Index - Php-Option Com Docman&task Doc Download&gid 147&itemid 70
Index - Php-Option Com Docman&task Doc Download&gid 147&itemid 70
Pendahuluan
Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu
dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Kebijakan pembangunan KPA pada dasarnya mengacu pada ketentuan
perauran perundang-undangan yang berlaku yakni UUD 1945 pasal 28B dan
28C, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PNBAI 2015, CRC,
MDGs, dan WFFC serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan
dengan anak.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa penjaminan dan pemenuhan hak-hak anak
menjadi tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan
Negara. Peraturan perundang undangan yang mengatur tentang anak
jumlahnya adalah cukup banyak namun implementasinya belum
sebagaimana yang kita harapkan. Selain itu dengan keluarnya PP No. 41
tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah maka tatanan
kelembagaan di daerah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini
berdampak pula terhadap pelaksanaan program dan kegiatan di bidang
pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak. Satu segi penangnan
perlindungan anak harus ditangani secara holistik dan berkelanjutan. Oleh
karena itu untuk mempermudah para pemangku kepentingan dalam
penyusunan program dan kegiatan kesejahteraan dan perlindungan anak,
maka perlu adanya kebijakan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam rangka pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak di
daerah.
2.
Definisi anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (ps 1 UU No.
23/2002).
2.2.
Dasar pemikiran:
Anak: - merupakan amanah dan karunia dari Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dilindungi
- merupakan investasi bagi orang tua, bangsa dan negara.
- merupakan potensi kekayaan dan kesejahteraan
1
2.3.
2.4.
Hak-hak anak:
Hak-hak dasar anak:
Perlindungan:
Partisipasi:
aktif
Hak-hak partisipasi:
Setiap anak berhak untuk menguatarakan pikiranya secara bebas.
Untuk itu, maka anak harus ditanya pendapatnya dan pendapat
tersebut harus dihormati serta diperhitungkan dalam semua
keputusan yang menyangkut hidup anak tersebut, baik dalam
keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat bahkan sampai ke
pengadilan sekalipun.
Hal yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga, orangtua
menganggap anak yang berani bicara dengan orangtua sebagai
anak yang kurang ajar, apalagi bila anak berbeda pendapat dengan
orang tua. Begitu juga dengan guru sekolah. Masih banyak guru
yang tidak bisa menerima pendapat anak. Anak hanya
mendengarkan saja selama belajar di kelas dan tidak ada diskusi
atau upaya untuk mendorong anak berpikir dan mengeluarkan
pendapatnya.
Anak masih dalam proses belajar sehingga orang dewasa perlu
membimbing dan memperbaiki cara anak mengemukakan
pendapatnya. Sesungguhnya banyak manfaat ketika orang dewasa
berbicara dengan cara baik kepada anak, antara lain :
Melatih anak berpikir kritis, mampu memecahkan masalah,
dan mandiri karena terbiasa melatih pikirannya;
Mendorong
anak
untuk
terus
giat
belajar
dan
mengembangkan sikap percaya diri
Membina hubungan yang akrab dan menyenangkan diantara
orangtua dan anak
Kematian balita dan bayi. pada tahun 1960, angka kematian bayi
(AKB) masih sangat tinggi yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari
tahun ke tahun, akb ini cenderung membaik sebagai dampak positif
dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. pada tahun
1992 akb tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun
menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, turun lagi
menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada
tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000
kelahiran hidup (sDki 2002-2003). Menurut proyeksi bps (bps-unDpbappenas, 2005), pada tahun 2003 angka akb terus membaik hingga
mencapai 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan kecenderungan
perkembangan pencapaian akb secara nasional seperti ini,
pencapaian target mDgs pada tahun 2015 diperkirakan sudah akan
tercapai pada tahun 2013.
Meskipun terus menurun, akb di indonesia masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara anggota asean, yaitu 4,6 kali
lebih tinggi dari malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali
lebih tinggi dari thailand. indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi
setelah singapura (3 per 1.000), brunei Darussalam (8 per 1.000),
malaysia (10 per 1.000), vietnam (18 per 1.000), dan thailand (20 per
1.000).
Perkembangan pencapaian AKB nasional tahun 1989-2005
Penurunan akba dalam kurun waktu tahun 1992 (sDki) sampai 2005
(supas) lebih cepat dibandingkan penurunan akb dalam kurun waktu
yang sama. penurunan akba mencapai 57 kematian per 1.000
kelahiran hidup, sedangkan kecepatan penurunan akb hanya
mencapai 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup (lihat gambar 4.2). ini
menunjukkan bahwa resiko kematian kelahiran bayi lahir lebih besar
ketimbang resiko kematian hingga usia balita. pada tahun 2004, bps
memperkirakan akb dapat mencapai 33,9 kematian per 1.000
kelahiran hidup, sementara akba dapat mencapai 40,9 kematian per
1.000 kelahiran hidup.
Perkembangan AKB dan AKBA nasional tahun 1989-2005
Di bidang Pendidikan:
Angka Partisipasi Sekolah (APS) tahun 1971-2007 untuk anak usia 718 tahun mengalami peningkatan terutama pada kelompok usia
Sekolah Dasar (7-12 tahun).
