegori untuk perjalanan
tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang zodiak[51] Sementara yang lainnya
merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa budaya lainnya, dan menunjukkan
bahwa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal dari mitos pahlawan yang sudah lebih dulu ada.
Pada umumnya, Herakels dikenal sebagai putra dari Zeus dan Alkmene, cucu perempuan
Perseus.[52] Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga banyaknya tema cerita rakyat
yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai Herakles untuk legenda populer. Dia
digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam
drama komedi Yunani Kuno, dia sering diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus.
Sedangkan akhir hidupnya yang tragis banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia
Papadopoulou, drama Herakles gubahan Euripides merupakan "suatu drama yang amat sangat
penting dari drama-drama Euripides lainnya".[53] Dalam sastra dan seni, Herakles digambarkan
sebagai pria yang sangat kuat dan memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah
namun dia juga sering membawa gada. Herakles sangat populer dalam tembikar Yunani Kuno,
pertarungannya dengan Singa Nemea diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan
bahwa dia adalah salah stau pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.[54]

Herakles dan Kuda-kuda betina Diomedes. Patung kecil buatan J. M. Flix


Magdalena.

Herakles juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai Herkules,
dan seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti halnya "Herakleis"
untuk orang Yunani.[54] Di Italia, dia disembah sebagai dewa para saudagar dan pedagang,
meskipun beberapa orang lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib baik, serta
penyelamatan dari marabahaya.[52]
Herakles mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur resmi
para raja Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran bagi suku Doria untuk
bermigrasi ke Peloponnesos. Hillos, pahlawan eponim dari satu phyle Doria, menjadi putra
Herakles dan merupakan salah satu Herakleidai atau Heraklid. Heraklid sendiri merupakan
orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan Herakles melalui Hillos. Para Heraklid di
antaranya adalah Makaria, Lamos, Manto, Bianor, Tlepolemos, dan Telefos. Para Heraklid itu
menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain Mikenai, Sparta dan Argos. Menurut
legenda, mereka mengklaim bahwa merke punya hak untuk berkuasa dari leluhur mereka. Proses
kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai "Invasi Doria". Para raja Lydia,
dan kelak Makedonia, sebagai penguasa dengan pangkat yang sama, juga termasuk golongan
para Heraklid.[55]
Beberapa pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya
Perseus, Deukalion, Theseus dan Bellerofon, memiliki banyak kesamaan sifat dengan Herakles.
Seperti halnya Herakles, mereka juga melakukan petualangan yang fantastis dan sendirian.
Petualangan mereka juga menyentuh batas-batas dongeng, karena mereka menghadapi monstermonster semacam Khimaira, Medusa, dan Minotaur. Petualangan Bellerogon merupakan jenis
petualangan yang cukup umum dan mirip dengan petualangan Herakles dan Theseus. Dalam
tradisi pahalwan awal, tema yang sering berulang adalah usaha untuk mengirim para pahlawan
menuju sesuatu yang berbahaya. Tema ini muncul dalam kisah Perseus dan Bellerofon.[56]

Argonaut
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Argonaut.

Satu-satunya wiracarita hellenistik yang masih bertahan, yaitu Argonautika buatan Apollonios
dari Rodos (wiracaritawan, sejarawan, dan pustakawan di Perpustakaan Iskandariyah),
menceritakan tentang pelayaran Iason dan para Argonaut untuk memperoleh Bulu Domba Emas
dari tanah Kolkhis yang mitis. Dalam Argonautika, Iason disuruh oleh raja Pelias di istana sang
raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai petualangannya. Hampir semua
pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama Iason dalan kapal Argo untuk
membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal yang termasuk dalam rombongan
Argonaut meliputi Theseus, yang pergi ke Kreta dan membunuh Minotaur; Atalanta, sang
pahlawan wanita; dan Meleagros, yang pernah memiliki siklus epik tersendiri menyaingi Iliad
dan Odisseia. Pindaros, Apollonios dan Apollodoros berusaha keras untuk memberi daftar
lengkap orang-orang yang ikut dalam kelompok perjalanan Argonaut.[57]
Meskipun Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut terjadi
lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Odisseia dengan
petualangan luar biasa Iason (sebagian pengembaraan Odisseus mungkin didasarkan pada cerita
Argonaut).[58] Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah, sebuah insiden
dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke Laut Hitam.[59] Cerita Argonaut
juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan dengan sejumlah legenda lokal.
Cerita Medeia, misalnya, mampu menarik perhatian berbagai penyair tragedi .[60]
Wangsa Atreus

Oidipus dan sphinx, tondo dari kylix Attika berfigur merah, 480470 SM. Oidipus
merupakan salah satu pahlawan yang muncul dalam Siklus Thebes.

