Anda di halaman 1dari 21

TUGAS PENGHANTAR HUKUM INDONESIA

HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh

A.A. YUNIA ASTA DEWI

1514101032

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2015

HUKUM ACARA PERDATA, PIDANA, DAN MAHKAMAH KONSTITUSI


A. Pengertian Hukum Acara
Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana mempertahankandan menjalankan peraturan hukum material.
Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma norma larangan hukum
material melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang
dicantumkan dalam hukum acara. Tugas hukum acara adalah menjamin ditaatinya
norma norma hukum material oleh setiap individu.
B. Asas dan Susunan Peradilan
Pelaksanaan menyelesaikan masalah yang diatur dalam hukum material
dilakukan oleh hakim dengan berpegang kepada hukum acara. Dalam menyelesaikan
masalah itu kehakiman memiliki kewenangan yang bebas. Artinya, tidak ada lembaga
negara lainnya yang dapat ikut campur tangan dan atau memengaruhinya Undang
Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara Hukum Republik Indonesia.
Untuk melaksanakan peradilan yang baik dan sesuai dengan bidang
permasalahan yang dihadapi individu dalam keinginan memperoleh keadilan dan
kebenaran, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 itu menetapkan juga badan
peradilan sebagai pelaksana. Ditetapkan secara tegas bahwa ada empat macam
peradilan, yaitu :
1. Peradilan umum,
2. Peradilan agama,
3. Peradilan militer,
4. Peradilan tata usaha negara.
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Pokok pokok Kekuasaan
Kehakiman diubah dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang
Kekuasaan Kehakiman, Berdasarkan Undang Undang ini, pasal 10 dirinci sebagai
berikut :
Ayat (1)

:Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


badan peradilan yang di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.

Ayat (2)

:Badan peradilan ysng berada di bawah Mahkamah Agung meliputi


badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Melihat isi ketentuan pasal ini memberikan petunjuk bahwa lembaga peradilan umum
dan lembaga peradilan khusus berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Selain
itu, dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tersendiri
membuktikan bahwa hak uji material terhadap perundangan secara konsentrasi dapat
dilakukan dengan cepat oleh mahkamah itu, tidak seperti sebelumnya.
Peradilan umum tugasnya mengadili perkara sipil (bukan militer) yang
menyangkut mengenai penyimpangan penyimpangan dari aturan hukum perdata
material dan hukum pidana material. Peradilan agama tugasnya mengadili perkara
yang dihadapi oleh orang orang islam, terutama dalam bidang hukum keluarga.
Peradilan militer tugasnya mengadili perkara yang dilakukan oleh prajurit Indonesia,
khususnya dalam tindak pidana berdasarkan hukum pidana militer. Peradilan tata
usaha negara tugasnya mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige overheidsdaad) oleh pegawai tata usaha negara.
C. Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata yang disebut juga hukum perdata formal mengatur
tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum perdata
material. Fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran hak
individu. Asas asas pokok hukum acara perdata itu diuraikan di bawah ini :
1. Hakim Pasif
Maksudnya bahwa luas masalah yang dikemukakan dalam sidang perkara
perdata ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Di lain pihak hakim tidak
diperkenankan memperluas masalah yang tidak diajukan. Hal itu karena
kedudukan hakim hanya sebagai penetap kebenaran dan keadilan para pihak.
2. Mendengarkan Para Pihak
Untuk memberikan putusan dalam perkara perdata, hendaknya para pihak
diberi kesempatan didengar pendapatnya. Bagi pihak yang tidak hadir (verstek),
walaupun diberi kesempatan untuk didengar, dianggap tidak mau menggunakan
kesempatan itu, kalau ketidakhadirannya sudah dianggap cukup waktu yang
diberikan, maka hakim dapat memberikan putusan. Akan tetapi, dalam hal para
pihak mau menggunakan kesempatan untuk didengar, proses persidangan untuk
perkara itu wajib diselesaikan.
Dua asas pokok hukum acara perdata ini dalam prosesnya dapat ditempuh
sebagai berikut :