APS untuk anak usia dini (0-6 tahun) secara kuantitatif terus
bertambah sejak tahun 2004 2006. Namun yang paling mencolok
adalah jenis satuan PAUD melalui jalur non formal mencapai
5.651.066 siswa, namun apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0-6
tahun yang mencapai 28.068.100 anak maka jumlah peserta didik
PAUD belum mencapai 50% (Depdiknas: 2006).
Menurut BPS tahun 2006 jumlah anak putus ekolah tahun 2005
sebanyak 1.712.413 anak, sebagian besar (54,3%) disebabkan oleh
ketidakmampuan ekonomi, bahkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri
karena menunggak biaya sekolah.
Pada kelompok umum 10-18 tahun terlihat persentase putus sekolah
anak laki-laki sekitar 9,41% sementara perempuan hanya 5,6%.
10
Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (712 tahun) dan angka partisipasi murni (APM) sekolah menegah
pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun) dari tahun 1992 sampai
tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik.
pada tahun 1992, APM SD/MI tercatat 88,7 persen dan pada tahun
2006 telah mencapai 94,73 persen. Sementara itu APM SMP/MTS
tahun 1992 adalah 41,9 persen dan mencapai 66,52 persen pada
tahun 2006. Jika kecenderungan seperti ini mampu dipertahankan,
maka indonesia diperkirakan berhasil mencapai target MDG pada
tahun 2015.
Angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan
angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah dari tahun 1993 sampai tahun 2006 secara nasional
menunjukkan kecenderungan membaik. apk sD/mi sejak tahun 1992
sudah mencapai 102,0 persen.
11
12
Pada tahun 2006, angka ini menjadi 109,95 persen. namun untuk
tingkat SMP/MTs, APKnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
APK SD/MI. Pada tahun 1992 APK SMP/MTS masih berada di angka
55,6 persen dan pada tahun 2006 baru mencapai 88,68 persen.
indikator ini menginformasikan bahwa berbagai program SD/MI dan
SMP/MTs non-reguler telah berhasil menjaring kembali murid SD/MI
dan SMP/MTs untuk menuntaskan masa belajar mereka di bangku
SD/MI maupun SMP/MTs. informasi ini juga menunjukkan bahwa
dalam perjalanan mengikuti proses belajar mengajar, ternyata masih
banyak siswa SD/MI yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Walaupun angka partisipasi kasar tingkat SD/MI maupun SMP/MTs
menunjukkan perbaikan, tetapi bila dilihat dari tingkat kelompok
pengeluaran rumah tangga, maka terdapat perbedaan antara
kelompok rumah tangga miskin dan non-miskin. pada kelompok
pengeluaran terbawah (kuantil 20% terbawah, Q1), apk SD/MI tahun
1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun
2006. Data tahun 1995 hingga 2006 menunjukkan indikasi
bahwasanya APK SD/MI untuk kelompok pengeluaran terbawah
ternyata berkembang lebih baik dari APK SD/MI untuk golongan
pengeluaran teratas. peristiwa yang sama juga terjadi pada APK
SMP/MTS antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMP/MTs tahun 1995
pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39 persen dan
menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah
tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi
keluarga yang mempunyai anak usia sekolah sD dan smp.
kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencolok antara
kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan kelompok
pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya
peningkatan perhatian pada kelompok keluarga miskin dalam
memperoleh akses pendidikan.
Angka melek huruf (melek aksara) usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke
atas yang menggambarkan kemampuan keberaksaraan penduduk.
kemampuan keberaksaraan penduduk indonesia terus meningkat,
yang tercermin dari meningkatnya angka melek huruf penduduk dari
96,58 persen pada tahun 1992 menjadi 98,84 persen pada tahun
13
Dilihat dari angka melek huruf (melek aksara) usia 15-24 tahun dan 15
tahun ke atas menurut kelompok pengeluaran keluarga tampak bahwa
sebagian besar buta huruf terjadi pada kelompok pengeluaran
terbawah (keluarga miskin). meskipun angka melek huruf penduduk
miskin selalu lebih rendah dari penduduk kaya, tetapi dalam kurun
waktu 1995-2006 angka melek huruf penduduk kelompok termiskin
meningkat signifikan yaitu dari 92,94 persen menjadi 97,78 persen
untuk usia 15-24 tahun dan dari 71,17 persen menjadi 87,17 persen
untuk usia 15 tahun ke atas. berdasarkan jenjang pendidikan yang
pernah diikuti per tahun 2006, tampak bahwa 85 persen penduduk
usia 15 tahun yang buta aksara ternyata tidak pernah sekolah.
Sebagian besar dari mereka kini berusia lanjut.
Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006 menurut kelompok
pengeluaran:
14
Tingkat
kelulusan
pendidikan
dasar.
keberhasilan
dalam
meningkatkan angka partisipasi sekolah baik di sekolah dasar maupun
di sekolah menengah belum diimbangi dengan peningkatan kelulusan
yang memadai. memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan
di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar dihadapkan
pada tantangan masih besarnya siswa putus sekolah (drop out) dan
siswa yang mengulang.