Pada periode antara petualangan Argonaut dan Perang Troya, ada sebuah generasi yang cukup
dikenal karena kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan Atreus dan
Thiestes di Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu dari dua dinasti
kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa Labdakos) terdapat suatu masalah yang
berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah mengenai kebangkitan menuju kekuasaan. Si
kembar Atreus dan Thiestes beserta keturunan-keturunan mereka memainkan peran yang
menentukan dalam cerita-cerita tragedi tentang peralihan kekuasaan di Mykenai.[61]

Siklus Thebes
Lihat pula: Siklus Thebes dan Tujuh Melawan Thebes

Siklus Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan dengan
Kadmos, pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan perbuatanperbuatan Laios dan Oidipus di Thebes. Jadi, Siklus Thebes adalah serangkaian cerita yang
berujung pada penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan para
Epigoni.[62]
Tidak diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal.
Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal nampaknya mengisahkan bahwa dia
melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahwa Iokaste adalah ibunya,
dan kemudian menikahi istri keduanya, yang melahirkan anak-anak Oidipus. Rincian kisah
tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang digambarkan melalui drama-drama
tragedi, misalnya Oidipus Sang Raja gubahan Sofokles serta naskah-naskah mitologi
selanjutnya.[63]
Perang Troya
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Troya
Lihat pula: Siklus Epik

Mitologi Yunani berpuncak pada Perang Troya serta peristiwa-peristwia setelahnya. Perang
Troya terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota Troya di Asia Kecil. Dalam karya-karya
Homeros, misalnya Iliad, cerita utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi, sedangkan
tema-tema individunya baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani. Perang Troya
juga menimbulkan ketertarikan yang besar dalam budaya Romawi karena adanya kisah
mengenai Aineias, seorang pahlawan Troya yang berhasil menyelamatkan diri ketika Troya
dihancurkan. Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota yang kemudian
menjadi kota Roma. Kisah tersebut diceritakan dalam Aeneid karya Virgilus. Buku satu dalam
Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai penghancuran Troya.[64] Sumber lainnya
mengenai Perang Troya adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa Latin yang ditulis atas nama
Diktis Kretensis dan Dares Phrygios.[65]

Lukisan dinding di istana Achilleion yang menggambarkan Akhilles sedang


menyeret jenazah Hektor menggunakan kereta perangnya. Konflik antara Akhilles
dan Hektor merupakan bagian penting dari Iliad, yang menceritakan tentang Perang
Troya.

Siklus Perang Troya, suatu kumpulan wiracarita mengena Perang Troya, dimulai dengan
sejumlah peristiwa yang kemudian berujung pada peperangan, antara lain kisah tentang Eris dan
apel emas Kallistinya, Keputusan Paris, penculikan Helene, dan pengurbanan Ifigeneia di Aulis.
Untuk mendapat Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-besaran di bawah
komando saudara Menelaos, yakni Agamemnon, raja Argos atau Mykenai. Namun pihak Troya
tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus menggunakan cara-cara
kekerasan. Iliad, yang berlatar pada tahun kesepuluh dalam Perang Troya, mengisahkan
persilisihan antara Agamemnon dan Akhilles, yang merupakan salah satu prajurit Yunani
terhebat. Iliad juga menceritakan kematian Patroklos, sahabat dan kekasih pria Akhilles, yang
mengabaikan nasehat Akhilles sehingga pada akhirnya Patroklos dibunuh oleh Hektor, putra
sulung Priamos. Akhilles marah besar dan balas membunuh Hektor. Setelah Hektor meninggal,
pihak Troya dibantu oleh dua sekutu tambahan, yaitu Penthesileia, ratu suku Amazon, dan
Memnon, raja Ethiopia dan putra Eos, dewi fajar.[66] Akhilles membunuh keduanya, namun
kemudian Paris berhasil membunuh Akhilles dengan cara memanahnya di bagian tumitnya.
Tumit Akhilles adalah satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak kebal terhadap senjata manusia.
Sebelum dapat menaklukan Troya, pasukan Yunani harus terlebih dahulu mengambil Palladium
(patung kayu Athena) dari kuil di Troya. Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi Athena,
pasukan Yunani membuat sebuah kuda kayu raksasa dan berpura-pura pergi dari Troya.
Sebenarnya Kassandra, putri Priamos, sudah memperingatkan bahwa kuda itu berbahaya, akan
tetapi rakyat Troya dipengaruhi oleh Sinon, orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan
diri dari pasukan Yunani. Rakyat Troya pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota sebagai
persembahan untuk dewi Athena. Laokoon, seorang pendeta mencoba menghancurkan kuda itu,
akibatnya dia tewas dimakan oleh ular laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada
Yunani kembali ke Troya, sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar
dan membuka gerbang Troya. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troya. Priamos
dan semua putranya dibantai, sedangkan semua wanita Troya dijadikan budak dan dijual ke
berbagai kota di Yunani.
Dua wiracarita kuno, yaitu Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan Odisseia karya Homeros,
menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai Perang Troya (termasuk
pengembaraan Odisseus dan pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias
diceritakan dalam wiracarita Aeneid.[67] Siklus Perang Troya juga meliputi kisah-kisah
petualangan anak-anak dari para tokoh yang terlibat Perang Troya, seperti msialnya Orestes dan
Telemakhos.[66]
Perang Troya memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para
seniman Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troya adalah
metope di kuil Parthenon yang menggambarkan penghancuran Troya. Pilihan artistik ini, yang
mengambil tema dari Siklus Troya, mengindikasikan bahwa ksiah itu sangat penting bagi

