Wiwin
Wiwin
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut
WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO,
1993). Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya
epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat.
Kematian wanita karena TB lebih banyakdari pada kematian karena kehamilan, persalinan
serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun
1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat
disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an swasta,
praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian
karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB
kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru
dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan
angka kesembuhan 87%.
Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan
yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasiobat
yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT
(obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
1.2 Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah keperawatan anak 2 dan menambah ilmu
pengetahuan tentang rencana asuhan keperawatan TB Paru pada anak bagi para penulis dan
pembaca.
1.3 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui karakteristik TB Paru, defenisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis
dan asuhan keperawatan pada TB Paru
1.4 Manfaat
Adapun manfaat makalah ini Kelompok ingin memberikan suatu gambaran ataupun
penjelasan yang lebih mendalam mengenai manajemen asuhan keperawatan yang berhubungan
dengan TB Paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi TB Paru
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lain (Dep Kes, 2003).
Proses penularan melalui udara atau langsung seperti saat batuk. Penyakit ini dikelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Tuberkulosis paru primer yang sering terjadi pada anak. Proses ini dapat dimulai dari
proses yang disebut droplet nuklei yaitu suatu proses terinfeksinya partikel yang
mengandung da atu lebih kuman tuberkulosis yang hidup dan terhirup serta diendapkan
pada permukaan alveoli. Kemudian terjadi eksudasi dan dilatasi pada kapiler, keluar
fibrin, magrofag ke dalam ruang alveolar.
2. Tuberkulosis pasca primer, terjadi pada klien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman
mikobakterium tuberkulosa (A.Aziz Alimul Hidayat, 2006).
2.2 Etiologi
Jenis kuman berbentuk batang, ukuran panjang 14/um dan tebal 0,3 0,6/um. Sebagian
besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman tahan asam dan lebih tahan terhadap kimia,
fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam
hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru,
daerah ini yang menjadi prediklesi pada penyakit tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis).
Faktor-faktor penyebab Mycobacterium Tuberculosis.
1. Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkian diturunkan secara genetik.
2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan
lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
3. Usia: pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup
tinggi karena diit yang tidak adekuat.
5. Keadaan stress: situasi yang penuh stress , kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan
yang kronik.
2.3 Patofisiologi
Melalui udara,
Infeksi
Batuk darah
Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari satu
bulan.
2.7 Penatalaksanaan
- Farmakoterapi
- Tambahan oksigen
- Fisioterapi dada
Makanan/Cairan
Anoreksia
Tidak dapat mencerna makanan
Penurunan berat badan
4.
Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada meningkat : Gelisah, prilaku distraksi
5.
Pernapasan
Batuk : Peningkatan frekuensi pernafasan
Nafas pendek : Bunyi nafas menurun.
Riwayat TB : Karakteristik sputum : Hijau atau bercak darah
6.
Interaksi sosial
Perasaan isolasi
Perubahan perasaan peran
7.
Penyuluhan
Riwayat keluarga TB
Status kesehatan buruk
Gagal untuk membaik/kambuhnya TB
Tidak berpartisipasi dalam therapy
B. Diagnosa Keperawatan
1. Tidak efektif jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret dan sekresi
kental ditandai dengan batuk dengan mengeluarkan sputum.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen ditandai dengan
dispnea.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia ditandai
dengan BB menurun.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh
ditandai dengan nyeri.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi tindakan berhubungan dengan kurang informasi/
tidak mengenal informasi ditandai denagan pertanyaan tentang informasi penyakitnya.
C. Intervensi
Diagnosa 1 : Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret dan sekresi kental ditandai dengan mengeluarkan sputum.
-
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misal: peninggian kepala tempat tidur
- Tinggikan kepala tempat tidur,bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas.
-
Diagnosa 3 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
ditandai dengan BB menurun.
Awasi suhu,kaji pentingnya latihan nafas,batuk efektif,perubahan posisi sering dan masukkan
cairan adekuat.
-
Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tak diinginkan.
D. Implementasi
Diagnosa 1 :
-
Mengkaji pasien untuk posisi yang nyaman misal: peninggian kepala tempat tidur.
