TINJAUAN PUSTAKA
Sumawinata (2000): karies gigi adalah suatu penyakit jaringan keras gigi yang
diakibatkan oleh mikroorganisme pada karbohidrat yang dapat difermentasikan
sehingga terbentuk asam dan menurunkan pH dibawah pH kritis, sehingga terjadi
demineralisasi jaringan keras gigi.
Pine (1997): Tanda karies adalah terjadinya demineralisasi mineral email dan dentin
diikuti oleh disintegrasi bagian organiknya. Karies gigi adalah penghancuran
terlokalisasi dari jaringan gigi oleh mikroorganisme.
Kidd & Bechal (1991): Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu
email, dentin, dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam
suatu karbohidrat yang dapat diragikan.
1.2 White Spot
Daerah pada email yang terlihat lebih putih dari daerah sekelilingnya akibat
demineralisasi. Merupakan tanda awal proses karies yang dapat ditangkap oleh mata.
Terapinya adalah mengupayakan terjadinya remineralisasi
karies
terdiri
atas
perusakan
(demineralisasi)
dan
Demineralisasi
2.2.2
Remineralisasi
proses pelarutan tersebut. Ini dapat membangun kembali bagian-bagian kristal apatit yang
larut. Inilah yang disebut remineralisasi.
2.3 pH kritis terjadinya demineralisasi
Pada saat pH menurun, ion asam bereaksi dengan fosfat pada saliva dan plak (atau
kalkulus), sampai pH kritis disosiasi HA tercapai pada 5,5. Penurunan pH lebih lanjut
menghasilkan interaksi progresif antara ion asam dengan fosfat pada HA, menghasilkan
kelarutan permukaan kristal parsial atau penuh. Flouride yang tersimpan dilepaskan pada
proses ini dan bereaksi dengan Ca2+ dan HPO42-membentuk FA (Flouro Apatit). Jika pH
turun sampai dibawah 4,5 yang merupakan pH kritis untuk kelarutan FA, maka FA akan
larut. Jika ion asam dinetralkan dan Ca 2+ dan HPO42 dapat ditahan, maka remineralisasi
dapat terjadi.
Kurva yang menunjukan reaksi tingkat keasaman plak gigi saat dipicu oleh ada
atau tidaknya makanan.
2.5 Penyakit Sistemik yang Dapat Menyebabkan Karies
2.5.1
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus menaikkan resiko terjadinya karies dan jumlah karies. Tetapi
bila seorang penderita telah menyadari keadaannya dan menjalankan diet, karies bahkan
akan terjadi lebih sedikit dibandingkan rata-rata (A.H.B Schuurs, 1993).
2.5.2
Xerostomia
Xerostomia merupakan penyakit kurang produksi ludah. Hal ini jelas merupakan
berhubungan dengan karies gigi. Sekresi air ludah yang sedikit atau tidak ada sama sekali
memiliki prosentase karies yang tinggi.
2.5.3
Gastroesophageal Reflux
Gastroesophageal reflux merupakan kondisi dimana pada saat substrat yang masuk ke
dalam lambung dikembalikan dari lambung ke oesophagus. Hal ini dapat mengiritasi
oesophagus dan kemungkinan akan menimbulkan konplikasi lain, diantaranya adalah
masalah pada gigi dalam hal ini adalah karies.
Dimana zat asam lambung yang keluar ke dalam rongga mulut akan menurunkan
pH normal rongga mulut menjadi asam, dan akan meningkatkan resiko terjadinya karies
pada gigi
dengan panas, suhu yang dindin, dan makanan atau minuman yang manis. Karies gigi
dapat menyebabkan napas tak sedap dan pengecapan yang buruk. Dalam kasus yang
lebih lanjut, infeksi dapat menyebar dari gigi ke jaringan lainnya sehingga menjadi
berbahaya.
Tanda klinis awal terjadinya karies gigi ditandai dengan bercak putih (white spot).
Hal ini disebabkan karena terjadi pelepasan ion calcium dan phosphate dari enamel
prisma. Pada keadaan ini, permukaan gigi masih terlihat utuh. Hal ini sering ditemukan
pada area yang mudah tertimbun plak seperti area pit dan fissure serta di bawah kontak
point diantara gigi geligi. Bila proses berlanjut maka permukaan gigi akan pecah dan
terbentuklah karies, dan bila hal ini terjadi gigi tersebut harus dilakukan penambalan.
2.4.3 Perawatan
Dikarenakan white spot merupakan keadaan yang reversible, dia masih dapat
dihilangkan jika etiologinya dihilangkan. Penyikatan dan pembersihan gigi secara teratur
dengan pasta gigi bisa meningkatkan pH oral dan memicu proses remineralisasi gigi dan
menormalkan kadar kalsium fosfat dalam enamel (menghilangkan bercak putih/white
spot). Selain itu penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride juga dapat
meningkatkan kadar mineral gigi dan memicu remineralisasi untuk menormalkan email
dan menghilangkan white spot.
Gigi yang sudah menunjukan gambaran klinis white spot perlu dijaga kebersihan
dan perawatannya, karena apabila dibiarkan, proses demineralisasi akan meluas dan
menjalar ke struktur gigi yang lebih dalam dan jika ditambah dengan akumulasi bakteri
dari plak dapat menyebabkan karies dan pulpitis.
2.5 Patofisiologi Terjadinya Karies
2.5.1 Mekanisme Terjadinya Karies
Karies terjadi karena interaksi antara bakteri yang bersifat kariogenik, gigi (host),
karbohidrat, waktu, serta saliva. Bakteri yang menempel pada permukaan bergula akan
menghasilkan asam yang dapat melarutkan permukaan struktur gigi, seperti enamel,
sehingga terjadi proses demineralisasi. Demineralisasi merupakan proses awal karies.
Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya dental plaque/biofilm di
permukaan gigi. Plak/ biofilm merupakan kumpulan dari mikroba baik yang masih hidup
atau sudah mati bersama dengan produk ekstraselulernya, serta senyawa terutama berasal
dari saliva host (samaranayake: 261).
Apabila sisa makanan terus menumpuk maka karbohidrat terutama sukrosa akan
disintesis
oleh
bakteri.
Streptococcus
mutans
akan
menghasilkan
enzim
mengakibatkan berbagai variasi karies pada gigi. Hal tersebut dipengaruhi oleh:
a. pH pada permukaan gigi yang dapat mempengaruhi perubahan metabolisme
pada plak.
b. adanya karbohidrat (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) yang dapat menstimulasi
proses metabolisme
Ketika ketersediaan karbohidrat hanya sedikit selama bakteri melakukan
metabolisme, bakteri tidak dapat melakukan metabolisme secara maksimal. dengan
demikian pH pada daerah permukaan gigi tersebut akan terus meningkat dan terjadilah
pemakaian
Pada anak-anak, kerusakan berjalan lebih cepat dibanding orang tua, hal ini
disebabkan:
1) Email gigi yang baru erupsi lebih mudah diserang selama belum selesai
maturasi setelah erupsi (meneruskan mineralisasi dan pengambilan flourida)
yang berlangsung terutama 1 tahun setelah erupsi.
