PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terletak pada bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi
lainnya. Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara
beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki
risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari
Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau,
didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10%
sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.
Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya
frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pasca operasi pterigium di
Indonesia adalah 3552%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo
didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun
adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain
itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu
penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Senior bagian Mata di
RSUD Solok.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
mata bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva
tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
Konjungtiva
forniks
yang
merupakan
tempat
peralihan
Konjungtiva
pterigium,
konjungtiva
yang
mengalami
fibrovaskular
adalah
konjungtiva bulbi.
Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi
mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval
yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea.
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di
dekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial)
dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada
bola mata.
4
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar
wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak
pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup
rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata
bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
2.3.
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
-
a. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui
5
Endotel
melekat pada
membran
descement
melalui
merupakan
pertumbuhan
jaringan
fibrovaskuler
Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.
b.
Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c.
Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis
dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih
sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka
gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap
faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet),
daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan
lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin,
iklim kering mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
8
fibroblas
dari
jaringan
pterigium
menunjukkan
11
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan
Pembeda
Definisi
Pterigium
Jaringan
Pinguekula
Pseudopterigium
Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular
konjungtiva
konjungtiba
konjungtiva
bulbi
bulbi berbentuk
Warna
segitiga
Putih
bulbi
cacat
Putih-kuning
Putih kekuningan
12
kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada
Letak
bagian
atau
6:
Progresif
Reaksi
daerah
yang
terdekat
dengan
yang meluas ke
proses
kornea
arah kornea
>
Sedang
Tidak ada
=
Tidak
Tidak ada
sebelumnya
=
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde
Tidak
dapat Tidak
diselipkan
diselipkan
Puncak
Ada
pulau
Histopatologi
limbus
Tidak ada (tidak ada
head, cap, body)
(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi
Perlengketan
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G.,
Asbury
Taylor,
Riordan
Eva-Paul.
Oftalmologi
Umum.
Edisi
Penatalaksanaan Pterigium
13
2.
Meskipun
keuntungkan
dari
penggunaan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
2.
17
2.5.4. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
18
2.5.5. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 24 jam post op dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft
atau transplantasi membran amnion.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.
Identifikasi
Nama
: Ny. S
Umur
: 50 tahun
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Pekerjaan
: IRT
Alamat
: Kotabaru,
MRS
: 17 Mei 2016
19
3.2.
3 tahun yang lalu, mata kanan pasien juga menderita hal yang
sama, namun telah di operasi.
e. Status Gizi :
Berat Badan
: 65 kg
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum
: sedang
Keadaan sakit
: sakit ringan
20
Kesadaran
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
: 80 x/menit, reguler
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,7oC
3.4.
Nadi
Status Oftalmologikus
OD
Visus
OS
6/9
6/12
PH : 6/6
PH : tidak maju
21
Orthoforia
Segmen Anterior
silia
Trichiasis (-)
Trichiasis (-)
Palpebra superior
Palpebra inferior
Injeksi (-)
Sedang, jernih
Konjungtiva bulbi
Kornea
Sedang, jernih
Sedang
Pupil
Bulat, RC (+)
bulat, RC (+)
Lensa
Jernih
jernih
Iris
22
Pemeriksaan slitlamp
Cilia
Konjungtiva
Injeksi (-)
Kornea
Jernih
Coa
Iris
normal
Lensa
Jernih
Pemeriksaan Tonometri
Jernih
: Tidak dilakukan
Gambar 7. Pterigium
23
: bonam
Quo ad functionam
: bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Solok dengan keluhan utama mata
kiri terasa mengganjal sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu, terlihat adanya lemak
pada mata sebelah kiri, perih (-), berair (-), silau saat melihat (-). Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran jaringan seperti lemak yang
menutupi mata sebelah kiri. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien
ini diagnosis sebagai suatu pterigium
24
BAB V
KESIMPULAN
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan
udara yang panas. Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan
25
DAFTAR PUSTAKA
Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C
compared with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of
progresive primary pterygium which underwent Mc Reynolds method.
Berkala llmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
26
Ophthalmology.
2002;
86(12):
13411346.
Avaiable
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi
Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung
Seto.
Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman
Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta:
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
Khurana
A.
K.
Community
Ophtalmology
in
Comprehensive
Fisher.
Pterygium.
2009.
available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
1.
Pterygium
and
Pingueculum
available
at:
http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm
27