Diagnosa 2 :
-
Meninggikan kepala tempat tidur,bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas.
Diagnosa 3 :
Diagnosa 4 :
-
Diagnosa 5 :
-
Mendiskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tak diinginkan.
E. Evaluasi
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan gangguan TB Paru.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar TB paru
2. Menjelaskan asuhan keperawatan klien dewasa dengan TB paru, meliputi :
a)
pengkajian TB paru
b)
c)
1.4 Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Mendapatkan pengetahuan tentang TB Paru
BAB II
PEMBAHASAN
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).
2.2 Etiologi
secara genetik.
2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian
dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
3. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat,
kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.
5. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang
nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik)
6. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan
memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.
2.3 Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah
droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau
suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam
droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu
berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan
air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran
pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri
akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan fokus ini disebut fokus primer
atau lesi primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama
dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang
baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai
jalan, yaitu:
1)
Percabangan bronkhus
Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi
laring), maupun ke saluran pencernaan.
2)
Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan
penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.
Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkut material yang
mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran
darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan bakteri
tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu
saat kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang melemahkan daya
tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali. Inilah
yang disebut reaktifasi infeksi primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi
bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat
diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri
dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer terutama
berada di daerah apeks paru.
Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi
spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap
disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB
ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai
kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan
menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi
primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang
buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap
menular (WHO 1996).
Pengaruh Infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity),
sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem
persarafan di pleura terkena.
1. 3.
diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu
tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Rekomendasi WHO skala IUATLD :
1. Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative
2. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3. Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+
2.6.3
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan
adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru.
Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB
paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini
terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang
tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai
pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini
bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis,
apakah sama baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi
di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap.
Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relatif di mana prosesnya
dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
endap darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin
terutama IgG dan IgA.
2.7
Penatalaksanaan
Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan
radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang
pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila
positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
2.7.2
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan
secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya
terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang
infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA
positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of
the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB,
Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.
1. 2.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang.
Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko
terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan
ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri
dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya
2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai
dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam
program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
1. 1.
Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat
seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis
dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas,
TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH
dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
1. 2.
Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
1. Penderita kambuh
2. Penderita gagal terapi
3. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
4. 3.
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar
paru selain yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
keberhasilan rendah sekali.
3. 3.
Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang
aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga
bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya
ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang
serius kadang-kadang terjadi.
4. 4.
Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika
resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak
diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15
mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan
intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali
seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi
adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan
lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada
gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi
maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi
penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak
diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus
dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan gangguan
penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum pengobatan.
5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus
resistensi.
Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat
badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk
pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan
diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk anak
diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang
diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui
dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan
oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa
ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru
(azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.
Obat anti-TB
esensial
Aksi
Potensi
Rekomendasi Dosis
(mg/kgBB)
Per hari
Per minggu
3x
2x
Isoniazid (INH)
Bakterisidal
Tinggi
10
15
Rifampisin (R)
Bakterisidal
Tinggi
10
10
10
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Rendah
25
35
50
Streptomisin (S)
Bakterisidal
Rendah
15
15
15
Etambutol (E)
Bakteriostatik
Rendah
15
30
45
2.7 Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, diantaranya :
1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.
2. Komplikasi lanjut :
Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal, amiloidosis,
karsinoma paru, ARDS.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
PENGKAJIAN
Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)
-
Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak, berupa
garis, atau bercak-bercak darah
-
Sesak napas
Nyeri dada
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan:
-
Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.
Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.
2)
Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan
semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek
-
Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.
1. 3.
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obatobat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu.
Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan proses penyembuhan
penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini.
Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang
seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuiai
dengan keluhan yang dialaminya.
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan
menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau
koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut
nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti hipertensi.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior
dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi
pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space
(ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi
tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS)
pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan
pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang
melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak
napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya
didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum
yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya
brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat
banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai penunjang evaluasi
terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat
dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru
dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di
dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah
distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan,
teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut
sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan
pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif
mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi
didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya
kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara
lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
3.2. DIAGNOSA
Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :
1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, upaya
batuk buruk, dapat ditandai dengan:
- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.
- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.
- Dispnoe.
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif,
atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema
bronchial.
2. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan
primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan /
Rencana keperawatan
1.
1. Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien untuk latihan nafas
dalam.
2. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai dengan keperluan.
3. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum dan adanya hemoptisis.
4. Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman serta
penggunaan otot aksesori.
Rasionalisasi
1.
1. Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi meksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
1. Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ; efek infeksi dan atau tidak adekuat
hydrasi ) sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan ( kapitasi )
paru atau luka bronkial, dan dapat memerlukan evaluasi / intervensi lanjut.
1.
1. Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak
mampu mengeluarkan sekret.
2. Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi, menunjukan
akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat
menimbulkan pengguanaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja
pernafasan.
Rencana tindakan.
1. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai dengan
keperluan.
2. Tunjukan / dorong bernafas bibir selama ekhalasi, khususnya untuk pasien dengan
fibrosis atau kerusakan parenkhim.
3. Kaji diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya
pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada & kelemahan.
4. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan / atau perubahan pada
warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi.
1. Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat
menurunkan beratnya gejala.
2. Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps / penyempitan jalan nafas,
sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan / menurunkan
nafas pendek.
3. TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneomonia sampai
inflamasi difus luas, necrosis, effusi pleural dan fibrosis luas, efek pernafasan dapat dari
ringan sampai diespnoe berat sampai diestres pernafasan.
4. Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital dan
jaringan.
3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer
tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan / penekanan proses
imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
Rencana tindakan.
1. Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tissue &
menghindari meludah di tempat umum serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
2. Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi infeksi melalui bronchus
untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan
potensial penyebaran melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah,bicara,
dll.
3. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, anggota, sahabat
karib / teman.
Rasionalisasi.
1.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh (hypertermi).
Rencana tindakan :
1. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus
2. Monitoring perubahan suhu tubuh
3. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses
peradangan (inflamasi)
4. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga
metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar
Rasionalisasi :
1. Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh.
Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
2. Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan
dari pasien.
3. Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)
4. Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun
bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.
5. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus diminum
Rencana tindakan :
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan pemasangan WSD (Water Seal
Drainage)?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan yang harus diberikan kepada pasien dengan pemasangan WSD
(Water Seal Drainage).
1.3.2
Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan
pada pasien dengan pemasangan WSD (Water Seal Drainage) serta mampu
mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan
(darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa
penghubung untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Dalam keadaan normal
rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
1. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu
operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.
1. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan
rongga pleura sehingga mechanis of breathing dapat kembali seperti yang seharusnya.
1. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga mechanis of breathing
tetap baik.
Tekanan
Istirahat
Inspirasi
Ekspirasi
Atmosfer
760
760
760
Intrapulmoner
760
757
763
Intrapleural
756
750
756
2.2 TUJUAN
1. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
2.5 KOMPLIKASI
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
c. Komplikasi lainnya : laserasi ( yang mencederai organ: hepar, lien), perdarahan, empisema
subkutis, tube terlepas, tube tersumbat
2.6 MACAM-MACAM
1. WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks
Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk
ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Jenis ini mempunyai 2 fungsi, sebagai penampung
dan botol penampung
Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah
masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru
Note:
Apabila < 2 cm H2O, berarti no water seal. Hal ini sangat berbahaya karena menyebabkan
paru kolaps.
Apabila > 2 cm H2O, berarti memerlukan tekanan yang lebih tinggi dari paru untuk
mengeluarkan cairan atau udara.
Apabila tidak ada fluktuasi yang mengikuti respirasi apat disebabkan karena adanya
kinking, clotting atau perubahan posisi chest tube.
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga
pleura keluar
Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
Inspirasi akan meningkat
Ekpirasi menurun
BAB 3
PROSEDUR PEMASANGAN WSD
a. Siapkan pasien
b. Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
c. Tujuan tindakan
d. Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring
e. Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi
f. Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena
1. Persiapan alat
1.
2. Motor suction
3.
3.3.2
Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan dengan
baik , dan perawat memberi dukungan moril pada pasien.