2) Remineralisasi yang tidak memadai pada anak-anak, bukan karena perbedaan
fisiologis, tetapi sebagai akibat pola makannya (sering makan makanan kecil)
3) Lebar tubuli pada anak-anak mungkin menyokong terjadinya sklerotisasi
yang tidak memadai
4) Diet yang buruk dibandingkan dengan orang dewasa, pada anak-anak
terdapat jumlah ludah dari kapasitas buffer yang lebih kecil, diperkuat oleh
aktivitas proteolitik yang lebih besar di dalam mulut.
organik
ini.Proteolisis
juga
disertai
pembentukan
membentuk asam dari substrat karbohidrat, dan bakteri tertentu dapat merusak
protein jika tidak ada karbohidrat, karena itu terdapat dua tipe lesi karies.Pada
tipe I, bakteri menginvasi lamela email, menyerang email dan dentin sebelum
tampak adanya gejala klinis karies. Pada tipe II, tidak ada lamela email, hanya
terdapat perubahan pada email sebelum terjadi invasi mikroorganisme.
Perubahan email ini terjadi akibat dekalsifikasi email oleh asam yang dibentuk
oleh bakteri dalam plak gigi di atas email. Lesi awal ini disebut juga chalky
enamel.
2.5.2.4 Teori Phosphoprotein
Teori ini berdasarkan eksperimen, dimana dijelaskan bahwa bakteri plak
diproduksi enzim-enzim yang mampu untuk melepaskan phosphate dari
phosphoprotein enamel. Yang menjadi pelepas pada protein ini bertugas untuk
mengurangi matriks enamel yang rusak.
2.6 Klasifikasi Karies
2.6.1 Berdasarkan Kedalamannya
2.6.1.1 Karies Insipiens
Bila karies baru pada permukaan lapisan email, biasanya belum terjadi rasa nyeri.
Hanya ada pewarnaan hitam atau cokelat pada enamel. Perawatan pada kasus ini cukup
sederhana, dokter gigi akan membersihkan jaringan karies kemudian menutupnya dengan
bahan restorasi amalgam atau bahan yang lebih baru yang sewarna dengan gigi, yaitu
resin komposit secara langsung.
2.6.2
Berdasarkan Lokasi
2.6.2.1 Karies Pit Dan Fisur
Terbentuk dipermukaan oklusal molar dan premolar, permukaan bukal dan lingual
molar dan permukaan lingual insisifus maksila. Pit dan fisur pada awal proses karies
tampak coklat atau hitam dan terasa agak lembut. Proses ini berlanjut melalui penyebaran
lateral karies pada batas dentin dan email sehinggan dapat terbantuk lubang besar di
bawah email.
2.6.2.2 Karies Permukaan Halus
Timbul pada permukaan proksimal gigi dan sepertiga ginggival permukaan bukan
dan lingual. Karies ini jarang timbul pada bagian lain, kecuali pada gigi yang malformasi
atau malposisi. Biasanya diawali pembentukan plak gigi.
2.6.2.3 Karies Akar
Terjadi karena terbukanya akar gigi akibat perpindahan margin ke posisi apikal
dari CEJ ( resesi ginggiva ). Pada keadaan resesi ginggiva plak mudah berakumulasi di
permukaan sementum dan jika ditambah diet kariogenik dapat menimbulkan asam yang
dapat mengakibatkan karies.
2.6.3
Berdasarkan Kejadian
2.6.3.1 Karies Kronis
Karies yang terbentuk dengan lambat dan terjadi pewarnaan kecoklatan hingga
kehitaman. Karies ini dicirikan dengan rasa ngilu yang ringan, tajam, dan singkat
( biasanya akibat adanya rangsangan panas, atau dingin, manis atau terkena makanan).
Karies ini dapat memburuk menjadi gejala akut.
2.6.3.2 Karies Akut
Karies yang berkembang dan memburuk dengan cepat. Biasanya ditandai dengan
rasa ngilu yang berat, tumpul, dan lama. Rasa ngilu ini sering datang pada saat akan tidur
dan datang tanpa adanya rangsangan. Terkadang obat-obatan penghilang rasa ngilu sudah
tidak berfungsi lagi.
2.6.3.3 Karies Terhenti
Karies yang menjadi statis dan tidak menunjukkan perkembangan yang lebih
lanjut.
2.6.4
sudut incisal. Lesi kelas IV seringkali hasil dari lesi kelas III yang menjadi lebih
luas dimana sudut gigi yang digali hancur. Bentuk kerusakan yang mirip terjadi saat
sudut gigi fraktur dikarenakan sentakan mulut. Kehilangan dari sudut incisal jelas
terlihat secara klinis. Radiograf tidak dibutuhkan untuk mendeteksi lesi kelas IV ni,
tetapi dapat berguna untuk menentukan kedalaman lesi relatif terhadap proksimal
rongga pulpa.
Lesi kelas V paling baik dideteksi dengan pemeriksaan visual secara hatihati pada daerah halus ginggiva pada mahkota gigi dengan pencahayaan yang baik
untuk melihat tampilan yang putih pucat dan nodanya, seringkali dengan kavitas
pada permukaan enamel. Lesi ini dapat meluas sedikit ke daerah apikal ke level
inflamasi ginggiva. Area kavitas atau depresi yang lain yang berlokasi pada
mahkota dan permukaan akar berdekatan mencakup kerusakan yang dibentuk dari
erosi asam atau dari abrasi dan prosesnya diketahui sebagai abfraksi (kehilangan
struktur kekasaran permukaan dimana muncul mirip abrasi tetapi ini disebabkan
oleh fleksura atau lekukan gigi yang disebabkan tekanan olusal yang berat. Sejalan
dengan akar terlihat pada lingkungan mulut karena resesi ginggiva, sementum yng
kurang dimineralisasi dibandingkan enamel, lebih rentan terhadap karies daripada
enamel. Hasilnya adalah karies akar, sebuah kondisi yang terjadi lebih sering pada
populasi kita.
