Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
ABSORBSI OBAT SECARA IN VITRO

DOSEN PENGAMPU : Siti Aisyah M.Sc., Apt

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK

:D

NAMA

:DEYVIN NATALITA C.H

(19133805A)

ARIANTO

(19133806A)

ADHE SYNTIA PUTRI

(19133807A)

ANA HIDAYATUL

(19133808A)

NANDA NOVIKA R

(19133809A)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2015

I.
II.

III.

JUDUL
Absorbsi obat secara in vitro
TUJUAN
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat melalui saluran pencernaan
secara on vitro.
DASAR TEORI
Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Faktor
mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute
masuk obat, aliran darah ketempat pemberian, fungsi saluran pencernaan
(Gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable lainnya (Abrams,
2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke
dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologic. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan
efektivitas obat (Joenoes, 2002).
Absorbsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari tempat pemberian
ke dalam sirkulasi umum di dalam tubuh. Absorbsi obat dari saluran pencernaan
ke dalam darah umumnya terjadi setelah obat tersebut larut dalam cairan di
sekeliling membrane tempat terjadinya absorbsi. Absorbsi obat akan lebih baik
jika semakin baik kelarutannya dalam lipida sampai absorbsi optimal tercapai.
Faktor utama yang mempengaruhi absorbsi obat yaitu karakteristik sifat fisika
kimia molekul, property dan komponen cairan gastrointestinal serta sifat
membrane absorbsi (Banker, 2002).
Absorbsi obat berkaitan dengan mekanisme input obat ke dalam tubuh dan ke
dalam jaringan atau organ di dalam tubuh. Disposisi dapat dibedakan menjadi
distribusi dan eliminasi. Setelah obat memasuki sirkulasi sistemik pbat
didistribusikan ke jaringan tubuh. Penetrasi obat ke dalam jaringan bergantung
pada laju aliran darah ke jaringan, karakteristik pasrisi antara darah dan jaringan
tercapai (Sinko, 2012).
Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis.
Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi.
Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan

gastrointestinal, dari sini melalui membrane biologis obat masuk keperedaran


sistemik (Joenoes, 2002).
Luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan
saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorbsi, semuanya mempengaruhi laju
dan jumlah absorbsi obat walaupun ada variasi. Agar suatu obat dapat mencapai
tempat kerja di jaringan/organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran
yang memiliki struktur lipoprotein (Shargel, 2005).
Ada obat yang diberikan secara peroral absorbs obat dapat terjadi pada saluran
cerna. Jadi saluran cerna memegang peranan penting terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan laju dan keberadaan absorbs obat. Faktor-faktor
tersebut diantaranya:
1. Sawar membrane saluran cerna
2. pH saluran cerna
3. kestabilan obat dalam saluran cerna.
4. Interaksi obat dan kompleksasi
Bila diasumsikan bahwa dalam saluran cerna tidak ada yang menghalangi
absorbsi setelah obat berada dalam keadaan terlarut, maka obat (molekul) harus
kontak dengan saluran cerna kalau obat itu telah terdifusi dari cairan salran cerna
ke permukaan membran (Syukri, 2002).
Metode Uji In Vitro merupakan metode uji absorbsi obat yang dilakukan di
luar tubuh makhlik hidup, dapat menggunakan organ terisolasi maupun lainnya.
Uji in vitro ini terdiri atas beberapa jenis: uji permeasi (uji difusi, metode usus
terbalik, maupun caco -2 cell monolayer), uji disolusi, maupun uji disintegrasi.

IV.

