Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN PUSTAKA

FIXED DRUG ERUPTION (FDE)

Preseptor : dr. Agus Walujo, SpKK.,M.Kes


Kelompok XLVI-D

Presentan:
Anggi Nuraeny 4151141508
Mediate Baskita G.
Dinar Riny N.

4151141432

4151141077

Eni Siti Nuraeni 4151141009

Partisipan:
I Wayan Yoga M 4151141512
Kuseti

4151141482

Sauqi Nur Alifan Z

4151141494

Marsha Farasannia 4151141455

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2016

FIXED DRUG ERUPTION (FDE)

A. Definisi
Fixed drug eruption adalah sebuah bentuk unik dari alergi obat yang menyebabkan erupsi
kulit, menghasilkan plak eritema-keunguan atau blister yang terjadi di kutis atau mukosa kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi dan berulang pada predileksi yang sama.
A. Epidemiologi
Amerika serikat
Prevalensi erupsi obat telah dilaporkan berkisar dari 2-5% untuk pasien rawat inap dan lebih besar
dari 1% untuk pasien rawat jalan. Fixed Drugs Eruption dapat menjelaskan sebanyak 16-21% dari
semua erupsi obat kulit.
Internasional
Prevalensi di internasional bermacam macam tetapi kemungkinan mirip dengan yang di Amerika
Serikat. Kebanyakan penelitian melaporkan erupsi obat tetap menjadi manifestasi kulit yang paling
umum kedua atau ketiga dari kejadian efek samping obat.
Ras
Fixed Drugs Eruption tetap tidak memiliki predileksi rasial dikenal. Sebuah kerentanan genetik
untuk mengembangkan erupsi obat tetap dengan peningkatan kejadian HLA-B22.
Jenis Kelamin
Satu studi besar menyataan 450 pasien mengungkapkan rasio laki-laki-perempuan adalah 1: 1
Usia
dilaporkan pada pasien termuda usia 1,5 tahun dan tertua 87 tahun. Usia rata-rata pada presentasi
adalah 30,4 tahun pada laki-laki dan 31,3 tahun pada wanita.

B. Etiologi

Kategori utama dari agen penyebab erupsi obat tetap termasuk antibiotik, antiepilepsi, agen antiinflamasi nonsteroid, dan fenotiazin, meskipun banyak agen lain dan makanan tertentu seperti
kacang mete dan licorice juga telah dilaporkan sebagai agen penyebab. Menelan agen penyebab
dapat terjadi melalui mulut, dubur, atau intravena.
Acetaminophen

Acyclovir

Allopurinol

Allylisopropylacetylurea

Amide local anesthetics

Amlexanox

Amoxicillin

Anticonvulsants

Articaine

Aspirin

Atenolol

Barbiturates

Botulinum toxin

Carbamazepine

Cashew nut

Ceftriaxone

Celecoxib

Cetirizine

Chloral hydrate

Chlordiazepoxide

Chlorhexidine

Chlormezanone

Chlorphenesin
carbonate

Citicoline

Clarithromycin

Clioquinol

Clopidogrel

Codeine

Colchicines

Cyclizine

Cyproterone acetate

Dextromethorphan

Dimenhydrinate

Diphenhydramine

Dipyrone

Docetaxel

Eperisone
hydrochloride

Erythromycin

Ethenzamide

Feprazone

Finasteride

Flecainide

Fluconazole

Fluoroquinolones

Foscarnet

Gabapentin

Griseofulvin

Hydroxyzine

Ibuprofen

Interferon

Iodinated radiography contrast


media

Iomeprol

Kakkon

Ketoconazole

Lactose

Liquorice

Lamotrigine

Lentils

Lomeprol

Lopamidoln

Loratadine

Lormetazepam

Magnesium
trisilicate

Mefenamic acid

Melatonin

Methaqualone

Metramizole

Metronidazole

Metaform

Minocycline

Multivitamins

Naproxen

Nimesulide

Omeprazole

Ondansetron

Opium alkaloids

Oxyphenbutazone

Paclitaxel

Pamabrom

Papaverine

Para-aminosalicylic acid

Penicillins

Phenazone

Phenolphthalein

Phenylbutazone

Phenylephrine

Phenylpropanolamine

Phenytoin

Pipemidic acid

Piroxicam

Procarbazine

Prochlorperazine

Pseudoephedrine

Quinine

Rifampin

Scopolia

Sodium benzoate

Strawberries

Sulfamethoxazole

Tartrazine

Terbinafine

Tetracyclines

Theophylline

Thiacetazone

Ticlopidine

Tinidazole

Tolfenamic acid

Tosufloxacin

Tranexamic acid

Trimethoprim

Tropisetron

/Inline table

A. Patogenesis
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi melalui
mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah mempunyai