Size 0 : lesi awal sebagai tanda telah terjadinya demineralisasi ( harus dialkukan
Site
Size
Minimal
site1-
1
Pit & Fissure
Moderate
Enlarged
Extensive
1.1
1.2
1.3
1.4
2.1
2.2
2.3
2.4
3.1
3.2
3.3
3.4
1
Aproksimal
2
Servikal
3
size 1 (1.1) : pada 1 area pada fit dan fissure .Dilakukan kombinasi antara restorasi dan fit
and fissure sealant pada bagian fissure lain.
site 1-size2 (1.2) : lesi sedang ,semua fit dan fissure terlibat .
site 1-size 3(1.3) : lesi besar dan melibat kan satu atau lebih dari satu cusp.
site 1-size 4(1.4) : lesi lebih luasdan disertai dengan kehilanga satu atau lebih
luas degan kerusakan di sudut insisal yang dalam pad a gigi anterior.
Site 2 size 4 (2.4) : kehilangan setidaknya 1 cusp pada gigi
posterior.Kerusakan yang luas pada tepi insisal gigi anterior.Bisa karena
karies / traum
Site 3 size1 (3.1) : karies aktif tahap awal / gigi rusak non karies didaerah
permk.akar)
site 3 size 4 (3.4) : karies lanjutan / kerusakan gigi non karies di tepi/batas
servikal pada gigi manapun.Dan lebih dari 1 permukaan yang terlibat.
pencegahan dari tiga tipe lesi yang berbeda ini sebaiknya memperhitungkan faktor etiologik yang
berbeda di tiap tempatnya.
Pits and fissures. Pit dan fissure gigi yang baru erupsi biasanya terkolonisasi oleh bakteri
dengan cepat. Penduduk koloni membentuk bacterial plug yang menetap untuk waktu yang
lama, bahkan sepanjang hidup gigi tersebut. Tipe dan asal organisme yang terdapat di rongga
mulut menentukan tipe organisme yang berkoloni pada pit dan fissure serta menolong dalam
menentukan outcome dari kolonisasi tersebut. Banyak coccus gram positif, khususnya S.
sanguis, yang ditemukan pada pit dan fissure gigi yang baru erupsi, sedangkan Streptococcus
mutan biasanya ditemukan pada pit dan fissure gigi karies.
Bentuk pit dan fissure berkontribusi dalam kerentanan gigi terhadap karies. Pit yang
panjang dan sempit menghalangi pemeriksaan visual dan taktil (lih Fig. 7.1). Terdapat banyak
variasi bentuk dalam struktur ini. Beberapa akhir pit dan fissure tidak terlihat, ada yang terbuka
dekat ke dentin, dan ada yang masuk seluruhnya ke dalam enamel.
FIG. 2.7.1 Developmental pits, grooves, and fissures on the crowns of the teeth
can have complex and varied anatomy. A and B, The facial developmental groove
of the lower first molar often terminates in a pit. The depth of the groove and the
pit is highly variable. C and D, The central groove extends from the mesial pit to
the distal pit. Sometimes grooves extend over the marginal ridges. E, The
termination of pits and fissures may vary from a shallow groove (a) to complete
penetration of the enamel (b). The end of the fissure may end blindly (c) or open
into an irregular chamber (d).
Karies pada pit dan fissure meluas seiring karies masuk ke dalam enamel. Dengan
demikian, entry site dapat terlihat jauh lebih kecil daripada lesi sebenarnya sehingga menyulitkan
diagnosis klinis. Lesi karies pada pit dan fissure berkembang dari serangan pada dinding (lih Fig.
7.2, A sampai C). Progres disolusi dinding lesi pit dan fissure ini mirip dengan lesi smoothsurface karena ada area serangan permukaan yang luas dan melebar ke dalam, sejajar dengan
enamel rods. Occlusal enamel rods bengkok ke bawah dan berakhir pada dentin di bawah
developmental enamel fault. Dengan demikian, lesi yang awalnya berasal dari pit dan fissure
menyerang area DEJ yang lebih luas daripada lesi yang berasal dari smooth-surface.
Penampakan lesi pit dan fissure sebagai V terbalik dengan entrance sempit dan area terlibat yang
lebih luas dekat dengan DEJ (lih Fig. 7.2).
FIG 2.7.2 Progression of caries in pits and fissures. A, The initial lesions develop on the lateral
walls of the fissure. Demineralization follows the direction of the enamel rods, spreading
laterally as it approaches the DEJ. B, Soon after the initial enamel lesion occurs, a reaction can
be seen in the dentin and pulp. Forceful probing of the lesion at this stage can result in damage to
the weakened porous enamel and accelerate the progression of the lesion. Clinical detection at
this stage should be based on observation of discoloration and opacification of the enamel
adjacent to the fissure. These changes can be observed by careful cleaning and drying of the
fissure. C, Initial cavitation of the opposing walls of the fissure cannot be seen on the occlusal
surface. Opacification can be seen that is similar to the previous stage. Remineralization of the
enamel because of trace amounts of fluoride in the saliva may make progression of pit-andfissure lesions more difficult to detect. D, Extensive cavitation of the dentin and undermining of
the covering enamel will darken the occlusal surface.
Smooth Enamel Surfaces. Smooth enamel surface menyediakan tempat yang lebih tidak
ideal bagi penempelan plak. Plak biasanya berkembang hanya pada smooth surface yang
berdekatan dengan gusi atau di bawah kontak proksimal. Permukaan proksimal rentan caries
karena plak terlindung. Lesi yang berawal dari smooth enamel surface memiliki area yang luas
dan ekstensi yang berbentuk kerucut atau runcing terhadap DEJ. Setelah karies memasuki DEJ,
pelunakkan dentin menyebar secara cepat ke arah lateral dan ke arah pulpa (lih Fig. 7.3).
FIG 2.7.3 Longitudinal sections (see insetfor A) showing initiation and progression of caries on
interproximal surfaces. A, Initial demineralization (indicated by the shading in the enamel) on
the proximal surfaces is not detectable clinically or radiographically. All proximal surfaces are
demineralized to some degree, but most are remineralized and become immune to further attack.
The presence of small amounts of fluoride in the saliva virtually ensures that remineralization
and immunity to further attack will occur. B, When proximal caries first becomes detectable
radiographically, the enamel surface is likely to still be intact. An intact surface is essential for
successful remineralization and arrest of the lesion. Demineralization of the dentin (indicated by
the shading in the dentin) occurs before cavitation of the surface of the enamel. Treatment
designed to promote remineralization can be effective up to this stage. C, Cavitation of the
enamel surface is a critical event in the caries process in proximal surfaces. Cavitation is an
irreversible process and requires restorative treatment/correction of the damaged tooth surface.
Cavitation can only be diagnosed by clinical observation. The use of a sharp explorer to detect
cavitation is problematic because excessive force in application of the explorer tip during
inspection of the proximal surfaces can damage weakened enamel and accelerate the caries
process by creating cavitation. Separation of the teeth can be used to provide more direct visual
inspection of suspect surfaces. Fiber-optic illumination and dye absorption are also promising
new evaluation procedures, but neither is specific for cavitation. D, Advanced cavitated lesions
require prompt restorative intervention to prevent pulpal disease, limit tooth structure loss, and
remove the nidus of infection of odontopathic organisms.
