Presentan:
Anggi Nuraeny 4151141508
Mediate Baskita G.
Dinar Riny N.
4151141432
4151141077
Partisipan:
I Wayan Yoga M 4151141512
Kuseti
4151141482
4151141494
A. Definisi
Fixed drug eruption adalah sebuah bentuk unik dari alergi obat yang menyebabkan erupsi
kulit, menghasilkan plak eritema-keunguan atau blister yang terjadi di kutis atau mukosa kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi dan berulang pada predileksi yang sama.
A. Epidemiologi
Amerika serikat
Prevalensi erupsi obat telah dilaporkan berkisar dari 2-5% untuk pasien rawat inap dan lebih besar
dari 1% untuk pasien rawat jalan. Fixed Drugs Eruption dapat menjelaskan sebanyak 16-21% dari
semua erupsi obat kulit.
Internasional
Prevalensi di internasional bermacam macam tetapi kemungkinan mirip dengan yang di Amerika
Serikat. Kebanyakan penelitian melaporkan erupsi obat tetap menjadi manifestasi kulit yang paling
umum kedua atau ketiga dari kejadian efek samping obat.
Ras
Fixed Drugs Eruption tetap tidak memiliki predileksi rasial dikenal. Sebuah kerentanan genetik
untuk mengembangkan erupsi obat tetap dengan peningkatan kejadian HLA-B22.
Jenis Kelamin
Satu studi besar menyataan 450 pasien mengungkapkan rasio laki-laki-perempuan adalah 1: 1
Usia
dilaporkan pada pasien termuda usia 1,5 tahun dan tertua 87 tahun. Usia rata-rata pada presentasi
adalah 30,4 tahun pada laki-laki dan 31,3 tahun pada wanita.
B. Etiologi
Kategori utama dari agen penyebab erupsi obat tetap termasuk antibiotik, antiepilepsi, agen antiinflamasi nonsteroid, dan fenotiazin, meskipun banyak agen lain dan makanan tertentu seperti
kacang mete dan licorice juga telah dilaporkan sebagai agen penyebab. Menelan agen penyebab
dapat terjadi melalui mulut, dubur, atau intravena.
Acetaminophen
Acyclovir
Allopurinol
Allylisopropylacetylurea
Amlexanox
Amoxicillin
Anticonvulsants
Articaine
Aspirin
Atenolol
Barbiturates
Botulinum toxin
Carbamazepine
Cashew nut
Ceftriaxone
Celecoxib
Cetirizine
Chloral hydrate
Chlordiazepoxide
Chlorhexidine
Chlormezanone
Chlorphenesin
carbonate
Citicoline
Clarithromycin
Clioquinol
Clopidogrel
Codeine
Colchicines
Cyclizine
Cyproterone acetate
Dextromethorphan
Dimenhydrinate
Diphenhydramine
Dipyrone
Docetaxel
Eperisone
hydrochloride
Erythromycin
Ethenzamide
Feprazone
Finasteride
Flecainide
Fluconazole
Fluoroquinolones
Foscarnet
Gabapentin
Griseofulvin
Hydroxyzine
Ibuprofen
Interferon
Iomeprol
Kakkon
Ketoconazole
Lactose
Liquorice
Lamotrigine
Lentils
Lomeprol
Lopamidoln
Loratadine
Lormetazepam
Magnesium
trisilicate
Mefenamic acid
Melatonin
Methaqualone
Metramizole
Metronidazole
Metaform
Minocycline
Multivitamins
Naproxen
Nimesulide
Omeprazole
Ondansetron
Opium alkaloids
Oxyphenbutazone
Paclitaxel
Pamabrom
Papaverine
Para-aminosalicylic acid
Penicillins
Phenazone
Phenolphthalein
Phenylbutazone
Phenylephrine
Phenylpropanolamine
Phenytoin
Pipemidic acid
Piroxicam
Procarbazine
Prochlorperazine
Pseudoephedrine
Quinine
Rifampin
Scopolia
Sodium benzoate
Strawberries
Sulfamethoxazole
Tartrazine
Terbinafine
Tetracyclines
Theophylline
Thiacetazone
Ticlopidine
Tinidazole
Tolfenamic acid
Tosufloxacin
Tranexamic acid
Trimethoprim
Tropisetron
/Inline table
A. Patogenesis
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi melalui
mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah mempunyai
hipersensitivitas terhadap obat tersebut disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya
obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau
metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya
jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks
hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat
berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coomb & Gell, suatu
reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur berikut ini:
A. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau golongannya.
Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi
seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya
syok anafilaktik dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan
melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens / prostaglandin) yang akan
menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim
respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru
mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast.
Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo
dan behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.
B. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II hipersensitivitas Gell-Coombs dicirikan oleh interaksi antigen-antibodi,
mengakibatkan produksi lokal anafilotoksin (C5a), leukosit polimorfonuklear (PMN) dan cedera
jaringan akibat pelepasan hidrolitik neutrofil enzim setelah autolisis. Reaksi tipe ini dapat
disebabkan oleh obat (antigen) dan memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen
yang melekat pada sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel
sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis
sel, sehingga reaksi tipe II disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Erupsi obat alergik yang
berhubugan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang
menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida,
analgesik, dan antipiretik.
C. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM) dalam
sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks
imun akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.
D. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell (APC), dan sel Langerhan yang
mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan
antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.
Pada FDE limfosit T CD8+ memiliki peranan penting dalam memediasi karakter lesi epidermal
yang terlokalisasi. Limfosit T CD8+ yang merupakan suatu efektor-fenotip memori terdeteksi
sepanjang dermoepidermal junction pada lesi kulit dan menetap di lokasi lesi kulit tersebut
meskipun lama setelah gejala klinis menghilang. Analisis sekuensial lesi FDE sebelum dan sesudah
resensitisasi dengan obat kausatif menunjukkan bahwa limfosit T CD8+ intraepidermal
berhubungan langsung dalam proses kerusakan epidermis. Limfosit T CD8+ tetap ada dalam
keadaan inaktif di di lesi kulit FDE yang telah sembuh dan teraktivasi jika obat kausatif dikonsumsi
kembali. Ketika limfosit T CD8+ teraktivasi, limfosit T CD8+ akan mengeluarkan interferon
gamma dan granula sitotoksik seperti granzyme B dan perforin. Sel mast juga berkontribusi
terhadap aktivasi limfosit T intraepidermal melalui induksi molekul adhesi sel di sekeliling
keratinosit melalui aksi dari TNF-. Aktivasi limfosit T intraepidermal cukup untuk mencetuskan
suatu reaksi tapi tidak cukup untuk menimbulkan kerusakan jaringan yang luas. Sitokin dan atau
molekul adhesi yang memediasi limfosit T CD4+ , T CD8+ dan neutrofil berkontribusi pada
kerusakan jaringan yang kemudian berkembang menjadi lesi FDE. Pada tahap lambat respon imun,
limfosit T regulator CD4+CD25+Foxp3+ masuk ke dalam lesi dan berpartisipasi dalam
mengendalikan reaksi imun. Mayoritas dari populasi sel yang teraktivasi bertanggung jawab pada
kerusakan epidermis. Walaupun demikian sejumlah limfosit T CD8+ intraepidermal dihambat
dalam kontribusi proses apoptosis oleh IL-5 yang disekresikan oleh sel keratinosit basal, yang
kemudian limfosit T CD8+ menetap di lokasi lesi sebagai limfosit T memori.
B. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling umum adalah makula atau plak eritem-keunguan bulat atau
lonjong, numular, terkadang terdapat vesikel atau bula pada tengah lesi, berbatas tegas. Predileksi
tersering di daerah bibir, tangan, badan, genitalia dan tungkai. Kemudian akan meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan menetap.1,2
Ciri khas FDE adalah timbul berulang pada tempat predileksi yang sama setelah
pajanan obat. Lesi awal biasanya soliter berupa makula eritem kemudian lesi menjadi
edem membentuk plak yang mungkin bisa menjadi bula dan erosi, tapi jika penderita
meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul kembali di tempat yang
sama disertai dengan lesi baru di tempat lain. Lesi yang sembuh berwarna coklat gelap
keunguan. Timbulnya kembali lesi di tempat yang sama menjelaskan arti kata fixed
pada nama penyakit FDE ini. Obat penyebab FDE tersering adalah fenolptalein
(laksatif), metronidazole, sulfonamid, barbiturat, anti inlamasi non-steroid, tetrasiklin,
naproxen, dan metamizol. Timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti
obat secara oral. Ukuran lesi mulai dari lentikuler sampai plakat sekitar (0.5-5 cm).
Gejala lokal yang dapat timbul pada FDE, yaitu rasa gatal, rasa terbakar, demam,
malaise, mual, dan muntah.1,2,3
C.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas. Hal-hal yang
harus diketahui melalui anamnesis, yaitu riwayat perjalanan penyakit yang rinci mengenai
hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat, termasuk pola gejala klinis yaitu
kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, macam obat
yang diminum, dosis obat, waktu, dan lama pajanan dari obat serta riwayat alergi obat sebelumnya.
Keluhan gatal dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. Pada kelainan klinis harus dilihat
adanya kelainan berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama akibat pemaparan obat dan
penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi
disebabkan oleh obat tersebut.
Gambar 5 Fixed Drug Eruption disebabkan oleh Tetrasiklin : Plak eritem pada lutut disertai dengan lesi satelit. Plak besar dengan
kerutan menandakan bahwa plak tersebut merupakan lesi yang baru. Ini merupakan lesi yang terjadi akibat konsumsi tetrasiklin ke
dua
D. Pemeriksaan Penunjang
dengan
menghentikan
penyebab terjadinya
penggunaan
keluhan. Selanjutnya
obat
dapat
yang
diduga
sebagai
dilakukan penanganan
sebagai berikut.
a. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah
kering atau basah. Pada lesi basah dapat diberikan kompres secara terbuka.
Pengompresan dilakukan 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai
menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut mengering bersama
penguapan. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lan larutan NaCl 0,9%
atau dengan larutan antiseptik ringan misalnya asam salisilat 1:1000. Pada
lesi kering dapat diberikan krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1%
atau 2,5%.
b. Sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik hingga saat ini masih kontroversial.
Namun menurut Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM, pemberian
kortikosteroid pada kasus erupsi obat berat memberikan respon yang positif.
Pada erupsi obat ringan, dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis 0,5
mg/kgBB/hari. Untuk erupsi obat berat diberikan kortikosteroid dengan dosis
1-4 mg/kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai efek samping
yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan peningkatan
gula darah. Pemberian antihistamin yang bersifat sedatif dapat diberikan jika
terdapat rasa gatal.
B. Komplikasi
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin dari FDE. Potensi untuk infeksi ada
dalam kasus lesi multipel erosi. Erupsi generaliata telah dilaporkan setelah pengujian provokasi
topikal dan oral.
C. Prognosis
Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut
serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila
penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.
DAFTAR PUSTAKA
1. Clinical Dermatology. Exanthems and Drug Eruption. Chapter 14. Page 574 -579
2. Windy KB. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sri LW, Kusmarinah B, Wresti I, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2016.
hal.193.
3. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Erupsi Obat
Alergik. Windy Budianti. Hal 193
4. Neil HS, Sandra RK. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Lowella G et al., editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill. 2012.
P.662-3.
5. American Academi of Dermatology. Drug Reaction. Available from:
https://www.aad.org/File%20Library/Global%20navigation/Education%20and
%20quality%20care/Medical%20student%20core%20curriculum/drug-reactionsmodule.ppsx. 2011.
6. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty S,
Rihatmaja R, eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:19-28.
7.
Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM, Greaves
MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel. 2000:307-35.
8. Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper J,
Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific Publication. 2000:1743-63.
9. Butler D. Fixed Drug Eruptions. http://emedicine.medscape.com/article/1336702overview. 2014