Anda di halaman 1dari 39

12.

1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000


TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN
1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Menimbang :bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan
pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian
hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undangundang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
1

"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak
luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja
2

pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;


h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang
lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
(6) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang
sebenarnya."
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama
mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat (3) huruf a dan huruf
f diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
3

dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak


yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan
lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan
atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
4

lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di


bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan
atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantua natau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha
Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuanga;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian ijin usaha;
5

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal


ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta
ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf h, sehingga keseluruhan Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah,
premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak
Penghasilan;
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas
b.
biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi
komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan
Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)
atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak,
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
6

(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar :
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah)
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah)
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak
atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan
hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat7

syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;


d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada
pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib
Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 atau Pasal 11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9),
dan ayat (11) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah
yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
8

(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagianbagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir
masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat
dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali
untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya
dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali
aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan
harta berwujud.
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1),
ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki
dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta
karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau
penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta
tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka
dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan
sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf
b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang
mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan."
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7)
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak
9

berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan


hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar
atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir
masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan
secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan.
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal
suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran
atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan sekain yang dimaksud dalam ayat )(4), hak
pengusahaan hutan, dan hak penguasaan sumber alam serta hasil
alam lainnya yang mempunyai masa manfaatlebih dari 1 (satu)
tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi
dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5),
maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian
merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan
tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf
b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku
harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak
yang mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diubah, serta ayat (6) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan
10

penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta


diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu
tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah),
boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang
menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan
pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan
Penghasilan
Neto,
dianggap
memilih
menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4),
yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan
pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya,
maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(6) Dihapus
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan
ayat (7) diubah.

11

12.2 NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Menimbang : bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan,
serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa
mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar
pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri, perlu dilakukan
perubahan terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun
1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3568);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
12

Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,


Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3568) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.

2.
3.
4.
5.

6
7
8
9
10

11.
12.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang


meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud.
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang ini.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
angka 3.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan.
Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam
angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 6.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar
Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena
suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam
Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual,
termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah
13

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

bentuk atau sifatnya.


Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap, dan bentuk badan lainnya.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana
dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses
mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya
menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau
kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh
orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian,
Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-undang ini.
14

21.

2.

Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau


seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena
Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima
atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan
yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas
Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti
pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena
Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang
wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,
atau ekspor Barang Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena
Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi
Pemerintah tersebut."
Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 1A
yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1A
(1)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian
sewa beli dan perjanjian leasing;
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara
atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas
Barang Kena Pajak;
e. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak
Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut
15

3.

ketentuan dapat dikreditkan;


f. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau
sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar
Cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
(2)
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang
piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang."
Judul Bab IIA diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB IIA KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA
KEWAJIBAN
MEMUNGUT,
MENYETOR
MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG"

4.

DAN
DAN

Ketentuan Pasal 3A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3A berbunyi


sebagai berikut:
"Pasal 3A
(1)

5.

Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
yang terutang.
(2)
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 huruf d dan atau yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang
penghitungan dan tata caranya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan."
Judul Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB III OBJEK PAJAK"

6.

Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi


16

sebagai berikut:
"Pasal 4

7.

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:


a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean; atau
f.
ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak."
Ketentuan Pasal 4A diubah dan dijadikan ayat (1) dan ditambah 2
(dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 4A
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4A
(1)

(2)

(3)

Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan


jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang
tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
diambil langsung dari sumbernya;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran,
rumah makan, warung, dan sejenisnya;
d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. jasa di bidang pelayanan sosial;
c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
e. jasa di bidang keagamaan;
f. jasa di bidang pendidikan;
g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan
pajak tontonan;
h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
17

i.
j.
k.
l.

8.

jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;


jasa di bidang tenaga kerja;
jasa di bidang perhotelan;
jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum."
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 5
(1)

Disamping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
terhadap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam
Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
b. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
(2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali
pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu
impor."
9. Ketentuan Pasal 6 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 8
(1)

Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah


10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima
persen).
(2)
Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4)
Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan."
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat
(7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (13) diubah, ayat (10), ayat (11), ayat
(12), dan ayat (14) dihapus, dan diantara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9
berbunyi sebagai berikut:

18

"Pasal 9
(1)
(2)
(2a)
(3)

(4)

(5)

(6)

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara


mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan
Dasar Pengenaan Pajak.
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan
Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak,
maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan
kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian
penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti
dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak
Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat
diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung
dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

12.3. UU NO. 12 TAHUN 1994 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


A) Pengertian

19

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
B) Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan
lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis denganitu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan
yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbalbalik.
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
C) Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
- memiliki bangunan, dan atau;
- menguasai bangunan, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bangunan
Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
D) Dasar Pengenaan PBB

20

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan per wilayah
berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Bupati/Walikota
serta memperhatikan :
a. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan
fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
c. nilai perolehan baru;
d. penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
E) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak.
Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp
12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam
satu Tahun Pajak.
b. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan
pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak
bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
F) Dasar Penghitungan PBB
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :
Objek pajak perkebunan adalah 40%
Objek pajak kehutanan adalah 40%
Objek pajak pertambangan adalah 40%
Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
21