Root Surface. Root surface lebih kasar daripada enamel dan dengan segera
menyebabkan formasi plak ketika tidak ada kebersihan mulut yang baik. Sementum yang
melapisi akar sangat tipis dan hanya memiliki sedikit ketahanan terhadap serangan karies. Lesi
root caries memiliki pinggiran yang tidak jelas, cenderung berbentuk U, dan berkembang lebih
cepat karena tidak ada proteksi dari enamel. Beberapa tahun terakhir, prevalensi root caries
meningkat secara signifikan karena meningkatnya jumlah lanjut usia yang mengalami resesi gusi
dan terdapat plak kariogenik pada permukaan akar yang terbuka.
ekstraseluler dari liquid ke gel. Gel membatasi pergerakan dari beberapa ion. Tebalnya gel-plak
karbohidrat
terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet
banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau tidak mempunyai karies gigi
Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa karbohidrat memegang peranan penting dalam
terjadinya karies.Kecepatan pembentukan plak tergantung dari konsistensi, jenis dan keras
lunaknya makanan.
Penelitian membuktikan bahwa penambahan karbohidrat pada makanan dapat
menyebabkan pembentukan plak yang sangat tebal.Berbeda dengan plak yang dibentuk tanpa
karbohidrat, hanya menyebabkan lapisan plak tipis.Penumpukan plak sangat tebal pada diet
dengan sukrosa disebabkan oleh pembentukan ekstraseluler matriks (dekstran) yang dihasilkan
dari pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
Makanan lunak yang tidak memerlukan pengunyahan mempunyai sedikit atau tidak
mempunyai efek membersihkan pada gigi geligi.
Karbohidrat yang hampir selalu ditemui dalam jumlah yang tinggi pada makanan,
memegang peranan penting dalam pembentukan plak.
Glukosa dengan bantuan S.mutans membentuk dekstran, yaitu matriks yang melekatkan
bakteri pada enamel gigi.Fruktosa juga dipecah dengan bantuan mikroorganisme plak menjadi
levan sebagai sumber bahan makanan mikroorganisme plak apabila kekurangan karbohidrat
dalam mulut.Enzim yang memecahkan glukosa ini oleh Trautner dan Treasure disebut dengan
enzim glukosil transferase dan enzim fruktosil transferase dalam menghasilkan polisakarida
ekstraseluler.
Sifat dekstran yang penting adalah sifat adhesif, yaitu molekul-molekul melekat erat
pada hidroksiapatit gigi dan tidak larut oleh saliva sehingga dengan dekstran ini, di samping
glikoprotein dari saliva, akan memperkuat perlekatan dan kolonisasi mikroorganisme.Beberapa
penelitian mengatakan bahwa ada hubungan erat antara pemakaian karbohidrat yang diolah
secara berlebihan dengan meningkatnya karies gigi. Menurunnya kegiatan karies sesuai dengan
berkurangnya pemakaiankarbohidrat.Dalam penelitian para ahli, diperoleh beberapa resume
mengenai hubungan karies dengan karbohidrat, yaitu :
a. Mengonsumsi gula dapat memperhebat aktivitas karies gigi.
b. Kemungkinan terjadi karies dengan mengonsumsi gula diperbesar lagi jika gula tersebut
dimakan dalam bentuk mudah melekat pada gigi.
c. Kemungkinan terjadi karies diperbesar lagi bila gula tersebut dimakan tidak pada waktu
makan.
d. Bila makanan yang dikonsumsi tidak mengandung gula, aktivitas karies berkurang.
2. Tingkatkan ketahanan gigi
Pit dan Fisur adalah daerah rawan karies sehingga cara mudah untuk melindunginya
dengan melakukan penambalan resin atau fissure sealant.
Fluor adalah bahan yang terdapat dalam makanan dan air minum, fluor ini merupakan
bahan mineral yang terdapat didalam tanah. Sumber-sumber utama dari fluor ini adalah air
terutama air dari sumur-sumur yang dalam
Pencegahan karies dengan pemakaian fluor ini dapat dilakukan secara sistemik yaitu
dengan memfluoridasikan minuman sedangkan secara lokal yaitu dengan berkumur-kumur
memakai larutan fluor.
3. Hilangkan Plak Bakteri
Mengevaluasi dan meningkatkan kebersihan mulut perlu dilakukan mengingat banyak hal
mempengaruhi kebersihan rongga mulut.Beberapa diantaranya adalah pemilihan sikat gigi,
metode aplikasi menyikat gigi serta frekuensi dan lama menyikat.Menjaga kebersihan rongga
mulut harus dilakukan secara rutin baik sebelum atau sesudah makan dan malam hari sebelum
tidur.
Pendekata modern untuk mendiagnosis karies sebaiknya tidak terfokus pada adanya lesi saja,
tetapi harus mencakup faktor-faktor yang mengarah terbentuknya lesi. Menurut WHO (1992)
pendekatan tersebut sebaiknya terdiri atas tahap-tahap sebagai berikut:
Pemeriksaan klinik dan radilogik untuk mendeteksi lesi dini atau adanya kavitas
Perawatan karies
Program pemeliharaan
Selanjutnya untuk memprediksi terjadinya karies, sekarang telah berkembang tes aktivitas
karies. Jumlah Streptococcus mutans dan Lactobacillus serta kecepatan sekresi dan kapasitas
buffer saliva adalah jenis pemeriksaan yang dapat menentukan risiko seseorang terhadap karies
(Newbrun, 1989). Di masa mendatang pemeriksaan untuk menentukan karies akan lebih maju,
dan mungkin lebih banyak dilakukan baik dengan berbagai macam tes aktivitas karies maupun
dengan radiografi dan sinar laser.
WHO (1992) menganjurkan pendekatan yang lebih konservatif pada lesi dengan kavitas dan
disesuaikan dengan keparahan lesi sebagai berikut:
Karies dini
Kavitas inisial
2.10 Kode Penyakit Karies dan Periodontal dalam Kasus sesuai ICD-X
ICD-X
International Statistical Clasification of Disease and Related Health Problem Tenth
Revision (ICD-10) adalah klasifikasi penyakit yang disusun berdasarkan sistem pengkategorian
penyakit yang penataannnya sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh WHO. ICD digunakan
untuk menerjemahkan suatu diagnose penyakit dan masalah kesehatan dari kata-kata menjadi
kode numerik, dengan tujuan memungkinkan untuk membuat catatan yang sistematis, analitik,
menerjemahkan dan membandingkan peristiwa penyakit dan kematian yang telah dikumpulkan
diberbagai tempat dan Negara pada saat yang berlainan, sehingga memudahkan untuk disimpan
dan dicari serta dianalisis kembali. Standar klasifikasi diagnosa internasional bertujuan untuk
epidemiologi umum dan manajemen kesehatan.