Perbaikan kelulusan sesuai kohort untuk siswa sD antara tahun
1993/1994 sampai 2005/2006 tidak menggambarkan secara
keseluruhan tingkat kelulusan siswa sekolah dasar dan tingkat siswa
yang meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini
merupakan tantangan terbesar dalam bidang pendidikan dasar.
Profil penduduk usia 15 tahun yang buta aksara menurut jenjang
pendidikan yang pernah diikuti:
Perkembangan
angka
putus
sekolah
sendiri
mempunyai
kecenderungan meningkat sejak tahun ajaran 2001/2002 sampai
2005/2006. antara tahun ajaran 2001/2002-2002/2003 terdapat 683
15
ribu atau 2,66 persen siswa sekolah dasar putus sekolah, lalu
meningkat menjadi 767,8 ribu atau 2,97 persen pada 2002/20032003/2004, kemudian mencapai 777 ribu atau 2,99 persen pada
2003/2004-2004/2005, dan kemudian mencapai 824,7 ribu atau 3,17
persen pada 2004/2005-2005/2006.
Perkembangan angka menulang dan putus sekolah, Sekolah Dasar:
16
AIDS
AIDS/IDU
<1
55
14
114
5 14
42
15 19
387
110
20 29
6.364
3.976
30 39
3.298
1.383
40 49
936
199
50 59
243
30
17
> 60
58
12
Tidak diketahui
371
121
JUMLAH
11.868
5.834
Di bidang Perlindungan
a. Pekerja anak:
Jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun di Indonesia selama periode
tahun 2001-2002 selalu di atas 500.000 anak atau di atas 6% dari
jumlah anak usia 10-14 tahun. Pada tahun 2003, jumlah pekerja
anak usia 10-14 tahun mengalami penurunan menjadi sekitar
367.610 anak (43,62%), namun kembali mengalami kenaikan
sekitar 488.850 anak (5,83%) pada tahun 2004. Sedangkan pada
tahun 2005, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun kembali
menurun sekitar 383.210 anak (4,43%).
Dari data tersebut, bisa diperkirakan bahwa pada kurun waktu
tahun 2001-2005, dalam setiap 100 anak usia 10-14 tahun
terdapat 4 sampai 6 pekerja anak, yang memiliki kondisi yang pasti
berbeda dengan anak-anak lainnya di usia yang sama, bahkan
kehilangan hak dan kesempatan untuk hidup selayaknya anak
dalam usia tersebut.
Perkembangan Pekerja Anak Usia 10-14 Tahun
Tahun 2001-2005 (dalam ribuan)
(Diolah dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas
Agustus 2001-2004 dan November 2005)
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
Anak Usia
10-14
Tahun
20,862.8
21,263.9
19,450.4
20,998.9
21,686.3
6.34
6.65
4.62
5.83
4.43
dan Papua. Batam, Bali dan Pontianak dalam hal ini merupakan
daerah dengan prostitusi anak dalam jumlah besar. Praktek ESKA
[Eksploitasi Seksual Komersial Anak] berlangsung terutama di
pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat,
pertokoan dll [UNICEF, 2005; Koalisi Nasional Penghapusan
ESKA, 2006]. Sedangkan mayoritas pelaku [user] adalah
penduduk lokal sendiri atau pengunjung domestik, namun
demikian terdapat beberapa kasus yang melibatkan pengunjung
atau wisatawan dari mancanegara [UNICEF, 2005; Koalisi
Nasional Penghapusan ESKA, 2006].
c. Anak yang diperdagangkan (trafiking anak)
Hasil pendataan Pusdatin [Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial] Departemen Sosial Republik Indonesia pada
tahun 2004 yang bersumber dari data-data LSM di 9 propinsi
menunjukkan bahwa pada tahun 2004 tercatat ada 932 anak yang
menjadi korban trafiking dan tersebar di provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa mayoritas anak yang
menjadi korban trafiking [96%] adalah anak perempuan. Dari 9
provinsi tersebut, kasus yang tercatat paling banyak adalah di
propinsi Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian, perlu
diperhatikan keterbatasan sumber pendataan ini yang hanya
berasal dari 20 LSM yang tersebar di 9 provinsi, terlepas bahwa
LSM-LSM tersebut diyakini telah melakukan investigasi maupun
penanganan trafiking anak seperti yang telah diidentifikasi oleh
International Catholic Migration Commission [ICMC].
Data menunjukkan bahwa bentuk trafiking yang memakan korban
paling banyak adalah migrasi, dan secara khusus tercatat ada 578
anak yang menjadi korban di propinsi Nusa Tenggara Barat saja.
Data menunjukkan jumlah balita dan anak korban trafiking yang
ditangani oleh IOM (International Organization for Migration)
Indonesia sejak Maret 2005 sampai dengan April 2007 tercatat ada
643 balita dan anak.
