TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apel
Apel (Malus domestica Borkh.) termasuk rajanya buah komersial karena
konsumennya luar biasa banyaknya. Di Indonesia, apel diperkenalkan oleh orang
Belanda dan dikembangkan oleh orang Indonesia. Sayangnya daerah di Indonesia
yang cocok ditanami apel masih sangat terbatas. Daerah Batu, Malang, merupakan
sentra apel di Indonesia karena tanaman ini banyak diusahakan sebagai suatu
usaha tani. Oleh penduduk di Malang tanaman ini ditanam di pekarangan maupun
di kebun (Untung, 1996).
Menurut Untung (1996), dalam tatanama atau sistemik (taksonomi)
tumbuhan buah apel, diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rosales
Family
: Rosaceae
Genus
: Malus
Spesies
: Malus domestica
kering ialah bulan-bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm per bulan
(Untung, 1996).
4. Tanah
Tanah ber-pH 7 dan berpengairan bagus merupakan tempat tumbuh paling
ideal bagi tanaman apel. Kendatipun demikian apel bisa beradaptasi di tempattempat yang agak menyimpang dari persyaratan ideal tersebut. Pertumbuhan apel
akan baik sekali pada tanah dengan struktur bagus. Perbaikan struktur tanah dapat
dilakukan dengan pemberian bahan organik seperti kompos/pupuk kandang.
Semakin baik struktur tanah semakin bagus pula aerasi udara di antara rongga
partikel tanah sehingga semakin subur pula pertumbuhan tanaman. Pada aerasi
tanah yang jelek pengambilan unsur hara akan terhambat. Bahkan lebih fatal lagi,
akar-akar rambut bisa berhenti berkembang (Untung, 1996).
2.3 Vitamin
Vitamin merupakan suatu senyawa organik yang sangat diperlukan tubuh
untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Vitamin-vitamin tidak
dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus
diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi. Sebagai perkecualian adalah
vitamin D, yang dapat dibuat dalam kulit asalkan kulit mendapat cukup
kesempatan kena sinar matahari (Winarno, 1980; Andarwulan dan Koswara,
1992).
Vitamin adalah senyawa-senyawa organik yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan normal dan mempertahankan hidup hewan, termasuk manusia yang
secara alami tidak mampu untuk mensintesis senyawa-senyawa tersebut melalui
udara, logam-logam seperti Cu, Fe, dan cahaya (Andarwulan dan Koswara, 1992;
Tjokonegoro, 1985).
Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Ditjen
POM, 1995):
Vitamin C (asam askorbat) bersifat sangat sensitif terhadap pengaruhpengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, oksigen, enzim, kadar
air, dan katalisator logam. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi asam
dehidroaskorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam
dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih
lanjut menjadi asam diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi
(Andarwulan dan Koswara, 1992).
Asam askorbat
Asam dehidro
Asam diketogulonat
askorbat
Gambar 2.2 Reaksi Perubahan Vitamin C (Silalahi, 1985).
Asam
oksalat
Asam askorbat bersifat sangat larut dalam air, akibatnya sangat mudah
hilang akibat luka di permukaan atau pada waktu pemotongan bahan pangan.
Dalam processed food, kehilangan terbanyak terjadi akibat degredasi kimiawi.
Dalam bahan pangan yang kaya akan vitamin C seperti produk buah-buahan,
kehilangan vitamin C ada kaitannya dengan reaksi kecokelatan non-enzimatik
(Andarwulan dan Koswara, 1992).
Stabilitas asam askorbat biasanya meningkat dengan penurunan suhu
penyimpanan akan tetapi selama pembekuan terjadi kerusakan yang cukup besar.
Kerusakan ini bervariasi untuk setiap jenis bahan pangan, tetapi suhu
10
11
12
13
Gambar 2.3 Reaksi antara vitamin C dan iodin (Sudjadi dan Rohman, 2008).
b. Metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol
Metode 2,6-diklorofenol indofenol (DCIP) ini berdasarkan atas sifat
mereduksi asam askorbat terhadap zat warna 2,6-diklorofenol indofenol. Asam
askorbat akan mereduksi indikator warna 2,6-diklorofenol indofenol membentuk
larutan yang tidak berwarna. Pada titik akhir titrasi, kelebihan zat warna yang
tidak tereduksi akan berwarna merah muda dalam larutan asam (Sudjadi dan
Rohman, 2008).
Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan
berwarna biru sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda.
Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan
menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit
saja sudah akan terlihat terjadinya warna merah muda (Sudarmadji., dkk, 1989).
Titrasi vitamin C harus dilakukan dengan cepat karena banyak faktor yang
menyebabkan oksidasi vitamin C misalnya pada saat penyiapan sampel atau
penggilingan. Oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam metafosfat,
asam asetat, asam trikloroasetat, dan asam oksalat. Penggunaan asam-asam di atas
juga berguna untuk mengurangi oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi
14
yang terdapat dalam jaringan tanaman. Selain itu, larutan asam metafosfatasetat
juga berguna untuk pangan yang mengandung protein karena asam metafosfat
dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein. Suasana larutan yang
asam akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dalam suasana netral
atau basa (Andarwulan dan Koswara, 1992; Counsell dan Hornig, 1981).
Metode ini pada saat sekarang merupakan cara yang paling banyak
digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam bahan pangan. Metode ini
lebih baik dibandingkan metode iodimetri karena zat pereduksi lain tidak
mengganggu penetapan kadar vitamin C. Reaksinya berjalan kuantitatif dan
praktis spesifik untuk larutan asam askorbat pada pH 1 - 3,5. Untuk perhitungan
maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-diklorofenol indofenol dengan
vitamin C standar (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudarmadji., dkk, 1989).
Dye (pink)
Ascorbic acid
dye(colourless)
Dehyroascorbic
acid
Gambar 2.4 Reaksi asam askorbat dengan 2,6-diklorofenol indofenol
c. Metode Spektrofotometri Ultraviolet
`
15
265 nm dan A11= 556a. Oleh karena vitamin C dalam larutan mudah sekali
mengalami kerusakan, maka pengukuran dengan cara ini harus dilakukan secepat
mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa
pereduksi yang lebih kuat daripada vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan
menambahkan larutan KCN (sebagai stabilisator) ke dalam larutan vitamin
(Andarwulan dan Koswara, 1992).
2.5
A B
x 100%
C
16
SD
x 100%
X
17
18