ALAT DAN BAHAN


Alat
a. Tabung crane dan wilson yang di modifikassi
b. Spektrofotometer
c. Water bath
d. Timbangan Analitik
e. pH meter
f. Alat gelas
g. Alat-alat untuk operasi
Bahan

V.

a. Usus
b. Cairan lambung buatan tanpa pepsin
c. Cairan usus buatan tanpa pencreatinin
d. Lautan NaCl fisiologis (0,9% b/v)
e. Asetosal
f. Gas oksigen
g. Alkohol
CARA KERJA
1. Pembuatan dapar asetat pH 4,5 0,05 M sebanyak 1000ml.
Menimbang 2,99 g Na asetat dan ditambahkan 1,66ml asam asetat glasial
dalam labu takar 1000ml, menambahkan aquadest ad tanda batas.
2. Pengujian absorbsi in vitro
Menimbang asetosal 500 mg menambahkan aquadest 100ml dan memasukkan
dalam usus halus sapi yang sudah dicuci bersih, bagian ujung ditali. Usus
halus sapi tsb dimasukkan dalam media disolusi larutan dapar 500ml. Dan
setiap 15 menit diambil larutan uji 2ml kemudian dimasukkan dalam labu
takar 10ml, dan diencerkan dengan dapar ad tanda batas.
3. Membaca absorbansi pada =265nm, gunakan blanko dapar asetat.
4. Membuat larutan baku:
Kurang lebih 140mg dimasukkan labu takar 50ml diencerkan dengan
dapar ad tanda batas.
Dari larutan tsb dipipet 2ml larutan dan dimasukkan dalam labu takar

VI.

50ml diencerkan dengan dapar ad tanda batas


Dan dibaca absorbansinya pada = 265nm, gunakan blanko dapar asetat.
DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
1. Konsentrasi asam salisilat dalam baku
140 mg

=2,8 mg/ml
Larutan baku
50 ml
V1 N1 = V2 N2
2ml 2,8mg/ml = 50ml N2
5,6mg = 50ml N2
0,112mg/ml = N2 (Cb)
A = 0,285 (Ab)
2. Konsentrasi asetosal
Au

Cb
Rumus Kv Ab
Pada cairan lambung
0,180

0,112=0,070
K15
0,285
K30

0,190
0,112=0,074
0,285

K45

0,245
0,112=0,096
0,285

K60

0,264
0,112=0,103
0,285

Pada cairan usus

K15

0,448
0,112=0,176
0,285

K30

0,473
0,112=0,185
0,285

K45

0,665
0,112=0,261
0,285

K60

0,781
0,112=0,306
0,285

3. Kadar asetosal (Q)


Rumus Qn

V Fu

Au Cb

100
Ab Ke

Pada cairan lambung


0,180 0,112
500 5

100 =35,368
Q15
0,285 500 mg
Q30
Q45
Q60

500 5

0,190 0,112

100 =37,333
0,285 500 mg

500 5

0,245 0,112

100 =48,140
0,285 500 mg

500 5

0,264 0,112

100 =51,874
0,285 500 mg

Pada cairan usus


0,448 0,112
500 5

100 =88,028
Q15
0,285 500 mg

Q30
Q45
Q60

500 5

0,473 0,112

100 =92,940
0,285 500 mg

500 5

0,665 0,112

100 =130,667
0,285 500 mg

500 5

0,781 0,112

100 =153,450
0,285 500 mg

4. Perhitungan lag time


Pada cairan lambung
T (menit)
15
30
45
60
Persamaan garis
a = 28,0975
b = 0,4022
r = 0,9649
lag time
y = a + bx
0 = 28,0975 + 0,4022x
-28,0975 = 0,4022x
69,860 = x

Q (%)
35,368
37,333
48,140
51,874

Pada cairan usus


T (menit)
15
30
45
60
Persamaan garis
a = 57,773
b = 1,5599
r = 0,9663
lag time
y = a + bx
0 = 57,773+ 1,5599x
-57,773 = 1,5599x
37,0363 = x
5. AUC total

Q (%)
88,028
92,940
130,667
153,450

Pada cairan lambung


( 0+ 35,368 ) ( 15 )
=265,26
Q15
2
Q30

(35,368+37,333)(15)
=545,25
2

Q45

(37,333+48,140)(15)
=641,04
2

Q60

(48,140+51,874)(15)
=750,11
2

AUC TOTAL = 2201,66


Pada cairan usus
( 0+ 88,028 ) ( 15 )
=660,21
Q15
2
Q30

(88,028+92,940)(15)
=1357,26
2

Q45

(92,940+130,667) (15)
=1677,05
2

Q60

(130,667+153,450)(15)
=2130,88
2

AUC TOTAL = 5825,4

VII.