peradaban Yunani Kuno.[67] Kisah Perang Troya juga mengilhami serangkaian tulisan sastra
Eropa posterior. Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troya di Eropa Abad
Pertengahan. Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah kepahlawanan
dan cerita romantis dalam legenda Troya serta kerangka yang cocok yang ke dalamnya mereka
memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai kesatria, kesopanan, dan
kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya Benot de Sainte-Maure (Roman de Troie [Roman
Troya, 115460]) dan Joseph dari Exeter (De Bello Troiano [Mengenai Perang Troya, 1183])
menggambarkan peperangan di Troya sambil menulis kembali versi standar yang mereka
temukan dari naskah kuno karya Diktis dan Dares. Dengan demikian mereka telah mengikuti
nasehat-nasehat Horatius dan contoh-contoh Virgilus, yaitu mereka menulis kembali sajak Troya
dan bukannya menulis sesuatu yang benar-benar baru.[68]

Konsepsi
Mitologi merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari di Yunani Kuno.[69] Orang
Yunani Kuno memandang mitologi sebagai bagian dari sejarah mereka. Mereka menggunakan
mitologi untuk menjelaskan fenomena alam, keberagaman budaya, permusuhan dan
persahabatan tradisonal. Adalah suatu kebanggaan jika kita dipercaya sebagai keturunan dewa
atau pahlawan. Hanya sediikt orang Yunani Kuno yang meragukan kebenaran di balik kisah
Perang Troya dalam Iliad dan Odisseia. Menurut Victor Davis Hanson, seorang ahli sejarah
militer, kolomnis, penulis esai politik dan mantan profesor Klasika, serta John Heath, profesor
Klasika di Santa Clara University, pengetahuan yang mendalam yang terdapat pada epos
Homeros oleh orang Yunani Kuno dipercaya sebagai basis akulturasi mereka. Homeros
merupakan "pendidikan Yunani" ( ), dan sajak-sajaknya merupakan "buku".[70]
Filsafat

Plato dalam lukisan dinding Mazhab Athena karya Raphael (kemungkinan


disesuaikan dengan wajah Leonardo da Vinci). Plato adalah filsuf yang membuang
studi Homeros, serta kisah-kisah tragedi dan tradisi mitologi terkait, dalam utopia
Republiknya.

Setelah kebangkitan filsafat, sejarah, prosa dan rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib
mitos menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan sejarah yang
berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah yang dicatat oleh Thukydides.
[71]
Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para sejarawan dan filsuf
Yunani malah mulai mengkritik mitos.[6]
Beberapa filsuf radikal semacam Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan
bahwa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad ke-6 SM.
Xenofanes mengeluh bahwa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa "semua sifa manusia
yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri, berzina, dan saling menipu satu sama lain".[72]
Pemikiran seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya Plato, yakni Republik and Hukum.
Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam Republik. Pemikirannya
menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan, pencurian, dan perzinahan
mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak bermoral. Plato memandang mitos sebagai
"obrolan istri-istri tua".[73] Plato juga menolak peran sentral para dewa dalam sastra.[6] Kritik
Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi Homeros.[70]
Sementara itu Aristoteles mengkritik pendekatan filosofis quasi-mitis pra-Sokrates dan
menekankan bahwa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap apa yang tampak
masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita ... Tetapi tidak ada gnanya
berbicara serius pada penulis yang pamer dengan menggunakan gaya mitis; sedangkan bagi
mereka yang mampu melanjutkan dengan membuktikan pernyataan mereka, kita harus memerika
mereka secara saksama".[71]
Namun, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari pengaruh mitos.
Karakterisasi yang dia buat untuk Sokrates didasarkan pada pola-pola tragedi dan Homeros
tradisional. Plato menggunakannya untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates, gurunya:[74]

