Anda di halaman 1dari 73

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Citra Putri Setiyo Wardani (160110130060)


Riezky indrajati (160110130054)
1. Defiisi Dental Karies dan White Spot
1.1 Dental karies
Schuurs (1992): Karies gigi adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan
larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan
sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam microbial dari substrat
sehingga timbul destruksi komponen-komponen organic yang akhirnya terjadi
kavitas.

Sumawinata (2000): karies gigi adalah suatu penyakit jaringan keras gigi yang
diakibatkan oleh mikroorganisme pada karbohidrat yang dapat difermentasikan
sehingga terbentuk asam dan menurunkan pH dibawah pH kritis, sehingga terjadi
demineralisasi jaringan keras gigi.

Pine (1997): Tanda karies adalah terjadinya demineralisasi mineral email dan dentin
diikuti oleh disintegrasi bagian organiknya. Karies gigi adalah penghancuran
terlokalisasi dari jaringan gigi oleh mikroorganisme.

Kidd & Bechal (1991): Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu
email, dentin, dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam
suatu karbohidrat yang dapat diragikan.
1.2 White Spot
Daerah pada email yang terlihat lebih putih dari daerah sekelilingnya akibat

demineralisasi. Merupakan tanda awal proses karies yang dapat ditangkap oleh mata.
Terapinya adalah mengupayakan terjadinya remineralisasi

2. Faktor Etiologi terjadinya Karies

2.1 Jenis bakteri yang terlibat


Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada

permukaan gigi yang tidak dibersihkan.


Mikroorganisme plak : Streptococcus mutans,Streptococcus sanguis, Streptococcus
mitis, Streptococcus salivarus, serta beberapa strain lainnya, selain itu dijumpai juga
Lactobacillus dan beberapa beberapa spesies Actinomyces.
2.2 Proses

karies

terdiri

atas

perusakan

(demineralisasi)

dan

perbaikan(remineralisasi) yang silih berganti


2.2.1

Demineralisasi

Komponen mineral dari enamel, dentin, dan sementum adalah Hidroksiapatit


(HA) Ca10(PO4)6(OH)2. Pada lingkungan netral HA seimbang dengan lingkugan lokal
(saliva) yang banyak mengandung ion-ion Ca2+ dan PO43-.
HA bersifat reaktif dengan ion hidrogen dibawah pH 5,5; atau biasa dikenal
dengan pH kritis HA. H+ bereaksi secara khusus dengan fosfat dengan segera didekat
permukaan kristal. Proses tersebut dapat dapat dideskripsikan sebagai konversi
PO43- menjadi HPO42- melalui adisi H+ dan pada saat yang sama H+ menjadi penyangga.
HPO42- kemudian tidak dapat berperan kembal pada keseimbangan HA karena
mengandung PO43- lebih daripada HPO42-. Selanjutnya kristal HA pun larut. Inilah yang
disebut deminerilasi.

2.2.2

Remineralisasi

Proses demineralisasi dapat dibalikkan jika pH di netralkan dan terdapat ion


Ca2+dan PO43- dalam jumlah yang cukup. Pelarutan apatit dapat menjadi netral dengan
menyangga (buffering), dengan kata lain Ca2+ dan PO43- pada saliva dapat mencegah

proses pelarutan tersebut. Ini dapat membangun kembali bagian-bagian kristal apatit yang
larut. Inilah yang disebut remineralisasi.
2.3 pH kritis terjadinya demineralisasi
Pada saat pH menurun, ion asam bereaksi dengan fosfat pada saliva dan plak (atau
kalkulus), sampai pH kritis disosiasi HA tercapai pada 5,5. Penurunan pH lebih lanjut
menghasilkan interaksi progresif antara ion asam dengan fosfat pada HA, menghasilkan
kelarutan permukaan kristal parsial atau penuh. Flouride yang tersimpan dilepaskan pada
proses ini dan bereaksi dengan Ca2+ dan HPO42-membentuk FA (Flouro Apatit). Jika pH
turun sampai dibawah 4,5 yang merupakan pH kritis untuk kelarutan FA, maka FA akan
larut. Jika ion asam dinetralkan dan Ca 2+ dan HPO42 dapat ditahan, maka remineralisasi
dapat terjadi.

2.4 Stephan Curve

Kurva yang menunjukan reaksi tingkat keasaman plak gigi saat dipicu oleh ada
atau tidaknya makanan.
2.5 Penyakit Sistemik yang Dapat Menyebabkan Karies
2.5.1

Diabetes Melitus
Diabetes Melitus menaikkan resiko terjadinya karies dan jumlah karies. Tetapi

bila seorang penderita telah menyadari keadaannya dan menjalankan diet, karies bahkan
akan terjadi lebih sedikit dibandingkan rata-rata (A.H.B Schuurs, 1993).
2.5.2

Xerostomia
Xerostomia merupakan penyakit kurang produksi ludah. Hal ini jelas merupakan

faktor predisposisi (A.H.B Schuurs, 1993)


Dimana akan timbul kerusakan gigi menyeluruh dalam waktu singkat.
Saliva berfungsi sebagai pelicin, pelindung, penyangga, pembersih, pelarut dan anti
bakteri. Saliva memegang peranan lain yaitu dalam proses terbentuknya plak gigi, saliva
juga merupakan media yang baik untuk kehidupan mikroorganisme tertentu yang

berhubungan dengan karies gigi. Sekresi air ludah yang sedikit atau tidak ada sama sekali
memiliki prosentase karies yang tinggi.

2.5.3

Gastroesophageal Reflux

Gastroesophageal reflux merupakan kondisi dimana pada saat substrat yang masuk ke
dalam lambung dikembalikan dari lambung ke oesophagus. Hal ini dapat mengiritasi
oesophagus dan kemungkinan akan menimbulkan konplikasi lain, diantaranya adalah
masalah pada gigi dalam hal ini adalah karies.
Dimana zat asam lambung yang keluar ke dalam rongga mulut akan menurunkan
pH normal rongga mulut menjadi asam, dan akan meningkatkan resiko terjadinya karies
pada gigi

3. Gejala Dan Tanda Klinis


Seseorang sering tidak menyadari bahwa ia menderita karies sampai penyakit
berkembang lama. Tanda awal dari lesi karies adalah sebuah daerah yang tampak
berkapur di permukaan gigi yang menandakan adanya demineralisasi. Daerah ini dapat
menjadi tampak coklat dan membentuk lubang. Proses tersebut dapat kembali keasal
atau reversibel, namun ketika lubang sudah terbentuk maka struktur yang rusak tidak
dapat diregenerasi. Sebuah lesi tampak coklat dan mengkilat dapat menandakan karies.
Daerah coklat pucat menandakan adanya karies yang aktif.
Bila enamel dan dentin sudah mulai rusak, lubang semakin tampak. Daerah yang
terkena akan berubah warna dan menjadi lunak ketika disentuh. Karies kemudian
menjalar ke saraf gigi, terbuka, dan akan terasa nyeri. Nyeri dapat bertambah hebat

dengan panas, suhu yang dindin, dan makanan atau minuman yang manis. Karies gigi
dapat menyebabkan napas tak sedap dan pengecapan yang buruk. Dalam kasus yang
lebih lanjut, infeksi dapat menyebar dari gigi ke jaringan lainnya sehingga menjadi
berbahaya.
Tanda klinis awal terjadinya karies gigi ditandai dengan bercak putih (white spot).
Hal ini disebabkan karena terjadi pelepasan ion calcium dan phosphate dari enamel
prisma. Pada keadaan ini, permukaan gigi masih terlihat utuh. Hal ini sering ditemukan
pada area yang mudah tertimbun plak seperti area pit dan fissure serta di bawah kontak
point diantara gigi geligi. Bila proses berlanjut maka permukaan gigi akan pecah dan
terbentuklah karies, dan bila hal ini terjadi gigi tersebut harus dilakukan penambalan.

Desyani Shalihah S (160110130055)


Fathia N (160110130056)
2.4 White Spot Caries
2.4.1 Definisi
White spot merupakan bercak putih pada permukaan gigi yang di identifikasi
sebagaitanda awal dari lesi karies pada enamel yang dapat dideteksi dengan mata
telanjang.Keberadaan white spot ini disebabkan oleh proses demineralisasi dan
remineralisasi yang tidak seimbang sehingga pada bagian yang kekurangan kalsium

pospat (demineralisasi>remineralisasi) terlihat bewarna putih atau opak. White spot


caries juga biasa disebut initial atau incipient caries.
2.4.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari white spot karies dapat di deteksi dengan mata telanjang,
yaitu berupa bercak putih di sekitar enamel gigi yang mengalami remineralisasi berlebih
(kekurangan kalsium pospat).

Sumber gambar :http//www.google.com

2.4.3 Perawatan
Dikarenakan white spot merupakan keadaan yang reversible, dia masih dapat
dihilangkan jika etiologinya dihilangkan. Penyikatan dan pembersihan gigi secara teratur
dengan pasta gigi bisa meningkatkan pH oral dan memicu proses remineralisasi gigi dan
menormalkan kadar kalsium fosfat dalam enamel (menghilangkan bercak putih/white
spot). Selain itu penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride juga dapat
meningkatkan kadar mineral gigi dan memicu remineralisasi untuk menormalkan email
dan menghilangkan white spot.
Gigi yang sudah menunjukan gambaran klinis white spot perlu dijaga kebersihan
dan perawatannya, karena apabila dibiarkan, proses demineralisasi akan meluas dan

menjalar ke struktur gigi yang lebih dalam dan jika ditambah dengan akumulasi bakteri
dari plak dapat menyebabkan karies dan pulpitis.
2.5 Patofisiologi Terjadinya Karies
2.5.1 Mekanisme Terjadinya Karies
Karies terjadi karena interaksi antara bakteri yang bersifat kariogenik, gigi (host),
karbohidrat, waktu, serta saliva. Bakteri yang menempel pada permukaan bergula akan
menghasilkan asam yang dapat melarutkan permukaan struktur gigi, seperti enamel,
sehingga terjadi proses demineralisasi. Demineralisasi merupakan proses awal karies.
Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya dental plaque/biofilm di
permukaan gigi. Plak/ biofilm merupakan kumpulan dari mikroba baik yang masih hidup
atau sudah mati bersama dengan produk ekstraselulernya, serta senyawa terutama berasal
dari saliva host (samaranayake: 261).
Apabila sisa makanan terus menumpuk maka karbohidrat terutama sukrosa akan
disintesis

oleh

bakteri.

Streptococcus

mutans

akan

menghasilkan

enzim

glukosiltransferase (GTF), merubah sukrosa menjadi glukan yang bersifat lengket.


Bakteri melakukan metabolisme untuk menghasilkan energi, dan ekskresinya adalah
suatu Asam laktat dari proses glikolisis karbohidrat. Asam laktat dapat menurunkan pH
mulut menjadi kritis (5,5) yang akan menyebabkan demineralisasi email berlanjut
menjadi karies gigi (Suryawati, 2010).

Asam yang dihasilkan bakteri akan

mengakibatkan berbagai variasi karies pada gigi. Hal tersebut dipengaruhi oleh:
a. pH pada permukaan gigi yang dapat mempengaruhi perubahan metabolisme
pada plak.
b. adanya karbohidrat (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) yang dapat menstimulasi
proses metabolisme
Ketika ketersediaan karbohidrat hanya sedikit selama bakteri melakukan
metabolisme, bakteri tidak dapat melakukan metabolisme secara maksimal. dengan
demikian pH pada daerah permukaan gigi tersebut akan terus meningkat dan terjadilah

proses remineralisasi. Demineralisasi dan remineralisasi terjadi secara dinamis pada


permukaan gigi. Namun apabila terjadi ketidakseimbangan antara keduanya dapat terjadi
karies, yakni jika demineralisasi lebih besar daripada remineralisasi.
Demineralisasi merupakan hilangnya sebagian atau seluruh mineral enamel
karena larut dalam asam, semakin rendah pH maka akan meningkatkan ion hidrogen
yang akan merusak hidroksiapatis (senyawa kalsium fosfat) enamel. Hidroksiapatit
merupakan bahan anorganik, baik di enamel, dentin, maupun sementum yang memililiki
presentasi yang tinggi dibanding bahan lainnya. Tanda awal demineralisasi ditandai
dengan adanya suatu lesi putih (white spot). Pada tahap ini, proses terjadinya karies dapat
dikembalikan.
Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui
lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang). Kavitasi baru timbul
bila dentin terlibat dalam proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu banyak mineral
hilang dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan
kavitasi yang makrokopis dapat dilihat. Pada karies dentin yang baru mulai terlihat hanya
lapisan keempat (lapisan transparan, terdiri dari tulang dentin sklerotik, kemungkinan
membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya) dan lapisan kelima
(lapisan opak/tidak tembus penglihatan, di dalam tubuli terdapat lemak yang mungkin
merupakan gejala degenerasi cabang-cabang odontoblast). Baru setelah terjadi kavitasi,
bakteri akan menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat dalam, tidak terdapat
lapisan-lapisan tiga (lapisan

demineralisasi, suatu daerah sempit, dimana dentin

partibular diserang), lapisan empat dan lapisan lima.