- apabila NJOP-nya Rp1.000.000.000,00 adalah 40%


- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
12.4 UU NO. 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA MATERAI
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1985 pasal 1 ayat 1 bea materai adalah pajak atas dokumen
yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hokum seperti yang dimaksud dalam pasak 1
ayat 2 huruf A UU No. 13 Tahun 1985 jo. Pasal 1PP No. 24 Tahun 2000 .
Tarif Bea Materai Rp 6.000,00 Dikenakan atas Dokumen
1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat
Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.
2) Akta-akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya
3) Akta-akta Notaris termasuk salinannya
4) Surat yg memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
harga nominal yg dinyatakan dalam mata uang asing:
a) Yang menyebutkan penerimaan uang;
b) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening di
bank;
c) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/
diperhitungkan.
d) Yang berisi Pemberitahuan saldo rekening di bank
5) Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp.
1.000.000,6) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari
Rp.1.000.000,7) Dokumen yang digunakan sebai alat pembuktian di pengadilan
a) Surat surat biasa & surat surat kerumahtanggaan
b) Surat surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain/digunakanoleh orang lain, & lain dari maksud
semula,yang akan digunakan sebagai alat pembuktiandi muka pengadilan.
Tarif Bea Materai Rp 3.000,00 Dikenakan atas dokumen
1) Surat yang memuat jumlah uang dengan Harga Nominal lebih dari Rp. 250.000,tetapi tidaklebih dari Rp.1.000.000,2) Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp.
250.000,- tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-

22

3) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari
Rp.250.000,- tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000
4) Cek & Bilyet Giro tanpa batas pengenaan sesarnya harga nominal. berlaku efektif: Per
01 Mei 2000
Cara Penggunaan Benda Materai
1) Materai tempel
a) Materi tempel direkatkan seluruhnya dng utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan bea materai.
b) materai direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
c) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda
tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas materai tempel.
d) Jika digunakan lebih dari satu materai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian di atas semua materai tempel dan sebagian di atas kertas.
2) Kertas materai (Pasal 7 UU No. 13 Tahun 1985)
a) Kertas meterai yg sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi (ayat 7)
b) Jika isi dokumen yang dikenakan bea materai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas kertas materai yang digunakan (ayat 8), maka: untuk bagian isi
yang masih tertinggal dapat digunakan Kertas tidak bermeterai.
Bila ketentuan penggunaan dan cara pelunasan bea materai tidak dipenuhi, dokumen
yang bersangkutan dianggap tidak bermaterai (ayat 9)

23

Ketentuan Pidana
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:
- Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru
dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
- Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak;
- Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan,
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang
mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau
menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan haknya;
- Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda meterai;
- Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea
Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah
bentuk kejahatan).

12.5 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000


TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997
TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Menimbang :
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan
sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan
penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri dan untuk
menampung penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang di bidang perolehan hak
atas tanah dan bangunan, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Pertama Tahun 1999;
24

2.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3688);
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3739);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21
TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) yang diberlakukan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3739) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1.
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
3.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
4.
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang
masih harus dibayar.
6.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
25

telah ditetapkan.
7.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah pajak yang dibayar.
9.
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara
atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
10.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
11.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
12.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
13.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia."
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 2
(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a.

Pemindahan hak karena :


1.

jual beli;

2.

tukar-menukar;

3.

hibah;
26

4.

hibah wasiat;

5.

waris;

6.

pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7.

pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8.

penunjukan pembeli dalam lelang;

9.

pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10.

penggabungan usaha;

11.

peleburan usaha;

12.

pemekaran usaha;

13.

hadiah.

b.

Pemberian hak baru karena :


1.

kelanjutan pelepasan hak;

2.

diluar pelepasan hak.

(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a.

hak milik;

b.

hak guna usaha;

c.

hak guna bangunan;

d.

hak pakai;

e.

hak milik atas satuan rumah susun;

f.

hak pengelolaan."

3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 3
(1) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah objek pajak yang diperoleh :
27

a.

perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b.

Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan


pembangunan guna kepentingan umum;

c.

badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan


Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d.

orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e.

orang pribadi atau badan karena wakaf;

f.

orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

(2) Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak
pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 6
(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal :
a.

jual beli adalah harga transaksi;

b.

tukar-menukar adalah nilai pasar;

c.

hibah adalah nilai pasar;

d.

hibah wasiat adalah nilai pasar;

e.

waris adalah nilai pasar;

f.

pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;

g.

pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h.

peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan


hukum tetap adalah nilai pasar;

i.

pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;

28

j.

pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;

k.

penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l.

peleburan usaha adalah nilai pasar;

m.

pemekaran usaha adalah nilai pasar;

n.

hadiah adalah nilai pasar;

o.

penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum


dalam Risalah Lelang.