Pengembangan Klasifikasi penyakit pertamakali dilakukan oleh William Farr (1856)
dengan pengklasifikasian menjadi 5 kelompok yaitu :
Penyakit epidemic
Cedera.
Berdasarkan kasus ini, diketahui bahwa pasien menderita karies dan periodontitis.
Kode penyakit tersebut berdasarkan ICD-X adalah :
Karies
: K 02
Karies profunda
: K02,9
Periodontitis akut
: K05.2
:
Perawatan
Struktur gigi yang rusak tidak dapat sembuh sempurna, walaupun remineralisasi pada
karies yang sangat kecil dapat timbul bila kebersihan dapat dipertahankan.Perawatan ini
bertujuan untuk mencegah perusakan lebih lanjut.
Jika karies berhenti sebelum mencapai dentin, maka email bisa membaik dengan
sendirinya dan bintik putih di gigi akan menghilang. Jika karies telah mencapai dentin, maka
bagian gigi yang membusuk harus diangkat dan diganti dengan tambalan (restorasi). Jika karies
menyebar sampai ke pulpa, satu-satunya cara untuk menghilangkan nyeri adalah mengangkat
pulpa melalui saluran akar (endodontik) atau mencabut gigi.
Jenis Perawatan
1. Karies Kelas I
Beberapa lesi karies kelas I sulit untuk dibedakan dengan kerusakan enamel non
karies yang dalam. Indikasi untuk dilakukan restorasi terlihat jika terdapat rasa sentakan
pada pit atau fissure yang dikelilingi oleh enamel yang berwarna seperti kapur atau tidak
translusen.
Seiring dengan waktu, karies akan semakin terlihat jelas melalui hasil sinar X, dan
apabila sudah terlihat jelas sangat diperlukan untuk dilakukan restorasi. Tetapi apabila
karies itu hanya sedikit dan tanpa bukti yang jelas, maka dokter gigi harus bisa
2. Karies Kelas II
Secara klinis, lesi kelas II secara jelas kavitasnya (lubang atau kerusakan)
membutuhkan restorasi.Pada hasil sinar X mengindikasikan kebutuhan restorasi apabila
lesi tersebut telah menembus dari DEJ hingga ke dentin. Apabila lesinya hanya
berukuran kecil dan masih terkurung di bagian enamel pada pemeriksaan sinar X, maka
dokter gigi harus mempertimbangkan riwayat penyakit gigi pasien, kebersihan bulut, dan
usia untuk menentukan apakah bisa di restorasi sekarang atau membutuhkan
pemeriksaan berkala. Penggunaanfluoride dan fluoride varnish dapat meningkatkan
potensi untuk mecegah lesi.
3. Karies Kelas III
Indikasi pada karies kelas III ini sama dengan indikasi pada karies kelas II, yaitu
ketika permukaan terdapat kavitas atau kebusukan sampai pada dentin sebagaimana
terlihat pada sinar X atau transillumination, membutuhkan restorasi.
4. Karies Kelas IV
Restorasi pada karies kelas IV terindikasi ketika karies aktif terdeteksi. Karies
kelas IV ini terindikasi untuk mendapatkan restorasi, dikarenakan pojok gigi terdapat
kerusakan terutama fraktur yang diakibatkan oleh kecelakaan. Oleh karena itu, fraktur
yang meluas, kedekatan fraktur dengan ruang pulpa, sensitif dengan perubahan suhu, dan
estetika sangat penting untuk dilakukannya restorasi. Apabila frakturnya tidak sampai ke
dentin, menghaluskan tepi saja sudah cukup. Tetapi apabila sampai ke dentin atau
terdapat
kebusukan,
restorasi
sangat
dibutuhkan
terutama
untuk
mencegah
5. Karies Kelas V
Tidak semua area di cervical pada gigi yang mempunyai kavitas dan bernoda
putih atau hitam membutuhkan restorasi kelas V. Jika area yang mengalamin kebusukan
dapat merespon fluoride dan dapat meningkatkan tingkat kebersihan mulutnya, dan tentu
saja terjadi remineralisasi, restorasi tidak diperlukan.Restorasi lesi kelas V diperlukan
ketika struktur gigi memiliki kavitas atau kerusakan non karies (abrasi) terjadi pada gigi
dan jika gigi ini sensitive serta tidak dapat merespon desensitizing agents.Hal ini
diperburuk jika lesi ini sangat dalam dan tidak bisa dibersihkan, serta tingkat kebersihan
mulutnya sangat rendah.
Lesi kelas V sangat memungkinkan dalam berhubungan dengan lesi kelas II.Restorasi
gigi ini membutuhkan dua kali preparasi secara terpisah (yang pertama adalah untuk
menghilangkan karies kelas II dan yang satunya untuk menghilangkan karies kelas V).
Selain itu, perawatan dari karies gigi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perawatan
dental karies ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi.
a. Penambalan (filling)
Dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih lanjut.Ini merupakan penambalan biasa
yang dilakukan pada karies yang ditemukan saat iritasi atau hyperemia pulpa.Bahan yang
digunakan yaitu amalgam, resin komposit, dan glass ionomer. Penambalan dengan inlay
juga dapat dilakukan.
b. Perawatan Saluran Akar (PSA) atau Root Canal Treatment
Dilakukan bila sudah terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa.
c. Ekstraksi Gigi
Merupakan pilihan terakhir dalam perawatan karies gigi.Dilakukan bila jaringan gigi
sudah sangat rusak sehingga tidak dapat direstorasi.Gigi yang telah diekstrasi perlu
diganti dengan pemasangan gigi palsu (denture), implant, atau jembatan (bridge).
Volume saliva yang disekresikan setiap hari diperkirakan antara 1,0-1,5 Liter.
Seperti yang telah diketahui, bahwa saliva disekresi oleh kelenjar parotis,
submandibularis, sublingualis dan kelenjar minor. Pada malam hari, kelenjar parotis sama
sekali tidak berproduksi. Jadi, sekresi saliva berasal dari kelenjar submandibularis, yaitu
lebih kurang 70% dan sisanya (30%) disekresikan oleh kelenjar sublingualis dan kelenjar
ludah minor. Sekresi saliva dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima oleh
kelenjar saliva. Rangsangan tersebut dapat terjadi melalui jalan berikut:
Sekresi saliva sebenarnya tidak tergantung pada umur, tetapi pada efek
samping
dari
obat-obatan tertentu yang dikonsumsi sehingga mengurangi aliran saliva. Sekresi saliva
yang berkurang akan mengakibatkan mulut kering, penurunan pengecapan, kesukaran
mengunyah dan menelan makanan, timbulnya keluhan rasa sakit pada lidah dan mukosa,
juga dapat menyebabkan karies dan kehilangan gigi. Sedangkan sekresi saliva yang
berlebihan, yang ditandai dengan sekresi saliva encer seperti air yang keluar terusmenerus sehingga mengakibatkan sudut mulut meradang (angular cheilitis) dan
dermatitis.
c. pH dan sistem buffer saliva
pH dan kapasitas buffer saliva memiliki hubungan yang signifikan. Hubungan ini dilihat
dari adanya hubungan secara statistik antara kapasitas buffer saliva yang tinggi pada
saliva yang tidak distimulasi dan tingkat karies rendah.