hipersensitivitas terhadap obat tersebut disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya
obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau
metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya
jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks
hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat
berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coomb & Gell, suatu
reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur berikut ini:
A. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau golongannya.
Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi
seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya
syok anafilaktik dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan
melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens / prostaglandin) yang akan
menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim
respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru
mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast.
Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo
dan behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.
B. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II hipersensitivitas Gell-Coombs dicirikan oleh interaksi antigen-antibodi,
mengakibatkan produksi lokal anafilotoksin (C5a), leukosit polimorfonuklear (PMN) dan cedera
jaringan akibat pelepasan hidrolitik neutrofil enzim setelah autolisis. Reaksi tipe ini dapat
disebabkan oleh obat (antigen) dan memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen
yang melekat pada sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantai komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel

sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis
sel, sehingga reaksi tipe II disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Erupsi obat alergik yang
berhubugan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang
menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida,
analgesik, dan antipiretik.
C. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM) dalam
sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks
imun akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.
D. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell (APC), dan sel Langerhan yang
mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan
antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.

Pada FDE limfosit T CD8+ memiliki peranan penting dalam memediasi karakter lesi epidermal
yang terlokalisasi. Limfosit T CD8+ yang merupakan suatu efektor-fenotip memori terdeteksi
sepanjang dermoepidermal junction pada lesi kulit dan menetap di lokasi lesi kulit tersebut
meskipun lama setelah gejala klinis menghilang. Analisis sekuensial lesi FDE sebelum dan sesudah
resensitisasi dengan obat kausatif menunjukkan bahwa limfosit T CD8+ intraepidermal
berhubungan langsung dalam proses kerusakan epidermis. Limfosit T CD8+ tetap ada dalam
keadaan inaktif di di lesi kulit FDE yang telah sembuh dan teraktivasi jika obat kausatif dikonsumsi
kembali. Ketika limfosit T CD8+ teraktivasi, limfosit T CD8+ akan mengeluarkan interferon
gamma dan granula sitotoksik seperti granzyme B dan perforin. Sel mast juga berkontribusi
terhadap aktivasi limfosit T intraepidermal melalui induksi molekul adhesi sel di sekeliling

keratinosit melalui aksi dari TNF-. Aktivasi limfosit T intraepidermal cukup untuk mencetuskan
suatu reaksi tapi tidak cukup untuk menimbulkan kerusakan jaringan yang luas. Sitokin dan atau
molekul adhesi yang memediasi limfosit T CD4+ , T CD8+ dan neutrofil berkontribusi pada
kerusakan jaringan yang kemudian berkembang menjadi lesi FDE. Pada tahap lambat respon imun,
limfosit T regulator CD4+CD25+Foxp3+ masuk ke dalam lesi dan berpartisipasi dalam
mengendalikan reaksi imun. Mayoritas dari populasi sel yang teraktivasi bertanggung jawab pada
kerusakan epidermis. Walaupun demikian sejumlah limfosit T CD8+ intraepidermal dihambat
dalam kontribusi proses apoptosis oleh IL-5 yang disekresikan oleh sel keratinosit basal, yang
kemudian limfosit T CD8+ menetap di lokasi lesi sebagai limfosit T memori.

B. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang paling umum adalah makula atau plak eritem-keunguan bulat atau
lonjong, numular, terkadang terdapat vesikel atau bula pada tengah lesi, berbatas tegas. Predileksi
tersering di daerah bibir, tangan, badan, genitalia dan tungkai. Kemudian akan meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan menetap.1,2

Gambar 1 Plak hiperpigmentasi multipel pada punggung dan


tangan

Gambar 2 Hiperpigmentasi fixed drug eruption pada bibir


atas

Ciri khas FDE adalah timbul berulang pada tempat predileksi yang sama setelah
pajanan obat. Lesi awal biasanya soliter berupa makula eritem kemudian lesi menjadi
edem membentuk plak yang mungkin bisa menjadi bula dan erosi, tapi jika penderita
meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul kembali di tempat yang
sama disertai dengan lesi baru di tempat lain. Lesi yang sembuh berwarna coklat gelap
keunguan. Timbulnya kembali lesi di tempat yang sama menjelaskan arti kata fixed
pada nama penyakit FDE ini. Obat penyebab FDE tersering adalah fenolptalein
(laksatif), metronidazole, sulfonamid, barbiturat, anti inlamasi non-steroid, tetrasiklin,
naproxen, dan metamizol. Timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti
obat secara oral. Ukuran lesi mulai dari lentikuler sampai plakat sekitar (0.5-5 cm).
Gejala lokal yang dapat timbul pada FDE, yaitu rasa gatal, rasa terbakar, demam,
malaise, mual, dan muntah.1,2,3

Gambar 3 Hiperpigmentasi FDE pada pasien yang


mengkonsumsi acetaminophen

C.

Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas. Hal-hal yang
harus diketahui melalui anamnesis, yaitu riwayat perjalanan penyakit yang rinci mengenai
hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat, termasuk pola gejala klinis yaitu
kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, macam obat
yang diminum, dosis obat, waktu, dan lama pajanan dari obat serta riwayat alergi obat sebelumnya.
Keluhan gatal dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. Pada kelainan klinis harus dilihat
adanya kelainan berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama akibat pemaparan obat dan
penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi
disebabkan oleh obat tersebut.

Gambar 5 Fixed Drug Eruption disebabkan oleh Tetrasiklin : Plak eritem pada lutut disertai dengan lesi satelit. Plak besar dengan
kerutan menandakan bahwa plak tersebut merupakan lesi yang baru. Ini merupakan lesi yang terjadi akibat konsumsi tetrasiklin ke
dua

D. Pemeriksaan Penunjang

Untuk membantu menegakkan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis


banding, dapat dilakukan biopsi kulit, uji tempel obat dan uji provokasi oral.
a. Uji Provokasi Oral
Uji provokasi oral adalah pemeriksaan baku emas memastikan penyebab
terjadinya Fixed Drug Eruptions. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda
dan gejala yang lebih ringan pada pemberian dosis kecil. Dosis obat yang
diberikan biasanya 1/10 dari obat yang diduga sebagai penyebab. Provokasi
biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Pemeriksaan ini harus dilakukan
dengan pengawasan petugas medis terlatih.
b. Biopsi Kulit
Biopsi kulit adalah pemeriksaan dengan mengambil sebagian kulit untuk
dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pengambilan jaringan dengan mengambil
pula pada bagian yang sehat disekitar jaringan yang sakit. Pemeriksaan
dilakukan di atas meja mikroskop untuk melihat adanya CD8 + T sel pada lesi.
Adanya CD8+ T sel sangat berkontribusi dalam perkembangan kerusakan dari
jaringan kulit pada kasus FDE.
c. Uji Tempel
Uji tempel obat adalah salah satu cara termudah untuk memeriksa
kelainan atopi dan sensitifitas terhadap alergi atas keberadaan antibodi IgE
spesifik. Pemeriksaan ini merupakan metode pendekatan diagnostik yang tepat
untuk mendeteksi sentisisasi IgE dan alergen hirup, makanan, hewan,
serangga, dan obat-obatan. Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk
mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah
jam setelah penempelan. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi

masih aktif maupun segera sesudahnya. Uji tempel sebaiknya dilakukan


sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.
A. Penatalaksanaan
Hal pertama yang harus dilakukan pada penanganan Fixed Drug Eruptions
adalah

dengan

menghentikan

penyebab terjadinya

penggunaan

keluhan. Selanjutnya

obat
dapat

yang

diduga

sebagai

dilakukan penanganan

sebagai berikut.
a. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah
kering atau basah. Pada lesi basah dapat diberikan kompres secara terbuka.
Pengompresan dilakukan 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai
menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut mengering bersama
penguapan. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lan larutan NaCl 0,9%
atau dengan larutan antiseptik ringan misalnya asam salisilat 1:1000. Pada
lesi kering dapat diberikan krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1%
atau 2,5%.
b. Sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik hingga saat ini masih kontroversial.
Namun menurut Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM, pemberian
kortikosteroid pada kasus erupsi obat berat memberikan respon yang positif.
Pada erupsi obat ringan, dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis 0,5
mg/kgBB/hari. Untuk erupsi obat berat diberikan kortikosteroid dengan dosis
1-4 mg/kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai efek samping
yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan peningkatan

gula darah. Pemberian antihistamin yang bersifat sedatif dapat diberikan jika
terdapat rasa gatal.
B. Komplikasi
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin dari FDE. Potensi untuk infeksi ada
dalam kasus lesi multipel erosi. Erupsi generaliata telah dilaporkan setelah pengujian provokasi
topikal dan oral.
C. Prognosis
Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut
serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila
penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.

DAFTAR PUSTAKA

1. Clinical Dermatology. Exanthems and Drug Eruption. Chapter 14. Page 574 -579
2. Windy KB. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sri LW, Kusmarinah B, Wresti I, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2016.
hal.193.
3. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Erupsi Obat
Alergik. Windy Budianti. Hal 193
4. Neil HS, Sandra RK. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Lowella G et al., editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill. 2012.
P.662-3.
5. American Academi of Dermatology. Drug Reaction. Available from:
https://www.aad.org/File%20Library/Global%20navigation/Education%20and
%20quality%20care/Medical%20student%20core%20curriculum/drug-reactionsmodule.ppsx. 2011.
6. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty S,
Rihatmaja R, eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:19-28.
7.

Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM, Greaves
MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel. 2000:307-35.

8. Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper J,
Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific Publication. 2000:1743-63.
9. Butler D. Fixed Drug Eruptions. http://emedicine.medscape.com/article/1336702overview. 2014

10. Rajan TV, The GellCoombs classification of hypersensitivity reactions: a re-

interpretation. TRENDS in Immunology 2003; 24(7):376-9.

Anda mungkin juga menyukai