Anda di halaman 1dari 3

Antara Keterampilan Berhitung, Berpikir Logis dan Pendidikan Karakter

Oleh: MH Aripin Ali


Guru Matematika kelas 4 menyampaikan keluhan tentang muridnya yang tidak bisa
berhitung perkalian. Kalau pun ada satu-dua murid yang bisa, itu lebih karena mereka ikut
les Kumon. Pertanyaannya, selama di kelas 3 mereka belajar apa saja? Apakah mereka tidak
belajar berhitung perkalian?
Untuk menjawabnya, saya mencoba mengingat beberapa momen penting yang
berkaitan dengan hal ini. Pertama, saya ingat guru matematika yang mengajar anak-anak ini
di kelas 3, sebelumnya ditugaskan untuk mengajar di kelas 5. Pada saat itu beliau sempat
meminta ijin untuk menggunakan trik berhitung cepat bagi murid berkemampuan di bawah
rata-rata dan anak berkebutuhan khusus. Saya dengan tegas menolak permintaan itu. Kedua,
saya ingat beliau pernah menyampaikan ambisinya agar ada murid yang mendapat nilai UN
Matematika sempurna tercapai. Terakhir, saya ingat ketika mengedit materi ulangan akhir
semester 1 dan 2 untuk kelas 3 tahun ajaran 2015-2016, soal-soal yang disusunnya melulu
menguji kemampuan berpikir logis murid. Dengan bahasa lain, soal-soal yang diajukan
bersifat kontekstual.
Berdasarkan pengalaman itu saya berprasangka murid kelas 4 sekarang sewaktu di
kelas 3 tidak belajar perkalian sebagai keterampilan berhitung, melainkan sebagai berpikir
logis dalam memecahkan kasus kontekstual. Seandainya benar demikian, apakah hal itu
bermasalah ? Guru Matematika kelas 4 mengomentari guru Matematika di kelas 3: Padahal
tidak sulit lho mengajarkan perkalian. Baru beberapa minggu saja sebagian besar anak sudah
bisa.
Larangan Kumon dan Sebangsanya
Guru Bahasa Indonesia yang menyimak pembicaraan melontarkan pertanyaan,
Kenapa di SDHT tidak boleh mengajarkan berhitung cara cepat? Maklum yang bertanya
guru baru, jadi tidak tahu kalau larangan bukan hanya itu, melainkan termasuk semua jenis
kursus Matematika. Lalu kenapa? Begini kira-kira penjelasannya:
1. Dalam Kurikulum Nasional, belajar matematika memiliki waktu yang sangat leluasa.
Buktinya guru Matematika kelas 4 tidak kewalahan untuk mengejar ketertinggalan murid
dalam keterampilan berhitung perkalian sekalipun tidak dipelajari di kelas 3. Bahkan di
banyak negara maju, keterampilan berhitung belum dipelajari di kelas bawah (kelas 1-3).

2. Tahap demi tahap pelajaran matematika sekolah dasar itu sangat logis, saling bertumpu
dan menunjang. Sangat asyik dan menyenangkan. Berlama-lama atau memperbanyak
pengulangan bagi karakteristik pelajaran demikian akan membentuk cara berpikir. Kalau
ini dilakukan, tentu sangat luar biasa. Misalnya, ketika menghadapi soal 278 x 669,
murid yang belum menghafal semua perkalian, menyelesaikan perkalian 9x8 dengan cara
9 x 10 lalu dikurangi 9 dua kali atau dikurangi 18. Cara lainnya dengan 8 x 10 lalu
dikurangi 8. Cara yang dilakukan murid tersebut menunjukkan bahwa ia sudah berpikir
benar dan logis.
Hidden Curriculum Pendidikan Karakter
Penjelasan lainnya berkaitan dengan hidden curriculum pendidikan karakter.
Argumentasinya sebagai berikut:
3. Berlama-lama mengajar Matematika seperti di atas, menjadi ujian bagi integritas guru.
Bagaimana guru mengelola kelas dengan keadaan murid yang sangat beragam.
Bagaimana guru mengapresiasi murid yang belajar dengan cepat dan bagaimana
memperlakukan murid lambat belajar. Bagaimana guru menyiasati murid yang cerdasbahasa, cerdas spasial, dll (kecuali cerdas-bilangan) tapi tidak menyukai pelajaran
Matematika. Bagaimana guru menghubungkan murid yang oke dengan murid yang
bermasalah dalam penerapan belajar kelompok; dll. Jika guru ikhlas dengan keadaan ini
dan berpikir keras memecahkannya serta bertahan (tidak beralih ke metode cepat atau
berakhir dengan nilai evaluasi dan remidial), maka melebihi semua materi pelajaran
seluas apapun, sang guru sudah mengajar akhlak mulia.
4. Apa yang terjadi ketika guru menggunakan jalan pintas untuk anak bermasalah? Yang
sudah pasti guru itu menyerah. Lembek. Ia juga menanggalkan keteladanan dalam
akhlak mulia. Artinya, malah meneladankan sebaliknya. Akibatnya akan tampak jelas
terlihat pada hubungan di antara murid di mana mereka bisa lebih dekstruktif. Murid
akan menjadi anak yang mudah berkeluh-kesah, pokoknya beres sendiri tetapi acuh
pada yang lain, terbiasa berkomunikasi dengan dasar prasangka, dan kurang
kepekaannya dalam berempati. Kalau ternyata guru yang lain tidak demikian (tidak
menggunakan jalan pintas), atau orangtua di rumah berseberangan dengan karakter yang
dapat ditimbulkan tadi, murid hanya akan menempatkan guru yang bersangkutan sebagai
orang yang berkontribusi tak penting pada masa depan anak.
5. Apa yang terjadi ketika guru menggunakan metode cepat untuk anak bermasalah? Maka
guru tersebut telah menutup kesempatan murid yang mampu belajar cepat dan baik hati
untuk urun menyelesaikan masalah. Murid akan bersikap apriori terhadap sesama dan
berpikir bahwa jangankan dirinya, guru sendiri tidak bisa menangani masalah itu.

Bersyukurlah (dan berdoalah) selalu ada anak-anak baik dan cerdas. Merekalah murid
yang ketika melihat gurunya lelah sementara ia sendiri sudah selesai dengan tugasnya
(berarti menguasai materi pelajaran) dengan spontan melibatkan diri dengan problem
kelas. Murid-murid seperti ini adalah murid dengan seribu satu kesempatan dalam
membangun kelas yang kondusif untuk belajar dan saling mempengaruhi dengan akhlak
mulia.

Anda mungkin juga menyukai