a. Setelah suatu gugatan dari seseorang masuk ke pengadilan dan ditentukan


apakah dalam menyelesaikan perkara itu diperlukan hakim tunggal atau
majelis (perkara perdata tanpa Jaksa), maka pada waktu yang ditentukan para
pihak diminta kehadirannya. Terlebih dahulu pihak yang digugat (tergugat)
diberi salinan gugatannya.
b. Dalam sidang pertama perkara itu dapat ditempuh dengan lisan seluruhnya
atau melalui tulisan, setelah hakim memberikan kesempatan untuk berdamai,
lebih dahulu.
c. Kalau ditempuh secara lisan, tergugat wajib mengemukakan argumentasinya
sebagai tangkisan. Selanjutnya, terjadi debat lisan dan dalam waktu sidang
berikutnya dapat diberikan putusan.
d. Kalau ditempuh secara tulisan, prosesnya diberikan kesempatan kepada
tergugat untuk menyampaikan jawaban tertulis. Selanjutnya setiap, sidang
berturut turut penggugat mengajukan replik, kemudian duplik dari tergugat.
Setelah itu dapat diajukan saksi saksi dan bukti bukti otentik atau di
bawah tangan dari para pihak.
e. Setelah proses itu dilalui, mak kesempatan berikutnya untuk para pihak dapat
menyampaikan kesimpulan.
f. Dalam sidang yang terakhir, hakim mengajukan pertimbangan hukumnya
yang ditutupi dengan putusan.
D. Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana yang disebut juga hukum pidana formal mengatur cara
pemerintah

menjaga

kelangsungan

pelaksanaan

hukum

pidana

material.

Penyelenggaraannya berdasarkan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang


hukum acara pidana. Ketentuan ketentuan hukum acara pidana itu ditulis secara
sistematis dan teratur dalam sebuah kitab undang undang hukum. Berarti,
dikodifikasi dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP itu diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 Desember 1981 melalui
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara No. 3209.
Tujuan pengodifikasian hukum acara pidana itu terutama sebagai pengganti Reglemen
Indonesia Baru (RIB). RIB adalah tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada hak
hak asasi manusia. Fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan
kepentingan umum. Ketentuan ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal itu,
menurut Pasal 2 bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan

dalam lingkungan peradilan umum.untuk melaksanakan KUHAP, perlu diketahui


beberapa hal penting, seperti diuraikan di bawah :
1. Asas Praduga Tidak Bersalah (presumtion of Innocence)
Dalam Pasal 8 Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyataka
bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya

putusan

pengadilan,

yang

mengatakan

kesalahannya

dan

memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Berdasarkan kepada asas


praduga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan
tindak pidana tertentu sampai mendapatkan putusan yang mempunyai
kekuatan hukum pasti dari hakim pengadilan, ia masih tetap memiliki hak
hak individunya sebagai warga negara.
Selain itu, setiap individu memiliki hak segera mendapatkan
pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil adilnya,
hak untuk memperoleh juru bahasa kalau dirinya kurang paham
menggunakan bahasa Indonesia, hak untuk mendapat bantuan hukum dan
selama berada di tahanan berhak mendapatkan kunjungan dari keluarga.
Hak hak individu ini sebelum berlakunya KUHAP sering tidak
diperhatikan oleh petugas yang berwenang dalam menyelenggarakan proses
peradilan.
Pemeriksaan suatu perkara dilakukan oleh penyidik. menurut Pasal 1
Ayat 1, dinyatakan bahwa penyidik ialah polisi atau pejabat pegawai sipil
yang diberi tugas oleh undang undang ini untuk penyidikan. Proses
pemeriksaan dapat berjalan dengan baik kalau tersangka melalui suatu
panggilan kepolisian mau menghadap secara baik baik. Akan tetapi,
seringkali etiket baik seseorang yang di curigai melakukan suatu tindak
pidana itu tidak ada. Terhadap yang terkait ini perlu diadakan penangkapan.
Menurut Pasal 16 Ayat 1 dan 2 penangkapan dilakukan untuk kepentingan
penyelidikan atas perintah penyidik dan penyidik (penuntut umum)
pembantu. Berdasarkan ketentuan pasal ini seseorang dapat ditangkap,
bahkan dapat dilakukan penahan kalau diperlukan. Suatu penangkapan
dan/atau penahan dilakukan tanpa memenuhi syarat seperti yang
dicantumkan dalam Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 21 dengan surat perintah,
kecuali tertangkap basah, maka tersangka/terdakwa, maka keluarganya atau

yang diberi kuasa khusus untuk hal itu dapat meminta dilakukan
pemeriksaan dalam Pra-Peradilan.
Ada tiga kategori lamanya penahanan seseorang berdasarkan Pasal 24
30 KUHAP :
1. Penahanan dapat dilakukan oleh polisi selama satu hari dan selama
lamanya dua puluh hari. Perpanjangan oleh penuntut umum
(Jaksa) dapat dilakukan selama empat puluh hari. Setelah enam
puluh hari penahanan, tersangka harus sudah keluar dari tahanan
penyidik.
2. Kalau penahanan dilakukan oleh penuntut umum, selama
lamanya dua puluh hari dan dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan selama tiga puluh hari. Setelah waktu lima puluh hari,
tersangka harus sudah keluar dari tahanan.
3. Hakim pengadilan negeri dalam kepentingannya

untuk

pemeriksaan (proses persidangan) dapat melakukan penahanan


paling lama tiga puluh hari dan dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan selama enam puluh hari. Setelah sembilan puluh hari
lamanya penahanan, walaupun perkara itu belum putus, terdakwa
harus sudah keluar dari tahanan.
2. Koneksitas
Perkara koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama
sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan
Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan
Militer. Menurut Pasal 89 Ayat 1 dinyatakan bahwa Tindak pidana
yang dilakukan bersama sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan
persetujuan menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
3. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa. Dalam
melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua pengadilan melakukan tugas
pengawasan dan pengamatan. Dalam Pasal 277 Ayat 1 KUHAP

dinyatakan bahwa pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi
tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan.
Kedua hukum acara, yaitu hukum acara perdata dan hukum acara
pidana itu aturannya berlaku menangani dan menyelesaikan perkara di
peradilan umum. Sementara itu, untuk orang orang tertentu yang
berkaitan dengan yang beragama Islam dan/atau dengan tugas negara
karena diangkat menjadi pegawai negara disediakan peradilan khusus.
Peradilan itu dinamakan peradilan khusus. Lembaga peradilan
khusus ini antara lain :
a. Peradilan Agama
Peradilan agama ini sudah ada sejak sebelum Belanda
menjajah Indonesia dan berdampingan dengan peradilan adat.
Setelah Belanda mulai menjajah Indonesia, peradilan ini justru
dilembagakan

melalui

perundang

undangannya

dan

dilanjutkan terus oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.


Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan
Agama. Sementara itu, ruang lingkup berlakunya ditentukan
dalam Pasal 2 yang menyatakan Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur undang undang ini.
b. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara berlaku khusus dalam menangani
dan menyelesaikan perkara yang berkenaan dengan tindakan
penyimpangan dari pegawai negara dan merugikan anggota
masyarakan

Indonesia.

Peraturannya

dituangkan

dalam

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan


Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan khusu hanya
dua tingkat, yaitu tingkat pertama dan tingkat banding.

Sementara itu, sifat khususnya itu dinyatakan dalam Pasal 4


yang menyebutkan Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
E. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan tersendiri di luar
lembaga peradilan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pembentukan mahkamah
ini sebagai perintah dari ketentuan Pasal 24 C Undang Undang Dasar 1945 yang
sebelumnya sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 10 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004, tentang Mahkamah
Konstitusi jo. Pasal 12 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan
Kehakiman mengemukakan tentang tugas tugas Mahkamah Konstitusi sebagai
berikut :
1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam :
2. Berkewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum dalam penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.selain itu
juga melakukan perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang ditentukan oleh Undang
Undang Dasar 1945.
Walaupun Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga peradilan, tetapi
dalam proses tidak memiliki hukum acara seperti lembaga peradilan pada umumnya.
Hukum acara yang digunakan oleh mahkamah ini diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal
49 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Prosesnya terdiri atas :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pengajuan permohonan
Pendaftaran permohonan dan pendaftaran sidang
Alat bukti
Pemeriksaan pendahuluan
Pemeriksaan persidangan
Putusan

Setiap putusan diawali dengan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan


Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemudian secara sistematis dan rinci memuat
identitas pihak, ringkasan permohonan, pertimbangan terhadap fakta, pertimbangan

hukum, dan asas putusan. Setiap putusan mempunyai hukum tetap tidak ada banding
dan/atau kasasi.

SUMBER :
Abdul Djamali, R., S.H., 2014. Penghantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta : Rajawali
Pers.

TUGAS PENGHANTAR HUKUM INDONESIA


HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Oleh

A.A. YUNIA ASTA DEWI

1514101032

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2015

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA


A. Pengertian Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Rangkaian peraturan peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata
Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain yang dimaksud
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur tentang
cara cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta mengatur hak dan
kewajiban pihak pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
memuat peraturan peraturan tentang kedudukan, susunan, kekuasaan serta Hukum
Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Asas Asas yang Berlaku dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memiliki persamaan dengan
Hukum Acara Perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain :
1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh suatau kebenaran materiil dan untuk itu undang
undang ini mengarah pada pembuktian bebas
2. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka dalam undang undang ini
diberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan.
Walaupun penjelasan umum dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986
tersebut menyebutkan bahwa Hukum Acara yang digunakan dalam proses Peradilan
Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan Hukum Acara yang digunakan di
Peradilan Umum untuk perkara perdat, itu tidak berarti bahwa kita dengan begitu saja
dapat menerapkan ketentuan peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata
dalam Proses Peradilan Tata Usaha Negar, terutama yang menyangkut masalah
kompetensi (kewenangan mengadili). Pada hakikatnya sengketa Tata Usaha Negara
adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah


Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
2. Sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah
sengketa menegenai sah atau tidaknya suatau Keputusan Tata Usaha
Negara, bukan sengketa mengenai hak.
Oleh karena itu gugat balik (gugat rekovensi) dan gugat mengenai ganti rugi
yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara. Karena dalam gugat balik (gugat rekovensi) tersebut
bukan lagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga
masyarakat atau Badan Hukum Perdata. Sedangkan gugat ganti rugi adalah sengketa
tentang kepentingan hak, yang merupakan wewenang Peradilan Umum untuk
mengadilinya.
Di samping asas asas tersebut di atas di Peradilan Tata Usaha Negara juga
diberlakukan asas peradilan cepat, murah dan sederhana serta semacam asas praduga
tak bersalah seperti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Peradilan Tata Usaha
Negara juga mengenal Peradilan In Absentia sebagaimana berlaku dalam Peradilan
untuk tindak Pidana Khusus, di mana sidang berlangsung tanpa hadirnya tergugat.
C. Sumber Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara)
Sumber sumber formal Hukum Administrasi Negara adalah :
1. Undang undang (Hukum Administrasi Negara)
2. Praktek Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang merupakan
kebiasaan)
3. Yurisprudiensi
4. Anggapan para ahli Hukum Administrasi Negara
Mengenai undang undang sebagai Hukum Tata Usaha Negara ( Hukum
Administrasi Negara) tertulis berbeda dengan Hukum Pidana dan Hukum
perdata. Sampai sekarang Hukum Tata Usaha Negara belum mempunyai
suatau kodifikasi, sehingga tersebar dalam berbagai ragam
perundang undangan.

peraturan

D. Dasar Hukum
1.

UU Nomor 5 Tahun1986 Peradilan Tata Usaha Negara

2.

UU Nomor 5 Tahun 2004 Perubahan UU Nomor 5 Tahun1986 Peradilan Tata


Usaha Negara

3.

UU Nomor 51 Tahun 2009 Perubahan Ke-2 UU Nomor 5 Tahun1986 Peradilan


Tata Usaha Negara

4.

UU Nomor 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman

5.

UU Nomor 3 Tahun 2009 Mahkamah Agung

6.

UU Nomor 15 Tahun 2011 Penyelenggara Pemilu

E. Subyek Peradilan Tata Usaha Negara


1. Penggugat
Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa pihak-pihak yang
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN);


Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata


Usaha Negara tidak dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
bertindak sebgai Penggugat. Namun terhadap Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dimungkinkan bertindak sebagai Penggugat dalam Sengketa Tata Usaha
Negara khusus tentang sertifikat tanah, karena alas hak dari gugatan adalah hak
keperdataan dari BUMN tersebut. Dalam hal ini, BUMN tersebut tidak bertindak
sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata.
Berapa banyak orang atau badan hukum perdata yang dapat bertindak sebagai
Penggugat dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menjadi masalah,
asalkan semua orang atau badan hukum perdata tersebut merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu KTUN. Sehingga dimungkinkan juga terjadinya gugatan
oleh Perwakilan Kelompok yang sering disebut dengan Class Action.
Demikian pula, tidak menjadi masalah apakah orang atau badan hukum
perdata itu adalah orang atau badan hukum perdata yang dituju atau bukan dari
KTUN tersebut. Dalam arti pihak yang namanya tidak ada dalam KTUN itu pun

bisa bertindak sebagai Penggugat asalkan yang bersangkutan merasa dirugikan


oleh dikeluarkannya KTUN tersebut.
Kepentingan yang dimaksud dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan
tersebut, mengandung arti, yaitu:

Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dan


Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan
suatu proses gugatan yang bersangkutan

Menurut yurisprudensi peradilan perdata, kepentingan nilai yang harus


dilindungi oleh hukum itu baru ada, jika kepentingan tersebut jelas:

Ada hubungan dengan penggugat sendiri, artinya untuk dianggap


sebagai orang yang berkepentingan, penggugat itu harus mempunyai

kepentingan sendiri untuk mengajukan gugatan tersebut


Kepentingan tersebut harus bersifat pribadi, artinya penggugat
mengajukan gugatan karena kepentingan penggugat sendiri, yang jelas

dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain


Kepentingan tersebut harus bersifat langsung, artinya kerugian yang
diderita akibat dikeluarkannya KTUN harus benar-benar dirasakan

secara langsung oleh penggugat


Kepentingan itu secara obyektif yang dapat ditentukan, baik mengenai
luas maupun intensitasnya.