1. Mekanis : mengunyah permen karet ataupun makanan yang keras
2. Kimiawi : rangsangan rasa seperti asam, manis, asin, pahit dan juga pedas
3. Psikis : stres yang akan menghambat sekresi saliva, dapat juga karena membayangkan
makanan yang enak sehingga sekresi saliva meningkat.
4. Neural : rangsangan yang diterima melalui sistem saraf otonom baik simpatis maupun
parasimpatis.
5. Rangsangan rasa sakit: misalnya karena adanya peradangan, gingivitis dan juga karena
protesa yang akan menstimulasi sekresi saliva.
Kapasitas buffer saliva merupakan faktor primer yang penting pada saliva untuk
mempertahankan derajat keasaman saliva berada dalam interval normal sehingga
keseimbangan (homeostatis) mulut terjaga. Sistem buffer yang member kontribusi utama
(85%) pada kapaasitas total buffer saliva adalah sistem bikarbonat dan 15% oleh fosfat,
protein dan urea.
Kapasitas buffer saliva dan pH saliva juga naik bersamaan dengan kenaikan
kecepatan sekresi. Pada saat tidak distimulasi (keadaan istirahat), pH saliva adalah 6,106,47 selanjutnya stimulasi pada sekresi saliva akan meningkatkan pH mencapai angka
netral yaitu 7,62.
Mekanisme efek buffer pada saliva tergantung pada aliran saliva dan kandungan
bikarbonatnya. Konsentrasi bikarbonat merupakan sistem buffer yang terpenting dalam
saliva dan berbanding lurus dengan kecepatan sekresi saliva. Jika konsentrasi bikarbonat
semakin tinggi maka semakin tinggi pula pH dan kapasitas buffer dalam saliva.
HCO3 + H H2CO3 H2O + CO2
Keadaan pH dan kapasitas buffer saliva mempengaruhi keberadaan karies dalam
rongga mulut. Semakin rendah pH saliva, maka karies cenderung semakin tinggi.1,18
Pada lesi karies yang dalam, ditemukan bahwa pH akan lebih rendah dibandingkan pH
lesi karies dangkal yang lebih mendekati pH saliva. Dari beberapa penelitian, ditemukan
adanya relasi laju aliran saliva, volume, pH dan kapasitas buffer saliva.11,15 Laju aliran
saliva sangat bervariasi tidak hanya dibandingkan dengan orang lain, tetapi juga pada
individu yang sama tergantung waktu pemeriksaan, posisi tubuh, banyak cahaya dan
faktor lain. Navazesh et al menemukan bahwa laju aliran saliva yang tidak distimulasi
memiliki kekuatan validitas prediksi yang sangat kuat untuk memperkirakan risiko karies.
Apabila laju aliran saliva meningkat, maka pH dan kapasitas buffernya juga akan
meningkat, dan volume saliva juga akan bertambah sehingga risiko terjadinya karies
makin rendah. Penurunan pH dalam rongga mulut dapat menyebabkan demineralisasi
elemen gigi dengan cepat, sedangkan pada kenaikan pH dapat terbentuk kolonisasi
bakteri yang menyimpang dan meningkatnya pembentukan kalkulus. Rendahnya laju
aliran saliva dan kapasitas buffer saliva dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
saliva untuk membersihkan sisa makanan, mematikan kuman, mengurangi kemampuan
menetralkan asam dan kemampuan menimbulkan remineralisasi lesi enamel.
Penurunan laju aliran saliva dapat diikuti oleh peningkatan jumlah S.mutans dan
Laktobasilus. Dengan demikian, aktivitas karies yang tinggi dapat dijumpai pada orang
yang laju aliran saliva berkurang.
2.12.2 Saliva sebagai alat diagnosa karies
Seperti yang telah diketahui, bahwa saliva mempengaruhi terjadinya karies.
Secara teoritis, saliva mempengaruhi proses karies dalam berbagai cara, yaitu:
1. Aliran saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan juga
menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut.
2.
Difusi komponen saliva seperti kalsium, fosfat, ion OH dan fluoride ke dalam plak dapat
menurunkan kelarutan enamel dan meningkatkan remineralisasi karies dini.
3. Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat, serta kandungan amoniak dan urea dalam saliva
dapat menyangga dan menetralkan penurunan pH yang terjadi saat bakteri plak sedang
memetabolisme gula. Kapasitas penyangga dan pH saliva erat hubungannya dengan
kecepatan sekresinya. Nilai pH kelenjar parotis meningkat dari 5,7 ketika saliva tidak
terangsang menjadi 7,4 pada saat tingkat produksi sedang tinggi. Peningkatan nilai pH
seperti tersebut bagi kelenjar submandibula adalah dari 6,4 ke 7,1. Peningkatan tingkat
kecepatan saliva juga mengakibatkan naiknya kapasitas buffernya. Pada kedua keadaan
tersebut, penyebabnya adalah meningkatnya kadar natrium dan bikarbonat.
4. Beberapa komponen saliva yang termasuk dalam komponen non imunologi seperti
lysozyme, lactoperoxydase,dan lactoferrin mempunyai daya anti bakteri yang langsung
terhadap mikroflora tersebut sehingga derajat asidogeniknya berkurang.
5. Molekul immunoglobulin A (IgA) disekresi oleh sel-sel plasma yang terdapat di dalam
kelenjar saliva, sedangkan komponen protein lainnya diproduksi di lapisan epitel luar
yang menutup kelenjar. Kadar keseluruhan IgA di saliva berbanding terbalik dengan
timbulnya karies.
6. Protein saliva dapat meningkatkan ketebalan acquired pellicle sehingga dapat membantu
menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium dari enamel.
Apabila saliva akan digunakan sebagai indikator pengukuran risiko karies, maka
harus diperhatikan kondisi saliva dalam dua keadaan, yaitu sebelum distimulasi
Produksi asam yang terbentuk dari aktivitas plak dianggap berperan besar dalam
mengawali serangan karies gigi. Bertahannya pH plak pada kondisi asam ini dapat
berlangsung cukup lama karena dipengaruhi beberapa factor, yaitu adanya produksi asam
dari asam berkonsentasi tinggi diantara plak sehingga menghambat efek dapar local untuk
sementara waktu, sifat diffusion-limited yang dimiliki oleh plak ( plak menghalangi difusi
sitem dapar dari saliva) sehingga lepasnya asam ke dalam saliva bertahan, cukup lama,
adanya produksi asam yang terus berlanjut dari polisakarida intraseluler bakteri, serta
adanya karbohidrat yang dapat difermentasi yang tertelan di dalam rongga mulut.