Namun barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu


merasa malu, Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu,
sampai-sampai kau kini berada dalam ancaman kematian sebagai
akibatnya?" Namun aku harus memberinya jawaban yang benar: "Anda
tidak berbicara dengan baik, tuan, jika Anda berpikir bahwa seorang
manusia yang memiliki bahkan sedikit saja kebaikan harus
mempertimbangkan bahaya kehidupan atau kematian, dan bukannya
berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah yang dia lakukan benar
atau salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat. Karena
berdasarkan argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi
buruk di Troya, termasuk putra Thetis, yang begitu membenci bahaya,
dibandingkan harus menanggung rasa malu, bahwa ketika ibunya (dan
ibunya adalah seorang dewi) berkata padanya, ketika dia begitu ingin

membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,


Putraku, jika kau membalaskan kematian sahabatmu Patroklos
dan membunuh Hektor, maka kau juga akan segera meninggal;
karena segera, setelah Hektor, kematian akan mengampirimu.
(Homeros, Iliad, 18.96)

Dia, ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan
lebih takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan
dendam sahabatnya, dan lalu dia berkata,
Segara saja aku mungkin akan mati, setelah melakukan
pembalasan pada yang jahat, maka mungkin aku tidak mungkin
berada di sini, mencemooh di samping kapal yang melengkung,
sebuah beban untuk bumi.

Hanson dan Heath memperkirakan bahwa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak
banyak diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.[70] Mito-mitos lama dijaga untuk tetap
hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus berpengaruh terhadap tembikar serta tetap menjadi
tema utama dalam seni lukisan dan seni patung.[71]
Lebih sportif lagi, penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides seringkali bermain-main dengan
tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui suara-suara karakternya dia menyisipkan
sedikit keraguan kepada para penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-tema dramanya
diambil, tanpa kecuali, dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis sebagai jawaban
untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides terutama meragukan
mitos tentang para dewa dan mulai mengkiritik dengan keberatan-keberatan yang sebelumnya
telah diungkapkan oleh Xenokrates, yaitu bahwa para dewa, seperti diperlihatkan dalam tradisi
kuno, secara kasar terlalu antropomorfis.[72]
Rasionalisme Hellenistik
Selama periode Hellenistik, mitologi menjadi pengetahuan yang elit dan penuh dengan prestise
dan menunjukkan bahwa pemiliknya merupakan anggota dari kelas sosial tertentu. Pada waktu
yang sama, rasa skeptis yang muncul pada zaman Klasik bahkan menjadi lebih disebarluaskan.[75]
Mitografer Yunani Euhemeros memulai tradisi untuk mencari dasar historis yang aktual untuk
makhluk dan peristiwa mitologi.[76] Meskipun karya aslinya, Kitab Keramat, sudah hilang,
namun banyak dari isinya yang kita ketahui karena telah dicatat oleh Diodoros dan Lactantius.[77]

Rasionalisme Romawi

Patung kepala Cicero di Kopenhagen. Cicero melihat dirinya sebagai pembela


tatanan yang teratur, terlepas dari skeptisisme pribadinya terhadap mitos dan
kecenderungannya yang lebih menyukai konsepsi para dewa yang lebih bersifat
filosofis.

Merasionalisasi hermeneutika mitos bahkan menjadi lebih populer lagi pada masa Kekaisaran
Romawi. Ini dapat terjadi berkat teori-teori fisikalis dari filsafat Stoik dan Epikurean. Orangorang Stoik memberikan penjelasan bahwa para dewa dan pahlawan adalah fenomena fisika,
sedangkan para Euhemeris berusaha memberikan penjelasan rasional bahwa tokoh-tokoh
mitologi merupakan figur-figur dalam sejarah. Pada saat yang sama, orang-orang Stoik dan
Neoplatonis mengajukan teori mengenai signifikasi moral dari tradisi mitologis, kadang
didasarkan pada etimologi Yunani.[78] Melalui pesan Epikureannya, Lucretius berusaha
membuang ketakutan takhayul dari pikiran warga Romawi.[79]
Livius juga skeptis terhadap tradisi mitologi dan mengklaim bahwa dia tidak berniat membuat
keputusan mengenai legenda semacam itu (fabulae).[80] Tantangan untuk bangsa Romawi yang
memiliki rasa yang kuat dan apologetis terhadap radisi keagamaan adalah untuk
mempertahankan tradisi itu sambil mengakui bahwa itu seringkali menjadi asal mula lahirnya
takhayul. Sejarawan Varro, yang menganggap bahwa agama merupakan suatu institusi manusia
dengan kepentingan yang besar untuk memelihara hal-hal baik dalam msyarakat, melakukan
studi yang teliti dan mempelajari asal muasal kultus keagamaan. Dalam karyanya Antiquitates
Rerum Divinarum (yang sudah hilang namun pendekatan umumnya dapat kita perkirakan dari
karya Augustinus, Kota Tuhan) Varro berpendapat bahwa sementara orang yang percaya
takhayul takut terhadap dewa, namun orang yang beragama menganggap para dewa sebagai
orang tua mereka.[79] Dalam karyanya, dia membedakan para dewa menjad tiga jenis:
1. Dewa alam: personifikasi fenomena alam, misalnya hujan, api, musim.

2. Dewa para penyair: diciptakan oleh para penyair yang tidak bermoral untuk
membangkitkan hawa nafsu.
3. Dewa perkotaan: diciptakan oleh para legislator yang bijaksana untuk
menenangkan dan mencerahkan rakyat.

Akademisi Romawi Cotta mengejek penerimaan mitos, baik yang literal maupun alegori. Dia
menyatakan secara tegas bahwa mitos tak punya tempat dalam filsafat.[81] Cicero juga umumnya
meremehkan mitos, namun, seperti Varro, dia berempati karena dia mendukung agama negara
dan lembaganya. Adalah sulit untuk mengetahui sampai seberapa jauh kelas sosial yang
dipengaruhi oleh rasionalisme ini.[80] Cicero menegaskan bahwa tidak seorangpun (bahkan orang
lanjut usia dan anak-anak sekalipun) yang begitu bodohnya untuk mempercayai teror Hades atau
keberadaan Skilla, kentaur, atau berbagai makhluk campuran lainnya,[82] namun, di sisi lain,
Cicero, yang juga merupakan seorang orator, mengeluh mengenai karakter orang-orang yang
mudah percaya pada takhayul.[83] De Natura Deorum adalah ikhtisar paling komprehensif
mengenai jalan pikiran Cicero.[84]
Penggabungan
Lihat pula: Mitologi Romawi

Apollo Belvedere, patung marmer buatan Romawi (antara 130140 M), tiruan dari
patung perunggu Yunani (antara 330320 SM). Dalam agama Romawi kuno,
pemujaan dewa Apollo, yang berasal dari Yunani, digabungkan dengan kultus
pemujaan Sol Invictus. Bangsa Romawi menyembah Sol Invictus sebagai pelindung
spesial kaisar, dan Sol Invitus menjadi dewa utama di Kekasairan Romawi sampai
akhirnya digantikan oleh agama Kristen.

Pada masa Romawi kuno, lahir mitologi Romawi yang baru melalui sinkretisasi (penggabungan
atau pencampuran) berbagai dewa Yunani dan dewa-dewa asing lainnya. Hal ini terjadi karena
bangsa Romawi hanya memiliki sedikit mitologi. Selain itu pewarisan tradisi mitologi Yunani
kepada bangsa Romawi menjadikan dewa-dewa Romawi mengadopsi ciri-ciri dewa Yunani yang
menjadi padanan mereka.[80] Dewa Zeus dan Yupiter merupakan salah satu contoh tumpang
tindih mitologi Yunani dan Romawi. Selain adanya penggabungan dua tradisi mitologi, bangsa
Romawi juga mengaitkan diri dengan agama-agama dari daerah Timur. Hal ini yang semakin
memperkuat proses sinkretisasi.[85] Sebagai contohnya, kultus pemujaan matahari diperkenalkan
di Romawi setelah kaisar Aurelianus sukses melaksanakan kampanye militer di Suriah. Dewa
dari Asia, yakni Mithras (yang dapat disebut sebagai personifikasi matahari) dan Ba'al dipadukan
dengan dewa Apollo dan Helios menjadi satu dewa tunggal yang disebut Sol Invictus, yang
memiliki banyak atribut campuran dan dipuja dengan ritus gabungan.[86] Apollo kemungkinan
semakin sering diidentikkan dalam agama dengan Helios atau bahkan Dionisos, namun naskahnaskah mengenainya jarang memperlihatkan perkembangan semacam ini. Ini barangkali
menunjukkan bahwa mitologi dalam sastra semakin lama semakin tidak berkaitan dengan
kegiataan keagamaan yang sesungguhnya.
Kumpulan sajak Saturnalia karya Macrobius dan Himne Orfik yang tersisa pada masa sekarang
juga ikut dipengaruhi oleh teori-teori rasionalisme dan tren sinkretisasi. Himne Orfik merupakan
seperengkat komposisi puitis pra-Klasik yang diatribusikan atas nama Orfeus. Orfeus sendiri
merupakan tokoh dari suatu mitos yang terkenal. Pada kenyataannya, meskipun dihubungan
dengan Orfeus, namun sajak-sajak ini kemungkinan disusun oleh beberapa penyair berbeda, dan
mengandung banyak petunjuk tentang mitologi Eropa prasejarah.[87] Sementara itu tujuan dari
dibuatnya Saturnalia adalah untuk menyampaikan kebudayaan Hellenik yang telah diperoleh
oleh Macrobius dari hasil studinya, meskipun banyak penggambaran para dewa telah
dipengaruhi oleh teologi dan mitologi Mesir dan Afrika Utara (yang juga mempengaruhi
penafsiran Virgilus). Dalam Saturnalia, kembali bermunculan komentar-komentar mitologi yang
dipengaruhi oleh orang-orang Euhemeris, Stoik, dan Neoplatonis.[78]

Pemahaman modern
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Pemahaman modern
mitologi Yunani.

Munculnya pemahaman modern mengenai mitologi Yunani dianggap oleh para sejarawan
sebagai reaksi ganda pada akhir abad kedelapan belas melawan "sikap tradisional rasa
permusuhan Kristen", yang mana sikap agama Kristen, yang mengganggap bahwa mitos
merupakan suatu "kebohongan" atau fabel, telah dipertahankan.[88] Di Jerman, sekitar tahun
1795, berkembang rasa ketertarikan terhadap Homeros dan mitologi Yunani. Di Gttingen,
Johann Matthias Gesner mulai membangkitkan kembali studi mitologi Yunani, sedangkan
penerusnya, Christian Gottlob Heyne, bekerja dengan Johann Joachim Winckelmann, dan
mendirikan dasar bagi riset mitologi baik di Jerman maupun di tempat-tempat lainnya.[89]

Bagi Karl Kernyi mitologi adalah "sekummpulan materi yang terkandung dalam
kisah-kisah tentang makhluk mirip dewa, pertempuran pahlawan dan perjalanan ke
Dunia bawahmythologem adalah kata Yunani yang terbaik untuk itukisahkisahnya sudah banyak dikenal namun tidak dapat menerima pembentukan ulang".
[90]

Pendekatan psikoanalitis dan komparatif


Lihat pula: Mitologi perbandingan

Perkembangan filologi perbandingan pada abad ke-19, bersama dengan penemuan etologis pada
abad ke-20, menjadikan munculnya ilmu mitos. Sejak masa Romantik, semua studi mitos telah
menjadi ilmu perbandingan. Wilhelm Mannhardt, Sir James Frazer, dan Stith Thompson
menggunakan pendekatan perbandingan untuk mengumpulkan dan mengklasifikasikan tematema folklor dan mitologi.[91] Pada tahun 1871 Edward Burnett Tylor menerbitkan karyanya,
Primitive Culture, yang di dalamnya dia menerapkan metode perbandingan serta berusaha untuk
menjelaskan asal mula dan perkembangan agama.[92] Prosedur Tylor yang secara bersama-sama
menarik materi kebudayaan, ritual, dan mitos dari kebudayaan yang berbeda-beda berpengaruh
pada Carl Jung dan Joseph Campbell. Max Mller menerapkan ilmu baru mitologi perbandingan
dalam studi mitos, yang mana dia menemukan sisa-sisa yang terdistorsi dari pemujaan alam
bangsa Arya. Bronisaw Malinowski menekankan cara mitos memenuhi fungsi-fungsi sosial
yang umum. Sementara Claude Lvi-Strauss dan para strukturalis lainnya membandingkan
hubungan formal dan pola-pola pada mitos di seluruh dunia.[91]
Sigmund Freud memperkenalkan konsepsi biologis dan transhistoris mengenai manusia serta
pendangan terhadap mitos sebagai suatu ekpsresi dari gagasan yang ditekan. Tafsir mimpi
merupakan dasar dari interpretasi mitos Freud dan konsep Freud mengenai cara kerja mimpi
mengenali pentingnya hubungan kontekstual untuk menafsirkan unsur individual apapun dalam
sebuah mimpi. Menurut Freud, teorinya ini akan menemukan poin yang penting dalam
penyesuaian antara pendekatan strukturalis dan psikoanalitis terhadap mitos.[93] Carl Jung