(3) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak
yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi
dan Bangunan.
(4) Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan
ditetapkan
oleh
Menteri."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 7
(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak
karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
6. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 9
(1) Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :
a.

jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b.

tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

c.

hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;


29

d.

waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya


ke Kantor Pertanahan;

e.

pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;

f.

pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;

g.

lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;

h.

putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai


kekuatan hukum yang tetap;

i.

hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan


haknya ke Kantor Pertanahan;

j.

pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k.

pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani
dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

l.

penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

m.

peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

n.

pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

o.

hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi
letak
tanah
dan
atau
bangunan."
7. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
(2) Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
30

(3) Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri."
8. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 18
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat
keputusan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan
penagihan
pajak.
9. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 19
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding."
10. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 20
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh
Menteri karena :
a.

kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, atau

b.

kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau

c.

tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan
yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.

(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagaimana


dimaksud
dalam
ayat
(1)
diatur
dengan
Keputusan
Menteri."
11. Ketentuan Pasal 23 diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) di sisipkan 1(satu) ayat yaitu
ayat (1a), sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 23
(1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh
persen) untuk Pemerintah daerah yang bersangkutan.
(1a Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan kepada
31

) seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.


(2) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan dan
80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(3) Tata cara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2)
diatur
dengan
Keputusan
Menteri."
12. Ketentuan Pasal 24 diubah dan diantara ayat (2) dan ayat (3) di sisipkan 1 (satu) ayat
yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 24
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
(2) Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(2a Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
) hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3) Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya
dapat dilakukan oleh pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran Pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah
dan
Bangunan."
13. Ketentuan Pasal 26 diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu
ayat (2a), diantara ayat (3) dan ayat (4) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), dan ayat
(4) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 26
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu
rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(2a Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
) hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3a Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
32

dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundangundangan
yang
berlaku.

14. Diantara Pasal 27 dan Pasal 28 di sisipkan 2 (dua) Pasal yaitu Pasal 27A dan Pasal 27B
yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 27A
Terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
"Pasal 27B
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang diberlakukan
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini."
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan atas Undang-undang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan."
Pasal III
Undang-undang
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
1
Januari
2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban
setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan
negara merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional
sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999, ketentuanketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan
Undang-undang.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan.
Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus memperhatikan asas-asas
keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan serta didukung oleh sistem
administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakan.
Sehubungan dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang bersamaan
dengan terjadinya perubahan tatanan perekonomian nasional dan internasional, berpengaruh
33

terhadap perubahan perilaku perekonomian masyarakat sehingga perlu di akomodasikan


dengan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997.
Berpegang teguh pada asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan,
arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a.

menampung perubahan tatanan dan perilaku ekonomi masyarakat dengan tetap


berpedoman pada tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi yang bertumpu pada
kemandirian bangsa untuk membiayai pembangunan dengan sumber pembiayaan yang
berasal dari penerimaan pajak;

b.

lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pelaku ekonomi
untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kewajibannya.

Berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun


1997 tersebut, maka pokok-pokok perubahan sebagai berikut :
a.

memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan dalam bentuk dan terminologi yang baru;

b.

meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi bagi
pejabat dan Wajib Pajak yang melanggar;

c.

memberikan kemudahan dan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak dalam


melaksanakan kewajibannya;

d.

menyesuaikan ketentuan yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun


1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3848).

PASAL DEMI PASAL


Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
34

Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Cukup jelas
Angka 4)
Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah
dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah
pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Angka 5)
Cukup jelas
Angka 6)
Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya tersebut.
Angka 7)
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak
bersama.
Angka 8)
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang
sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Angka 9)
Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada
pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Angka 10)
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya
yang menggabung.
Angka 11)
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
Angka 12)
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva
kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Angka 13)
Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Huruf b
Angka 1)

35

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah
pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang
berasal dari pelepasan hak.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru
atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi
atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Huruf b
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Huruf d
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewamenyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan
dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Huruf f
Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan
dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan
bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf
b

36

Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah
tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik
Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan
untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
Huruf c
Badan atau perwakilan organisasi internasional yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan
atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru
menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.
Huruf e
Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan
umum lainnya tanpa imbalan apapun.
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain berisi tata cara menghitung
besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas objek pajak yang diperoleh
karena waris.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
37

Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Ayat (3)
Contoh :
Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga
transaksi) Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
sebesar Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar
pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp 35.000.000,00 (tiga puluh
lima juta rupiah) dan bukan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masingmasing Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain :
1.

NPOPTKP ditetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota dengan memperhatikan


usulan Pemerintah Daerah;

2.

NPOPTKP dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian


regional.

38

DAFTAR REFERENSI

Ilyas, B. Wirawan. 2014. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat


Mardiasmo. 2013. Perpajakan Edisi Revisi, Andi Offset, Yogyakarta.
http://www.pajak.go.id/content/seri-pbb-ketentuan-umum-pajak-bumi-dan-bangunan-pbb
http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=pbb
http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=meterai
http://ikasmilevalery.blogspot.co.id/2009/12/cara-pelunasan-bea.html

39

Anda mungkin juga menyukai