Zahra Rania (160110130063)
2.13
Radiografi Dental
Radiografi dental merupakan prosedur penting dalam mendiagnosis dan mencatat
penyakit periodontal melalui penilaian level tulang alveolar. Adanya faktor predisposisi
yang berhubungan dengan permulaan penyakit periodontal dicapai secara efektif melalui
kegunaan radiografi dental. Deposit kalkulus supragingival dan subgingival merupakan
faktor predisposisi yang penting pada permulaan penyakit periodontal, ini dapat dilihat
dengan radiografi dental. Kalkulus pada permukaan akar yang melibatkan gigi pada
kalsifikasi tahap lanjut dapat dideteksi dengan bitewing vertikal sama seperti periapikal
radiografi.
Faktor predisposisi lainnya pada penyakit periodontal seperti restorasi dengan kontak
yang terbuka, kontour yang jelek, overhanging dan tepi yang kurang bagus, serta karies
rekuren yang juga tampak secara radiografi pada bitewing posisi vertikal.
2.13.1 Film pada Radiorafi Dental
Film yang digunakan adalah film khusus untuk dental radiography, yang merupakan
single emulsi. Untuk mempermudah positioning film dental, biasanya digunakan sebuah
alat yang disebut "Bitewing
Dan sudut proyeksi yang diberikan pada setiap objek berbeda-beda tergantung
objek apa yg diperiksa (apakah rahang atas atau bawah).
Teknik parallel mengandung arti bahwa film X-Ray diposisikan parallel dengan
sumbu panjang gigi. CR radiasi sinar-x melewati sudut yang tepat sehingga tegak lurus
pada gigi.
Parallel technique :
Atur tabung pesawat gigi dengan bidang oklusal bawah sehingga mebentuk
sudut 25 - 30 Cranially. Film diposisikan memanjang.FE : Pada pesawat dental
unit ini pengaturan faktor cukup dengan mengatur secondnya saja. Dengan
pengaturan second, secara otomatis kV dan mAsnya sudah menyesuaikan. Untuk
gigi incicivus dan caninus, second yang dipilih 3 atau 4 second, tergantung tebalnya
objek.Sentrasikan sinar pada simfisis menti. CR 20-30 cranially. CPpada
pertengahan incicivus, 1 cm diatas lower border dari mandibula, kV : 40 150 kV,
mA : 15 mA, Fokus: kecil. Setelah pengaturan faktor eksposi maka pasien
dipersilahkan duduk, daitur posisinya sesuai dengan obyek yang diperiksa, lalu
masukkan film ke dalam mulut pasien, lalu atur letak film pada gigi yang diperiksa.
atas
sehingga membentuk
sudut
50
caudally.Film
diposisikan
Menurut
lokasinya
karies
dapat
dibedakan
menjadi
karies
proksimal,
oklusal,bukal/lingual, dan akar, sebagai tambahan ada juga yang disebut dengan karies
recurrent dan rampant.
Sedangkan menurut tingkatan kavitasnya dibagi menjadi Incipient, moderate,
advanced, severe
a. Karies Proksimal
1. Karies Proksimal Insipien
b. Karies Oklusal
d. Karies Akar
e. Recurrent Karies
f.
Karies Rampant
akan lebih cepat karena faktor tersebut dapat merubah respon host terhadap akumulasi
plak.
Gingivitis atau tahap satu penyakit periodontal adalah kondisi peradangan pada
gusi yang menyebabkan perubahan patologis namun tanpa adanya attachment maupun
bone loss. Periodontitis terjadi ketika perubahan patologis berkembang menjadi
kerusakan gingival sulcus dan juga ligamen periodontal. Periodontitis selalu didahului
oleh gingivitis, namun gingivitis tidak selalu berkembang menjadi periodontitis.
Pembentukan periodontal pocket terjadi sebagai akibat dari hilangnya perlekatan
periodontal dan pendalaman sulkus gingival. Proses dimulai dengan peradangan pada
jaringan ikat di dalam dinding sulkus gingival. Ketika sulkus yang normal berkembang
menjadi pocket periodontal, proporsi mikroorganisme patogen meningkat.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih
kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis
infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period).
Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung
HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus
berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari
90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan
menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat
menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa
tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga
akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah
sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV.
Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan
terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang
dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV),
dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
Lesi di rongga mulut pada penderita HIV/AIDS mulai muncul pada fase kronik
progresif, namun lesi ini baru berupa Linear Ginggiva Eritema (LEG) yang kemudian
pada fase akhir letal (AIDS) akan berkembang menjadi Necrosis Ulcerative Gingivitis
(NUG) dan berkembang lagi menjadi Necrosis Ulcerative Periodontitis (NUP) yang
disebut juga Periodontitis AIDS related.
Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supra gingival yang berada disekitar tepi
gingival dan plak sub-gingiva yang berada apikal dari dasar gingival.
1. Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh.
2. Mengurangi pertahanan jaringan tubuh
3. Menggerakkan proses immuno patologi.
Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama terjadinya
gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor lain sebagai penyebabnya yang merupakan
multifaktor, meliputi interaksi antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan
kapasitas daya tahan tubuh.
2. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang mengalami
pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah. Kalkulus merupakan
pendukung penyebab terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa inflamasi terjadi karena
penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan lebih banyak terjadi pada orang dewasa,
kalkulus bukan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya
gingivitis adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan kalkulus,
mempengaruhi gingiva secara tidak langsung.
3. Impaksi makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan keadaan
awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau
miring merupakan tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya plak,
sedangkan gigi dengan oklusi yang baik mempunyai daya self cleansing yang tinggi.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi makanan yaitu
inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering berbau.
resesi gingiva
pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari soketnya,
sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan sensitif terhadap perkusi.
kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar
4. Pernafasan Mulut
Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan buruk. Hal ini
sering dijumpai secara permanen atau sementara. Permanen misalnya pada anak dengan
kelainan saluran pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut
terlalu lama. Sementara misal pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang gigi
depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir.
Keadaan ini menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah pada
permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang, populasi bakteri
bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering dan akhirnya memudahkan terjadinya
penyakit periodontal.
5. Sifat fisik makanan
Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang bersifat lunak
seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan sedikit pengunyahan, menyebabkan
debris lebih mudah melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta
memudahkan pembentukan karang gigi.
Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa yang
sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang demikian tidak dikunyah secara
biasa tetapi dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah atau makanan
cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan terjadinya penyakit.
Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang mempunyai sifat self
cleansing dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut
secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang segar, buah-buahan dan ikan yang
sifatnya tidak melekat pada permukaan gigi.
6. Iatrogenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan dokter
gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan pada gigi dan jaringan
sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi.
Dokter gigi harus memperhatikan masa depan kesehatan jaringan periodontal pasien,
misalnya :
penyakit periodontal.
Sewaktu melakukan pencabutan, dimulai dari saat penyuntikan, penggunaan bein sampai
Faktor Sistemik
Respon jaringan terhadap bakteri, rangsangan kimia serta fisik dapat diperberat oleh
keadaan sistemik. Untuk metabolisme jaringan dibutuhkan material-material seperti hormon,
vitamin, nutrisi dan oksigen. Bila keseimbangan material ini terganggu dapat mengakibatkan
gangguan lokal yang berat. Gangguan keseimbangan tersebut dapat berupa kurangnya materi
yang dibutuhkan oleh sel-sel untuk penyembuhan, sehingga iritasi lokal yang seharusnya dapat
ditahan atau hanya menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan adanya gangguan keseimbangan
tersebut maka dapat memperberat atau menyebabkan kerusakan jaringan periodontal.
Faktor-faktor sistemik ini meliputi :
1. Demam yang tinggi
2. Defisiensi vitamin
3. Drugs atau pemakaian obat-obatan
4. Hormonal
Faktor Sistemik :
1. Demam yang tinggi
Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontal selama menderita demam yang
tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah). Hal ini disebabkan anak yang sakit tidak
dapat melakukan pembersihan mulutnya secara optimal dan makanan yang diberikan
biasanya berbentuk cair. Pada keadaan ini saliva dan debris berkumpul pada mulut
menyebabkan mudahnya terbentuk plak dan terjadi penyakit periodontal.
2. Defisiensi vitamin
Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan periodontal,
karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat. Defisiensi vitamin C sendiri
sebenarnya tidak menyebabkan penyakit periodontal, tetapi adanya iritasi lokal
menyebabkan jaringan kurang dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersebut sehingga
terjadi reaksi inflamasi (defisiensi memperlemah jaringan).
3. Drugs atau obat-obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal ini sering terjadi pada anak-anak
penderita epilepsi yang mengkomsumsi obat anti kejang, yaitu phenytoin (dilantin). Dilantin
pembengkakan dengan keluhan sakit bila tersentuh. Bila keparahan telah mengenai tulang
rahang, maka gigi akan menjadi goyang dan mudah lepas dari soketnya.
Umumnya terjadi pada orang dewasa namun dapat juga terjadi pada
remaja
Kalkulus dan plak dalam jumlah banyak
Inflamasi gingiva
Pembentukan poket periodontal
Hilangnya perlekatan periodontal
Hilangnya tulang alveolar secara vertical dan horizontal
Perubahan warna gingiva antara merah pucat hingga magenta
Hilangnya stippling gingiva
Perubahan topografi permukaan gingiva
Perdarahan gingiva
Resesi gingiva
Mobilitas gigi
Nyeri
Halitosis
Lesi dari NUP ini dapat terjadi di dental arkus dan biasanya bertempat secara local
di beberapa gigi, meskipun umumnya NUP sudah dapat dideteksikan setelah adanya
penurunan sel CD4T. Tulang alveolar yang sering terkena periodontitis ini,
mengakibatkan nekrosis dan penyerapan tulang alveolar yang lebih lanjut.
NUP sangat menyakitkan saat onset dan sangat diperlukan perawatan dengan
segera. Beberapa bukti menunjukkan sedikit perbedaan antara microbial flora yang
ditemukan pada NUP-Aids Related dengan periodontitis kronis.
Antibiotik biasanya diberikan untuk menghentikan infeksi pada gusi dan jaringan di
bawahnya. Perbaikan kebersihan mulut oleh pasien sendiri juga sangat penting.Obat pilihan
adalah tetrasiklin, tetapi akhir-akhir ini obat yang mengandung metronidazol dibuktikan sangat
efektif terhadap bakteri patogen periodontal. Pengalaman klinik menunjukkan bahwa
metronidazol dikombinasikan dengan amoksisilin sangat efektif untuk perawatan periodontitis
lanjut dan hasilnya cukup memuaskan.
3. Kumur-kumur antiseptic
Obat kumur terutama yang sering digunakan pada saat sekarang adalah chlorhexidin atau
heksitidin yang telah terbukti efektif dalam meredakan proses peradangan pada jaringan
periodontal dan dapat mematikan bakteri patogen periodontal serta dapat meghambat
terbentuknya plak.
4. Bedah periodontal
Pada kasus-kasus yang lebih parah, tentunya perawatan yang diberikan akan jauh lebih
kompleks. Bila dengan kuretase tidak berhasil dan kedalaman poket tidak berkurang, maka perlu
dilakukan tindakan operasi kecil yang disebut gingivectomy. Tindakan operasi ini dapat
dilakukan di bawah bius lokal.
Pada beberapa kasus tertentu yang sudah tidak bisa diatasi dengan perawatan di atas, dapat
dilakukan operasi dengan teknik flap periodontal, yaitu prosedur yang meliputi pembukaan
jaringan gusi, kemudian menghilangkan kotoran dan jaringan yang meradang di bawahnya.
5. Ektraksi gigi
Bila kegoyangan gigi parah atau didapatkan gangren pulpa, maka dilakukan ektraksi gigi.
5. Diperiksa secara berkala untuk mengetahui efektivitas perawatan dan untuk melihat
kesehatan mulut pasien.
Periodontitis Pre-Pubertal
Localized prepubertal periodontitis biasanya diobati oleh perawatan dengan root-curettage
dan antibiotic therapy, sedangkan Generalized prepubertal periodontics biasanya tidak diobati
dengan perawatan menggunakan antiobiotic.
Periodontitis (Aids Related)
Perawatan untuk pasien periodontitis dengan HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
1. Proteksi ekstra dari dokter gigi (masker, handscoon, etc.)
2. Local debridement, plaque removal, scaling, root planing)
3. Irigasi dengan agen antimicrobial, bisa menggunakan chlorexidine gluconate atau
provider iodine (betadine) yang dapat bekerja sebagain anestesi dan antimicrobial
4. Untuk pasien dengan periodontitis yang parah dapat dilakukan terapi antibiotic yang
disertai dengan antifungal untuk mencegah perkembangan dari jamur seperti candidiasis.
Antibiotic yang dapat digunakan seperti metronidazole / amixicilin / clindamycin.
Antifungal yang dapat menggunakan yang topical atau sistemik.
5. Peningkatan oral hygiene