Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apel
Apel (Malus domestica Borkh.) termasuk rajanya buah komersial karena
konsumennya luar biasa banyaknya. Di Indonesia, apel diperkenalkan oleh orang
Belanda dan dikembangkan oleh orang Indonesia. Sayangnya daerah di Indonesia
yang cocok ditanami apel masih sangat terbatas. Daerah Batu, Malang, merupakan
sentra apel di Indonesia karena tanaman ini banyak diusahakan sebagai suatu
usaha tani. Oleh penduduk di Malang tanaman ini ditanam di pekarangan maupun
di kebun (Untung, 1996).
Menurut Untung (1996), dalam tatanama atau sistemik (taksonomi)
tumbuhan buah apel, diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub-divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Rosales

Family

: Rosaceae

Genus

: Malus

Spesies

: Malus domestica

Apel diketahui mengandung beberapa vitamin dan mineral yang


bermanfaat bagi manusia. Sebutir apel berdiameter 5-7 cm mengandung vitamin
A 900 IU/100 g, tiamin 7 mg, riboflavin 3 mg, niasin 2 mg, vitamin C 5 mg,

Universitas Sumatera Utara

protein 3 g, energi 58 kalori, lemak 4 g, karbohidrat 14,9 g, kalsium 6 mg, besi 3


mg, fosfor 10 mg, dan kalium 130 mg (Untung, 1996).
Dengan kandungan seperti itu ada orang berpendapat bahwa tingkat
keasaman yang rendah pada apel meningkatkan produksi air liur yang baik untuk
kesehatan gigi. Penelitian menunjukkan bahwa memakan apel sebutir sehari
memperkecil risiko terkena asma, arthritis, dan penyakit kulit (Untung, 1996).
Selain dimakan segar, apel bisa diolah menjadi jam (selai), jeli, dan sari
buah. Meski namanya olahan, tetapi bukan berarti yang dipakai apel busuk atau
cacat. Biasanya yang diolah apel berukuran kecil atau buah apel hasil
penjarangan. Kandungan pektin pada apel sekitar 24%. Pektin yang dapat
membentuk gel bila ditambah gula pada pH tertentu, memegang peranan penting
dalam industri jeli, sari buah, dan selai (Untung, 1996).

2.2 Ekologi dan Syarat Tumbuh Apel


Apel termasuk tanaman yang selalu berganti daun dan tumbuh di daerah
dingin. Kendati demikian, karena sudah lama dibudidayakan ada kultivar-kultivar
apel yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik di daerah bersuhu sedang
dan panas. Oleh karena kemampuannya beradaptasi di berbagai kondisi iklim,
apel tumbuh di berbagai penjuru dunia. Di Eropa, Amerika Utara dan Selatan,
New Zealand, Australia, dan Asia, tanaman ini dapat dijumpai (Untung, 1996).
Meskipun variasi kultivar apel membuat tanaman buah ini bisa ditanam di
berbagai penjuru dunia, tapi tempat tumbuh yang paling baik ialah di daerah yang
mempunyai dua musim, yakni musim dingin dan musim panas. Temperatur yang
cocok di malam hari dibarengi intensitas sinar matahari selama periode masaknya

Universitas Sumatera Utara

buah akan membantu pembentukan pigmen antosianin. Pigmen antosianin adalah


pigmen yang membuat apel berwarna merah (Untung, 1996).
Di Indonesia apel tumbuh di dataran tinggi yang kering dan curah hujan
yang tidak terlalu tinggi. Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menimbulkan
berbagai macam problem, terutama serangan jamur. Tanah, suhu, dan kelembaban
pun perlu mendapat perhatian agar apel dapat tumbuh dengan baik (Untung,
1996).
Kriteria tempat tumbuh pohon apel yang baik, antara lain:
1. Ketinggian tempat
Pada ketinggian 700 - 1.200 meter di atas permukaan laut memang tidak
banyak jenis tanaman buah yang dapat tumbuh dengan baik. Lebih-lebih jika
dataran tinggi itu tipe iklimnya kering. Namun, di daerah seperti itulah apel dapat
tumbuh dengan baik (Untung, 1996).
2. Suhu
Suhu maksimum yang dikehendaki apel ialah 270C dan suhu minimum
sekitar 160C. Kelembaban udara yang dikehendaki tanaman ini berkisar antara 75
- 85%. Selain suhu dan kelembaban, tempat tumbuh apel pun harus terbuka agar
sekitar 50 - 80% sinar matahari dapat menyinari pohon buah ini. Sinar matahari
sangat berperan dalam pertumbuhan apel. Tanpa sinar matahari yang cukup kulit
buah apel tidak akan berwarna merah sehingga daya tarik penampilannya
berkurang (Untung, 1996).
3. Curah hujan
Curah hujan yang diperlukan bagi pertumbuhan apel berkisar antara 1.000
- 2.600 mm per tahun dengan 3 - 4 bulan kering dan 6 - 7 bulan basah. Bulan