Akumulasi plak pada permukaan gigi utuh dalam dua sampai tiga minggu
menyebabkan terjadinya bercak putih. Waktu terjadinya bercak putih menjadi kavitasi
tergantung pada umur, pada anak-anak 1,5 tahun dengan kisaran 6 bulan ke atas dan ke
bawah, pada umur 15 tahun, 2 tahun dan pada umur 21-24 tahun, hampir tiga tahun.
Tentu saja terdapat perbedaan individual. Sekarang ini karena banyak
flourida, kavitasi akan berjalan lebih lambat daripada dahulu.

pemakaian

Pada anak-anak, kerusakan berjalan lebih cepat dibanding orang tua, hal ini
disebabkan:
1) Email gigi yang baru erupsi lebih mudah diserang selama belum selesai
maturasi setelah erupsi (meneruskan mineralisasi dan pengambilan flourida)
yang berlangsung terutama 1 tahun setelah erupsi.
2) Remineralisasi yang tidak memadai pada anak-anak, bukan karena perbedaan
fisiologis, tetapi sebagai akibat pola makannya (sering makan makanan kecil)
3) Lebar tubuli pada anak-anak mungkin menyokong terjadinya sklerotisasi
yang tidak memadai
4) Diet yang buruk dibandingkan dengan orang dewasa, pada anak-anak
terdapat jumlah ludah dari kapasitas buffer yang lebih kecil, diperkuat oleh
aktivitas proteolitik yang lebih besar di dalam mulut.

2.5.2 Teori Terjadinya Karies


Dr.Miller yang membuktikan teori asam, bahwa asam diproduksi oleh plak
yang dihasilkan oleh bakteri di dalam demineralisasi enamel. Beberapa
eksperimennya yang merupakan fakta yaitu:
1. Ukuran PH plak dapat menurun dibawah 5,5 selama waktu yang lama seiring
dengan adanya produksi asam bakteri organik.
2. PH pada kerusakan lesi lebih rendah daripada disekeliling jaringan.
3. Adapun hubungan antara timbulnya karies dan kehadiran S.mutans dan
Lactobacillus, bakteri mampu memproduksi asam organic selama mengkonsumsi
gula yang beragi.
4. Kuman yang bebas, karies dapat disebabkan oleh bakteri mulut yang mampu
memproduksi asam tanpa kapasitas proteolitic.
Selain itu, terdapat beberapa hipotesa mengenai kerusakan enamel yang
disebabkan kerusakan bakteri plak yaitu teori asidogenik (teori kemoparasiter
Miller), teori proteolitik, dan teori proteolisis kelasi.

2.5.2.1 Teori Asidogenik


Miller (1882) menyatakan bahwa kerusakan gigi adalah proses
kemoparasiter yang terdiri atas dua tahap, yaitu dekalsifikasi email sehingga
terjadi kerusakan total email dan dekalsifikasi dentin pada tahap awal diikuti
oleh pelarutan residunya yang telah melunak. Asam yang dihasilkan oleh
bakteri asidogenik dalam proses fermentasi karbohidrat dapat mendekalsifikasi
dentin, menurut teori ini, karbohidrat, mikroorganisme, asam, dan plak gigi
berperan dalam proses pembentukan karies.
2.5.2.2 Teori Proteolysis-chealation
Teori ini diformulasikan oleh Schatz (1955). Kelasi atau chelation
adalah suatu pembentukan kompleks logam melalui ikatan kovalen koordinat
yang menghasilkan suatu kelat. Teori ini menyatakan bahwa serangan bakteri
pada email dimulai oleh mikroorganisme yang keratinolitik dan terdiri atas
perusakan protein serta komponen organik email lainnya, terutama keratin. Ini
menyebabkan pembentukan zat-zat yang dapat membentuk kelat dan larut
dengan komponen mineral gigi sehingga terjadi dekalsifikasi email pada pH
netral atau basa.
2.5.2.3 Teori Proteolitic
Gottlieb (1944) mempostulasikan bahwa karies merupakan suatu
proses proteolisis bahan organik dalam jaringan keras gigi oleh produk bakteri.
Dalam teori ini dikatakan mikroorganisme menginvasi jalan organik seperti
lamela email dan sarung batang email (enamel rod sheath), serta merusak
bagian-bagian

organik

ini.Proteolisis

juga

disertai

pembentukan

asam.Pigmentasi kuning merupakan ciri karies yang disebabkan produksi


pigmen oleh bakteri proteolitik. Teori proteolitik ini menjelaskan terjadinya
karies dentin dengan email yang masih baik.
Manley dan Hardwick (1951) menggabungkan teori proteolitik dan
teori asidogenik.Menurut mereka teori-teori tersebut dapat berjalan sendirisendiri maupun bersama-sama.Teori ini menyatakan bahwa bakteri dapat

membentuk asam dari substrat karbohidrat, dan bakteri tertentu dapat merusak
protein jika tidak ada karbohidrat, karena itu terdapat dua tipe lesi karies.Pada
tipe I, bakteri menginvasi lamela email, menyerang email dan dentin sebelum
tampak adanya gejala klinis karies. Pada tipe II, tidak ada lamela email, hanya
terdapat perubahan pada email sebelum terjadi invasi mikroorganisme.
Perubahan email ini terjadi akibat dekalsifikasi email oleh asam yang dibentuk
oleh bakteri dalam plak gigi di atas email. Lesi awal ini disebut juga chalky
enamel.
2.5.2.4 Teori Phosphoprotein
Teori ini berdasarkan eksperimen, dimana dijelaskan bahwa bakteri plak
diproduksi enzim-enzim yang mampu untuk melepaskan phosphate dari
phosphoprotein enamel. Yang menjadi pelepas pada protein ini bertugas untuk
mengurangi matriks enamel yang rusak.
2.6 Klasifikasi Karies
2.6.1 Berdasarkan Kedalamannya
2.6.1.1 Karies Insipiens
Bila karies baru pada permukaan lapisan email, biasanya belum terjadi rasa nyeri.
Hanya ada pewarnaan hitam atau cokelat pada enamel. Perawatan pada kasus ini cukup
sederhana, dokter gigi akan membersihkan jaringan karies kemudian menutupnya dengan
bahan restorasi amalgam atau bahan yang lebih baru yang sewarna dengan gigi, yaitu
resin komposit secara langsung.

2.6.1.2 Karies Superficial


Bila karies sudah mencapai bagian dalam email, sedangkan dentin belum
terkena (di atas DEJ). Gigi mulai terasa rasa nyeri sebentar atau sedikit.Biasanya
penumpatan secara langsung masih bisa dilakukan dengan memberikan bahan
pelapis sebelum diberikan bahan penumpat.

2.6.1.3 Karies Media


Bila dasar kavitas karies sudah mengenai dentin, tapi belum melebihi
setengah dentin.Menyebabkan reaksi hyperemia pada pulpa. Pada tahap ini
penderita akan mengalami rasa nyeri atau linu pada perubahan suhu panas atau
dingin dan juga makanan asam atau manis.

2.6.1.4 Karies Profunda


Bila pada tahap keradangan pulpa gigi masih belum juga dirawat, maka
invasi bakteri akan mematikan pembuluh saraf dan pembuluh darah sehingga
terjadi gangrena (kematian jaringan karena bakteri). Jaringan gangrena di ruang
pulpa akan menjadi busuk dan menimbulkan bau mulut yang tidak sedap.
Invasi bakteri bisa menjalar sampai tulang rahang dan mengakibatkan
keradangan di tulang rahang dan mengakibatkanpembengkakan (abses). Kerangan
yang kian meluas ini mengakibatkan tersebarnya bakteri ke seluruh tubuh melalui
aliran darah, antara lain ke jantung dan otak sehingga bisa menimbulkan gangguan
serius di kedua organ vital tersebut.

2.6.1.5 Karies Profunda Complicata


Karies yang telah menyebabkan pulpa terbuka dan dijumpai bermacammacam karies. Pada tahap ini apabila tidak dirawat maka gigi akan mati.

2.6.2

Berdasarkan Lokasi
2.6.2.1 Karies Pit Dan Fisur
Terbentuk dipermukaan oklusal molar dan premolar, permukaan bukal dan lingual

molar dan permukaan lingual insisifus maksila. Pit dan fisur pada awal proses karies
tampak coklat atau hitam dan terasa agak lembut. Proses ini berlanjut melalui penyebaran
lateral karies pada batas dentin dan email sehinggan dapat terbantuk lubang besar di
bawah email.
2.6.2.2 Karies Permukaan Halus
Timbul pada permukaan proksimal gigi dan sepertiga ginggival permukaan bukan
dan lingual. Karies ini jarang timbul pada bagian lain, kecuali pada gigi yang malformasi
atau malposisi. Biasanya diawali pembentukan plak gigi.
2.6.2.3 Karies Akar
Terjadi karena terbukanya akar gigi akibat perpindahan margin ke posisi apikal
dari CEJ ( resesi ginggiva ). Pada keadaan resesi ginggiva plak mudah berakumulasi di
permukaan sementum dan jika ditambah diet kariogenik dapat menimbulkan asam yang
dapat mengakibatkan karies.

2.6.3

Berdasarkan Kejadian
2.6.3.1 Karies Kronis
Karies yang terbentuk dengan lambat dan terjadi pewarnaan kecoklatan hingga
kehitaman. Karies ini dicirikan dengan rasa ngilu yang ringan, tajam, dan singkat
( biasanya akibat adanya rangsangan panas, atau dingin, manis atau terkena makanan).
Karies ini dapat memburuk menjadi gejala akut.
2.6.3.2 Karies Akut
Karies yang berkembang dan memburuk dengan cepat. Biasanya ditandai dengan
rasa ngilu yang berat, tumpul, dan lama. Rasa ngilu ini sering datang pada saat akan tidur
dan datang tanpa adanya rangsangan. Terkadang obat-obatan penghilang rasa ngilu sudah
tidak berfungsi lagi.
2.6.3.3 Karies Terhenti
Karies yang menjadi statis dan tidak menunjukkan perkembangan yang lebih
lanjut.

2.6.4

Klasifikasi G.V Black


Tahun 1908, Dr. G. V. Black mengembangkan suatu metode dalam

mengklasifikasikan karies. Klasifikasi originalnya adalah dalam kelas-kelas yaitu kelas I,


II, III, IV, dan V. Semua tipe karies pit dan fissure adalah kelas I, dimana kelas II, III, IV
dan V adalah karies smooth surface.

2.6.4.1 Identifikasi Karies Kelas I


Lesi kelas I terjadi pada pit dan fissure enamel. Analisis visual yang hatihati dimana bersih, kering, dan pencahayaan yang baik dapat memperlihatkan
karies tipe ini sebagai pit fissure yang dikelilingi enamel dimana terlihat pucat dan
lebih opak (kurang translusen) dibandingkan dengan enamel berdekatan. Lesi kelas
I sering tidak terdeteksi pada radiograf sampai ini cukup dalam ke dentin karena
lesi ini dilapiskan diantara permukaan buccal yang tebal dan permukaan lingual dari
enamel.

2.6.4.2 Identifikasi Karies Kelas II


Lesi kelas II terbentuk pada permukaan yang halus dari proksimal pada gigi
posterior yitu dari cervical ke kontak proksimal. Lesi ini dihasilkan dari
pemindahan plak yang tidak sempurna karena kesulitan dalam mencapai permukaan
interproksimal. Terdapat juga kehilangan translusensi, kemudian overlying
marginal ridge bisa menjadi bukti klinis pertama dari karies kelas II. Lesi ini dapat
meningkat dalam besarannya dan terlihat gelap dan lubangnya dapat dideteksi
dengan thin probe (explorer) pada embrasur buccal dan lingual. Lesi kelas II yang
sangat luas dapat menggali seluruh marginal ridge dan memungkinkan seluruh
ridge pada enamel hancur saat mastikasi. Lesi ini dapat dideteksi dengan radiograf
sebelum dapat dideteksi secara klinis.