1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksilaris
anterior dan media
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus
interkostalis
4. Pada saat inspirasi:
1. Tekanan dalam paru-paru > kecil dibanding tekanan yang ada di dalam WSD
2. Paru- paru mengembang
Note:
Apabila menggunakan WSD tipe satu botol, saat inspirasi cairan biasanya akan tertarik ke atas,
namun tidak sampai masuk kembali ke rongga pleura karena adanya gaya gravitasi dan
perbedaan sifat cairan yang lebih berat daripada udara.
1. Pada saat ekspirasi:
Tekanan dalam paru- paru > besar dibanding tekanan yang ada di dalam WSD
1. Masukkan Kelly klem melalui pleura parietalis kemudian disebarkan. Masukkan jari
melalui lubang tersebut. untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru
2. Masukkan selang (chest tube) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan
Kelly forceps
3. Chest tube yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan di dinding dada
4. Chest tube disambung ke WSD yang telah disiapkan
10. Foto X-ray dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan
7. Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan
yg keluar
8. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama
9. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
10. Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang
terlipat
11. Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi
10. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
11. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang
12. Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran
13. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan
14. Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan ystem cara batuk efektif
15. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
16. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD
17. Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada
persendian bahu daerah pemasangan WSD
3.3 PERAWATAN WSD
1. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan
perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak
boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
2. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi
analgetik oleh dokter.
3. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
1. Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak
terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya
slang dapat dikurangi.
2.
3.
Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction
kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2
duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal :
slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang
slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang
keluar kalau ada dicatat.
2.
3.
4.
5.
Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas,
botol terjatuh karena kesalahan dll WSD (Water Seal Drainage)
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN
B2 (Blood)
1. Taki kardi, irama jantung tidak teratur ( disaritmia )
2. Suara jantung III, IV, galop / gagal jantung sekunder
3. Hipertensi / hipotensi
4. CRT untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, normalnya < 3 detik
5. Akral : hangat, panas, dingin, kering atau basah
B3 (Brain)
1. Tentukan GCS pasien
2. Tentukan adanya keluhan pusing,
3. Lamanya istirahat/tidur, normal kebutuhan istirahat tiap hari adalah sekitar 6-7 jam.
4. ada tidaknya gangguan pada nerves pendengaran, penglihatan, penciuman.
5. Kaji adanya nyeri, tentukan skala nyeri pasien, lokasi nyeri misallnya nyeri dada sebelah
kanan, frekuensi nyeri (serangan datang secara tiba-tiba), nyeri bertambah saat bernapas,
nyeri menyebar ke dada, badan dan perut dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
nyeri yang dirasakan pasien
B4 (Bladder)
Kaji beberapa hal yang berhubungan dengan system perkemihan, meliputi:
1. Keluhan kencing : nocturia, poliuria, disuria, oliguria, anuria, retensi, inkontinensia
2. Produksi urine tiap hari, warna, dan bau. Produksi urine normal adalah sekitar 500cc/hari
dan berwarna kuning bening
3. Keadaan kandung kemih : membesar atau tidak, adanya nyeri tekan
4. Intake cairan tiap hari, pemberiannya melalui oral atau parenteral. Intake cairan yang
normal setiap hari adalah sekitar 1 liter air.
5. Kaji ada tidaknya penggunaan alat bantu kateter
B5 (Bowel)
1. Kaji keadaan mulut pasien: bersih, kotor atau berbau
2. Keadaan mukosa: lembab, kerig, stomatitis
3. Tenggorokan : adanya nyeri menelan, pembesaran tonsil, nyeri tekan
4. Keadaan abdomen: tegang, kembung atau ascites
5.
i.
B6 (Bone)
1. Tentukan pergerakan sendi pasien (bebas, terbatas)
2. Kaji adanya kelainan ekstermitas, kelainan tualang belakang dan fraktur
4.1.4
Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan immobilitas, tekanan dan nyeri.
Nyeri dada b.d factor-faktor biologis (trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan
selang dada)
Resiko infeksi b.d terpasangnya benda asing dalam tubuh
Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan
informasi.
4.1.5 Intervensi
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan immobilitas, tekanan dan
nyeri.
Kemungkinan dibuktikan oleh : dispneu, takipneu, perubahan kedalaman pernapasan,
penggunaan otot aksesori, gangguan pengembangan dada, sianosis.
Intervensi
Rasional
dada.
Berikan oksigen melalui kanul/masker, latih Alat dalam menurunkan kerja napas;
napas dalam dan batuk efektif
meningkatkan penghilangan distress
respirasi dan sianosis b.d hipoksemia.
Perawatan :
Observasi pola napas dan komplikasi
1. Nyeri dada b.d faktor-faktor biologis (trauma jaringan) dan factor-faktor fisik
(pemasangan selang dada)
Kemungkinan dibuktikan dengan : RR dan nadi meningkat, raut wajah pasien seperti menahan
rasa sakit, pasien merasa tidak nyaman
Tujuan : kenyamanan pasien terpenuhi
Kriteria hasil: - nyeri berkurang bahkan hilang
- RR dan nadi kembali normal yaitu 16-20x/menit dan 60-100x/menit
Intervensi :
Intervensi
Rasional
Intervensi
Rasional
Rawat daerah yang terpasang WSD secara Untuk menjaga kebersihan daerah yang
teratur
terpasang WSD sehingga dapat
meminimalisir peluang terjadinya infeksi.
Ajarkan pasien tehnik mencuci tangan yang Mencegah kontaminasi lingkungan terhadap
benar
pasien yang dapat emmicu terjadinya
infeksi
Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci
Intervensi
Rasional
Berikan informasi tertulis dan verbal sesuai Membantu pasien dan orang terdekat
indikasi. Masukkan daftar artikel dan buku membuat pilihan berdasarkan informasi
yang berhubungan dengan kebutuhan
tentang masa depan.
pasien/ keluarga dan dorong membaca dan
memdiskusikan apa yang mereka pelajari
BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan
(darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa
penghubung untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Dalam keadaan normal
rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
Tujuan pemasangan WSD antara lain :
1. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
2. Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
3. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
4. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
5. Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan
tekanan negatif rongga tersebut
DAFTAR PUSTAKA
1.2.
1.2.1.
1.2.2.
1.2.3.
1.2.4.
1.3.
Latar Belakang
Keperawatan merupakan profesi yang dinamis dan berkembang secara terus menerus dan
terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode keprawatan kesehatan
berubah, karena gaya hidup masyarakat berubah dan perawat sendiri juga dapat menyesuaikan
dengan perubahan tersebut. Definisi dan filosofi terkini dari keperawatan memperlihatkan trend
holistic dalam keperawatan yang ditunjukkan secara keseluruhan dalam berbagai dimensi, baik
dimensi sehat maupun sakit serta dalam interaksinya dengan keluarga dan komunitas. Tren
praktik keperawatan meliputi perkembangan di berbagai tempat praktik dimana perawat
memiliki kemandirian yang lebih besar.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diungkapkan penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
Apa pengertian Tren ?
Apa pengertian isu ?
Tren dan Issu keperawatan di Indonesia ?
Tren dan isu keperawatan di Indonesia, pada sistem Kardiovaskuler Jantung Koroner?
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah yang ditulis oleh penulis maka dapat dijelaskan tujuan
penulisannya yaitu untuk mengetahui dan menjelaskan tentang Tren dan isu keperawatan
keperawatan di Indonesia, pada system Kardiovaskuler Jantung Koroner
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Trend
Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan
kejadiannya berdasarkan fakta.
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada
tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan
masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola
kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi
masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek
kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi,
pencemaran, kecelakaan, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang
berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk.
Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga
menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit
degeneratif.
Pada masyarakat yang menuju ke arah moderen, terjadi peningkatan kesempatan untuk
meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan pendapatan dan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menjadikan masyarakat lebih kritis. Kondisi itu
berpengaruh kepada pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang kritis menghendaki
pelayanan yang bermutu dan diberikan oleh tenaga yang profesional. Keadaan ini memberikan
implikasi bahwa tenaga kesehatan khususnya keperawatan dapat memenuhi standart global
internasional dalam memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan, memiliki kemampuan
professional, kemampuan intelektual dan teknik serta peka terhadap aspek social budaya,
memiliki wawasan yang luas dan menguasi perkembangan Iptek.
Namun demikian upaya untuk mewujudkan perawat yang professional di Indonesia
masih belum menggembirakan, banyak factor yang dapat menyebabkan masih rendahnya peran
perawat professional, diantaranya:
1. Keterlambatan pengakuan body of knowledge profesi keperawatan. Tahun 1985 pendidikan S1
keperawatan pertama kali dibuka di UI, sedangkan di negara barat pada tahun 1869.
2. Keterlambatan pengembangan pendidikan perawat professional.
3. Keterlambatan system pelayanan keperawatan.(standart, bentuk praktik keperawatan, lisensi)
2.2.
Pengertian Isu
Issue adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas faktannya
atau buktinya. Berikut salah satu contoh kasus issue keperawatan pada saat ini :
Penyakit jantung koroner/ penyakit arteri koroner (penyakit jantung artherostrofik)
merupakan suatu manifestasi khusus dan arterosclerosis pada arteri koroner. Plaque terbentuk
pada percabangan arteri yang ke arah aterion kiri, arteri koronaria kanan dan agak jarang pada
arteri sirromflex. Aliran darah ke distal dapat mengalami obstruksi secara permanen maupun
1.
2.
3.
4.
sementara yang di sebabkan oleh akumulasi plaque atau penggumpalan. Sirkulasi kolateral
berkembang di sekitar obstruksi arteromasus yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke
miokardium.
2.3. Tren dan Issu keperawatan di Indonesia
Keperawatan merupakan profesi yang dinamis dan berkembang secara terus-menerus dan
terlibat dalam masyarakat yang yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode keperawatan
kesehatan berubah, karena gaya hidup masyarakat berubah dan perawat sendiri juga dapat
menyesuaikan perubahan tersebut.
Keperawatan menetapkan diri dari ilmu social bidang lain karena fokus asuhan
keperawatan bidang lain meluas.tren dalam pendidikan keperawatan di indonesia adalah
berkembangnya jumlah peserta keperawatan yang menerima pendidikan keperawatan, baik
peserta didik dari D3 keperawatan, S1 keperawatan atau kesehatan masayrakat sampai ke tingkat
yang lebih tinggi, yaitu S2 atau kesehatan.
Tren paraktik keperawatan meliputi berbagai praktik di berbagai tempat praktik dimana
perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus menerus meningkatkan
otonomi dan penghargaan sebagai anggota tim asuhan keperawatan. Peran perawat meningkat
dengan meluasnya focus asuhan keperawatan. Tren dalam keperawatan sebagai profesi meliputi
perkembangan aspek-aspek dari keperawatan yang mengkarakteristikan keperawatan sebagai
profesi meliputi: pendidikan, teori, pelayanan, otonomi, dan kode etik. Aktivitas dari organisasi
keperawatan professional menggambarkan trend an praktik keperawatan. Trend dan Isu tersebut
adalah:
Semakin tingginya tuntutan profesionalitas pelayanan kesehatan.
Penerapan desentralisasi yang juga melibatkan bidang kesehatan.
Peran serta masyarakat yang semakin tinggi dalam bidang kesehatan.
Munculnya perhatian dari pihak pemerintah mengenai masalah kesehatan masyarakat seperti
diberikannya bantuan bagi keluarga miskin serta asuransi kesehatan lainnya bagi keluarga yang
tidak mampu.
2.2.1 Pengaruh Politik terhadap Keperawatan professional
Keterlibatan perawat dalam politik sangat terbatas. Walaupun secara individu ada
beberapa nama seperti F.Nightingale, Lilian Wald, Margaret Sunger, dan Lavinia Dock telah
mempengaruhi dalam pembuatan di berbagai bidang nampaknya perawat kurang di hargai
sebagai kelompok. Gerakan wanita telah memberikan inspirasi pada perwat mengenai masalah
keperawatan komunitas.
Kekuatan politik merupakan kemampuan untuk mempengaruhi atau meyakinkan
seseorang untuk memihak pada pemerintah untuk memperlihatkan bahwa kekuatan dari pihak
tersebut membentuk hasil yang diinginkan (Rogge,1987).
Perawat merasa tidak nyaman dengan politik karena mayoritas perawat adalah wanita dan
poolitik merupakan dominasi laki-laki (Marson,1990)
Keterlibatan perawat dalam politik mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam
kurikulum keperawatan, organisasi professional, dan tempat perawtan professional.
Organisasi keperawatan mampu memgabungkan semua upaya seperti pada Nursing Agenda
For Healt Care Reform (Tri-council,1991).
Strategi spesifik pengintegrasian peraturan public dalam kurikulum keperawatan, sosialisasi
dini, berpartisipasi dalam organisasi profesi, memperluas lingkungan praktik klinik, dan
menjalankan tempat pelayanan kesehatan.
2.2.2 Pengaruh Perawat dalam Peraturan dan Praktik Keperawatan
Pospek keperawatan komunitas dimasa yang akan dating cenderung semakin berkembang
dan dibutuhkan dalam system pelayanan kesehatan pemerintah. Peran perawat kesehatan
masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengatasi sebagai masalah kesehatan yang terjadi di masa
yang akan datang karena mengikuti perubahan secara keseluruhan. Dampak perubahan tersebut
dapat berpengaruh pada peran yang dilkaukan perawat. Intervensi keperawatan kesehatan
masarakat diberbagai tingkat pelayanan akan semakin besar dikarnakan adanya kelalaian,
ketidaktahuan, ketidakmauan, dan ketidakmampuan individu,keluarga, kelompok, dan
masyarakat.
Komponenkomponen perubahan dalam masyarakat :
1. Pertambahan penduduk. Pertambahan penduduk secara cepat (population) dan perubahan dalam
gambaran penduduk, diantaranya perubahan dalam komposisi usia, penyebarannya, dan
kepadatan penduduk kota besar.
2. Transisi penyakit. Perubahan pola penyakit atau transisi penyakit yaitu perubahan penyakit
menular ke penyakit degenerative,seperti penyakit jantung, kanker, depresimental dan ansietas,
stroke, peningkatan kecelakaan, alkoholisme, dan yang akhir-akhir ini marak adalah
penyalahgunaan narkotika.
3. Perkembangan industrialisasi serta perubahan kondisi social. Perkembangan industrialisasi serta
perubahan kondisi social yang cepat dengan di sertai perubahan-perubahan sikap, niali, gaya
hidup,kondisi lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat baru, masalh individu, dan
masyarakat.
4. Meningkatnya pengetahuan masarakat sebagai pelayanan kesehatan akan meningkatkan juga
harapan mereka terhadap mutu pelayanan keperawatan dan kesehatanpola pelayanan kesehatan
yang baru akan meningkatkan pencpaian kesehatan bagi semua orang pada tahun 2000.
5. Kurang tenaga medis menyebabkan pelimpahan tanggung jawab atau wewenang pada perawat.
6. Masyarakat akan menjadi rekan kerja dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Banyak pelayanan
yang akan dilaksanakan di luar rumah sakit, misalnya pelayanan pada rehabilitasi, kesehatan
jiwa, dan lain-lain.
2.2.3 Beberapa Permasalahan Mengenai Trend Dan Isu Keperawatan Yang Muncul di Indonesia
1. Sumber daya tenaga kesehatan yang belum dapat bersaing secara global serta belum adanya
perawat keluarga secara khusus di negara kita.
2. Penghargaan dan reward yang dirasakan masih kurang bagi para tenaga kesehatan.
3. Pelayanan kesehatan yang diberikan sebagian besar masih bersifat pasif.
4. Masih tingginya biaya pengobatan khususnya di sarana-sarana pelayanan kesehatan yang
memiliki kualitas baik.
5. Pengetahuan dan ketrapilan perawat yang masih perlu ditingkatkan.
6. Rendahnya minat perawat untuk bekerja dengan keluarga akibat system yang belum
berkembang.
7. Pelayanan keperawatan keluarga yang belum berkembang meskipun telah disusun telh disusun
pedoman pelayanan keluarga namun belum disosialisaikan secara umum.
8. Geografis Indonesia yang sangat luas namun belum di tunjang dengan fasilitas transfortasi yang
cukup.
9. Kerjasama program lintas sektoral belum memadai.
10. Model pelayanan belum mendukung peran aktif semua profesi.
11. Lahan praktek yang terbatas.
12. Sarana dan prasarana pendidikan juga terbatas.
13. Rasio pengajar dan mahasiswa yang tidak seimbang.
2.4.3 Patofisiologi
Penyakit jantung koroner dan micardiail infark merupakan respons iskemik dari
miokardium yang di sebabkan oleh penyempitan arteri koronaria secara permanen atau tidak
permanen. Oksigen di perlukan oleh sel-sel miokardial, untuk metabolisme aerob di mana
Adenosine Triphospate di bebaskan untuk energi jantung pada saat istirahat membutuhakn 70 %
oksigen. Banyaknya oksigen yang di perlukan untuk kerja jantung di sebut sebagai Myocardial
Oxygen Cunsumption (MVO2), yang dinyatakan oleh percepatan jantung, kontraksi miocardial
dan tekanan pada dinding jantung.
Jantung yang normal dapat dengan mudah menyesuaikan terhadap peningkatan tuntutan
tekanan oksigen dangan menambah percepatan dan kontraksi untuk menekan volume darah ke
sekat-sekat jantung. Pada jantung yang mengalami obstruksi aliran darah miocardial, suplai
darah tidak dapat mencukupi terhadap tuntutan yang terjadi. Keadaan adanya obstruksi letal
maupun sebagian dapat menyebabkan anoksia dan suatu kondisi menyerupai glikolisis aerobic
berupaya memenuhi kebutuhan oksigen.
Penimbunan asam laktat merupakan akibat dari glikolisis aerobik yang dapat sebagai
predisposisi terjadinya disritmia dan kegagalan jantung. Hipokromia dan asidosis laktat
mengganggu fungsi ventrikel. Kekuatan kontraksi menurun, gerakan dinding segmen iskemik
menjadi hipokinetik.
Kegagalan ventrikel kiri menyebabkan penurunan stroke volume, pengurangan cardiac out
put, peningkatan ventrikel kiri pada saat tekanan akhir diastole dan tekanan desakan pada arteri
pulmonalis serta tanda-tanda kegagalan jantung.
Kelanjutan dan iskemia tergantung pada obstruksi pada arteri koronaria (permanen atau
semntara), lokasi serta ukurannya. Tiga menifestasi dari iskemi miocardial adalah angina
pectoris, penyempitan arteri koronarius sementara, preinfarksi angina, dan miocardial infark atau
obstruksi permanen pada arteri koronari (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Dep.kes, 1993).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan
kejadiannya berdasarkan fakta, sedangkankan Issue adalah sesuatu yang sedang di bicarakan
oleh banyak namun belum jelas faktannya atau buktinya. Berikut salah satu contoh kasus issue
keperawatan pada saat ini :
Penyakit jantung koroner/ penyakit arteri koroner (penyakit jantung artherostrofik)
merupakan suatu manifestasi khusus dan arterosclerosis pada arteri koroner. Penyakit ini
disebabkan oleh penyempitan arteri.
3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa yang nantinya sebagai tenaga kesehatan di masyarakat
dapat mengetahui Trend an Isu Keperawatan pada Sistem Kardiovaskuler Jantung Koroner
dan dapat memberikan pengetahuan tersebut kepada masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
American Nurses Association, Council of Community Health Nurses, 1986. Standards of Community
Health Nursing Practice. Kansas city: ANA.
American Nurses Association.1986. Standards oommunity Health Nursing Practice. Washington
DC: Author.
Departemen RI.1993. Perawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI
Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Pembina Ilmu. Bandung.
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. (1993). Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Krdiovaskuler. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Kaplan, Norman M. (1991). Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. EGC Jakarta.
https://id.scribd.com/doc/171077909/Makalah-Tren-Isu-Keperawatan-SistemKardoivaskuler#download
http://titinsofyandari.blogspot.co.id/2014/12/tugas-sistem-kardiovaskuler-trenddan.html