Mayoritas korban tersebut adalah perempuan dan jumlah tersebut
merupakan 288 dari total korban trafiking yang ditangani IOM pada
kurun waktu tersebut. Data ini kemudian meningkat karena
berdasarkan data IOM periode Maret 2005 Januari 2008 tercatat
sebanyak 790 balita dan anak, dimana ada 5 bayi, 651 anak
perempuan dan 134 anak laki-laki (KPP, 2008). Artinya ada
peningkatan sebesar 147 balita/anak dalam waktu 9 bulan. Data
lain yang perlu ditengok adalah data Bareskrim Kepolisian RI dari
tahun 2003 2007 yang mencatat perdagangan orang sebanyak
21
492 kasus dengan melibatkan 1.015 orang dewasa (81 %) dan 238
anak-anak (19 %) [KPP, 2008].
d. Pengungsi Anak dan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata
Sejak tahun 2004, masalah pengungsi anak di Indonesia dalam
jumlah besar dan kondisi memperihatinkan sekurang-kurangnya
terjadi akibat bencana gempa tektonik dan gelombang tsunami di
provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan kepulauan Nias
provinsi Sumatera Utara (26 Desember 2004), gempa tektonik di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan beberapa kawasan
sekitarnya di Jawa Tengah (27 Mei 2006), dan bencana semburan
lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur (29 Mei 2006).
543.768
134.858
193.580
75.847
194.065
39.033
147.400
37.398
111.823
714.565
1.760.374
995.145
122.654
1.170.912
439.072
158.819
156.525
Persentase
135.028
60.695
86.435
57.979
101.592
25.504
76.502
28.873
73.461
595.908
999.113
623.053
99.563
820.122
274.338
84.285
47.414
24,83
45,01
44,65
76,44
52,35
65,34
51,90
77,20
65,69
83,39
56,76
62,61
81,17
70,04
62,48
53,07
30,29
26
3.183
108.688
55.044
129.535
169.079
72.452
48.594
258.485
45.213
25.391
36.780
23.518
75.866
8.117.666
29.117
62.884
28.008
74.280
110.864
39.225
24.369
120.497
19.435
8.698
20.010
12.611
45.169
4.785.032
39,79
57,86
50,88
57,34
65,57
54,14
50,15
46,62
42,99
34,26
54,40
53,62
59,54
58,95
h. Anak Jalanan
Berdasarkan data PMKS 2007, Departemen Sosial RI menunjukkan
jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia pada tahun 2007
berjumlah 104.497 anak. Jumlah anak jalanan terbanyak berturutturut adalah Jawa Timur 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307
anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak. Sedangkan 3 propinsi
dengan jumlah anak jalanan paling sedikit berturut-turut adalah
28
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
ANAK JALANAN
[jiwa]
608
Sumatera Utara
4.525
Sumatera Barat
6.330
Riau
914
Jambi
1.756
Sumatera Selatan
1.764
Bengkulu
794
Lampung
1.096
Bangka Belitung
191
10
Kepulauan Riau
186
11
DKI Jakarta
4.478
12
Jawa Barat
6.428
13
Jawa Tengah
14
DI Yogyakarta
15
Jawa Timur
16
Banten
17
Bali
18
12.307
19
11.889
20
Kalimantan Barat
21
Kalimantan Tengah
10
22
Kalimantan Selatan
3.671
23
Kalimantan Timur
1.330
24
Sulawesi Utara
25
Sulawesi Tengah
2.652
26
Sulawesi Selatan
3.931
27
Sulawesi Tenggara
2.254
10.025
1.305
13.136
2.492
680
3.240
451
29
28
Gorontalo
66
29
Sulawesi Barat
30
Maluku
2.728
31
Maluku Utara
2.430
32
Papua Barat
227
33
Papua
354
249
TOTAL
104.497
2002
[Tangerang]
2006
[Pondok Bambu]
Pencurian
85
44,74%
111
31,27%
Napza
55
27,37%
148
41,69%
22
11,58%
10
2,82%
19
10%
Kejahatan Susila
1,58%
Perjudian
1,58%
12
3,38%
1,05%
Penganiayaan
1,05%
Penipuan
0,53%
0,85%
Lain-Lain
0,53%
50
14,08%
Sajam
Tajam]
[Senjata
Pengeroyokan
Jumlah
190
355
Sumber : Herlina A., Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Materi Presentasi), 2006
Anak yang terkena kasus Napza menempati urutan kedua pada data
Lapas Anak Tangerang dan Pondok Bambu (tidak dijelaskan terlibat
30
Pengangkatan/Adopsi Anak
Berdasarkan pelaporan kepada Departemen Sosial jumlah anak
yang diadopsi antar warga negara Indonesia tahun 2006 2008,
yaitu 23 anak. Selain rentang usia 0 4 tahun, terdapat 7 anak
dalam rentang usia 5 13 tahun yang juga diadopsi. Sebagai
catatan, data di atas tidak mencerminkan data nasional karena
prosedur kategori pengangkatan/adopsi antar WNI (domestic
adoption) melalui pengadilan negeri dan dinas sosial masingmasing propinsi (izin dari kepala instansi sosial sebagai pengganti
izin Menteri).
Data inter country adoption tahun 2004 2007 menunjukkan 45
anak yang diadopsi (Direktorat PSA, Depsos RI, 2008). Sebagai
catatan, data tidak mencantumkan jenis kelamin dan usia anak
yang diadopsi, beberapa tidak mencantumkan nama anak.
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) atau Panti Asuhan atau Panti
merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk
anak terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah
maupun swasta, baik yang dikelola di rumah pribadi untuk
kelompok kecil anak maupun di dalam bangunan asrama untuk
200 anak. Panti asuhan untuk Anak Terlantar terutama mengasuh
anak yatim piatu, anak yatim/piatu dan anak yang orangtuanya
tidak mampu mengasuh mereka.
Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar
7.000 buah, yang mengasuh sekitar setengah juta anak.
Pemerintah Indonesia mengelola kurang dari 1% panti asuhan dan
lebih dari 99% dikelola oleh masyarakat, terutama organisasi
keagamaan. Dari hasil studi, dalam panti asuhan, presentase anak
yatim piatu sebanyak 6% dan anak yatim/piatu/memiliki kedua
orangtua sebanyak 90%. Kebanyakan anak-anak yang masih
memilki satu atau kedua orangtua bukan ditelantarkan, tetapi
ditempatkan di panti asuhan karena kesulitan ekonomi, dengan
tujuan mendapatkan pendidikan (Seseorang yang Berguna :
Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia,
Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008)
Selama tahun 2007, program yang dijalankan mencakup 33
propinsi dan 395 kabupaten/kota. Data dalam tabel tersebut di atas
memperlihatkan data PSAA yang memperoleh bantuan subsidi
BBM sejumlah 4.035 panti. Subsidi diberikan bagi 128.016 anak
yang diasuh oleh panti. Data yang dikumpulkan melalui subsidi
BBM merupakan sumber informasi terbatas mengenai panti
asuhan di Indonesia, mengingat tidak semua panti asuhan
memperoleh subsidi dan tidak terdapat terdapat data akurat
mengenai jumlah, penyelenggaraan dan pengawasan panti asuhan
di Indonesia (Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan di
Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save
the Children & Unicef, 2008).
k. Anak dari Kelompok Minoritas
Persebaran Komunitas Adat Terpencil tahun 2005 mengalami
berbagai masalah yang timbul di lokasi KAT diantaranya Kasus
Salulemo di Propinsi Sulawesi Selatan, dimana kasus tanah
tersebut telah menjadi isu dan terangkat ke permukaan.
Pemberdayaan KAT yang dilaksanakan sekitar tahun 1980-an
dirasakan tidak adanya kejelasan status tanah pada lokasi KAT
tersebut.
Seperti juga kasus tanah di permukaan KAT lokasi Gunung Benoa,
Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, lokasi
pemukiman mereka saat ini berada pada posisi strategis. Pada
32
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan
dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan
35
2.8.
39
hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu pembentukan kelompokkelompok anak atau organisasi abak harus didorong dan dikembangkan.
Organisasi anak tersebut, apapun namanya, akan berfungsi sebagai
wadah penyalur aspirasi anggota mereka maupun anak-anak pada
umumnya.
C. Tahapan PUHA
Proses PUHA selalu diawali dengan analisis situasi anak, dilanjutkan dengan
perencanaan program,
pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi
program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak
anak.
1. Tahap Analisis Situasi Anak
Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah
dan akar masalah dari setiap isu anak berdasarkan situasi terakhir
sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan dan program yang
menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target
pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional
maupun lokal.
Analisis situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Tahapan perencanaan
Tahapan perencanaan meliputi penentuan situasi anak yang akan dicapai
(vision) berdasarkan pada kesenjangan pemenuhan hak anak hasil
analisis situasi anak pada tahap 1, dan dilanjutkan dengan penentuan
prioritas program pembangunan sebagai upaya pemenuhan hak anak
yang meliputi penentuan tujuan (outcomes) yang biasanya berupa
perubahan KAP, keluaran (outputs) yang mendorong pencapaian
outcomes, kegiatan sebagai proses untuk mengubah masukan menjadi
keluaran yang berkualitas, dan diakhir dengan pengembangan masukan.
Setiap perencanaan dimulai dengan menentukan hak anak yang akan
dipenuhi dari suatu kebijakan, program atau kegiatan yang akan
direncanakan.
3. Pelaksanaan dan pemantauan
PUHA mensyaratkan pelaksanaan program selalu mempertimbangkan 4
prinsip hak anak dan tidak menempatkan anak pada posisi yang beresiko.
Situasi anak saat program dikembangkan (baseline data) dan kondisi
yang akan dicapai (vision) merupakan informasi penting pada tahap ini.
Dalam tahap ini, seperangkat indikator perlu dikembangkan sebagai
dasar untuk melakukan tinjauan terhadap keberhasilan program
perwujudan hak anak.
Pengembangan indikator berdasarkan hak anak akan membantu
pelaksana program melakukan tinjauan efektivitas program dan
melakukan peningkatan kualitas sesuai kebutuhan. Target capaian setiap
indicator dapat menggunakan nilai yang telah dikembangkan secara
nasional dalam PNBAI. Namun setiap daerah dapat pula mengembangkan
target indikator sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya
masing-masing.