2.6.4.3 Identifikasi Karies Kelas III


Lesi kelas III adalah lesi smooth surface yang berlokasi pada permukaan
proksimal dari gigi anterior, dimulai dari cervix ke kontak proksimal, tetapi tidak
berhubungan dengan sudut incisal gigi. Permulaan lesi kelas III dapat dideteksi
klinis secara hati-hati memaparkan enamel dari sisi fasial dan lingual dimana
terdapat perubahan translusensi dari cerviks ke kontak proksimal. Enamel dapat
terlihat sedikit lebih gelap dan lebih opak daripada enamel sekitarnya. Perubahan
ini terlihat jelas saat sumber cahaya (seperti fiber optics) ditempatkan lingual
terhadap proksimal enamel dari gigi, mengungkapkan perubahan translusensi dari
sisi fasial. Metode deteksi klinis ini dinamakan transillumination. Radiograf
periapikal dari gigi anterior dapat digunakan untuk mendeteksi lesi kelas III.

2.6.4.4 Identifikasi Karies Kelas IV


Lesi kelas IV berkaitan dengan permukaan proksimal dari gigi anterior
seperti halnya lesi kelas III tetapi ada penambahan yaitu lesi ini berkaitan dengan

sudut incisal. Lesi kelas IV seringkali hasil dari lesi kelas III yang menjadi lebih
luas dimana sudut gigi yang digali hancur. Bentuk kerusakan yang mirip terjadi saat
sudut gigi fraktur dikarenakan sentakan mulut. Kehilangan dari sudut incisal jelas
terlihat secara klinis. Radiograf tidak dibutuhkan untuk mendeteksi lesi kelas IV ni,
tetapi dapat berguna untuk menentukan kedalaman lesi relatif terhadap proksimal
rongga pulpa.

2.6.4.5 Identifikasi Karies Kelas V


Lesi kelas IV berlokasi pada sepertiga cervical dari fasial atau permukaan
lingual pada semua mahkota gigi baik anterior maupun posterior. Ini adalah lesi
smooth surface yang dihasilkan dari kesehatan yang buruk pada area cerviks ke
puncak lekukan buccal dan lingual, berdekatan dengan ginggiva, dimana aksi
pembersihan alami dari bibir, lidah, dan pipi tidak efektif. Area ini rentan terhadap
akumulasi plak dan pengumpulan karies. Ginggiva dan tulang pendukung akan
menyusut secara apikal, membuka permukaan akar lebih besar. Dengan kekurangan
aliran saliva dan/atau kesehatan mulut yang buruk, pengaruh dan kepelikan karies
meningkat pada area ini.

Lesi kelas V paling baik dideteksi dengan pemeriksaan visual secara hatihati pada daerah halus ginggiva pada mahkota gigi dengan pencahayaan yang baik
untuk melihat tampilan yang putih pucat dan nodanya, seringkali dengan kavitas
pada permukaan enamel. Lesi ini dapat meluas sedikit ke daerah apikal ke level
inflamasi ginggiva. Area kavitas atau depresi yang lain yang berlokasi pada
mahkota dan permukaan akar berdekatan mencakup kerusakan yang dibentuk dari
erosi asam atau dari abrasi dan prosesnya diketahui sebagai abfraksi (kehilangan
struktur kekasaran permukaan dimana muncul mirip abrasi tetapi ini disebabkan
oleh fleksura atau lekukan gigi yang disebabkan tekanan olusal yang berat. Sejalan
dengan akar terlihat pada lingkungan mulut karena resesi ginggiva, sementum yng
kurang dimineralisasi dibandingkan enamel, lebih rentan terhadap karies daripada
enamel. Hasilnya adalah karies akar, sebuah kondisi yang terjadi lebih sering pada
populasi kita.

2.6.4.6 Identifikasi Karies Kelas VI


Tipe karies gigi kelas VI didefinisikan dimana sebuah kavitas atau
kerusakan ditemukan pada ujung cusp atau sepanjang garis gigit incisivus.
2.6.5 Klasifikasi Mount and Hume
Klasifikasi mount adalah prisip preparasi seminimal mungkin. Merupakan
klasifikasi baru kombinasi antara site dansize. Keuntungan dari menggunakan klasifikasi
ini adalah kemungkinan mengenal semua lesi mulai dari tahap awal terbentuknya lesi dan
melakukan tindakan invasif seminimal mungkin/ membuang jaringan gigi yang tidak

mendukung seminimal mungkin.


Site adalah permukaan yang sering terjadinya akumulasi plak .

Site 1 : pada daerah oklusal


Site 2 : pada daerah aproksimal
Site 3 : pada daerah servikal

Size adalah suatu proses prkembangan lesi karies.

Size 0 : lesi awal sebagai tanda telah terjadinya demineralisasi ( harus dialkukan

remineralisasi ; dengan pengulasan flor pada lesi )


Size 1 : kavitas kecil di permukaan sampai dentin (dilakukan restorasi)
Size 2 : kavitas dentin yang cukup dalam sehngga diperlukan restorasi dan sisa

jarinagan gigi cukup kuat untuk menahan restorasi.


Size 3 : kavitas lebih luas cusp dan tepi insisal terlibat samapi pecah/ tidak kuat
lagi menahan tekan oklusi , kavitas perlu di perlebar sehingga restorasi dapat

dibuat aggar menyangga sisa struktur gigi yang ada.


Size 4 : kavitas / karies yang luas dan kehilangan banyak struktur gigi ;
kehilangan cusp/insisal.

Site

Size

Minimal

site1-

1
Pit & Fissure

Moderate

Enlarged

Extensive

1.1

1.2

1.3

1.4

2.1

2.2

2.3

2.4

3.1

3.2

3.3

3.4

1
Aproksimal
2
Servikal
3
size 1 (1.1) : pada 1 area pada fit dan fissure .Dilakukan kombinasi antara restorasi dan fit
and fissure sealant pada bagian fissure lain.
site 1-size2 (1.2) : lesi sedang ,semua fit dan fissure terlibat .
site 1-size 3(1.3) : lesi besar dan melibat kan satu atau lebih dari satu cusp.

site 1-size 4(1.4) : lesi lebih luasdan disertai dengan kehilanga satu atau lebih

dari satu cusp yang hilang.


site 2- size1 (2.1) : kavitas dipermukaan enamel,sedikit mencapai dentin.
Site 2- size 2 (2.2): lebih dalam ke denti, marginal ridge rapuh dan
pecah, masih ada sejumlah struktur gigi yang memadai untuk dipreparasi.dan

bisa untuk bekas kavitas kelas 2 GV Black.


Site 2 size 3 (2.3) : kavitas dentin yangg cukup dalam pada gigi posterior
degan dasar cusp terbelah / berpotensi untuk terbelah . karies proksimal yag

luas degan kerusakan di sudut insisal yang dalam pad a gigi anterior.
Site 2 size 4 (2.4) : kehilangan setidaknya 1 cusp pada gigi
posterior.Kerusakan yang luas pada tepi insisal gigi anterior.Bisa karena

karies / traum
Site 3 size1 (3.1) : karies aktif tahap awal / gigi rusak non karies didaerah

servikal gigi manapun, disekeliling daerah kecembungan gigi


site 3 size 2 (3.2) : karies lebih lanjut / kerusakan gigi yang cukup luas

didaerah servikal pada gigi manapun, disekeliling daerah kecembungan gigi


site 3 size3 (3.3) : karies lebih lanjut / kerusakan gigi non karies pada
tepi/batas servikal daerah interproksimal antara gigi manapun (karies

permk.akar)
site 3 size 4 (3.4) : karies lanjutan / kerusakan gigi non karies di tepi/batas
servikal pada gigi manapun.Dan lebih dari 1 permukaan yang terlibat.

Mega Merdekawati (160110130057)


2.7 Tahap Karies dengan Pemeriksaan Klinis dan Radiografi
Karakteristik lesi karies bermacam-macam bedasarkan asal permukaan di mana lesi
berkembang. Terdapat tiga tempat klinis untuk inisiasi karies, yaitu (1) enamel pits and fissures,
tempat di mana paling mudah terkena karies, (2) smooth enamel surface; dan (3) root surface (lih
Fig. 7.1, A sampai C). Tempat kedua yang telah disebutkan mengacu pada area tertentu dari
smooth enamel surface di mana kontur atau posisi gigi melindungi plak dari pembersihan
menggunakan sikat gigi.
Tiap area ini memiliki topografi permukaan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Maka,
tiap area memiliki populasi plak yang berbeda pula. Diagnosis, perawatan, dan tindak

pencegahan dari tiga tipe lesi yang berbeda ini sebaiknya memperhitungkan faktor etiologik yang
berbeda di tiap tempatnya.
Pits and fissures. Pit dan fissure gigi yang baru erupsi biasanya terkolonisasi oleh bakteri
dengan cepat. Penduduk koloni membentuk bacterial plug yang menetap untuk waktu yang
lama, bahkan sepanjang hidup gigi tersebut. Tipe dan asal organisme yang terdapat di rongga
mulut menentukan tipe organisme yang berkoloni pada pit dan fissure serta menolong dalam
menentukan outcome dari kolonisasi tersebut. Banyak coccus gram positif, khususnya S.
sanguis, yang ditemukan pada pit dan fissure gigi yang baru erupsi, sedangkan Streptococcus
mutan biasanya ditemukan pada pit dan fissure gigi karies.
Bentuk pit dan fissure berkontribusi dalam kerentanan gigi terhadap karies. Pit yang
panjang dan sempit menghalangi pemeriksaan visual dan taktil (lih Fig. 7.1). Terdapat banyak
variasi bentuk dalam struktur ini. Beberapa akhir pit dan fissure tidak terlihat, ada yang terbuka
dekat ke dentin, dan ada yang masuk seluruhnya ke dalam enamel.

FIG. 2.7.1 Developmental pits, grooves, and fissures on the crowns of the teeth
can have complex and varied anatomy. A and B, The facial developmental groove
of the lower first molar often terminates in a pit. The depth of the groove and the
pit is highly variable. C and D, The central groove extends from the mesial pit to
the distal pit. Sometimes grooves extend over the marginal ridges. E, The
termination of pits and fissures may vary from a shallow groove (a) to complete
penetration of the enamel (b). The end of the fissure may end blindly (c) or open
into an irregular chamber (d).

Karies pada pit dan fissure meluas seiring karies masuk ke dalam enamel. Dengan
demikian, entry site dapat terlihat jauh lebih kecil daripada lesi sebenarnya sehingga menyulitkan
diagnosis klinis. Lesi karies pada pit dan fissure berkembang dari serangan pada dinding (lih Fig.
7.2, A sampai C). Progres disolusi dinding lesi pit dan fissure ini mirip dengan lesi smoothsurface karena ada area serangan permukaan yang luas dan melebar ke dalam, sejajar dengan
enamel rods. Occlusal enamel rods bengkok ke bawah dan berakhir pada dentin di bawah
developmental enamel fault. Dengan demikian, lesi yang awalnya berasal dari pit dan fissure

menyerang area DEJ yang lebih luas daripada lesi yang berasal dari smooth-surface.
Penampakan lesi pit dan fissure sebagai V terbalik dengan entrance sempit dan area terlibat yang
lebih luas dekat dengan DEJ (lih Fig. 7.2).

FIG 2.7.2 Progression of caries in pits and fissures. A, The initial lesions develop on the lateral
walls of the fissure. Demineralization follows the direction of the enamel rods, spreading
laterally as it approaches the DEJ. B, Soon after the initial enamel lesion occurs, a reaction can
be seen in the dentin and pulp. Forceful probing of the lesion at this stage can result in damage to
the weakened porous enamel and accelerate the progression of the lesion. Clinical detection at
this stage should be based on observation of discoloration and opacification of the enamel
adjacent to the fissure. These changes can be observed by careful cleaning and drying of the
fissure. C, Initial cavitation of the opposing walls of the fissure cannot be seen on the occlusal
surface. Opacification can be seen that is similar to the previous stage. Remineralization of the
enamel because of trace amounts of fluoride in the saliva may make progression of pit-andfissure lesions more difficult to detect. D, Extensive cavitation of the dentin and undermining of
the covering enamel will darken the occlusal surface.