PEMBAHASAN
Tujuan pada percobaan ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari adanya
pengaruh pH terhadap absorbsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro.
Absorbsi obat merupakan proses pergerakan obat dari tempat pemberian menuju
sirkulasi sistemik, sedangkan in vitro merupakan preparasi yang dilakukan di luar
tubuh makhluk hidup atau hewan uji.
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi asetosal secara in vitro.
Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui
saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan turunan salisilat yang
sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri
minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi (peradangan) dan juga
memiliki efek antikoagulan untuk mencegah serangan jantung.
Asam asetil salisilat dapat dianalisis secara kuantitatif

dengan

spektrofotometer UV-Visible karena berdasarkan strukturnya asam asetil salisilat

memiliki gugus kromofor benzena cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi


radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Visible.
Pada percobaan ini menggunakan usus halus sapi. Usus sapi yang sudah dicuci
bersih dimasukkan asetosal 500 mg dan di tali ujung ujungnya. Usus sapi di
masukkan kedalam media disolusi larutan dapar 500ml. Setiap 15 menit diambil
larutan uji 2ml kemudian dimasukkan dalam labu takar 10 ml dan diencerkan
dengan dapar ad tanda batas. Lalu dibaca absorbansinya pada = 265nm.
Hasil data waktu vs Q/A didapat grafik yang linear yang menunjukkan bahwa
asetosal yang diabsorbsi usus, Lag time yang didapat dari hasil percobaan di usus
37,036 dan di lambung 69,860. Lag time merupakan perpotongan garis pada
grafik dengan sumbu x sebagai satuan waktu, sehingga y = 0. Rasio kadar asetosal
di usus lebih besar dari pada di lambung, dimana kadar pada tiap waktu sampling
di usus yaitu 88,028%, 92,940%, 130,667%, dan 153,450% dan di lambung
35,368%, 37,333%, 48, 140%,

dan 51,874%. Hasil ini menunjukan bahwa

absorbsi asetosal lebih baik di usus dari pada di lambung, karena selain luas
permukaan di usus lebih besar dari pada di lambung. Asam salisilat pada pH 7,5
sebagian besar akan berada dalam bentuk terionisasi atau larut dalam air.
Sedangkan obat untuk berdifusi melalui membran lipid (usus) obat harus berada
dalam bentuk tak terion. Sedangkan asam salisilat pada pH 1,2 (lambung) akan
lebih banyak dalam bentuk molekulnya sehingga obat lebih mudah berdifusi
melalui membran usus sehingga absorbsinya akan menjadi lebih besar.
Dalam percobaan ini usus di kondisikan pada pH asam dan basa sesuai dengan
pH pada lambung dan usus. Dan hasilnya obat lebih banyak di absorbsi pada
lambung. Ini sesuai dengan teori bahwa suatu obat yang bersifat asam akan
terabsorpsi optimum di pH asam (lambung) dan obat yang bersifat basa
terabsorpsi optimum di pH basa (usus). Pada percobaan kali ini, senyawa obat
yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat), dimana senyawa obat ini
VIII.

bersifat asam, sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH asam.


KESIMPULAN
Pada praktikum ini asetosal lebih banyak diabsorbsi pada lambung dari pada
usus, karena pH asetosal dan lambung sama sama memiliki pH yang asam.
Dimana asetosal bersifat asam lemah sehingga akan banyak diabsorbsi di lambung

IX.

karena di lambung bentuk tak terionnya lebih banyak daripada terion.


DAFTAR PUSTAKA
Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US. Wolters
Kluwer Health, Lippincott Williams Wilkins.

Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya. Airlangga University

Press.
Shargel, L and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan. Surabaya. Airlangga University Press.


Syukri, S. 2002. KIMIA DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB.

Anda mungkin juga menyukai