41
4.
Dasar pemikiran
1.1
Situasi anak
Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan
bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan
menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan
kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari
semua elemen masyarakat.
SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan
tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi
beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak
produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga
penduduk Indonesia.
Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai
media persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang
memiliki jiwa nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang
tinggi dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang
peduli dan responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan anak.
Secara individu, jutaan anak menghadapi resiko busung lapar dan
ketidakcukupan nutrisi yang mengancam pertumbuhan dan masa depannya.
Angka kematian bayi 32 perseribu kelahiran hidup (2005), masih sangat
tinggi. Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang
seharusnya menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses
terhadap pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah,
kekerasan ekonomi, seksual dan psikis.
Secara sosial, anak-anak tidak berdaya menghadapi gelombang sajian iklan
dan pemandangan kehidupan konsumerisme yang sangat kapitalistik yang
42
2.
Maksud
Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah
pada upaya transformasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi
pembangunan seperti kebijakan, kelembagaan dan program yang layak
anak.
2.2
Tujuan
Tujuan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak adalah:
3.
a.
b.
c.
d.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup Kebijakan KLA meliputi pembangunan di bidang kesehatan,
pendidikan, perlindungan, infrastruktur, lingkungan hidup dan pariwisata baik
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan implementasi hak
anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kebijakan KLA mencakup aspek ketemagaan, pembiayaan, pengawasan dan
44
Sasaran
5.
4.1
Sasaran antara
a.
Lembaga eksekutif.
b.
Lembaga legislatif.
c.
Lembaga yudikatif.
d.
Organisasi non pemerintah.
e.
Dunia usaha.
f.
Masyarakat
4.2
Sasaran akhir
a.
Keluarga.
b.
Anak.
Pengertian
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah model pembangunan kabupaten/kota
yang mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha dalam rangka memenuhi hak anak yang terencana secara menyeluruh
(holistik) dan berkelanjutan (sustainable) melalui pengarusutamaan hak anak
(PUHA).
6.
mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan
melindungi hak anak,
b.
prakarsa Kota tanpa Permukiman Kumuh (Cities without Slums) pada tahun
2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:
a.
b.
Aspek Filosofis
Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia secara filosofis telah mengamanatkan kepada kita
untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan
dan keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Makna kata bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung prinsip-prinsip nondiskriminasi, pemerataan, dan tidak ada dominasi monopoli kepentingan dalam
pembangunan dan kehidupan sosial khususnya bagi anak.
Tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota didasarkan pada ketentuan :
a.
b.
Aspek Sosiologis
Fenomena sosial yang ada memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif bagi
tumbuh kembang anak, terutama dalam kehidupan keluarga, teman sebaya,
masyarakat, media massa dan politik.
Pada kehidupan keluarga terjadi pelunturan nilai-nilai kekeluargaan;
merenggangnya hubungan antara anak dan orang tua; anak dengan anak; dan
antar keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan perlindungan anak belum
terpenuhi. Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai
ditinggalkan.
Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran
orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga. Beberapa
kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan
tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks bebas,
tindakan amoral dan asosial lainnya.
Pada kehidupan masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan,
serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini,
terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan lingkungan sekitar, sehingga hal ini
menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak kurang
optimal.
Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi
terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga
di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu tumbuh
kembang anak.
Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik sebagai
agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya.
Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian.
9.
Aspek Antropologis
Memudarnya nilai-nilai kebersamaan, paguyuban, dan kekerabatan, merupakan
salah satu faktor yang membuat menurunnya nilai-nilai yang selama ini
memberikan rasa nyaman bagi anak dalam masyarakat. Gejala ini tergambar dari
tanggungjawab masyarakat yang hanya lebih memfokuskan pada keluarga inti,
sehingga berbagai hal yang terjadi pada kerabat atau paguyuban kurang mendapat
perhatian pada masing-masing keluarga. Pranata sosial tidak mampu
mengakomodir kepentingan masyarakatnya, hal ini berdampak pada semakin
tidak optimalnya perlindungan anak.
Berkurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyebabkan
masyarakat menjadi tidak toleran dan lebih individual, sehingga akan muncul
kecemburuan sosial dengan persaingan yang tidak sehat. Lebih lanjut warga
menjadi semakin permisif dengan berbagai hal yang menyangkut nilai-nilai yang
48
selama ini tidak layak bagi anak. Kerentanan sosial juga berawal dari semakin
permisifnya atau semakin longgarnya nilai-nilai agama, adat istiadat, budaya dan
tata karma sosial dari para orang tua dan masyarakat terhadap berbagai kebiasaan
yang selama ini tidak layak dihadapi atau dilakukan oleh anak. Pengaruh
lingkungan sosial yang permisif ini sangat mempengaruhi kesejahteraan dan
perlindungan anak.Akibatnya, warga masyarakat dalam berinteraksi dengan
sesama lebih didasarkan kepada kepentingan dan bukan tumbuh sebagaimana
yang selama ini hidup dalam sebuah masyarakat yang komunal.
Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya
kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya
nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus
kepada kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya
yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.