Menurut Yurisprudensi Administratieve Rechtspraak Overheidsbeslissingen,


untuk adanya suatu perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata
diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut:

Adanya

pengadministrasian anggota-anggotanya
Merupaka suatu organisasi dengan tujuan tertentu, diadakan rapat

lapisan

anggota-anggota,

hal

ini

dapat

dilihat

pada

anggota, diadakan pemilihan pengurus, adanya kerja sama antara para

anggota dengan tujuan fungsionalnya secara kontinu


Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan.

Kata merasa dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004,
menurut Ketut Suraputra dapat diartikan bahwa kepentingan tersebut (kerugian)
belum perlu sudah nyata-nyata terjadi. Contoh; seseorang yang telah
mendapatkan IMB, maka tetangganya sudah dapat mengajukan gugatan terhadap
KTUN tersebut, bilamana ia merasa kepentingannya dirugikan.
2. Tergugat
Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam
pengertian tergugat diatas adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu
atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa
bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat
kepada orang tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng,
Bupati Buleleng dan lain-lain, sehingga tidak akan menjadi masalah ketika terjadi
pergantian orang pada jabatan tersebut.
Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga
dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan
menjadi:

Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala

eksekutif.
Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan

suatu urusan pemerintahan.


Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.


Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan

pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.


Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan

Untuk dapat menentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi
Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara, perlu lebih dahulu diperhatikan

jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut pada waktu
mengeluarkan KTUN. Jenis wewenang yang dimaksud adalah:
a. Atribusi adalah wewenang yang langsung diberikan atau langsung
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kepada Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, yang menjadi Tergugat apabila terjadi
Sengketa Tata Usaha Negara adalah yang menerima wewenang secara
atribusi ini.
b. Mandat adalah wewenang yang diberikan kepada mandataris (penerima
mandat) dari mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk
dan atas nama mandans. Pada wewenang yang diberikan dengan mandat,
mandataris hanya diberikan kewenangan untuk mengeluarkan KTUN
untuk dan atas nama mandans, dengan demikian tidak sampai ada
pengalihan wewenang dari mandans kepada mandataris. Oleh karena itu,
tanggungjawab atas dikeluarkannya KTUN tersebut masih tetap ada pada
mandans, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata
Usaha Negara adalah mandans (Pemberi mandat).
c. Delegasi adalah wewenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang
dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi).
Dalam hal ini, delegataris telah diberikan tanggung jawab untuk
mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama delegataris sendiri, sehingga
yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah
delegataris (Penerima Delegasi).
F. Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
1. Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan
kepada isinya, yang berisi kejelasan tentang:
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya
Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut
Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau
sudah memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN).
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah
satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai
subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :Badan atau Pejabat Tata
Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang
dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu
dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan,
maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga
dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa
dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan
demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi
yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga
instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif
pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau
Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

3. Berisi tindakan Hukum TUN


Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah
satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang
demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan
hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan
mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah
ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka
tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum,
artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
4. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan; yang dimaksud adalah semua
peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan
Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat
daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik
ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara umum
(Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan
menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
5. Bersifat konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan
mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi
Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Ketut
Kaplug sebagai Pegawai Negeri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut
dapat dilihat dengan kasat mata, namun terhadap ketentuan ini ada pengecualian
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
yang berbunyi:
a. Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
dengan Keputusan TUN
b. Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau
Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
yang dimaksud

c. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak


menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah
lewat waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau
Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
6. Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau
yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan
namanya dalam keputusan tersebut.
7. Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak
lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya
keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.
8. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila
tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan
karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum,
Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubunganhubungan hukum yang telah ada, seperti:
a. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada
(declaratoir)
b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru
(constitutief)
c. Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang
telah ada. Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan
hukum yang baru

SUMBER :
1. HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
2. http://idrusonly.blogspot.co.id/2013/11/hukum-acara-peradilan-tata-usaha-negara.html
3. http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/jurnal-kerta-widya/32-bahankuliah-ptun.html

Anda mungkin juga menyukai