Universitas Sumatera Utara

kering ialah bulan-bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm per bulan
(Untung, 1996).
4. Tanah
Tanah ber-pH 7 dan berpengairan bagus merupakan tempat tumbuh paling
ideal bagi tanaman apel. Kendatipun demikian apel bisa beradaptasi di tempattempat yang agak menyimpang dari persyaratan ideal tersebut. Pertumbuhan apel
akan baik sekali pada tanah dengan struktur bagus. Perbaikan struktur tanah dapat
dilakukan dengan pemberian bahan organik seperti kompos/pupuk kandang.
Semakin baik struktur tanah semakin bagus pula aerasi udara di antara rongga
partikel tanah sehingga semakin subur pula pertumbuhan tanaman. Pada aerasi
tanah yang jelek pengambilan unsur hara akan terhambat. Bahkan lebih fatal lagi,
akar-akar rambut bisa berhenti berkembang (Untung, 1996).

2.3 Vitamin
Vitamin merupakan suatu senyawa organik yang sangat diperlukan tubuh
untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Vitamin-vitamin tidak
dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus
diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi. Sebagai perkecualian adalah
vitamin D, yang dapat dibuat dalam kulit asalkan kulit mendapat cukup
kesempatan kena sinar matahari (Winarno, 1980; Andarwulan dan Koswara,
1992).
Vitamin adalah senyawa-senyawa organik yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan normal dan mempertahankan hidup hewan, termasuk manusia yang
secara alami tidak mampu untuk mensintesis senyawa-senyawa tersebut melalui

Universitas Sumatera Utara

proses anabolisme. Senyawa-senyawa tersebut diperlukan dan efektif dalam


jumlah sedikit, tidak menghasilkan energi dan tidak digunakan sebagai unit
pembangun struktur tubuh organisme, tetapi sangat penting untuk tranformasi
energi dan pengaturan metabolisme tubuh (Andarwulan dan Koswara, 1992).
Vitamin dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu vitamin yang dapat
larut dalam air dan vitamin yang dapat larut dalam lemak. Jenis vitamin yang larut
dalam air adalah vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin yang dapat larut
dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, serta provitamin A yaitu -karoten.
Bahan makanan yang kaya akan vitamin adalah sayur-sayuran dan buah-buahan
(Sudarmadji., dkk, 1989).
2.3.1 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan
rumus molekul C6H8O6. Vitamin C dalam bentuk murni merupakan kristal putih,
tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190 - 192C. Senyawa ini
bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Sifat-sifat tersebut terutama
disebabkan adanya struktur enediol yang berkonyugasi dengan gugus karbonil
dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam terutama adalah L-asam
askorbat. Biasanya D-asam askorbat ditambah ke dalam bahan pangan sebagai
antioksidan, bukan sebagai sumber vitamin C (Andarwulan dan Koswara, 1992;
Tjokonegoro, 1985).
Vitamin C mudah larut dalam air (1g dapat larut sempurna dalam 3 ml
air), sedikit larut dalam alkohol (1 g larut dalam 50 ml alkohol absolut atau 100
ml gliserin) dan tidak larut dalam benzena, eter, kloroform, minyak dan
sejenisnya. Vitamin C tidak stabil dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat

Universitas Sumatera Utara

udara, logam-logam seperti Cu, Fe, dan cahaya (Andarwulan dan Koswara, 1992;
Tjokonegoro, 1985).
Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Ditjen
POM, 1995):