10.
beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak
berorientasi pada kepentingan anak;
b.
c.
d.
b.
c.
49
11.
2)
a.
b.
b.
50
c.
3)
b.
c.
d.
perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain
yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan
agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;
e.
4)
f.
g.
b.
6)
a.
b.
c.
b.
c.
d.
e.
laki 2.161; Perempuan 121). Tahanan anak sebanyak 2.019 orang (Laki-laki
1.838; Perempuan 181). Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria
dan 1 lapas anak wanita.
Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik
dengan hukum maupun anak korban tindak pidana.
Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan
martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini,
penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus
terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya,
dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk
menghindari labelisasi.
dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya
masih belasan tahun.
Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara
psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang
sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan
tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual,
perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat
ditakuti anak-anak.
Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat
mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.
c) Anak Cacat
Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya
berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.
Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih
memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat
perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses
bagi anak cacat secara memadai.
Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai
warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya
diskriminasi pada anak cacat.
Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan
khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak
penyandang
cacat
mempunyai
hak
yang
san
antuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
d) Anak Jalanan
Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini
semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang
menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya
juga mempengaruhi.
Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek
eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat
rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.
8)
Kekuatan
a) Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Rativikasi
57
KHA.
Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak merupakan
kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong
pelaksanaan kebijakan KLA.
b) Peraturan Daerah
Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung,
secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak.
Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan
kebijakan KLA
c) Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana
strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga
pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas
dan keberlanjutannya.
b. Peluang
a)
c.
Hambatan
a)
58
STRATEGI
Menumbuhkan dan memaksimalkan peran kepemimpinan kabupaten/kota dalam
memenuhi hak anak.
Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang
anak.
Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif.
Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi,
perencanaan, monitoring dan evaluasi.
Membuat laporan tahunan kabupaten/kota tentang anak.
Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak.
Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan
masyarakat.
Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam
situasi khusus.
Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum.
59
INDIKATOR KEBERHASILAN
a. Prinsip Kota Layak Anak
Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun KLA:
1)
Non-diskriminasi;
Pelaksanaan dan pengembangan kebijakan KLA dilaksanakan dalam rangka
perlindungan anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin,
status social, asal daerah, kondisi pisik maupun psikis anak.
2)
3)
4)
1)
2)
Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk
perencanaan, penyusunan program, pemantauan dan evaluasi.
3)
Sosialisasi hak anak: menjamin adanya proses penyadaran hak anak pada
anak dan orang dewasa secara terus menerus.
4)
60
5)
6)
7)
8)
Institusi
Perlindungan
Anak:
Adanya
kelembagaan
mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.
yang
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
2)
4)
b.
c.
d.
e.
f.
62
a.
b.
c.
63
BAB V
INDIKATOR PROGRAM KLA
Indikator KLA dibagi dalam dua kategori yaitu indikator umum dan indikator khusus.
Indikator umum adalah dampak jangka menengah dan jangka panjang dari
pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
(KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota tidak
terlibat secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut. Dalam hal ini peran
KPP lebih pada pembuatan kebijakan agar tercipta suatu keadaan yang kondusif dalam
rangka mempercepat pencapaian indikator tersebut.
Indikator khusus adalah dampak jangka pendek dan jangka menengah dari
pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
(KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota terlibat
secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut.
Mengingat tugas pokok KPP antara lain adalah membuat kebijakan KLA dan
mempromosikan pelaksanaan kebijakan tersebut, maka indikator keberhasilan KLA
dapat dilihat dari aspek kebijakan dan aspek promosi pelaksanaan kebijakan yang
diklasifikasikan sebagai berikut:
Bidang Kesehatan
Jenis Pelayanan
Dasar
Pelayanan Dasar
Indikator
Cakupan kunjungan ibu hamil
Cakupan ibu hamil dengan komplikasi yang ditangani
Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan
64
Jenis Pelayanan
Dasar
Indikator
Cakupan pelayanan ibu nifas
Cakupan neonatal dengan komplikasi yang ditangani
Cakupan kunjungan bayi
Cakupan desa/kelurahan universal child immunization
(UCI)
Cakupan pelayanan anak balita*
Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada
anak usia 6-24 bulan keluarga miskin
Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan
Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan
setingkat
Cakupan peserta KB aktif
Cakupan penemuan dan penanganan penderita
penyakit
Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat
miskin
Pelayanan
kesehatan rujukan
Penyelidikan
epidemiologi dan
penanggulangan
KLB
Promosi kesehatan
dan pemberdayaan
masyarakat
65
5.1.2.
Bidang Pendidikan
Jenis Pelayanan
Dasar
Taman Penitipan
Anak, Kelompok
bermain
Indikator
Anak dalam kelompok 0-4 tahun mengikuti kegiatan
Tempat penitipan anak, kelompok bermain yang
sederajat
Jumlah anak usia 4-6 tahun yang belum terlayani pada
program PAUD jalur formal mengikuti program
PAUD jalur non formal
Guru PAUD jalur non formal telah mengikuti
pelatihan bidang PAUD
Jenis Pelayanan
Dasar
Indikator
keahliannya
Pendidikan Non
Formal
5.1.3.