memperluas pendekatan psikologis dan transhistoris itu dengan teorinya mengenai "alam bawah
sadar kolektif" dan arketipe (pola-pola "arkais" yang diturunkan), seringkali diulang-ulang dalam
mitos, yang muncul dari itu.[2] Menurut Jung, "unsur struktural pembentuk mitos pasti ada di
alam bawah sadar".[94] Membandingkan metodologi Jung dengan teori Joseph Campbell, Robert
A. Segal menyimpulkan bahwa "untuk menafsirkan mitos, Campbell secara sederhana
mengidentifikasi arketipe di dalamnya. Interpretasi terhadap Odisseia, misalnya, dapat
menunjukkan bagaimana kehidupan Odisseus menyesuaikan diri dengan pola kepahlawanan.
Berlawanan dengan Jung, yang berpendapat bahwa identifikasi arketipe hanya semata-mata
langkah pertama dalam menfasirkan mitos".[95] Karl Kernyi, salah satu pendiri studi modern
mengenai mitologi Yunani, meninggalkan pandangan awalnya tentang mitos, supaya dapat
menerapkan teori Jung pada mitologi Yunani.[96]
Teori asal usul
Lihat pula: Kemiripan antara mitologi Etruska, Yunani, dan Romawi

Max Mller dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu perbandingan mitologi. Dalam
karyanya Mitologi Perbandingan (1867) Mller menganalisa kemiripan yang
"mengganggu" antara mitologi-mitologi dari "ras biadab" dengan mitologi milik
bangsa Eropa awal.

Ada beragam teori modern mengenai asal usul mitologi Yunani. Menurut Teori Kitab, semua
legenda mitologi berasal dari cerita-cerita dalam naskah kuno, meskipun fakta nyata telah
disamarkan dan dimodifikasi.[97] Menurut Teori Sejarah semua orang yang disebutkan dalam
mitologi dulunya merupakan manusia nyata, dan legenda mengenai mereka merupakan
tembahan pada masa selanjutnya. Jadi cerita Aiolos muncul dari fakta nyata bahwa Aiolos
merupakan penguasa beberapa pulau di Laut Tyrrhenia.[98] Teori Alegori menyatakan bahwa
semua mitos kuno bersifat simbolis dan merupakan alegori atau kiasan. Sementara Teori Fisik
menyebutkan gagasan bahwa unsur-unsur semacam udara, api, dan air, pada awalnya merupakan
obejk pemujaan relijius, sehingga dewa-dewa utama merupakan personifikasi dari kekuatan alam
tersebut.[99] Max Mller berupaya untuk memahami bentuk keagamaan India-Eropa dengan cara

melacaknya kembali pada banga Arya, perwujudan "asli"nya. Pada tahun 1891, dia menyebutkan
bahwa "penemuan terpenting yang pernah dibuat pada abad kesembilan belas dengan rasa
hormat pada sejarah kuno umat manusia ... adalah persamaan sederhana ini: Dyaus-pitar
Sansakerta = Zeus Yunani = Yupiter Latin = Tyr Nordik Kuno".
Dalam kasus lainnya, kedekatan dalam hal karakter dan fungsi mengindikasikan adanya
pewarisan umum, namun kurangnya bukti linguistik menjadikannya sulit untuk dibuktikan,
seperti dalam perbandingan antara Uranus (Yunani) dengan Varuna (Sansakerta) atau Moirai
(Yunani) dengan Norn (Nordik).[100] [101]
Di pihak lain, arkeologi dan mitografi telah mengungkapkan bahwa bangsa Yunani terilhami oleh
beberapa peradaban di Asia Kecil dan Timur Dekat. Adonis nampaknya merupakan padanan
versi Yunani dari "dewa yang mati" dari daerah Timur Dekat, yang lebih jelas dalam kultus
daripada dalam mitos. Dewi Kibele berakar dari kebudayaan Anatolia, yang juga merupakan
tempat munculnya ikonografi Afrodit dari dewi-dewi Semit. Ada juga kemungkinan kesetaraan
antara generasi dewa terawal (Khaos dan anak-anaknya) dengan Tiamat dalam Enuma Elish.[102]
Menurut Meyer Reinhold, "konsep kedewaan Timur, yang melibatkan pergantian kekuasaan
melalui kekerasan dan konflik antargenerasi demi kekuasaan, menemukan jalan mereka ... ke
dalam mitologi Yunani".[103]
Selain berasal dari India-Eropa dan Timur Dekat, beberapa sejarawan juga mengajukan pendapat
bahwa mitologi Yunani dipengaruhi pula oleh peradaban pra-Hellenik, di antaranya peradaban di
Kreta, Mykenai, Pylos, Thebes dan Orkhomenos.[104] Para sejarawan agama terkagum-kagum
oleh sejumlah konfigurasi kuno mengenai mitos yang berkaitan dengan Kreta (Zeus dan Europe,
Banteng Kreta, Minos, Daidalos dan Ikaros, Minotaur, dll.). Profesor Martin P. Nilsson
menyimpulkan bahwa semua mitos besar Yunani Klasik terikat pada pusat-pusat peradaban
Mykenai dan berasal dari masa prasejarah.[105] Namun, menurut Burkert, ikonografi dari Periode
Istana Kreta hanya memberikan sedikit informasi yang dapat mendukung teori ini.[106]

Dalam sastra dan seni


Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Mitologi Yunani dalam
sastra dan seni Barat.
Lihat pula: Daftar film yang berdasarkan mitologi Yunani-Romawi

Agama Kristen yang menyebar secara luas tidak menghentikan kepopuleran mitologi Yunani.
Dengan ditemukannya kembali antikuitas klasik pada Abad Renaisans, sajak-sajak Ovidius
memberi banyak pengaruh terhadap para penyair, penulis drama, musikus, dan seniman barat.[107]
Sejak tahun-tahun awal Renaisans, para seniman semacam Leonardo da Vinci, Michaelangelo
Buonarroti, dan Raffaello Sanzio, banyak menggambarkan tema-tema Pagan mitologi Yunani
bersama dengan tema-tema Kristen, yang lebih konvensional.[107] Melalui bahasa Latin dan
karya-karya Ovidius, mitologi Yunani mempengaruhi para penyair Abad Pertengahan dan
Renaisans, misalnya Petrarca, Giovanni Boccaccio, dan Dante Alighieri di Italia.[2]

Personifikasi hari dalam mitologi Yunani. Dari kiri ke kanan: Apollo/Helios personifikasi siang hari, Hesperos - personifikasi petang hari, dan Artemis/Selene personifikasi malam hari. Lukisan karya Anton Raphael Mengs di Istana Moncloa,
Madrid, Spanyol.

Di Eropa Utara, mitologi Yunani tidak memberi pengaruh dalam seni visual sebesar di daerah
Eropa lainnya. Pengaruh mitologi Yunani di Eropa Utara lebih terlihat dalam sastra. Di Inggris,
mitologi Yunani dalam sastra dipelopori oleh Geoffrey Chaucer dan John Milton, dan terus
berlanjut melalui William Shakespeare sampai Robert Bridges pada abad ke-20. Jean Racine di
Perancis dan Johann Wolfgang von Goethe di Jerman membangkitkan kembali drama Yunani,
dan mengerjakan ulang mitos-mitos kuno.[107] Meskipun pada Zaman Pencerahan pada abad ke18 muncul reaksi melawan mitologi Yunani yang menyebar di seluruh Eropa, mitologi Yunani
terus menjadi sumber materi untuk para penulis drama, termasuk mereka yang menulis libretto
untuk banyak opera buatan George Frideric Handel dan Wolfgang Amadeus Mozart.[108]
Pada akhir abad ke-18, romantisisme memicu gerakan antusiasme terhadap segala hal tentang
Yunani Kuno, termasuk mitologi Yunani. Di Britania, terjemahan baru drama tragedi Yunani
serta karya-karya Homeros telah mengilhami penyair kontemporer, seperti Alfred Lord
Tennyson, John Keats, Byron dan Percy Bysshe Shelley, juga para pelukis, misalnya Lord
Leighton dan Lawrence Alma-Tadema.[109] Christoph Willibald Gluck, Richard Strauss, Jacques
Offenbach dan banyak lainnya memasukkan tema-tema mitologi Yunani ke dalam musik.[2]
Penulis Amerika pada abad ke-19, di antaranya Thomas Bulfinch dan Nathaniel Hawthorne,
berpendapat bahwa pembelajaran mitos klasik adalah penting bagi pemahaman sastra Inggris dan
Amerika.[110] Pada masa yang lebih modern, tema-tema mitologi Yunani juga digunakan oleh para
penulis drama seperti Jean Anouilh, Jean Cocteau, dan Jean Giraudoux di Prancis, Eugene
O'Neill di Amerika, serta T. S. Eliot di Britania dan oleh para novelis seperti James Joyce dan
Andr Gide.[2]

Anda mungkin juga menyukai