Gambar 2.1 Rumus bangun vitamin C


Vitamin C, suatu zat gizi yang luar biasa, telah dikenal sebagai suatu
senyawa utama tubuh yang dibutuhkan dalam berbagai proses penting, mulai dari
pembuatan kolagen, karnitin pengangkut lemak, hormon adrenalin dan kortison,
pengangkut elektron dalam berbagai reaksi enzimatik, pelindung integritas
pembuluh darah, pemacu gusi yang sehat, pelindung radiasi, pengatur tingkat
kolesterol, pendetoksifikasi radikal bebas, senyawa antibakteria dan antivirus,
serta pemacu imunitas (Goodman, 2000; Khomsan, 2002).
Vitamin C juga dikenal sebagai senyawa ampuh untuk menangkal radikal
bebas. Beberapa di antara radikal bebas itu bersifat toksik dan sangat reaktif.
Untuk mengganti elektron yang hilang, radikal bebas melakukan serangkaian
reaksi kimia yang menyebabkan kerusakan pada membran sel, mutasi DNA,
mempercepat penuaan, dan penyebab penumpukan lemak. Pemakaian vitamin C
sebagai salah satu antioksidan alami secara luas dianjurkan dalam mengobati dan
mendetoksifikasi (mengurangi sifat racun) keadaan tersebut (Khomsan, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Vitamin C (asam askorbat) bersifat sangat sensitif terhadap pengaruhpengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, oksigen, enzim, kadar
air, dan katalisator logam. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi asam
dehidroaskorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam
dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih
lanjut menjadi asam diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi
(Andarwulan dan Koswara, 1992).

Asam askorbat

Asam dehidro
Asam diketogulonat
askorbat
Gambar 2.2 Reaksi Perubahan Vitamin C (Silalahi, 1985).

Asam
oksalat

Asam askorbat bersifat sangat larut dalam air, akibatnya sangat mudah
hilang akibat luka di permukaan atau pada waktu pemotongan bahan pangan.
Dalam processed food, kehilangan terbanyak terjadi akibat degredasi kimiawi.
Dalam bahan pangan yang kaya akan vitamin C seperti produk buah-buahan,
kehilangan vitamin C ada kaitannya dengan reaksi kecokelatan non-enzimatik
(Andarwulan dan Koswara, 1992).
Stabilitas asam askorbat biasanya meningkat dengan penurunan suhu
penyimpanan akan tetapi selama pembekuan terjadi kerusakan yang cukup besar.
Kerusakan ini bervariasi untuk setiap jenis bahan pangan, tetapi suhu

10

Universitas Sumatera Utara

penyimpanan dibawah -180C dapat menyebabkan kerusakan yang cukup berarti


(Andarwulan dan Koswara, 1992).
Vitamin C dapat ditemukan di alam hampir pada semua tumbuhan
terutama sayuran dan buah-buahan, terutama buah-buahan segar. Karena itu
sering disebut Fresh Food Vitamin (Budiyanto, 2004; Goodman, 2000).
Jumlah vitamin C yang terkandung dalam tanaman tergantung pada
varietas dari tanaman, pengolahan, suhu, masa pemanenan dan tempat tumbuh
(Counsell dan Hornig, 1981).
2.3.2 Fungsi Vitamin C
Fungsi vitamin C di dalam tubuh bersangkutan dengan dengan sifat
alamiahnya sebagai antioksidan yang berperan serta di dalam banyak proses
metabolisme yang berlangsung di dalam jaringan tubuh, antioksidan adalah
senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya
dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali
dan dapat memutus reaksi berantai dan radikal bebas (Sediaoetama, 2008).
Salah satu fungsi utama vitamin C berkaitan dengan sintesis kolagen.
Kolagen adalah sejenis protein yang merupakan salah satu komponen utama dari
jaringan ikat, tulang, gigi, pembuluh darah dan mempercepat proses penyembuhan
(Sediaoetama, 2008).
Kekurangan asupan vitamin C dapat menyebabkan penyakit sariawan atau
skorbut. Bila terjadi pada anak (6 - 12 bulan), gejala-gejala penyakit skorbut ialah
terjadinya pelembekan tenunan kolagen, infeksi, dan demam. Pada anak yang
giginya telah keluar, gusi membengkak, empuk dan terjadi pendarahan. Pada
orang dewasa skorbut terjadi setelah beberapa bulan menderita kekurangan