Bidang Perlindungan
Jenis Pelayanan Dasar
Hak Identitas dan
Pencatatan
Indikator
Anak usia < 18 tahun tercatat kelahirannya
Anak usia < tahun memiliki Akta Kelahiran
Hak Partisipasi
Wadah partisipasi1
Perlindungan anak
dengan kecacatan
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2004-2009. Pada Bab 12 lampiran Perpres (Peningkatan Kualiatitas Kehidupan dan Peran
Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, khususnya pada Program Peningkatan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak). Huruf g. Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan
penyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan.
67
Indikator
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak2
Hotline 129
Perlindungan Anak
korban bencana
Children Center
Perlindungan Anak
berhadapan dengan
hukum
5.1.4.
Perlindungan Anak
korban eksploitasi
ekonomi dan seksual,
penculikan,
perdagangan anak
Perlindungan Anak
korban narkotika,
psikotropika, dan
Bahan adiktif lainnya
(Narkoba)
Perlindungan Anak
dari kelompok
minoritas
Bidang Infrastruktur5
Jenis Pelayanan
Dasar
Indikator
Rumah
Kondisi fisik
rumah
SKB antara
Menteri Sosial RI Nomor:
75/HUK/2002,
Menteri Kesehatan Nomor:
1329/ Menkes/SKB/X/2002, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor:
14/Men PP/Dep.V/X/2002, dan Kepala Kepolisian Negara RI, Nomor: B/3048/X/2002
tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
3
SKB antara Menteri Sosial RI Nomor: 75/HUK/2002, Menteri Kesehatan Nomor:
1329/ Menkes/SKB/X/2002, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor:
14/Men PP/Dep.V/X/2002, dan Kepala Kepolisian Negara RI, Nomor: B/3048/X/2002
tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
4
Standar Pelayanan Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika
Dan Bahan Adiktif Lainnya (Narkoba), Badan Narkotika Nasional, 2003.
5
Sumber: Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 tentang
Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Bidang Perumahan dan Permukiman
2
68
Jenis Pelayanan
Dasar
Indikator
Harga satuan (beli dan sewa)
Rumah layak huni
Lingkungan yang
aman, sehat,
harmonis dan
berkelanjutan)
Sarana lingkungan:
* Sarana pendidikan
* Sarana pelayanan
kesehatan
* Sarana ruang
terbuka (taman)
* Sarana sosial
budaya
Jangkauan pelayanan
* Zona Selamat
Sekolah
Utilitas Umum:
* Air minum
* Pemadam
kebakaran
Drainase
69
Jenis Pelayanan
Dasar
Indikator
Saluran air kotor
Tempat pembuangan sampah
5.1.5.
Indikator
Jumlah sumber air di hutan lindung yang dilindungi
Jumlah mata air di luar hutan lindung yang dilindungi
Jumlah kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai
kawasan penyangga
Pelayanan
pencegahan
pencemaran air
Pelayanan
pemulihan
pencemaran air
pada sumber air
Pelayanan
pencegahan
pencemaran
udara
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 197 Tahun 2004
Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Di Daerah Kabupaten
Dan Daerah Kota
6
70
Jenis Pelayanan
Dasar
Indikator
Kualitas udara yang memenuhi baku mutu udara ambient
sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Pelayanan
pencegahan dan
penanggulangan
dampak
lingkungan
akibat sampah
Pembuatan Kebijakan
Variabel yang diukur
Indikator Keberhasilan
Komitmen Pemerintah
Kabupaten/Kota
1.
Bidang hukum
1.
2.
3.
4.
5.
Peraturan daerah
Surat keputusan bupati/walikota
Instruksi bupati/walikota
Surat edaran bupati/walikota
Lainnya
Pemberdayaan
keluarga
4.
Partisimasi
masyarakat
5.
Pengorganisasian
KLA
Gugus tugas
KLA
Sekretariat GT
KLA
Forum Anak
P2TP2A
Jumlah P2TP2A
Perencanaan
Rencana Aksi
Daerah
5.2.2.
Indikator Keberhasilan
Komunikasi Informasi
dan Edukasi (KIE)
1. Bahan / Jenis KIE
1.
Poster
2.
Baliho
3.
Booklet/leaflet
4.
Sticker
72
5.
Iklan di media
cetak
6.
Iklan di
radio/tv
7.
Aksesibilitas
informasi di
website
8.
Lainnya
2. Distribusi bahan
KIE
1.
Poster
2.
Baliho
3.
Booklet/leaflet
4.
Sticker
5.
Iklan di media
cetak
6.
Iklan di
radio/tv
3. Advokasi
4. Sosialisasi
Paradigma lama anak dipandang dan diperlakukan sebagai asset atau faktor produksi yang dapat diberdayakan untuk
menambah penghasilan keluarga, dalam visi baru anak adalah unsur investasi yang memerlukan modal untuk
meningkatkan kualitasnya melalui pemenuhan haknya.
73
5. Fasilitasi
1.
Ketenagaan
2.
Keuangan
Sarana
Asistensi
74
75