Smooth Enamel Surfaces. Smooth enamel surface menyediakan tempat yang lebih tidak
ideal bagi penempelan plak. Plak biasanya berkembang hanya pada smooth surface yang
berdekatan dengan gusi atau di bawah kontak proksimal. Permukaan proksimal rentan caries

karena plak terlindung. Lesi yang berawal dari smooth enamel surface memiliki area yang luas
dan ekstensi yang berbentuk kerucut atau runcing terhadap DEJ. Setelah karies memasuki DEJ,
pelunakkan dentin menyebar secara cepat ke arah lateral dan ke arah pulpa (lih Fig. 7.3).

FIG 2.7.3 Longitudinal sections (see insetfor A) showing initiation and progression of caries on
interproximal surfaces. A, Initial demineralization (indicated by the shading in the enamel) on
the proximal surfaces is not detectable clinically or radiographically. All proximal surfaces are
demineralized to some degree, but most are remineralized and become immune to further attack.
The presence of small amounts of fluoride in the saliva virtually ensures that remineralization
and immunity to further attack will occur. B, When proximal caries first becomes detectable
radiographically, the enamel surface is likely to still be intact. An intact surface is essential for
successful remineralization and arrest of the lesion. Demineralization of the dentin (indicated by
the shading in the dentin) occurs before cavitation of the surface of the enamel. Treatment
designed to promote remineralization can be effective up to this stage. C, Cavitation of the
enamel surface is a critical event in the caries process in proximal surfaces. Cavitation is an
irreversible process and requires restorative treatment/correction of the damaged tooth surface.
Cavitation can only be diagnosed by clinical observation. The use of a sharp explorer to detect
cavitation is problematic because excessive force in application of the explorer tip during
inspection of the proximal surfaces can damage weakened enamel and accelerate the caries
process by creating cavitation. Separation of the teeth can be used to provide more direct visual
inspection of suspect surfaces. Fiber-optic illumination and dye absorption are also promising
new evaluation procedures, but neither is specific for cavitation. D, Advanced cavitated lesions
require prompt restorative intervention to prevent pulpal disease, limit tooth structure loss, and
remove the nidus of infection of odontopathic organisms.

Root Surface. Root surface lebih kasar daripada enamel dan dengan segera
menyebabkan formasi plak ketika tidak ada kebersihan mulut yang baik. Sementum yang
melapisi akar sangat tipis dan hanya memiliki sedikit ketahanan terhadap serangan karies. Lesi
root caries memiliki pinggiran yang tidak jelas, cenderung berbentuk U, dan berkembang lebih
cepat karena tidak ada proteksi dari enamel. Beberapa tahun terakhir, prevalensi root caries
meningkat secara signifikan karena meningkatnya jumlah lanjut usia yang mengalami resesi gusi
dan terdapat plak kariogenik pada permukaan akar yang terbuka.

Rizkiah Ananda (160110130064)


2.8 Cara Pencegahan Karies
1. Kurangi substrat karbohidrat
Semua karbohidrat yang dimakan, termasuk makanan mengandung tepung (starchy
food), khususnya yang telah diolah menjadi makanan ringan (snack) dan makanan mengandung
gula seperti kue, biskuit, selai, madu, buah-buahan dan jus buah dapat mempengaruhi
pembentukan plak.
Makanan ini membantu pembiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan enamel. Selain itu, makanan tersebut akan mempengaruhi metabolisme bakteri dalam
plak itu sendiri dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam,
enzim serta bahan lain yang aktif sehingga menyebabkan percepatan demineralisasi enamel
sampai timbulnya lesi karies.
Makanan yang mengandung sukrosa mengubah ketebalan dan bentuk kimia dari
plak.S.mutans dan beberapa bakteri plak lain menggunakan komponen monosakarida (glukosa
dan fruktosa) dan energi dari ikatan disakarida sukrosa untuk membentuk polisakarida
ekstraseluler.
Ini meningkatkan penumpukan substansi plak dan juga

mengganti susunan kimia

ekstraseluler dari liquid ke gel. Gel membatasi pergerakan dari beberapa ion. Tebalnya gel-plak

memperbolehkan perkembangan lingkungan asam pada permukaan gigi.Plak yang tidak


berkontak dengan sukrosa adalah yang tipis dan buffer salivanya lebih baik.Makanan dengan
proporsi sukrosa yang tinggi dapat mempertinggi risiko karies. Plak yang lebih tebal terdapat
pada pit dan fisur, di bawah titik kontak, dan pada pasien dengan OH yang buruk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang banyak mengonsumsi

karbohidrat

terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet
banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau tidak mempunyai karies gigi
Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa karbohidrat memegang peranan penting dalam
terjadinya karies.Kecepatan pembentukan plak tergantung dari konsistensi, jenis dan keras
lunaknya makanan.
Penelitian membuktikan bahwa penambahan karbohidrat pada makanan dapat
menyebabkan pembentukan plak yang sangat tebal.Berbeda dengan plak yang dibentuk tanpa
karbohidrat, hanya menyebabkan lapisan plak tipis.Penumpukan plak sangat tebal pada diet
dengan sukrosa disebabkan oleh pembentukan ekstraseluler matriks (dekstran) yang dihasilkan
dari pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
Makanan lunak yang tidak memerlukan pengunyahan mempunyai sedikit atau tidak
mempunyai efek membersihkan pada gigi geligi.
Karbohidrat yang hampir selalu ditemui dalam jumlah yang tinggi pada makanan,
memegang peranan penting dalam pembentukan plak.
Glukosa dengan bantuan S.mutans membentuk dekstran, yaitu matriks yang melekatkan
bakteri pada enamel gigi.Fruktosa juga dipecah dengan bantuan mikroorganisme plak menjadi
levan sebagai sumber bahan makanan mikroorganisme plak apabila kekurangan karbohidrat
dalam mulut.Enzim yang memecahkan glukosa ini oleh Trautner dan Treasure disebut dengan
enzim glukosil transferase dan enzim fruktosil transferase dalam menghasilkan polisakarida
ekstraseluler.
Sifat dekstran yang penting adalah sifat adhesif, yaitu molekul-molekul melekat erat
pada hidroksiapatit gigi dan tidak larut oleh saliva sehingga dengan dekstran ini, di samping
glikoprotein dari saliva, akan memperkuat perlekatan dan kolonisasi mikroorganisme.Beberapa

penelitian mengatakan bahwa ada hubungan erat antara pemakaian karbohidrat yang diolah
secara berlebihan dengan meningkatnya karies gigi. Menurunnya kegiatan karies sesuai dengan
berkurangnya pemakaiankarbohidrat.Dalam penelitian para ahli, diperoleh beberapa resume
mengenai hubungan karies dengan karbohidrat, yaitu :
a. Mengonsumsi gula dapat memperhebat aktivitas karies gigi.
b. Kemungkinan terjadi karies dengan mengonsumsi gula diperbesar lagi jika gula tersebut
dimakan dalam bentuk mudah melekat pada gigi.
c. Kemungkinan terjadi karies diperbesar lagi bila gula tersebut dimakan tidak pada waktu
makan.
d. Bila makanan yang dikonsumsi tidak mengandung gula, aktivitas karies berkurang.
2. Tingkatkan ketahanan gigi
Pit dan Fisur adalah daerah rawan karies sehingga cara mudah untuk melindunginya
dengan melakukan penambalan resin atau fissure sealant.
Fluor adalah bahan yang terdapat dalam makanan dan air minum, fluor ini merupakan
bahan mineral yang terdapat didalam tanah. Sumber-sumber utama dari fluor ini adalah air
terutama air dari sumur-sumur yang dalam
Pencegahan karies dengan pemakaian fluor ini dapat dilakukan secara sistemik yaitu
dengan memfluoridasikan minuman sedangkan secara lokal yaitu dengan berkumur-kumur
memakai larutan fluor.
3. Hilangkan Plak Bakteri
Mengevaluasi dan meningkatkan kebersihan mulut perlu dilakukan mengingat banyak hal
mempengaruhi kebersihan rongga mulut.Beberapa diantaranya adalah pemilihan sikat gigi,
metode aplikasi menyikat gigi serta frekuensi dan lama menyikat.Menjaga kebersihan rongga
mulut harus dilakukan secara rutin baik sebelum atau sesudah makan dan malam hari sebelum
tidur.

2.9 Cara Penanggulangan Berbagai Lesi Karies

Pendekata modern untuk mendiagnosis karies sebaiknya tidak terfokus pada adanya lesi saja,
tetapi harus mencakup faktor-faktor yang mengarah terbentuknya lesi. Menurut WHO (1992)
pendekatan tersebut sebaiknya terdiri atas tahap-tahap sebagai berikut:

Pemeriksaan klinik dan radilogik untuk mendeteksi lesi dini atau adanya kavitas

Evaluasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lesi

Pengendalian faktor-faktor risiko yang diidentifikasi

Perawatan karies

Program pemeliharaan

Selanjutnya untuk memprediksi terjadinya karies, sekarang telah berkembang tes aktivitas
karies. Jumlah Streptococcus mutans dan Lactobacillus serta kecepatan sekresi dan kapasitas
buffer saliva adalah jenis pemeriksaan yang dapat menentukan risiko seseorang terhadap karies
(Newbrun, 1989). Di masa mendatang pemeriksaan untuk menentukan karies akan lebih maju,
dan mungkin lebih banyak dilakukan baik dengan berbagai macam tes aktivitas karies maupun
dengan radiografi dan sinar laser.
WHO (1992) menganjurkan pendekatan yang lebih konservatif pada lesi dengan kavitas dan
disesuaikan dengan keparahan lesi sebagai berikut:

Karies dini

: - remineralisasi dengan pengulasan flour


- konsul diet dan faktor risiko yang lain

Kavitas inisial

: - aplikasi penutup fisur


- restorasi setelah akskavasi lesi atau preparasi minimal

Kavitas sedang: - restorasi dengan preparasi minimal

Kavitas dalam : - restorasi dengan preparasi minimal


- perawatan endodontik

Martha Siahaan (160110130059)

2.10 Kode Penyakit Karies dan Periodontal dalam Kasus sesuai ICD-X
ICD-X
International Statistical Clasification of Disease and Related Health Problem Tenth
Revision (ICD-10) adalah klasifikasi penyakit yang disusun berdasarkan sistem pengkategorian
penyakit yang penataannnya sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh WHO. ICD digunakan
untuk menerjemahkan suatu diagnose penyakit dan masalah kesehatan dari kata-kata menjadi
kode numerik, dengan tujuan memungkinkan untuk membuat catatan yang sistematis, analitik,
menerjemahkan dan membandingkan peristiwa penyakit dan kematian yang telah dikumpulkan
diberbagai tempat dan Negara pada saat yang berlainan, sehingga memudahkan untuk disimpan
dan dicari serta dianalisis kembali. Standar klasifikasi diagnosa internasional bertujuan untuk
epidemiologi umum dan manajemen kesehatan.
Pengembangan Klasifikasi penyakit pertamakali dilakukan oleh William Farr (1856)
dengan pengklasifikasian menjadi 5 kelompok yaitu :

Penyakit epidemic

Penyakit konstitusi dan umum

Penyakit local yang disusun berdasarkan tempat

Penyakit perkembangan (developmental diseases)

Cedera.
Berdasarkan kasus ini, diketahui bahwa pasien menderita karies dan periodontitis.
Kode penyakit tersebut berdasarkan ICD-X adalah :
Karies
: K 02
Karies profunda
: K02,9
Periodontitis akut
: K05.2
:

2.11 Rencana Perawatan bagi Lesi Karies maupun White Spot

Perawatan
Struktur gigi yang rusak tidak dapat sembuh sempurna, walaupun remineralisasi pada
karies yang sangat kecil dapat timbul bila kebersihan dapat dipertahankan.Perawatan ini
bertujuan untuk mencegah perusakan lebih lanjut.
Jika karies berhenti sebelum mencapai dentin, maka email bisa membaik dengan
sendirinya dan bintik putih di gigi akan menghilang. Jika karies telah mencapai dentin, maka
bagian gigi yang membusuk harus diangkat dan diganti dengan tambalan (restorasi). Jika karies
menyebar sampai ke pulpa, satu-satunya cara untuk menghilangkan nyeri adalah mengangkat
pulpa melalui saluran akar (endodontik) atau mencabut gigi.
Jenis Perawatan

1. Karies Kelas I
Beberapa lesi karies kelas I sulit untuk dibedakan dengan kerusakan enamel non
karies yang dalam. Indikasi untuk dilakukan restorasi terlihat jika terdapat rasa sentakan
pada pit atau fissure yang dikelilingi oleh enamel yang berwarna seperti kapur atau tidak
translusen.
Seiring dengan waktu, karies akan semakin terlihat jelas melalui hasil sinar X, dan
apabila sudah terlihat jelas sangat diperlukan untuk dilakukan restorasi. Tetapi apabila
karies itu hanya sedikit dan tanpa bukti yang jelas, maka dokter gigi harus bisa

mempertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan secara berkala, terutama pada pasien


yang sudah berumur lanjut dan kerusakan giginya rendah. Sentakan dapat terjadi di pit
atau di fissure walaupun tidak ada karies. Penting untuk mengetahui bahwa kebusukan pit
dan fissure dapat dicegah atau dihambat dengan cara mengaplikasikan sealants (menutup
pit dan fissure) segera setelah gigi erupsi.

2. Karies Kelas II
Secara klinis, lesi kelas II secara jelas kavitasnya (lubang atau kerusakan)
membutuhkan restorasi.Pada hasil sinar X mengindikasikan kebutuhan restorasi apabila
lesi tersebut telah menembus dari DEJ hingga ke dentin. Apabila lesinya hanya
berukuran kecil dan masih terkurung di bagian enamel pada pemeriksaan sinar X, maka
dokter gigi harus mempertimbangkan riwayat penyakit gigi pasien, kebersihan bulut, dan
usia untuk menentukan apakah bisa di restorasi sekarang atau membutuhkan
pemeriksaan berkala. Penggunaanfluoride dan fluoride varnish dapat meningkatkan
potensi untuk mecegah lesi.
3. Karies Kelas III
Indikasi pada karies kelas III ini sama dengan indikasi pada karies kelas II, yaitu
ketika permukaan terdapat kavitas atau kebusukan sampai pada dentin sebagaimana
terlihat pada sinar X atau transillumination, membutuhkan restorasi.
4. Karies Kelas IV
Restorasi pada karies kelas IV terindikasi ketika karies aktif terdeteksi. Karies
kelas IV ini terindikasi untuk mendapatkan restorasi, dikarenakan pojok gigi terdapat
kerusakan terutama fraktur yang diakibatkan oleh kecelakaan. Oleh karena itu, fraktur
yang meluas, kedekatan fraktur dengan ruang pulpa, sensitif dengan perubahan suhu, dan
estetika sangat penting untuk dilakukannya restorasi. Apabila frakturnya tidak sampai ke
dentin, menghaluskan tepi saja sudah cukup. Tetapi apabila sampai ke dentin atau
terdapat

kebusukan,

restorasi

sangat

dibutuhkan

terutama

ketidaknyamanan dan menghentikan perluasan kebusukan gigi.

untuk

mencegah

5. Karies Kelas V
Tidak semua area di cervical pada gigi yang mempunyai kavitas dan bernoda
putih atau hitam membutuhkan restorasi kelas V. Jika area yang mengalamin kebusukan
dapat merespon fluoride dan dapat meningkatkan tingkat kebersihan mulutnya, dan tentu
saja terjadi remineralisasi, restorasi tidak diperlukan.Restorasi lesi kelas V diperlukan
ketika struktur gigi memiliki kavitas atau kerusakan non karies (abrasi) terjadi pada gigi
dan jika gigi ini sensitive serta tidak dapat merespon desensitizing agents.Hal ini
diperburuk jika lesi ini sangat dalam dan tidak bisa dibersihkan, serta tingkat kebersihan
mulutnya sangat rendah.
Lesi kelas V sangat memungkinkan dalam berhubungan dengan lesi kelas II.Restorasi
gigi ini membutuhkan dua kali preparasi secara terpisah (yang pertama adalah untuk
menghilangkan karies kelas II dan yang satunya untuk menghilangkan karies kelas V).
Selain itu, perawatan dari karies gigi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perawatan
dental karies ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi.
a. Penambalan (filling)
Dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih lanjut.Ini merupakan penambalan biasa
yang dilakukan pada karies yang ditemukan saat iritasi atau hyperemia pulpa.Bahan yang
digunakan yaitu amalgam, resin komposit, dan glass ionomer. Penambalan dengan inlay
juga dapat dilakukan.
b. Perawatan Saluran Akar (PSA) atau Root Canal Treatment
Dilakukan bila sudah terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa.
c. Ekstraksi Gigi
Merupakan pilihan terakhir dalam perawatan karies gigi.Dilakukan bila jaringan gigi
sudah sangat rusak sehingga tidak dapat direstorasi.Gigi yang telah diekstrasi perlu
diganti dengan pemasangan gigi palsu (denture), implant, atau jembatan (bridge).

Ruri Nawang Sari (160110130058)


2.12 Kondisi Saliva serta Pengaruhnya terhadap Karies dan Kalkulus
2.12.1 Sekresi saliva
Keadaan sekresi saliva dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu aliran saliva, volume
saliva, pH saliva, dan buffer saliva.
a. Aliran saliva
Laju aliran saliva merupakan pengaturan fisiologis sekresi saliva. Pada keadaan
normal, laju aliran saliva berkisar antara 0,05-1,8 mL/menit.11,14 Kelenjar saliva dapat
distimulasi dengan cara mekanis yaitu dengan pengunyahan, kimiawi yaitu dengan
rangsangan rasa, neural yaitu melalui saraf simpatis dan parasimpatis, psikis dan
rangsangan rasa sakit. Bila dirangsang akan meningkat menjadi 2,5-5 mL/menit.
Laju aliran saliva akan meningkat karena adanya rangsangan seperti rangsangan
pengecapan, rangsangan psikologi, ataupun rangsangan akibat perawatan gigi (misalnya
karena peralatan dokter gigi). Selain itu, laju aliran saliva dipengaruhi oleh ritme
sirkardian (circardian rhythms), yaitu irama jantung yang teratur dalam fungsi tubuh yang
terjadi selama 24 jam.11 Aliran saliva akan berkurang pada saat tidur. Begitu juga pada
saat kita dalam keadaan takut.
Bila aliran saliva menurun, maka akan terjadi peningkatan frekuensi karies gigi.
Jika laju aliran saliva meningkat, akan menyebabkan konsentrasi sodium, kalsium,
klorida, bikarbonat dan protein meningkat, tetapi konsentrasi fosfat, magnesium dan urea
akan menurun. Dengan meningkatkannya komponen bikarbonat saliva, maka hasil
metabolik bakteri dan zat-zat toksik bakteri akan larut dan tertelan sehingga
keseimbangan lingkungan rongga mulut tetap terjaga dan frekuensi karies gigi akan
menurun.
Untuk melakukan pemeriksaan laju aliran saliva, sebaiknya dianjurkan kepada
pasien untuk tidak makan, minum, mengunyah permen karet ataupun merokok sedikitnya
satu sampai dua jam sebelum pemeriksaan.
b. Volume saliva

Volume saliva yang disekresikan setiap hari diperkirakan antara 1,0-1,5 Liter.
Seperti yang telah diketahui, bahwa saliva disekresi oleh kelenjar parotis,
submandibularis, sublingualis dan kelenjar minor. Pada malam hari, kelenjar parotis sama
sekali tidak berproduksi. Jadi, sekresi saliva berasal dari kelenjar submandibularis, yaitu
lebih kurang 70% dan sisanya (30%) disekresikan oleh kelenjar sublingualis dan kelenjar
ludah minor. Sekresi saliva dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima oleh
kelenjar saliva. Rangsangan tersebut dapat terjadi melalui jalan berikut:
Sekresi saliva sebenarnya tidak tergantung pada umur, tetapi pada efek

samping

dari

obat-obatan tertentu yang dikonsumsi sehingga mengurangi aliran saliva. Sekresi saliva
yang berkurang akan mengakibatkan mulut kering, penurunan pengecapan, kesukaran
mengunyah dan menelan makanan, timbulnya keluhan rasa sakit pada lidah dan mukosa,
juga dapat menyebabkan karies dan kehilangan gigi. Sedangkan sekresi saliva yang
berlebihan, yang ditandai dengan sekresi saliva encer seperti air yang keluar terusmenerus sehingga mengakibatkan sudut mulut meradang (angular cheilitis) dan
dermatitis.
c. pH dan sistem buffer saliva
pH dan kapasitas buffer saliva memiliki hubungan yang signifikan. Hubungan ini dilihat
dari adanya hubungan secara statistik antara kapasitas buffer saliva yang tinggi pada
saliva yang tidak distimulasi dan tingkat karies rendah.
1. Mekanis : mengunyah permen karet ataupun makanan yang keras
2. Kimiawi : rangsangan rasa seperti asam, manis, asin, pahit dan juga pedas
3. Psikis : stres yang akan menghambat sekresi saliva, dapat juga karena membayangkan
makanan yang enak sehingga sekresi saliva meningkat.
4. Neural : rangsangan yang diterima melalui sistem saraf otonom baik simpatis maupun
parasimpatis.
5. Rangsangan rasa sakit: misalnya karena adanya peradangan, gingivitis dan juga karena
protesa yang akan menstimulasi sekresi saliva.

Kapasitas buffer saliva merupakan faktor primer yang penting pada saliva untuk
mempertahankan derajat keasaman saliva berada dalam interval normal sehingga
keseimbangan (homeostatis) mulut terjaga. Sistem buffer yang member kontribusi utama
(85%) pada kapaasitas total buffer saliva adalah sistem bikarbonat dan 15% oleh fosfat,
protein dan urea.
Kapasitas buffer saliva dan pH saliva juga naik bersamaan dengan kenaikan
kecepatan sekresi. Pada saat tidak distimulasi (keadaan istirahat), pH saliva adalah 6,106,47 selanjutnya stimulasi pada sekresi saliva akan meningkatkan pH mencapai angka
netral yaitu 7,62.
Mekanisme efek buffer pada saliva tergantung pada aliran saliva dan kandungan
bikarbonatnya. Konsentrasi bikarbonat merupakan sistem buffer yang terpenting dalam
saliva dan berbanding lurus dengan kecepatan sekresi saliva. Jika konsentrasi bikarbonat
semakin tinggi maka semakin tinggi pula pH dan kapasitas buffer dalam saliva.
HCO3 + H H2CO3 H2O + CO2
Keadaan pH dan kapasitas buffer saliva mempengaruhi keberadaan karies dalam
rongga mulut. Semakin rendah pH saliva, maka karies cenderung semakin tinggi.1,18
Pada lesi karies yang dalam, ditemukan bahwa pH akan lebih rendah dibandingkan pH
lesi karies dangkal yang lebih mendekati pH saliva. Dari beberapa penelitian, ditemukan
adanya relasi laju aliran saliva, volume, pH dan kapasitas buffer saliva.11,15 Laju aliran
saliva sangat bervariasi tidak hanya dibandingkan dengan orang lain, tetapi juga pada
individu yang sama tergantung waktu pemeriksaan, posisi tubuh, banyak cahaya dan
faktor lain. Navazesh et al menemukan bahwa laju aliran saliva yang tidak distimulasi
memiliki kekuatan validitas prediksi yang sangat kuat untuk memperkirakan risiko karies.
Apabila laju aliran saliva meningkat, maka pH dan kapasitas buffernya juga akan
meningkat, dan volume saliva juga akan bertambah sehingga risiko terjadinya karies
makin rendah. Penurunan pH dalam rongga mulut dapat menyebabkan demineralisasi
elemen gigi dengan cepat, sedangkan pada kenaikan pH dapat terbentuk kolonisasi
bakteri yang menyimpang dan meningkatnya pembentukan kalkulus. Rendahnya laju
aliran saliva dan kapasitas buffer saliva dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
saliva untuk membersihkan sisa makanan, mematikan kuman, mengurangi kemampuan
menetralkan asam dan kemampuan menimbulkan remineralisasi lesi enamel.

Penurunan laju aliran saliva dapat diikuti oleh peningkatan jumlah S.mutans dan
Laktobasilus. Dengan demikian, aktivitas karies yang tinggi dapat dijumpai pada orang
yang laju aliran saliva berkurang.
2.12.2 Saliva sebagai alat diagnosa karies
Seperti yang telah diketahui, bahwa saliva mempengaruhi terjadinya karies.
Secara teoritis, saliva mempengaruhi proses karies dalam berbagai cara, yaitu:
1. Aliran saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan juga
menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut.
2.

Difusi komponen saliva seperti kalsium, fosfat, ion OH dan fluoride ke dalam plak dapat
menurunkan kelarutan enamel dan meningkatkan remineralisasi karies dini.

3. Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat, serta kandungan amoniak dan urea dalam saliva
dapat menyangga dan menetralkan penurunan pH yang terjadi saat bakteri plak sedang
memetabolisme gula. Kapasitas penyangga dan pH saliva erat hubungannya dengan
kecepatan sekresinya. Nilai pH kelenjar parotis meningkat dari 5,7 ketika saliva tidak
terangsang menjadi 7,4 pada saat tingkat produksi sedang tinggi. Peningkatan nilai pH
seperti tersebut bagi kelenjar submandibula adalah dari 6,4 ke 7,1. Peningkatan tingkat
kecepatan saliva juga mengakibatkan naiknya kapasitas buffernya. Pada kedua keadaan
tersebut, penyebabnya adalah meningkatnya kadar natrium dan bikarbonat.
4. Beberapa komponen saliva yang termasuk dalam komponen non imunologi seperti
lysozyme, lactoperoxydase,dan lactoferrin mempunyai daya anti bakteri yang langsung
terhadap mikroflora tersebut sehingga derajat asidogeniknya berkurang.
5. Molekul immunoglobulin A (IgA) disekresi oleh sel-sel plasma yang terdapat di dalam
kelenjar saliva, sedangkan komponen protein lainnya diproduksi di lapisan epitel luar
yang menutup kelenjar. Kadar keseluruhan IgA di saliva berbanding terbalik dengan
timbulnya karies.
6. Protein saliva dapat meningkatkan ketebalan acquired pellicle sehingga dapat membantu
menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium dari enamel.
Apabila saliva akan digunakan sebagai indikator pengukuran risiko karies, maka
harus diperhatikan kondisi saliva dalam dua keadaan, yaitu sebelum distimulasi

(unstimulated saliva) dan sesudah distimulasi (stimulated saliva). Saliva sebelum


distimulasi maksudnya adalah saliva yang diproduksi tanpa adanya rangsangan,
sedangkan saliva setelah distimulasi maksudnya adalah saliva yang disekresi setelah
diberi rangsangan.
Rangsangan yang sangat mempengaruhi sekresi saliva adalah rangsangan
mekanik yang tampak dalam bentuk pengunyahan maupun rangsangan kimiawi yang
tampak dalam bentuk pengecapan. Dalam beberapa teknik pengukuran risiko karies yang
menggunakan saliva, kedua rangsangan ini tidak difungsikan sekaligus. Jika teknik
pengukuran membutuhkan rangsangan pengunyahan saja, biasanya rangsangan diberikan
dengan mengunyah lilin paraffin (paraffin wax) selama 5 menit untuk melihat laju aliran
saliva yang akan mempengaruhi volume, pH dan kapasitas buffer saliva. Paraffin wax
merupakan bahan yang telah diuji keterandalan dan kesahihannya dalam mempengaruhi
sekresi saliva untuk mengumpulkan saliva yang distimulasi. Dalam pengukuran saliva
dengan menggunakan stimulasi pengunyahan, posisi tubuh subjek harus dalam posisi
berdiri dan pengumpulan saliva dilakukan 2 jam setelah makan terakhir. Posisi tubuh
subjek harus berdiri karena posisi tubuh berdiri meningkatkan kecepatan aliran saliva
yang mencapai kecepatan aliran saliva tertinggi. Pengumpulan saliva juga harus
dilakukan 2 jam setelah makan terakhir agar kondisi rongga mulut dan sekresi saliva
berada dalam kondisi normal dan bebas dari pengaruh makanan.
Cara mengumpulkan saliva yang digunakan adalah dengan metode draining.
Metode ini diperkenalkan oleh Navazesh dan dipakai dalam setiap penelitian yang
menggunakan saliva akibat rangsangan pengunyahan. Metode ini merupakan suatu
metode yang pasif, dimana pasien atau subjek disuruh untuk mengalirkan salivanya
keluar dari dalam mulut ke dalam tabung berskala (saliva collection cup). Metode ini
digunakan karena telah teruji kesahihan dan keterandalannya. Metode ini juga paling
sederhana dan paling besar menghasilkan sejumlah saliva yang diperlukan untuk
pengukuran.
Dalam pengukuran saliva, jumlah S.mutans juga digunakan untuk melihat
bagaimana hubungan sekresi saliva dengan pengalaman karies. Seperti yang telah
diketahui bahwa di dalam saliva terdapat flora normal yang ternyata sangat
mempengaruhi proses terjadinya karies. Bakteri tersebut adalah S.mutans dan

Laktobasillus. S.mutans adalah organisme yang sangat berperan pada permulaan


terjadinya karies gigi. S.mutans mampu memetabolisme karbohidrat menjadi asam,
sehingga menurunkan pH saliva di bawah pH kritis, yaitu 5,5 bahkan 4,1 sehingga dapat
melarutkan enamel. Individu dengan jumlah S.mutans yang rendah biasanya memiliki
skor karies yang rendah. Sedangkan individu dengan jumlah S.mutans yang banyak
merupakan individu yang berisiko tinggi terserang karies. Karena itu jumlah S.mutans
dalam saliva yang telah distimulasi digunakan juga untuk mengetahui risiko karies
seseorang.
Dengan mengevaluasi laju aliran, volume, pH, kapasitas buffer dan jumlah S.
mutans yang terdapat dalam saliva, maka kita dapat membuat beberapa hal yang dapat
mencegah terjadinya karies pada seseorang sesuai dengan kebutuhannya, antara lain
dengan mengoptimalkan kebersihan mulut, meningkatkan pH oral, meningkatkan
bioavailibilitas kalsium dan fosfat, meningkatkan pemberian fluoride dan mengurangi
frekuensi mengonsumsi karbohidrat yang mudah difermentasi. Ada banyak keuntungan
yang dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap saliva sebagai suatu cara
untuk menentukan risiko karies seseorang. Keuntungan tersebut dapat dirasakan baik oleh
dokter gigi maupun pasien. Keuntungan tersebut antara lain meningkatkan diagnosa,
deteksi awal terhadap karies, meningkatkan komunikasi dan motivasi kepada pasien dan
dapat meningkatkan kepedulian pasien terhadap kesehatan rongga mulut.
Proses pembentukan plak diawali oleh deposisi pelikel pada permukaan gigi.
Pelilel merupakan suatu lapisan glikoprotein yang berasal dari saliva, dan merupakan
bagian dari lapisan biologis yang dapat melindungi permukaan gii dari difusi ion asam ke
gigi. Kemudian terjadi kolonisasi bakteri pada pelikel terutama S.mutans dan S.sanguis,
dalam kurun waktu 24 jam. Akibat adanya karbohidrat, terutama sukrosa, kolonisasi
bakteri ini membentuk polisakarida intraseluler dan ekstraseluler yang berperan dalam
perlekatan, pembentukan, dan resistensi plak. Polisakarida ekstraseluler akan membentuk
substansi yang lengket yang mengikat plak menjadi satu kesatuan dan menjaga
perlekatannya ke permukaan gigi, sementara polisakarida intraseluler akan menyediakan
nutrisi secara terus menerus bagi bakteri yang ada di dalam plak, bahkan di saat tidak ada
susbstrat yang terpajan ke dalam mulut. Selanjutnya, bakteri-bakteri lainnya secara
progresif ikut berkoloni di dalam plak ini sehingga menambah ketebalan plak.

Produksi asam yang terbentuk dari aktivitas plak dianggap berperan besar dalam
mengawali serangan karies gigi. Bertahannya pH plak pada kondisi asam ini dapat
berlangsung cukup lama karena dipengaruhi beberapa factor, yaitu adanya produksi asam
dari asam berkonsentasi tinggi diantara plak sehingga menghambat efek dapar local untuk
sementara waktu, sifat diffusion-limited yang dimiliki oleh plak ( plak menghalangi difusi
sitem dapar dari saliva) sehingga lepasnya asam ke dalam saliva bertahan, cukup lama,
adanya produksi asam yang terus berlanjut dari polisakarida intraseluler bakteri, serta
adanya karbohidrat yang dapat difermentasi yang tertelan di dalam rongga mulut.
Zahra Rania (160110130063)
2.13

Radiografi Dental
Radiografi dental merupakan prosedur penting dalam mendiagnosis dan mencatat

penyakit periodontal melalui penilaian level tulang alveolar. Adanya faktor predisposisi
yang berhubungan dengan permulaan penyakit periodontal dicapai secara efektif melalui
kegunaan radiografi dental. Deposit kalkulus supragingival dan subgingival merupakan
faktor predisposisi yang penting pada permulaan penyakit periodontal, ini dapat dilihat
dengan radiografi dental. Kalkulus pada permukaan akar yang melibatkan gigi pada
kalsifikasi tahap lanjut dapat dideteksi dengan bitewing vertikal sama seperti periapikal
radiografi.
Faktor predisposisi lainnya pada penyakit periodontal seperti restorasi dengan kontak
yang terbuka, kontour yang jelek, overhanging dan tepi yang kurang bagus, serta karies
rekuren yang juga tampak secara radiografi pada bitewing posisi vertikal.
2.13.1 Film pada Radiorafi Dental
Film yang digunakan adalah film khusus untuk dental radiography, yang merupakan
single emulsi. Untuk mempermudah positioning film dental, biasanya digunakan sebuah
alat yang disebut "Bitewing

Dan sudut proyeksi yang diberikan pada setiap objek berbeda-beda tergantung
objek apa yg diperiksa (apakah rahang atas atau bawah).

2.13.2 Teknik Positioning

Teknik parallel mengandung arti bahwa film X-Ray diposisikan parallel dengan
sumbu panjang gigi. CR radiasi sinar-x melewati sudut yang tepat sehingga tegak lurus
pada gigi.
Parallel technique :

Titik-titik yang perlu diperhatikan pada saat positioning

2.13.3 Teknik Pemotretan pada Dental


1. Insisivus Rahang atas
CP : pertengahan insisivus rahang atas
CR : 600 caudally
FFD: 30 cd
kV :60-70

2. Insisvus Rahang Bawah

Atur tabung pesawat gigi dengan bidang oklusal bawah sehingga mebentuk
sudut 25 - 30 Cranially. Film diposisikan memanjang.FE : Pada pesawat dental
unit ini pengaturan faktor cukup dengan mengatur secondnya saja. Dengan
pengaturan second, secara otomatis kV dan mAsnya sudah menyesuaikan. Untuk
gigi incicivus dan caninus, second yang dipilih 3 atau 4 second, tergantung tebalnya
objek.Sentrasikan sinar pada simfisis menti. CR 20-30 cranially. CPpada
pertengahan incicivus, 1 cm diatas lower border dari mandibula, kV : 40 150 kV,
mA : 15 mA, Fokus: kecil. Setelah pengaturan faktor eksposi maka pasien
dipersilahkan duduk, daitur posisinya sesuai dengan obyek yang diperiksa, lalu
masukkan film ke dalam mulut pasien, lalu atur letak film pada gigi yang diperiksa.

3. Caninus Rahang Atas


Pemotretan gigi Caninus rahang atas :Atur tabung pesawat gigi dengan bidang
oklusal

atas

sehingga membentuk

memanjang.Sentrasi pada ala of the nose.

sudut

50

caudally.Film

diposisikan

4. Premolar Rahang atas


Teknik pemotretan : Film dimasukkan ke dalam mulut pada posisi melintang tepat di
premolar rahang atas tabung dengan arah sinar 40o caudally ( tube ke lower occusal
plane )Sentrasi pada garis imaginer pertengahan antara inner canthus dan outer
canthus.
Teknik Radiografi: Posisi pasien duduk tegak, posisi objek dengan AML dengan
film, film berada didalam mulut jari menganjal film, kV: 60 Kv, mAS: 6, Central
Ray : 40o caudally, Central point : pertengahan premolar

5. Premolar Rahang bawah


Teknik pemotretan :Tube ke lower occlusal plane membentuk sudut 10, film
diposisikan melintangSentrasi pada batas bawah mandibula sejajar dengan
pertengahan anatar inner dan outer canthus.

6. Molar Rahang Atas


Pasien Duduk ditempat yang telah disediakan.

Posisi Objek :Film posisikan melintang, sentrasi setinggi tulang zygomaticum


daerah yang diperiksa, Atur AML (Acanthion Meatal Line) sejajar lantai. CR :
300 Caudally (ke arah kaki), CP: Pertengahan Molar 1 dan Molar 2.

7. Molar Rahang Bawah


Teknik Radiografi Gigi Rahang Bawah :
Untuk teknik vertikal pasien duduk pada kursi khusus (dental chair).
Upper position line sejajar upper occlusal plane.
Perhatikan penyudutan tabung sinar x vertikal angulasi positif (caudal).
Perhatikan horizontal angulasi.
Persiapkan bahan dan alat : letak film, penyudutan dan faktor eksposi disiapkan
sebelum eksposi dimulai

2.13.4 Pemerikasaan Radiografi Dental Karies


Untuk mendiagnosis adanya karies kita dapat melakukan dengan 2 tehnik, yaitu
bitewing dan periapical tapi yang lebih sering digunakan yaitu tehnik bitewing. Karena
tehnik periapical merupakan gambaran 2 dimensi, sehingga sering terdapat bayangan
yang tidak diperlukan untuk diagnosis, selain itu jika kita menggunakan tehnik bitewing
kita dapat melihat gambaran rahang atas dan bawah sekaligus.

Menurut

lokasinya

karies

dapat

dibedakan

menjadi

karies

proksimal,

oklusal,bukal/lingual, dan akar, sebagai tambahan ada juga yang disebut dengan karies
recurrent dan rampant.
Sedangkan menurut tingkatan kavitasnya dibagi menjadi Incipient, moderate,
advanced, severe

a. Karies Proksimal
1. Karies Proksimal Insipien

2. Karies Proksimal Moderate

3. Karies Proksimal Advanced

4. Karies Proksimal Severe

b. Karies Oklusal

c. Karies Bukal atau Lingual

d. Karies Akar

e. Recurrent Karies

f.

Karies Rampant

2.13.5 Gambaran Radiografi Jaringan Periapikal


1. Periodentitis Aplikalis akut

2. Periodentitis Aplikalis Kronis

3. Abses Aplikalis Akut

4. Abses Aplikalis Kronis

Desi Mitra Cipendani (160110130065)


2.14

Patofisiologi Penyakit Periodontal


Periodontitis adalah seperangkat peradangan penyakit yang mempengaruhi
periodontium yaitu jaringan yang mengelilingi dan mendukung gigi. Periodontitis
melibatkan hilangnya progresif dari tulang alveolar di sekitar gigi dan jika tidak diobati
dapat menyebabkan melonggarnya jaringan periodontium serta kehilangan gigi.
2.14.1 Patofisiologi Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis merupakan penyakit dengan tipe progresif yang lambat.
Dengan adanya faktor sistemik, seperti diabetes, perokok, atau stress, progres penyakit

akan lebih cepat karena faktor tersebut dapat merubah respon host terhadap akumulasi
plak.
Gingivitis atau tahap satu penyakit periodontal adalah kondisi peradangan pada
gusi yang menyebabkan perubahan patologis namun tanpa adanya attachment maupun
bone loss. Periodontitis terjadi ketika perubahan patologis berkembang menjadi
kerusakan gingival sulcus dan juga ligamen periodontal. Periodontitis selalu didahului
oleh gingivitis, namun gingivitis tidak selalu berkembang menjadi periodontitis.
Pembentukan periodontal pocket terjadi sebagai akibat dari hilangnya perlekatan
periodontal dan pendalaman sulkus gingival. Proses dimulai dengan peradangan pada
jaringan ikat di dalam dinding sulkus gingival. Ketika sulkus yang normal berkembang
menjadi pocket periodontal, proporsi mikroorganisme patogen meningkat.

Mikroorganisme, termasuk bakteri aerobik dan anaerobik, menghasilkan produk


beracun dan menyebabkan peradangan, yang menghasilkan kerusakan jaringan dan
pendalaman sulcus. Faktor yang berpengaruh pada kerusakan tulang adalah bakteri dan
host (pada penyakit periodontal). Produk bakterial plak meningkatkan diferensiasi sel
progenitor tulang menjadi osteoklas dan merangsang sel gingiva untuk mengeluarkan
suatu mediator yang memicu terjadinya hal tersebut. Produk plak dan mediator inflamasi
untuk menghambat kerja dari osteoblast dan menurunkan jumlah sel-sel tersebut. Jadi,

aktivitas resorpsi tulang meningkat, sedangkan proses pembentukan tulang terhambat


sehingga terjadilah kehilangan tulang.. Osteoclastic resorption dari tulang alveolar
menyebabkan hilangnya perlekatan ligamen periodontal. Peradangan kronis akan
menyebabkan hilangnya tulang alveolar sekitar 0,2 hingga 0,3 mm tiap tahunnya.

2.14.2 Periodontitis Agresif (Lap dan Gap)


Periodontitis agresif dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
A. Localized Agressive Periodontitis
Periodontitis tipe ini waktu onsetnya terjadi pada saat pubertas. secara klinik dapat
dilihat dari adanya loss atachment dibagian interproksimal gigi. Hal ini terjadi pada
setidaknya 2 gigi, salah satu dari gigi adalah molar pertama permanen dan gigi lainnya
adalah insisiv atau setidaknya 2 gigi lain selain gigi insisiv atau molar pertama.
B. Generalized Aggresive Periodontitis
Disebut juga Generalized Early Onset Periodontitis / Generalized Juvenile
Periodontitis / Rapidly Progressive Periodontitis.
Generalized Early Onset Periodontitis adalah penyakit yang jarang terjadi.
Karakteristiknya adalah destruksi tulang alveolar yang berat disekitar satu atau beberapa
gigi permanen, biasanya mengenai lebih dari 14 gigi dan lintas regio. Penyakit ini sering
terlihat pada dewasa muda/remaja tapi anak-anak umur 10-11 tahun juga dapat terinfeksi.
Pada periodontitis ini, pola dari hilangnya tulang bisa vertikal atau horizontal dan
biasanya meliputi semua gigi.
2.14.3 Periodontitis Pre-Pubertal
Penyakit ini bisa disebabkan oleh adanya bakteri. Selain oleh bakteri, dapat juga
disebabkan oleh adanya gangguan sistemik seperti adanya penyakit sistemik seperti
hypophosphatasia. Adanya kelainan fungsi neutrofil dan monosit juga dapat menjadi
penyebab terjadinya penyakit ini.

2.14.4 Periodontitis (Aids Related)


Patofisiologi
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk
menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk
menghancurkan HIV.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik
dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di
plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus
terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi
patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh
reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan
monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang
pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus
kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang
berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam
penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan
HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T
helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi
HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus.
Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih
kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis
infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period).
Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung
HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus
berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari
90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan
menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat
menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa
tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga
akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah
sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV.
Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan
terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang
dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV),
dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
Lesi di rongga mulut pada penderita HIV/AIDS mulai muncul pada fase kronik
progresif, namun lesi ini baru berupa Linear Ginggiva Eritema (LEG) yang kemudian
pada fase akhir letal (AIDS) akan berkembang menjadi Necrosis Ulcerative Gingivitis
(NUG) dan berkembang lagi menjadi Necrosis Ulcerative Periodontitis (NUP) yang
disebut juga Periodontitis AIDS related.

Riska Fitria (160110130062)


2.15 Faktor Etiologi Penyakit Periodontitis Marginalis
Etiologi
Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor lokal
(ekstrinsik) dan faktor sistemik (intrinsik). Faktor lokal merupakan penyebab yang berada pada
lingkungan disekitar gigi, sedangkan faktor sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan
kesehatan umum.
Kerusakan tulang dalam penyakit periodontal terutama disebabkan oleh faktor lokal yaitu
inflamasi gingiva dan trauma dari oklusi atau gabungan keduanya. Kerusakan yang disebabkan
oleh inflamasi gingiva mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang alveolar, sedangkan
trauma dari oklusi menyebabkan hilangnya tulang alveolar pada sisi permukaan akar.
Faktor Lokal
1. Plak bakteri
2. Kalkulus
3. Impaksi makanan
4. Pernafasan mulut
5. Sifat fisik makanan
6. Iatrogenik Dentistry
7. Trauma dari oklusi
Faktor Lokal :
1. Plak Bakteri
Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba yang melekat erat
pada permukaan gigi dan gingiva bila seseorang mengabaikan kebersihan mulut.

Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supra gingival yang berada disekitar tepi
gingival dan plak sub-gingiva yang berada apikal dari dasar gingival.
1. Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh.
2. Mengurangi pertahanan jaringan tubuh
3. Menggerakkan proses immuno patologi.
Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama terjadinya
gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor lain sebagai penyebabnya yang merupakan
multifaktor, meliputi interaksi antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan
kapasitas daya tahan tubuh.

2. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang mengalami
pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah. Kalkulus merupakan
pendukung penyebab terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa inflamasi terjadi karena
penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan lebih banyak terjadi pada orang dewasa,
kalkulus bukan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya
gingivitis adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan kalkulus,
mempengaruhi gingiva secara tidak langsung.
3. Impaksi makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan keadaan
awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau
miring merupakan tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya plak,
sedangkan gigi dengan oklusi yang baik mempunyai daya self cleansing yang tinggi.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi makanan yaitu

perasaan tertekan pada daerah proksimal


rasa sakit yang sangat dan tidak menentu

inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering berbau.
resesi gingiva
pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari soketnya,
sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan sensitif terhadap perkusi.
kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar
4. Pernafasan Mulut
Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan buruk. Hal ini
sering dijumpai secara permanen atau sementara. Permanen misalnya pada anak dengan
kelainan saluran pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut
terlalu lama. Sementara misal pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang gigi
depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir.
Keadaan ini menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah pada
permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang, populasi bakteri
bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering dan akhirnya memudahkan terjadinya
penyakit periodontal.
5. Sifat fisik makanan
Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang bersifat lunak
seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan sedikit pengunyahan, menyebabkan
debris lebih mudah melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta
memudahkan pembentukan karang gigi.
Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa yang
sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang demikian tidak dikunyah secara
biasa tetapi dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah atau makanan
cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan terjadinya penyakit.
Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang mempunyai sifat self
cleansing dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut
secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang segar, buah-buahan dan ikan yang
sifatnya tidak melekat pada permukaan gigi.

6. Iatrogenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan dokter
gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan pada gigi dan jaringan
sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi.
Dokter gigi harus memperhatikan masa depan kesehatan jaringan periodontal pasien,
misalnya :

Waktu melakukan penambalan pada permukaan proksimal (penggunaan matriks) atau


servikal, harus dihindarkan tepi tambalan yang menggantung (kelas II amalgam), tidak
baik adaptasinya atau kontak yang salah, karena hal ini menyebabkan mudahnya terjadi

penyakit periodontal.
Sewaktu melakukan pencabutan, dimulai dari saat penyuntikan, penggunaan bein sampai

tang pencabutan dapat menimbulkan rusaknya gingiva karena tidak hatihati


Penyingkiran karang gigi (manual atau ultra skeler) juga harus berhati hati, karena
dapat menimbulkan kerusakan jaringan gingiva.

7. Trauma dari oklusi


Trauma dari oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodonsium, tekanan
oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut traumatik oklusi.
Trauma dari oklusi dapat disebabkan oleh :

Perubahan-perubahan tekanan oklusal


Misal adanya gigi yang elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti, kebiasaan
buruk seperti bruksim, clenching.
Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan oklusal
Kombinasi keduanya.

Faktor Sistemik
Respon jaringan terhadap bakteri, rangsangan kimia serta fisik dapat diperberat oleh
keadaan sistemik. Untuk metabolisme jaringan dibutuhkan material-material seperti hormon,
vitamin, nutrisi dan oksigen. Bila keseimbangan material ini terganggu dapat mengakibatkan
gangguan lokal yang berat. Gangguan keseimbangan tersebut dapat berupa kurangnya materi

yang dibutuhkan oleh sel-sel untuk penyembuhan, sehingga iritasi lokal yang seharusnya dapat
ditahan atau hanya menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan adanya gangguan keseimbangan
tersebut maka dapat memperberat atau menyebabkan kerusakan jaringan periodontal.
Faktor-faktor sistemik ini meliputi :
1. Demam yang tinggi
2. Defisiensi vitamin
3. Drugs atau pemakaian obat-obatan
4. Hormonal
Faktor Sistemik :
1. Demam yang tinggi
Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontal selama menderita demam yang
tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah). Hal ini disebabkan anak yang sakit tidak
dapat melakukan pembersihan mulutnya secara optimal dan makanan yang diberikan
biasanya berbentuk cair. Pada keadaan ini saliva dan debris berkumpul pada mulut
menyebabkan mudahnya terbentuk plak dan terjadi penyakit periodontal.
2. Defisiensi vitamin
Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan periodontal,
karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat. Defisiensi vitamin C sendiri
sebenarnya tidak menyebabkan penyakit periodontal, tetapi adanya iritasi lokal
menyebabkan jaringan kurang dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersebut sehingga
terjadi reaksi inflamasi (defisiensi memperlemah jaringan).
3. Drugs atau obat-obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal ini sering terjadi pada anak-anak
penderita epilepsi yang mengkomsumsi obat anti kejang, yaitu phenytoin (dilantin). Dilantin

bukan penyebab langsung penyakit jaringan periodontal, tetapi hiperplasia gingiva


memudahkan terjadinya penyakit. Penyebab utama adalah plak bakteri.
4. Hormonal
Penyakit periodontal dipengaruhi oleh hormon steroid. Peningkatan hormon estrogen
dan progesteron selama masa remaja dapat memperhebat inflamasi margin gingiva bila ada
faktor lokal penyebab penyakit periodontal.

Sofyan Suri (160110130066)


2.16 Tanda dan Gejala Penyakit Periodontal
Periodontitis Kronis
Gambaran Klinis
Pasien dengan periodontitis kronis biasa dikaitkan dengan adanya pembentukan
kalkulus, inflamasi gingiva, pembentukan poket, kehilangan perlekatan periodontal, dan
kehilangan tulang alveolar. Biasanya gingiva akan sedikit bengkak dan menunjukan
perubahan warna mulai dari merah pucat hingga warna magenta, lalu hilangnya stippling
gingiva dan perubahan topografi permukaan gingiva.
Secara klinis pada mulanya terlihat peradangan jaringan gingiva di sekitar leher
gigi dan warnanya lebih merah daripada jaringan gingiva sehat. Pada keadaan ini sudah
terdapat keluhan pada gusi berupa perdarahan spontan atau perdarahan yang sering terjadi
pada waktu menyikat gigi. Bila gingivitis ini dibiarkan melanjut tanpa perawatan,
keadaan ini akan merusak jaringan periodonsium yang lebih dalam, sehingga Cement
Enamel Junction menjadi rusak, jaringan gingiva lepas dan terbentuk periodontal poket.
Kedalaman poket dapat bervariasi, kehilangan tulang secara vertical dan horizontal pun
dapat ditemukan. Pada beberapa keadaan sudah terlihat adanya peradangan dan

pembengkakan dengan keluhan sakit bila tersentuh. Bila keparahan telah mengenai tulang
rahang, maka gigi akan menjadi goyang dan mudah lepas dari soketnya.

(Gambar: ciri periodontitis kronis)

Ciri / gambaran klinis periodontitis kronis:

Umumnya terjadi pada orang dewasa namun dapat juga terjadi pada

remaja
Kalkulus dan plak dalam jumlah banyak
Inflamasi gingiva
Pembentukan poket periodontal
Hilangnya perlekatan periodontal
Hilangnya tulang alveolar secara vertical dan horizontal
Perubahan warna gingiva antara merah pucat hingga magenta
Hilangnya stippling gingiva
Perubahan topografi permukaan gingiva
Perdarahan gingiva
Resesi gingiva
Mobilitas gigi
Nyeri
Halitosis

Periodontitis Agresif (Lap dan Gap)


Periodontitis agresif biasanya terjadi pada individu dibawah umur 30 tahun
walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi pada individu diatas 30 tahun. Periodontitis
agresif dapat dibedakan dengan periodontitis kronik dengan mengetahui ciri ciri sebagai
berikut: age of onset, progres lesi yang cepat dan komposisi mikroflora yang terlibat,
adanya gangguan pada respon imun pasien dan kesehatan jaringan periodontal dari
keluarga pasien. Periodontitis agresif dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Localized Agressive Periodontitis


Periodontitis tipe ini waktu onsetnya terjadi pada saat pubertas. secara klinik dapat
dilihat dari adanya loss atachment dibagian interproksimal gigi. Hal ini terjadi pada
setidaknya 2 gigi, salah satu dari gigi adalah molar pertama permanen dan gigi lainnya
adalah insisiv atau setidaknya 2 gigi lain selain gigi insisiv atau molar pertama.
Generalized Aggresive Periodontitis
Disebut juga Generalized Early Onset Periodontitis / Generalized Juvenile
Periodontitis / Rapidly Progressive Periodontitis.
Generalized Early Onset Periodontitis adalah penyakit yang jarang terjadi.
Karakteristiknya adalah destruksi tulang alveolar yang berat disekitar satu atau beberapa
gigi permanen, biasanya mengenai lebih dari 14 gigi dan lintas regio.
Penyakit ini sering terlihat pada dewasa muda/remaja tapi anak-anak umur 10-11
tahun juga dapat terinfeksi. Pada periodontitis ini, pola dari hilangnya tulang bisa vertikal
atau horizontal dan biasanya meliputi semua gigi.

(Gambar: Generalized Aggresive Periodontitis)


Tanda-tanda klinis penyakit ini adalah adanya pembentukan poket periodontal,
defek tulang, dan hilangnya perlekatan gingiva. Bakteri yang sering diisolasi dari
periodontitis ini adalah Actynomyces Actynomicetencomitans.
Periodontitis Pre-Pubertal
Periodontitis prepubertal ini diklasifikan menjadi dua. Ada yang disebut dengan
localized prepubertal periodontitis dan generalized prepubertal periodontitis. Yang
membedakan antara dua bentuk periodontitis prepubertal ini adalah jika localized
prepubertal periodontitis ini terjadi ssecara lokal sedangkan yang generalized prepubertal
periodontitis terjadi secara general.
Localized prepubertal periodontitis hanya menyerang beberapa gigi. Pada
periodontitis prepubertal tipe ini, hanya diikuti sedikit inflamasi gingiva. Kerusakan yang
terjadi pada gingiva dan tulang alveolar pun tidak secepat yang terjadi pada generalized.
Terlihat adanya kelainan fungsi pada netrofil dan monosit, dan biasanya pasien tidak
mempunyai history of frequent infections.
Generalized prepubertal periodontis menyerang semua primary teeth. Dapat juga
me nyerang gigi permanen. Pada periodontitis tipe ini, terjadi inflamasi akut gingiva yang
parah dengan adanya celah pada marginal gingiva. Tingkat kerusakan terjadi sangat cepat
Periodontitis (Aids Related)
Bentuk nekrosis, ulseratif dan mempunyai progresif yang cepat lebih sering terjadi
pada pasien dengan HIV positif, meskipun lesi tersebut sudah dideskripsikan sebelum
terjadinya AIDS. NUP (Necrotizing Ulcerative Periodontitis) dapat terjadi karena NUG
(Necrotizing Ulcerative Gingivitis) yang semakin parah, dimana NUP ditandai dengan
bone loss dan attachment loss.
Ciri/Karateristik NUP
1. Nekrosis jaringan lunak (soft tissue)
2. Kerusakan tulang alveolar yang terjadi dengan sangat cepat

3. Bone loss interproximal

Lesi dari NUP ini dapat terjadi di dental arkus dan biasanya bertempat secara local
di beberapa gigi, meskipun umumnya NUP sudah dapat dideteksikan setelah adanya
penurunan sel CD4T. Tulang alveolar yang sering terkena periodontitis ini,
mengakibatkan nekrosis dan penyerapan tulang alveolar yang lebih lanjut.
NUP sangat menyakitkan saat onset dan sangat diperlukan perawatan dengan
segera. Beberapa bukti menunjukkan sedikit perbedaan antara microbial flora yang
ditemukan pada NUP-Aids Related dengan periodontitis kronis.

(Gambar: Necrotizing Ulceratie Periodontitis)


Perbedaan Periodontitis Aids Related dengan Periodontitis Non Aids Related

Non Aids Type Necrotizing Ulcerative Periodontitis


1. Dapat terjadi setelah adanya NUG
2. Nekrosis dan ulserasi terjadi di papilla interdental dan/atau margin
gingiva
3. Sakit, warna merah terang pada gingiva
4. Perdarahan, dapat terjadi pula manipulasi dari penyakit lain
5. Halitosis
6. Manifestasi sistemik seperti demam, malaise dan lymphanedopathy

(Gambar: Contoh Non Aids Type NUP)

Aids Related Type Necrotizing Ulcerative Periodontitis


1. Prevalensi penyakit hanya 5%
2. Nekrosis jaringan lunak mencakup area yang luas
3. Penurunan kedalaman tulang (bone loss)

2.17 Treatment Penyakit Periodontitis


Periodontitis Kronis
1. Scaling dan root planing
Scaling adalah suatu tindakan pembersihan plak gigi, kalkulus dan deposit-deposit lain
dari permukaan gigi. Penghalusan akar dilakukan untuk mencegah akumulasi kembali dari
deposit-deposit tersebut. Tertinggalnya kalkulus supragingival maupun kalkulus subgingival
serta ketidaksempurnaan penghalusan permukaan gigi dan akar gigi mengakibatkan mudah
terjadi rekurensi pengendapan kalkulus pada permukaan gigi.
Scaling subgingiva adalah metode paling konservatif dari reduksi poket dan bila poket dangkal,
merupakan satu-satunya perawatan yang perlu dilakukan. Meskipun demikian, bila kedalaman
poket 4 mm atau lebih, diperlukan perawatan tambahan. Yang paling sering adalah root planing
dengan atau tanpa kuretase subgingiva.
2. Antibiotik

Antibiotik biasanya diberikan untuk menghentikan infeksi pada gusi dan jaringan di
bawahnya. Perbaikan kebersihan mulut oleh pasien sendiri juga sangat penting.Obat pilihan
adalah tetrasiklin, tetapi akhir-akhir ini obat yang mengandung metronidazol dibuktikan sangat
efektif terhadap bakteri patogen periodontal. Pengalaman klinik menunjukkan bahwa
metronidazol dikombinasikan dengan amoksisilin sangat efektif untuk perawatan periodontitis
lanjut dan hasilnya cukup memuaskan.
3. Kumur-kumur antiseptic
Obat kumur terutama yang sering digunakan pada saat sekarang adalah chlorhexidin atau
heksitidin yang telah terbukti efektif dalam meredakan proses peradangan pada jaringan
periodontal dan dapat mematikan bakteri patogen periodontal serta dapat meghambat
terbentuknya plak.
4. Bedah periodontal
Pada kasus-kasus yang lebih parah, tentunya perawatan yang diberikan akan jauh lebih
kompleks. Bila dengan kuretase tidak berhasil dan kedalaman poket tidak berkurang, maka perlu
dilakukan tindakan operasi kecil yang disebut gingivectomy. Tindakan operasi ini dapat
dilakukan di bawah bius lokal.
Pada beberapa kasus tertentu yang sudah tidak bisa diatasi dengan perawatan di atas, dapat
dilakukan operasi dengan teknik flap periodontal, yaitu prosedur yang meliputi pembukaan
jaringan gusi, kemudian menghilangkan kotoran dan jaringan yang meradang di bawahnya.
5. Ektraksi gigi
Bila kegoyangan gigi parah atau didapatkan gangren pulpa, maka dilakukan ektraksi gigi.

Periodontitis Agresif (Lap dan Gap)


1. Memberikan tetracycline.
2. Perawatan non-surgical dilakukan terlebih dahulu seperti melakukan sub-gingival scaling,
root planing.
3. dan instruksi tentang kesehatan mulut.
4. Jika perlu dapat dilakukan pembedahan.

5. Diperiksa secara berkala untuk mengetahui efektivitas perawatan dan untuk melihat
kesehatan mulut pasien.
Periodontitis Pre-Pubertal
Localized prepubertal periodontitis biasanya diobati oleh perawatan dengan root-curettage
dan antibiotic therapy, sedangkan Generalized prepubertal periodontics biasanya tidak diobati
dengan perawatan menggunakan antiobiotic.
Periodontitis (Aids Related)
Perawatan untuk pasien periodontitis dengan HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
1. Proteksi ekstra dari dokter gigi (masker, handscoon, etc.)
2. Local debridement, plaque removal, scaling, root planing)
3. Irigasi dengan agen antimicrobial, bisa menggunakan chlorexidine gluconate atau
provider iodine (betadine) yang dapat bekerja sebagain anestesi dan antimicrobial
4. Untuk pasien dengan periodontitis yang parah dapat dilakukan terapi antibiotic yang
disertai dengan antifungal untuk mencegah perkembangan dari jamur seperti candidiasis.
Antibiotic yang dapat digunakan seperti metronidazole / amixicilin / clindamycin.
Antifungal yang dapat menggunakan yang topical atau sistemik.
5. Peningkatan oral hygiene

Anda mungkin juga menyukai