11

Universitas Sumatera Utara

vitamin C dalam makanannya. Gejalanya ialah pembengkakan dan perdarahan


pada gusi, luka lambat sembuh sehingga mudah berdarah dan mengalami infeksi
berulang. Akibat yang parah dari keadaan ini ialah gigi menjadi goyah dan dapat
lepas (Winarno, 2002).
Vitamin C dapat terserap sangat cepat dari alat pencernaan masuk ke
dalam saluran darah dan dibagikan ke seluruh jaringan tubuh. Pada umumnya
tubuh menahan vitamin C sangat sedikit. Kelebihan vitamin C dibuang melalui air
kemih. Karena itu bila seseorang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah besar
(megadose), sebagian besar akan dibuang keluar, terutama bila orang tersebut
biasa mengkonsumsi makanan yang bergizi tinggi (Winarno, 2002).
Menurut Silalahi (2006), apabila akan mengkonsumsi suplemen vitamin C
maka tidak boleh lebih dari 2000 mg per hari, meskipun vitamin C akan dibuang
melalui urin, vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyebabkan sakit kepala,
peningkatan jumlah urin, diare dan mual. Bagi seseorang dengan kecenderungan
pembetukan batu ginjal, diharapkan untuk tidak mengkonsumsi vitamin C dalam
dosis tinggi.
Kebutuhan harian vitamin C bagi orang dewasa adalah sekitar 60 mg,
untuk wanita hamil 95 mg, anak-anak 45 mg, dan bayi 35 mg, namun karena
banyaknya polusi di lingkungan antara lain oleh adanya asap-asap kendaraan
bermotor dan asap rokok maka penggunaan vitamin C perlu ditingkatkan hingga
dua kali lipatnya yaitu 120 mg (Silalahi, 2006).

12

Universitas Sumatera Utara

2.4 Metode Penetapan Kadar Vitamin C


Ada beberapa metode dalam penentuan kadar vitamin C yaitu:
a. Metode titrasi iodimetri
Iodium akan mengoksidasi senyawa-senyawa yang mempunyai potensial
reduksi yang lebih kecil dibandingkan iodium, dimana dalam hal ini potesial
reduksi iodum +0,535 volt, karena vitamin C mempunyai potensial reduksi yang
lebih kecil (+0,116 volt) dibandingkan iodium sehingga dapat dilakukan titrasi
langsung dengan iodium (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudjadi dan Rohman,
2008).
Deteksi titik akhir titrasi pada iodimetri ini dilakukan dengan
menggunakan indikator amilum yang akan memberikan warna biru kehitaman
pada saat tercapainya titik akhir titrasi (Sudjadi dan Rohman, 2008).
Metode ini dapat juga digunakan untuk pemeriksaan harian terhadap
sediaan vitamin C yang tidak mengandung senyawa mereduksi lainnya (Watson,
2010). Larutan baku lain yang dapat digunakan berdasarkan sifat mereduksi asam
askorbat adalah serium (IV) ammonium sulfat atau kalium iodat (Sudjadi dan
Rohman, 2008).
Kandungan vitamin C dalam larutan murni dapat ditentukan secara titrasi
menggunakan larutan 0,01 N iodin. Menurut Andarwulan dan Koswara (1992),
metode iodimetri tidak efektif untuk mengukur kandungan vitamin C dalam bahan
pangan, karena adanya komponen lain selain vitamin C yang juga bersifat
pereduksi. Senyawa-senyawa tersebut mempunyai titik akhir yang sama dengan
warna titik akhir titrasi vitamin C dengan iodin.

13

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Reaksi antara vitamin C dan iodin (Sudjadi dan Rohman, 2008).
b. Metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol
Metode 2,6-diklorofenol indofenol (DCIP) ini berdasarkan atas sifat
mereduksi asam askorbat terhadap zat warna 2,6-diklorofenol indofenol. Asam
askorbat akan mereduksi indikator warna 2,6-diklorofenol indofenol membentuk
larutan yang tidak berwarna. Pada titik akhir titrasi, kelebihan zat warna yang
tidak tereduksi akan berwarna merah muda dalam larutan asam (Sudjadi dan
Rohman, 2008).
Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan
berwarna biru sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda.
Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan
menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit
saja sudah akan terlihat terjadinya warna merah muda (Sudarmadji., dkk, 1989).
Titrasi vitamin C harus dilakukan dengan cepat karena banyak faktor yang
menyebabkan oksidasi vitamin C misalnya pada saat penyiapan sampel atau
penggilingan. Oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam metafosfat,
asam asetat, asam trikloroasetat, dan asam oksalat. Penggunaan asam-asam di atas
juga berguna untuk mengurangi oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi

14

Universitas Sumatera Utara

yang terdapat dalam jaringan tanaman. Selain itu, larutan asam metafosfatasetat
juga berguna untuk pangan yang mengandung protein karena asam metafosfat
dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein. Suasana larutan yang
asam akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dalam suasana netral
atau basa (Andarwulan dan Koswara, 1992; Counsell dan Hornig, 1981).
Metode ini pada saat sekarang merupakan cara yang paling banyak
digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam bahan pangan. Metode ini
lebih baik dibandingkan metode iodimetri karena zat pereduksi lain tidak
mengganggu penetapan kadar vitamin C. Reaksinya berjalan kuantitatif dan
praktis spesifik untuk larutan asam askorbat pada pH 1 - 3,5. Untuk perhitungan
maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-diklorofenol indofenol dengan
vitamin C standar (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudarmadji., dkk, 1989).

Dye (pink)

Ascorbic acid

dye(colourless)

Dehyroascorbic
acid
Gambar 2.4 Reaksi asam askorbat dengan 2,6-diklorofenol indofenol
c. Metode Spektrofotometri Ultraviolet
`

Metode ini berdasarkan kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air

untuk menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum pada

15

Universitas Sumatera Utara

265 nm dan A11= 556a. Oleh karena vitamin C dalam larutan mudah sekali
mengalami kerusakan, maka pengukuran dengan cara ini harus dilakukan secepat
mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa
pereduksi yang lebih kuat daripada vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan
menambahkan larutan KCN (sebagai stabilisator) ke dalam larutan vitamin
(Andarwulan dan Koswara, 1992).

2.5

Analisis Kembali Kadar Vitamin C yang Ditambahkan pada Sampel


(Analisis Recovery)
Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan kedekatan hasil analisis dengan

kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan


kembali (% recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).
Kecermatan (recovery) ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi
(Spiked placebo recovery) dan metode penambahan baku (Standard addition
method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke
dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran
tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang
ditambahkan (kadar analit sebenarnya). Dalam metode penambahan baku
dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada
sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan
kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan
tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).
Menurut Harmita 92004), rumus perhitungan persen recovery:
% Recovery =

A B
x 100%
C

16

Universitas Sumatera Utara

Keterangan: A = Kadar vitamin C sebelum penambahan baku vitamin C


B = Kadar vitamin C setelah penambahan baku vitamin C
C = Kadar vitamin C baku yang ditambahkan

2.6 Analisis Data Secara Statistik


2.6.1 Penolakan Hasil Pengamatan (Rejection of Measurement)
Di antara hasil yang diperoleh dari satu seri penetapan kadar terhadap satu
macam sampel, adakalanya terdapat hasil yang sangat menyimpang bila
dibandingkan dengan yang lain tanpa diketahui kesalahannya secara pasti
sehingga timbul kecenderungan untuk menolak hasil yang sangat menyimpang
(Sudjadi dan Rohman, 2008).
Untuk memastikan hasil yang sangat menyimpang ditolak atau diterima,
perlu dilakukan analisis data secara statistika. Pada taraf kepercayaan 95% ( =
0,05), hasil analisis ditolak jika Qhitung > Qtabel (Sudjadi dan Rohman, 2008).
2.6.2 Uji Ketelitian (Presisi) Metode Analisis
Uji presisi (keseksamaan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual yang diterapkan secara berulang pada
sampel. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku relatif (Relative Standard
Deviation) atau koefisien variasi (Harmita, 2004).
Menurut Harmita (2004), rumus perhitungan persen RSD:
% RSD =

SD
x 100%
X

Keterangan: SD = standar deviasi


X = kadar rata-rata sampel
Data hasil perhitungan koefisien variasi (%RSD) dapat dilihat pada
Lampiran 13, halaman 65.

17

Universitas Sumatera Utara

2.6.3 Pengujian Beda Nilai Rata-Rata


Untuk mengetahui apakah kadar vitamin C berbeda pada tiap sampel,
maka dilakukan uji beda rata-rata kadar sampel yang diuji dengan uji F
menggunakan software SPSS. Data berbeda secara signifikan jika F hitung > Ftabel
dan data tidak berbeda secara signifikan jika F hitung < Ftabel. Jika data yang
diperoleh berbeda secara signifikan, maka dilanjutkan dengan analisis Duncan.

18

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai